Share

5. Sepakat Bercerai

"Siapa Seruni, Mas?"

Pertanyaanku membuatnya terhenyak. 

Kukeluarkan ponsel dan menampakkan semua foto yang terambil semalam saat di rumah sakit.

"Kenapa diam, Mas? Aku butuh kejujuran. Kita menikah bukan sehari, tapi dua tahun. Apa selama itu kamu tidak sedikitpun menganggapku sebagai istri, hingga tega memeluk dan mengusap pipi wanita lain?"

Aku tak dapat menahan ego yang seketika melonjak, kutumpahkan segala sakit yang membelenggu di dada. Air mata kubiarkan merebak dari kedua sudut.

Mas Ardi yang mendengar amukanku seketika bangkit dan meminta agar aku memelankan suara.

"Tenang Ze, kita memang perlu bicara. Tapi Mas harap kamu bisa mengontrol emosimu. Ada Mamaku yang harus kita jaga perasaannya di rumah ini."

Aku menarik napas dan memilih duduk di atas ranjang. Mas Ardi ikut duduk di sebelahku. Kedua tangannya saling menyatu lalu meremas.

"Dia wanita yang pertama Mas cintai dari dulu sampai detik ini, Ze."

Seketika tubuh seolah kehilangan kekuatan, seluruh tulang seperti terlepas dari persendian. Aku sakit, hati hancur berserakan mendengarnya. Bisakah kuberharap jika semua ini hanya mimpi?

"Dua tahun lebih Mas terus mengirimnya pesan, tapi tak pernah dia tanggapi. Kemarin akhrinya yang Mas tunggu-tunggu terjawab juga. Dia kembali. Seruni datang dan mengatakan bahwa dia sudah bercerai dari suaminya. Dan itu membuat sebuah harapan yang sempat terhempas seperti menemukan kembali tujuannya, Ze. Kita sama-sama tahu, bukankah pernikahan ini terjadi atas perjodohan. Dan sampai detik ini, Mas sudah berusaha untuk melupakannya dan menggantikan dengan posisimu di hati? Tapi maaf Ze, Mas belum bisa mencintaimu."

Napasku tersengal. Dada naik turun menahan sesak yang sedemikian merajai hati. 

Jadi selama ini, apa yang kulakukan tidak berarti apapun di matanya? Bahkan untuk sekedar belas kasih saja dia tak punya.

"Apa yang Mas inginkan?"

"Ze, kamu cantik dan shalihah. Mas yakin di luar sana pasti ada lelaki lain yang lebih pantas mendampingimu, tentunya yang sholih dan mencintai serta siap membahagiakanmu seumur hidupnya. Bukan Mas, lelaki yang tidak bisa menjaga perasaanmu bahkan tidak sempurna ibadahnya."

Aku mengusap air mata yang merembes di kedua pipi. Padahal menikah adalah untuk menyempurnakan ibadah. Tapi dia mengatasnamakan kekurangannya untuk mewujudkan tujuannya bersama wanita lain.

"Mas ingin kembali padanya," lanjutnya dengan suara bergetar dan pandangan yang tertunduk.

Aku menelan ludah, seperti inikah yang dia mau?

"Lalu bagaimana denganku? Juga Mama?" Suaraku melemah seiring dengan degup di dada yang ikut lemah.

Dia terdiam. Mas Ardi mengusap wajah, mungkin dia mulai goyah ketika mendengar nama mama tersebut.

"Apa wanita itu juga sangat ingin kembali padamu?"

Mas Ardy mengangguk.

"Tapi dia hanya mau bersamaku ... jika kita sudah bercerai."

Aku terperangah, benar-benar kehilangan kata. Beberapa detik hening membalut suasana diantara kami.

"Jadi Mas mau menceraikanku?" tanyaku dengan suara bergetar, antara sakit dan pasrah.

Rasanya tak percaya, padahal tadi mama baru saja meminta agar kami segera memberinya momongan. Tapi ternyata, hanya berselang menit, kami telah memutuskan untuk berpisah.

"Maafkan Mas, Ze. Mas benar-benar tidak adil padamu. Tapi ini adalah cita-cita yang yang sangat ingin Mas capai. Menikahi Seruni adalah impian terbesar dalam hidup Mas."

Aku menari napas dalam.

"Apa Mama akan setuju?"

"Kita bercerai, tapi Mas minta kamu tidak keluar dari rumah. Anggap saja kamu sedang menjalani masa iddahmu di rumah mantan suami. Aku akan memenuhi semua kewajibanku selama masa Iddah ini berlangsung. Ze, aku tahu kamu sangat menyayangi Mama. Jika sekarang aku sampaikan keinginan ini, entah bagaimana kondisi Mama. Sebab itu kita tunda, jika keadaan Mama telah sehat, aku akan segera menyampaikan padanya tentang perceraian kita."

Kuusap kembali air mata yang berderai. Mama mertua sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Jika ia sakit, tentu hati ini juga terluka.

Aku pasti kuat. Tidak lama, In Syaa Allah bisa kulalui dengan mudah.

"Tapi dengan satu syarat, Mas."

Wajahnya kini menatapku.

"Jika di rumah, aku tidak ingin melihatmu berhubungan dengan wanita itu. Baik itu telpon atau bahkan dia yang datang berkunjung. Hormati aku."

"Baik, Mas janji."

Aku berbalik dan mengambil dua buah bantal dari atas ranjang.

"Kamu mau kemana?"

"Kita sudah bukan suami istri lagi, Mas. Jadi tidak boleh seranjang lagi. Aku akan tidur di kamar yang lain."

"Tidak jangan, tetaplah di sini. Kamu tidur di atas dan aku tidur di bawah. Hanya untuk malam ini, setelah di rumah kita akan tidur di kamar yang berbeda."

"Baik."

Kuabaikan rasa perih lalu mengacuhkannya dan memilih naik ke atas ranjang untuk tidur.

*

Ternyata setelah dicerai tapi tetap memilih serumah itu tak mudah. Apalagi sebagai pihak yang dalam hal ini tersakiti. Aku harus lebih banyak menyiapkan stok ikhlas dan sabar. 

Kuat, kuat. Meski tadi pagi saat wudhu aku sudah lebih dulu menumpahkan kembali air mata di kamar mandi.

Tapi aku yakin, Allah menetapkan sebuah syariat tentu ada hikmah yang bisa diambil disebaliknya. Jadi apapun yang terjadi, aku tak lupa minta dikuatkan dan diberi yang terbaik.

Keesokan harinya, Mas Ardi meminta ijin pamit pada mama. Wanita itu tentu belum tahu apa yang telah terjadi pada pernikahan kami. Ia bahkan masih sempat memberiku perhiasan miliknya yang sudah lama disimpan, sebuah kalung emas seberat sepuluh gram. 

Mama memintaku mengenakannya dan tidak mengijinkan untuk kujual kecuali jika sudah sangat membutuhkan uang.

Hati kembali teriris. Bagaimana jika suatu saat Mas Ardi jujur mengatakan bahwa kami sudah berpisah? Jika memang saat itu tiba, aku hanya berharap mama tidak sakit jantung mendapati keadaan ini.

Menaiki mobil, aku mengeluarkan ponsel dan menelpon salah satu teman yang tak lama kukenal melalui I*. Aku mengikutinya karena suka dengan ceramah-ceramah singkat yang dia bagikan di status I* maupun storynya.

[Hallo Assalamualaikum.]

[Waalaikum salam. Ukhty Ze, apa kabar?]

[Alhamdulillah, baik Ustadzah. Ustadzah sendiri apa kabar?]

[Alhamdulillah sangat sehat. Ada apa gerangan ukhty menelpon?]

[Begini Ustadzah, kemarin 'kan Ustadzah sempat ngajak saya ikut kajian. Kebetulan waktu itu saya masih sangat sibuk, tapi sekarang Alhamdulillah sudah punya banyak waktu. Saya ingin bergabung dalam kajian tersebut, bagaimana caranya ustadzah?]

Mas Ardy memalingkan wajahnya menatapku, tampak dari kaca samping yang kini menjadi arah pandanganku.

[Hari ini bisa Ukhty, di tempat biasa. Pukul dua nanti selepas shalat dhuhur. Saya tunggu kehadirannya ya.]

[Baik Ustadzah. Syukran terima kasih.]

[Awfan ukhty.]

Aku menutup telpon. Tiba-tiba,

"Siapa?"

Aku meliriknya yang setelah semalaman diam hingga pagi kini membuka suara.

"Teman," jawabku santai.

"Mau kemana?"

"Mau kemana aja, sekarang udah nggak ada lagi kewajiban untuk lapor kamu 'kan, Mas?"

Dia terdiam, dua alisnya bertaut. Detik berikutnya kembali menatap ke depan. Ah, bukankah dia punya kebahagiaan tersendiri dengan wanita itu. Aku juga akan mencari sisi bahagiaku dalam menjalani masa iddah ini. 

Tapi tentunya dengan tidak melanggar syariat. Aku akan lebih sering berkumpul dengan akhwat-akhwat yang akan menyejukkan pikiran.

*

Sampai di rumah, aku langsung menuju kamar lain yang ada di rumah ini selain kamar kami. Membersihkan dan mengganti sprei lalu mengetuk kamar Mas Ardi.

Lelaki itu membuka pintu.

"Aku mau ambil pakaianku, Mas."

"Ya silahkan masuk."

Kukeluarkan beberapa pakaian lalu memasukkan ke dalam tas. Kuambil semua alat kosmetik lalu memasukkan juga ke kamar. Kembali lagi ke kamar itu untuk mengambil perlengkapan shalat, bantal dan handuk.

Dia hanya menatap tanpa suara.

"Aku pergi lebih awal, karena sekalian dhuhuran di sana."

Setelah menyampaikan hal itu, diri lekas keluar dari kamarnya. Menarik napas dalam lalu membuang perlahan.

Sebenarnya masih jelas terasa sakit, tapi aku mencoba bertahan. Satu jam lebih merapikan kamar, kini jam sudah menunjukkan pukul sebelas. 

Bukankah tadi aku sudah mengatakan jika akan pergi lebih cepat. Sebaiknya aku pergi sekarang saja, sekalian makan siang di luar.

Tanpa pamit, aku keluar dari rumah itu. Tidak memasak, apalagi menyuci pakaiannya yang kemarin dibawa ke Bandung. Biarlah dia kerjakan sendiri semuanya.

***

Bersambung.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
bagus suami tak punya aklak udah cere minta serumah mau pamer kalo dia gigolo
goodnovel comment avatar
Keni Sihyanti
Ardi kau benar-benar tak punya hatii
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status