Share

8. Pembalasan Kecil

Harusnya aku tak di sini, entahlah hati jadi kepikiran Ze. Ingin rasanya memberi kabar, tapi bukankah kami sudah bercerai. Padahal serapapun cueknya aku selama ini. Jika terlambat pulang selalu memberi tahu. Itu sesuai permintaan Ze. Alasan simple banget, supaya makanan bisa hangat saat dihidangkan dan yang paling penting supaya dia Ze terus melek menanti kepulangan suami tercinta.

 

Benak Ardi terus meracau.

 

Jujur, selama ini wanita itu cukup memberi perhatian. Hanya saja Ardi sendiri yang berusaha menolak segala perhatian itu. Dengan satu tujuan untuk menjaga cinta kepada Seruni. Ah, mungkin lebih tepatnya untuk menghindari jatuh cinta pada Ze.

 

Dan jika biasa Ze lah yang selalu khawatir, maka malam ini sempurna kekhawatiran itu dirasakan Ardi. Tapi kenapa?

 

"Ponselku diambil mantan suamiku, Mas. Dia kejam banget, maksa aku nerima dia balik supaya dikembalikan hape."

 

Pikiran Ardi akan Ze seketika buyar.

 

"Ancaman yang aneh. Jangan dituruti, ntar dia malah besar hati," ucap lelaki itu sembari meneguk kopi di dalam gelas.

 

"Iya, Mas. Sampai kapanpun aku nggak akan mau balikan sama dia."

 

Wanita itu menggenggam jemari Ardi, membuat sang lelaki terhenyak.

 

"Karena aku mau sama kamu, Mas."

 

Pandangan mereka saling tertuju, Ardi sejenak menarik napas. Entah kenapa ada yang terasa sesak di dada yang sudah ia rasakan semenjak tadi siang tepatnya setelah mendapati Ze pergi tanpa pamit. 

 

Tapi dia coba untuk tersenyum.

 

"Kamu serius 'kan Mas dengan ucapan kemarin bahwa kamu mau menikahiku?"

 

Ardi terdiam sejenak, entah apa yang dipikirkan otaknya. Ze?

 

"Mas?"

 

"Hah?"

 

"Kamu serius 'kan mau nikahi aku?" ulang Seruni.

 

"Iya."

 

"Kira-kira kapan? Aku udah lelah hidup dalam ancaman begini terus. Jika kita udah menikah, tentu mantan suamiku tidak berani lagi menyakiti."

 

Ardi menarik napas dalam.

 

"Sabar, saat ini kondisi Mamaku sedang tidak baik. Beliau sangat menyayangi Ze, jika kuberi kabar padanya telah menikahimu, Mama pasti akan kena serangan jantung."

 

Seruni terdiam sejenak.

 

"Jika kita menikah bawah tangan aja dulu gimana, Mas?"

 

Ucapan itu membuat sang lelaki tercekat.

 

"Bawah tangan?"

 

"Itupun jika kamu tidak keberatan, Mas. Aku hanya memberi sebuah opsi. Tapi aku bakalan sabar kok jika memang kamu tidak setuju. Aku hanya merasa aman jika sudah ada pendamping, Mas."

 

Lagi-lagi Ardi menarik napas.

 

"Menikah untuk memuliakan seorang wanita. Ada walimah, ada mahar, diketahui oleh keluarga, dan yang penting dicatat secara sah pada hukum negara. Karena itu adalah bentuk perlindungan untuk wanita tersebut. Jika menikah bawah tangan, semua itu takkan kau dapati. Aku tidak akan melakukannya."

 

Seruni menundukkan wajah, merasa telah salah memberi opsi.

 

"Begini aja, kamu pindah ke Jakarta. Biar aku yang carikan apartemen."

 

"Ke Jakarta? Beneran, Mas?"

 

"Iya. Sementara jangan beritahu siapapun bahwa kamu sudah pindah ke Jakarta. Jadi mantan suamimu pasti tidak bisa melacaknya."

 

Seruni mengangguk riang. Dia bangkit lalu memeluk sang lelaki. Tapi Ardi menolak. Seruni kembali duduk.

 

"Makasih ya, Mas."

 

Ardipun menganggukkan kepalanya, entah kenapa sedikit merasa risih dengan niat Seruni untuk memeluknya.

 

"Maaf ya, Mas. Aku hanya bahagia banget."

 

"Iya tapi ini di tempat umum. Kita harus bisa menjaga sikap."

 

"Iya, Mas. Maaf."

 

Ingatan Ardi justru melambung jauh ke Jakarta. Kali ini ia sungguh membayangkan rengekan Ze di atas ranjang. Wanita itu memang banyak maunya, tapi selama ini Ardi selalu mengabaikan. Pernah beberapa kali, dia merasa tempat tidur berjingkat-jingkat, ternyata Ze tidak bisa tidur hingga bolak balik terus-menerus.

 

Ketika ditanyai kenapa, dengan malu-malu Ze memberi kode jika dia rindu dibelai. Tapi apa yang dilakukan Ardi? Dia justru meminta Ze untuk berwudhu dan shalat Sunnah dua rakaat supaya pikirannya tenang. 

 

Jemari Ardi mengusap dagu.

 

Ze, Ze, kenapa pikiranku sekarang di dominasi olehmu?

 

"Mas kita berangkat sekarang aja, ya?"

 

Ardi terhenyak tapi detik berikutnya ia mengangguk, lalu menemani Seruni mengambil pakaian di rumah sewa yang ditempati wanita itu beberapa hari ini. Setelah selesai, mereka langsung berangkat ke Jakarta. 

 

Dalam perjalanan, Seruni terus berbicara, menceritakan pedih hidupnya bersama mantan suami.

 

Hal itu menarik simpati cukup baik dari seorang Ardi. Dia sangat membenci apa yang dilakukan Roni dan menyayangkan kenapa selama ini Seruni diam. Seharusnya setiap tindakan yang sudah masuk KDRT wajib dilaporkan agar pelakunya mendapat hukuman setimpal.

 

Mereka sampai di Jakarta.

 

"Sementara untuk malam ini kamu menginap di hotel ini saja. Sampai aku menemukan sebuah rumah yang baik untuk kemu tempati."

 

Seruni mengangguk. Jam kini sudah menunjukkan pukul sebelas malam.

 

"Aku langsung pamit, ya."

 

Wanita di hadapan mengangguk pasrah. Entah kenapa rasa cinta semakin besar ia rasa untuk lelaki itu. 

 

"Hati-hati ya, Mas."

 

"Oya, mulai saat ini kamu jangan menghubungiku terlebih dahulu, sebelum aku sendiri yang menghubungimu."

 

"Kenapa, Mas?"

 

"Aku hanya ingin menjaga perasaan Ze."

 

Seruni merasa sakit dengan kalimat itu, tapi dia menerima dengan sedikit pemaksaan.

 

"Kalau terjadi sesuatu denganku."

 

"Cukup kirim pesan. Akan kuusahakan untuk segera datang."

 

"Iya, Mas."

 

Ardi membalikkan tubuh lalu berlalu dari hadapan Seruni. Ia memang tidak berniat jujur pada wanita itu jika sudah bercerai dari Ze. Untuk berjaga-jaga saja. Takutnya jika Seruni tahu, keadaan justru tidak baik. 

 

Ardi melajukan mobil kembali menuju rumah. Di tengah perjalanan, menemukan sebuah gerobak bakso. Ia jadi teringat Ze yang sangat doyan makan jajanan pinggiran jalan begini.

Akhirnya Ardi memutuskan untuk menepikan mobil dan membeli jajanan tersebut. Ia tersenyum dan kembali ke mobil. 

 

Sampai di rumah, suasana terlihat senyap. Jam sudah menunjukkan pukul dua belas malam. Pasti Ze sudah tidur.

 

Ardi memasukkan mobil dalam garasi, lalu turun dan masuk ke rumahnya. Ia mendapati televisi masih menyala meski lampu sudah padam. Langkah sang lelaki terulur lebih jauh ke tempat itu. Begitu terhenyak melihat Ze sudah terbaring di atas sofa dengan dua netra terpejam.

 

Ada rasa bersalah yang menjalari dadanya melihat pemandangan tersebut. Tapi ia coba abaikan. Ardi kini berjalan hingga berada tepat di hadapan sofa, pelan menggoyang-goyangkan baju Ze hingga wanita itu terbangun.

 

"Kamu kenapa tidur di sini?"

 

Dua netra Ze dipaksa menatap lelaki di hadapannya. Rasa kesal masih membersamai. Tanpa menjawab Ze bangkit lalu masuk ke kamar. Ardi yang menyaksikan hanya bisa menghela napas.  

 

Sepeninggal Ze, sang lelaki memilih ke dapur. Hendak meletakkan bakso di bawah tutup saji. Begitu jemarinya membuka benda tersebut, ia terhenyak mendapati meja makan masih penuh dengan makanan dengan menu kesukaannya. Ayam geprek.

 

Ada satu piring yang belum tersentuh. 

 

"Apakah Ze memasak ini semua untukku?"

 

Sedikit merasa besar hati, Ardi ingin memastikan apakah benar semua ini untuknya. Sang lelaki berjalan hingga sampai di depan kamar milik Ze. Berpikir sejenak sambil mengurut pelipis. 

 

Yakin mau bertanya?

 

"Tanya, nggak. Tanya, nggak."

 

Ardi mengusap tengkuk.

 

"Tanya."

 

"Ze, kamu udah tidur?"

 

Tak ada jawaban, tapi beberapa detik berikutnya pintu kamar terbuka. Mereka berpandangan sejenak.

 

"Ada apa?" tanya Ze pelan.

 

Ardi menelan ludah.

 

"Em, makanan di atas meja kamu yang masak?"

 

"Iya. Tadi ada temanku satu kajian yang mampir. Makanya aku masak banyak."

 

Ardi membuang napas, padahal tadi sempat merasa besar hati dengan perhatian Ze. Hah, bukankah setiap hari selama pernikahan Ze memang selalu begini? Hanya dia saja yang tidak pernah melihatnya sebagai sebuah bentuk cinta.

 

"Mas udah makan?" tanya Ze membuat Ardi sedikit merasa bahagia 

 

"Udah, tapi lapar lagi."

 

"Em, temanku udah makan, jadi semua itu sisa. Boleh kok jika Mas mau makan."

 

Tanpa aba-aba, Ze langsung menutup pintu. Membuat Ardi tercekat hingga aliran darahnya seakan berhenti mengalir.

 

"Makanan sisa? Ogah ah makan!"

 

Lelaki itu kembali ke dapur. Yang ada di atas meja hanya bakso yang ia beli untuk Ze. 

 

"Makan ini aja kali, ya."

 

Dia menuang bakso ke dalam mangkok lalu mencicipi rasanya.

 

"Ah, kepedasan."

 

Ia lupa tadi memesan bakso sesuai selera Ze yang super pedas. 

 

"Kalau makan beginian bisa kumat lambungku."

 

Ardi meninggalkan mangkok bakso itu dan kembali ke kamar. Setelah membersihkan diri, ia berbaring di atas ranjang.

 

"Krookkk!"

 

Perutnya berbunyi. Tak ada cara lain, dia harus mengisi lambungnya yang tengah bermasalah dengan makanan. Ardi yang tadi sudah bersiap tidur bangkit kembali dan berjalan ke dapur. Ia membuka tutup saji.

 

"Udahlah, makanan sisa ini mengiurkan sekali. Tak apa makan sedikit, biar sisa yang penting enak."

 

***

 

Bersambung..

 

Utamakan baca Al-Quran.

Komen (2)
goodnovel comment avatar
Fitriyani Puji
thor kenapa novel mu slalu mancing emosi sih pasti bikin mewek
goodnovel comment avatar
Aisattamimi
next thor.jangan lama2
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status