Ardi tersentak dari tidur, dia melirik jam.
"Astaghfirullah, jam tujuh?"
Dengan bersegera lelaki itu beranjak dari atas ranjang, lalu berlari cepat menuju kamar mandi untuk membersihkan diri.
Padahal hari ini adalah hari penting dimana dia akan menjadi pemimpin upacara dalam rangka memperingat Hari Kelahiran Pancasila. Tapi kenapa bisa terlambat?
Ardi mendesah sebal.
Usai membersihkan diri, dia menggelar sajadah. Semenjak menikah, bertemu sang khalik selalu rutin dilakukan. Meski terlambat, rasanya aneh jika dahi belum menyentuh sajadah saat bangun tidur.
"Assalamualaikum warahmatullah. Assalamualaikum warahmatullah."
Walau sebentar harus menyempatkan diri menengadahkan tangan.
"Ya Allah-"
Ucapan Ardi terhenti. Jika biasa dia kerap meminta agar Allah membuka kesempatan agar suatu saat bisa dipersatukan dalam mahligai rumah tangga bersama Seruni. Tapi pagi ini kenapa rasa-rasanya doa itu tidak ia lagi ia butuhkan. Keinginan untuk menikahi Seruni tidak semenggebu dahulu. Justru di ingatannya kini tertera satu pertanyaan, benarkah ia bahagia setelah berpisah dengan Ze? Semalam tentang makanan, pagi ini jam bangun.
Ternyata, Ze benar-benar telah membuat perubahan besar dalam hidupnya.
Setelah terjeda beberapa waktu, barulah Ardi kembali memanjatkan doa.
"Maafkan hamba ya Allah."
Lelaki itu merahup wajah. Hanya secuil doa namun menggambarkan hatinya yang sedang tidak baik. Dia merasa sudah mendapatkan apa yang dimau selama ini, tapi kenapa perasaannya tak bahagia?
Ardi bangkit dan menatap ke atas ranjang. Kosong. Ia membuang napas berat, biasa setiap pagi Ze sudah meletakkan pakaian yang akan dia gunakan hari itu di atas ranjang.
Ternyata bercerai nggak enak!
Sebuah kata yang kemudian keluar dari bibir Ardi. Dia terhenyak. Benarkah yang dia rasa ini?
Tapi cintanya untuk Seruni? Bukankah selama ini dia terus membangun mimpi sekalipun sudah bersama Ze?
Benarkah menikahi Seruni adalah impianku? Atau hanya ambisi?
Ardi menghempaskan diri ke atas ranjang. Cukup pelik pikiran yang merajai jiwanya kini. Dua netra melirik jam.
Mati aku!
Dengan cepat Ardi bangkit kembali menuju lemari, membuka dan mencari-cari letak baju kerjanya.
Dimana Ze meletakkan baju kerjaku?
Karena lelah mencari akhirnya lelaki itu berjalan keluar kamar dan menuju kamar milik Ze. Dengan perasaan tidak enak dia mengetuk pintu.
"Ze, buka pintunya bentar. Ada yang mau Mas tanyakan."
Tak lama pintu kamar pun terbuka memperlihatkan wajah Ze yang sudah cantik. Wajahnya putih berseri dengan blush on di pipi membuat aura wanita itu semakin memancar. Dan yang berhasil membuat degup tak biasa di hati Ardi adalah warna bibir sang mantan. Sangat serasi dengan pipi yang kepink-pink-an.
Ardi menarik napas.
"Kamu mau kemana?"
"Ada teman yang berbaik hati ngasih tokonya untuk aku masukin semua barang-barang jualan. Jadi pagi ini mau langsung bergerak. Ada apa?"
Ardi sedikit terhenyak.
Mau survei tempat aja secantik ini? Patut dicurigai siapa yang telah berbaik hati memberi secara gratis.
"Ada apa Mas ke kamar ini?"
Ze mengulang pertanyaan membuat pikiran Ardi buyar seketika.
"Dimana kamu letakkan baju kerja warna coklat?"
"Di dalam lemari."
"Udah Mas cari nggak ada."
"Ada kok, cari lagi yang benar."
Ardi membuang napas, jam sudah sangat terlambat.
"Bisa kamu bantu cariin nggak?"
Ze berpikir sejenak.
"Yaudah deh."
Dia berjalan lebih dulu hingga sampai di kamar Ardi. Lalu membuka lemari dan dua netranya langsung tertuju pada deretan baju kerja. Ze mengeluarkan seragam yang akan digunakan Ardi hari itu.
"Ini Mas baju kerjanya."
"Lo di bagian mananya kamu letakkan."
"Di situ."
Ze menunjuk ke dalam lemari.
"Perasaan tadi nggak ada."
"Makanya lihatnya hati-hati, Mas."
Tak lagi menunggu Ze memilih keluar dari kamar itu. Ardi hanya memandang dengan perasaan yang tak tergambarkan. Antara rasa malu dan keinginan untuk menahan Ze agar lebih lama di kamar itu.
Ardi lagi-lagi membuang napas. Dia melirik kembali jam, dua netranya membelalak. Dengan segera ia memakai pakaian dan keluar dari kamar.
Tapi tiba-tiba, perutnya berulah. Ardi berjalan ke dapur, satu atau dua suap saja makan nasi semalam. Setelah ini barulah nanti sampai di sekolah dikenyangin, pikirnya.
Tapi ternyata,
"Mas udah makan?" sapa Ze yang ternyata sudah ada di dapur.
"Belum."
"Tadi aku ada masak nasi goreng, ada kok aku sisain untuk Mas jika mau."
Nasi sisa lagi? Ardi membuang napas. Tapi lebih bagus nasi sisa pagi ini daripada nasi semalam?
*
Ardi membuang napas, diluar dugaan hari ini terlambat datang ke sekolah. Upacara pun sudah selesai diberlangsungkan dan anak-anak sudah memasuki kelas masing-masing. Tapi lelaki itu baru memarkirkan mobil di parkiran.
"Kenapa bisa terlambat? Padahal hari ini kamu ditugaskan menjadi pemimpin upacara," tegur Joan, sahabat sekaligus rekan kerja Ardi setelah lelaki berjambang tipis itu memasuki ruangan.
"Semalam begadang, jadi tadi pagi nggak kebangun."
"Iyalah yang lepas kangen setelah berpisah dua hari kemarin. Kalau aku jadi kepala sekolah, begitu mendengar masalah ini aku akan memaklumi kenapa kau terlambat datang."
"Jangan ngaco. Aku bergadang karena ada tugas yang kukerjakan."
Joan hanya tersenyum, sangat paham dengan sifat sahabatnya itu. Paling anti jika disinggung soal rumah tangga.
"Pak Ardi bisa ke ruangan saya sebentar," ucap Bapak kepala sekolah yang tiba-tiba sudah berdiri di depan pintu. Ardi dan Joan saling berpandangan. Detik berikutnya,
"Baik, Pak."
Pak kepala sekolah berlalu.
"Nah lo, pasti kena tegur gegara nggak hadir tepat waktu."
Ardi hanya mencibir ke arah temannya itu dan langkah sang lelaki kini tertuju ke ruangan kepala sekolah.
"Silahkan duduk Pak Ardi," persilah sang kepala.
"Maaf Pak, tadi saya terlambat."
"Iya tidak masalah sekali atau dua. Tapi jika keterusan saya akan memberi surat peringatan."
"Baik, Pak."
Pak Seno sang kepala memang sangat tegas dalam menjaga peraturan. Sebab itu semua guru dan staf sangat hati-hati dalam menerapkan disiplin dan peraturan sekolah.
"Sebenarnya saya memanggil Pak Ardi karena mau membicarakan tentang persiapan Fatih Fair yang akan diadakan dua bulan lagi, Pak."
"Oh iya, Pak."
"Saya memang belum membuat rapat khusus bersama seluruh dewan guru. Justru terlintas niat untuk memanggil Bapak. Jadi begini Pak, untuk Hari H nanti kita 'kan akan pakai baju seragam. Sudah saya pikirkan beberapa tempat untuk memesan seragamnya. Tapi semalam istri saya memberitahu jika istri Pak Ardi juga 'kan jualan dan sering menangani pesanan seragam. Kenapa kita tidak memesan di istri Bapak saja, hitung-hitung mensejahterakan karyawan sendiri. Bagaimana menurut Bapak?"
Ardi terhenyak, jadi sekolah mau memesan seragam pada Ze?
"Tentu boleh, Pak."
"Alhamdulillah, kalau begitu saya minta tolong Pak Ardi langsung menanyakan pada istri Bapak, sekaligus menampakkan seragam yang seperti ini pada beliau. Ini pilihan istri saya dan saya tidak bisa menolak jika sudah dia yang meminta."
Ardi tertegun sejenak. Sebagai seorang lelaki yang sangat sukses, Pak Seno adalah tipe suami setia. Banyak kabar miring yang menimpa beberapa kepala sekolah lain atas skandalnya dengan guru-guru honorer. Namun, beliau termasuk yang bebas dari gosip. Padahal untuk wajah dan tubuh, lelaki yang kini tepatnya berusia kepala lima itu masih terlihat seperti baru berusia empat puluhan tahun.
Ardi merasa iri pada rumah tangga Pak Seno. Dan ingatannya langsung tertuju pada Ze. Tiba-tiba wajah Ze terkenang dalam khayalan.
"Ini Pak Ardi, model seragamnya."
Kepala sekolah menyerahkan selembar kertas pada Ardi. Sang lelaki meraih pemberian itu.
"In Syaa Allah jika sudah pasti ada harganya, rapat akan saya gelar esok hari."
"Baik, Pak. Akan saya tanyakan secepatnya."
Ardi keluar dari ruangan itu, entah kenapa perasaannya bahagia tersebab ada kesempatan untuk terlibat kerja sama bersama Ze.
*
Waktunya istirahat telah tiba, dua jam ke depan Ardi akan bebas karena tidak ada jam mengajar. Ia masih menaruh rasa penasaran yang begitu besar pada Ze. Siapa yang sudah membantu memberi Ze sebuah toko secara gratis? Juga dimana posisi toko yang diceritakan wanita itu pagi tadi?
Akhirnya Ardi pamit keluar.
"Mau kemana Pak Ardi? Sekarang 'kan peraturannya kalau PNS ditemukan berkeliaran saat jam kerja, hukumannya berat."
"Hanya sebentar, saya langsung meluncur ke toko Ze untuk membantu memasukkan barang."
"Oh jadi mau bantu istri ceritanya."
Ardi mengangguk, jujur dalam hati ada yang mendadak menyentak. Masih pantaskah Ze disebut sebagai istrinya?
Dia mengabaikan kekacauan pikiran itu lalu bergegas menaiki mobil. Lekas menghubungi Ze dengan tujuan membicarakan persoalan yang disampaikan kepala sekolah tadi.
Ardi tersenyum kecil, karena hal ini dia jadi punya alasan untuk menghubungi Ze. Baru hendak menekan tombol panggilan, justru ponselnya kemasukan panggilan dari wanita lain.
Seruni?
Dua alis milik lelaki itu bertaut, saat ini dia sedang memendam rasa penasaran pada Ze. Rasanya enggan mengangkat telpon dari Seruni.
Satu panggilan, ia biarkan hingga berakhir dengan sendirinya. Ternyata Seruni kembali menelpon untuk kedua kali.
Ardi membuang napas berat.
***
Bersambung.
Tidak ada ketaatan seorang istri kepada suami, melainkan telah Allah janjikan surga untuknya.***Tiga tahun berlalu begitu cepat. Tak terasa kini di hidupku sudah ada buah cintaku dan Mas Han yang hari ini genap berusia dua tahun. Tak banyak yang berubah, selain kualitas bahagia yang semakin jauh biduk rumah tangga mengarungi semakin bertambah pula kadar rasanya.Aku membelalak menatap test pack bergaris dua yang subuh tadi telah kupakai ini. Antara terkejut dan bahagia, entahlah. Mungkin ini terlalu cepat, tapi dengan penuh kesadaran kuiyakan saat Mas Han membujuk untuk bersedia kembali menambah jumlah keluarga ini.Oya berbicara tentang usaha, kini suamiku dan Abi sukses merintis usaha jual beli mobil klasik. Usaha ini membuat Mas Han tidak lagi mencoba melamar pekerjaan sesuai dengan kemampuannya di luaran sana. Mengingat hasil yang didapat melebihi target yang diperkirakan. Menurutku ini adalah sebuah anugerah untuk keluarga kecil kami ini yang sangat kusyukuri.Sambil menunggu M
Kedua kaki Seruni tiba-tiba kehilangan kekuatan, ia seketika terjatuh ke lantai. Bersyukur, Han dengan segera menangkap dan berhasil mendudukkan ibundanya di atas sofa."Ambilkan segelas teh hangat," pinta Ze pada ART nya."Baik, Bu."Mereka semua mendekati Seruni yang sudah ditidurkan Han di atas sofa."Maaf ya Abi, Umi. Padahal tadi di rumah, Ibu terlihat cukup sehat. Tapi kenapa tiba-tiba jadi pingsan begini, ya?" tanya Han khawatir. Ze dan Ardi terkejut bukan main mendengar ucapan Han tersebut."Dia ibu kandung kamu, Han?" tanya Ze yang masih tak percaya dengan kenyataan tersebut.Sementara Han, tanpa ada perasaan apapun seketika mengangguk yakin. Membuat Ardi dan Ze saling bertatapan."Kapan kamu menemukannya? Dan bagaimana kamu sangat yakin jika dia ibumu?"Ze kembali melempar pertanyaan."Menurut pengakuan Ibu sendiri, Mi. Tapi Han sudah mengirim sampel rambut untuk diuji DNA lagi. Supaya lebih pasti.""Hasilnya udah keluar?"Han menggeleng."Tapi kenapa kamu seyakin itu?"Ze
Seruni menatap Han yang sudah tampak rapi dan ingin memimpin shalat subuh pagi itu, sungguh rasa syukur tak henti ia langitkan kepada Rabb semesta alam. Betapa hal ini tidak terbayangkan dalam pikirannya, tapi Allah telah menjadikan semua itu nyata.Sementara di hadapan, Han menyunggingkan selarik senyum ke arah ibu dan istrinya lalu mengambil posisi di depan. Dia memang bukan lelaki dengan tingkat keimanan yang tinggi, tapi setidaknya Han pernah beberapa kali memimpin shalat saat masih duduk di bangku kuliah dahulu.Usai shalat, mereka membaca doa bersama, dilanjutkan duduk berzikir. Selesai semuanya pukul enam. Han mengajak sang ibu ke taman belakang, sementara Syarifa memilih ke dapur untuk menyiapkan sarapan.Duduk di taman, Han mengajak ibundanya berbicara."Bu, pagi ini aku akan berangkat kerja. Nanti di rumah, Ibu akan ditemani Syarifa. Boleh 'kan, Bu?" tanya Han seraya memegang jemari sang ibu.Seruni menatap snag anak, entah kenapa perasaannya tidak enak."Pergilah, lakukan a
Han berlari memeluk ibundanya. Ada rasa sedih dan haru yang melebur menjadi satu, jika mengingat semenjak lahir tak pernah tahu siapa wanita yang telah melahirkannya ke dunia ini.Tapi Allah Maha Baik, menampakkan semuanya meski waktu telah bergulir sedemikian lama.Kini, ia tak mau lagi kehilangan ibundanya. Setiap waktu, akan ia pergunakan untuk menggantikan semua detik yang telah berlalu. Ia benjanji untuk itu.*Setelah beberapa waktu terlalui, Seruni melerai pelukan lalu ia memerhatikan wajah sang anak dengan seksama. Wanita itu menggerakkan tangannya untuk mengusap wajah Han mulai dari rambut, alis, mata, hidung, pipi lalu membingkai wajah Han dengan kedua tangan yang tampak kotor tak terurus.Dua netra yang sedari tadi berkaca kini menumpahkan cairannya. Isak tangis menghiasi hari paling bersejarah tersebut."Sudah habis cara kuberdoa pada Allah. Tidak lain aku meminta Allah panjangkan umur agar bisa bertemu denganmu, Anakku."Hana kembali memeluk sang Ibu. Seperti halnya Serun
"Seruni?"Degup di dada Han menyentak kuat. Telah lama bahkan setelah kepindahan ke Qatar pun, ia terus mencari keberadlaan ibunya melalui seseorang yang ia percayai untuk hal itu. Tapi sampai detik ini, tak ada kabar apapun yang ia fapatkan.Dan, apa ini? Apa benar dialah wanita yang ia cari selama bertahun-tahun?"Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki?"Han kembali melempar pertanyaan untuk mematahkan tanya dalam hatinya. Sementara itu, wajah Seruni seketika tertuju Han."Kenapa kamu bertanya sangat detail tentang hidup saya? Apakah penting untukmu?""Penting Bu. Sangat penting, tolong jawab dengan jujur. Apa Ibu pernah melahirkan seorang anak lelaki ke dunia ini?"Seruni yang merasa pertanyaan itu menganggu ketenangan batinnya, mencoba memaksakan diri untuk menjawab."Iya, pernah.""Apa Ibu melahirkan anak itu di penjara?"Dua netra Seruni melotot, lalu menunduk. Ia terdiam beberapa waktu."Bu."Sentuhan tangan Han di pundaknya membuat Seruni tercekat."Iya."Seruni tampak
Udah siap mandi ya, Bi?" tanya Ze pada suaminya yang baru keluar dari kamar mandi."Udah Sayang, kenapa?""Tolongin Umi bentar. Pasang kancing bagian belakang ini."Ze menunjuk punggungnya. Dia kini memakai gamis dengan model kancing di belakang."Iya, Sayang. Bentar, ya."Abi meletakkan handuk pada gantungan dan berjalan mendekati sang istri. Ia mengepaskan dua sisi baju Ze yang terbuka untuk memudahkan mengancingnya. Tapi pemandangan di depan mata, membuatnya berhenti bergerak."Kok nggak dikancing, Bi?" tanya Ze melihat suaminya tak melakukan apa yang dia pinta."Nggak, Abi cuma sedang mengagumi kemulusan kulit istri Abi ini."Ze tersenyum melihat suaminya suka sekali memuji padahal usia sudah tak lagi muda."Pandainya Abi merayu, ayo katakan Abi pengen apa?""Abi nggak sedang merayu, Sayang. Kenyataannya memang begitu."Sang suami sudah selesai memasang kancing. Dia kini memeluk sang istri dari belakang."Coba Umi lihat wajah di cermin."Pandangan mereka saling bertemu pada cermin