Aku mencoba berdiri sekuat tenaga. Sungguh kasihan, melihat Rahma yang terus merintih kesakitan. Tapi, entah, rasa hambar itu kembali menggelitik hati. Pikiranku kalut, masih membayangkan Salma dengan wajah teduhnya. "Menolehlah Salma! Lihat aku! Lihat!!!Aku gak akan rela jika kamu pergi, sayang!" gumamku sambil menahan air mata, bukti kelemahanku sebagai lelaki. Namun, Salma tidak mungkin mendengar rengekanku lagi. Dia tidak menoleh sedikitpun padaku. Itu artinya, rasa cinta dan sayangnya telah pudar. Rasa ibanya pun telah hilang. Sebenarnya, ingin sekali aku mengejarnya. Tapi, tidak mungkin juga aku meningglkan Rahma. Bahaya sedang mengancam keselamatan dirinya. Bukan hanya dia, tapi calon anakku. "Mas, Mas! cepat bawa aku ke rumah sakit!"suara Rahma menyadarkanku yang terus memandangi langkah Salma dan papa yang terus menghilang beserta bayangan mereka. Kuhela napas panjang, menelan saliva dalam-dalam. Kuhampiri wanita yang telah menjadi istri sirriku selama dua tahun ini
Bulir bening hampir saja terjun dari kelopak mata Salma. Ia berusaha menahan sekuat tenaga agar rintihan kesedihan itu tidak jatuh setetes pun. Baginya, tidak ada lagi tetesan-tetesan air mata untuk lelaki yang telah berkhianat.Wanita bergamis hitam itu terus berjalan tanpa menghiraukan suaminya. Melangkah dengan memegang erat tangan Sang Papa."Jangan goyah, Salma! Kamu harus memberi pelajaran pada pria yang tak tahu diri."Bisikan itu menguatkan Salma hingga menjauh dari Tama.Awalnya, tidak ada keinginan dalam hati Salma untuk mengikuti kemana suaminya pergi. Dia berniat membiarkan Tama benar-benar keluar dan pergi sejauh mungkin dari rumah. Namun, hati kecilnya menjerit, hingga menarik tubuhnya agar segera beranjak membuntuti lelaki yang telah menemaninya hampir sepuluh tahun itu, demi membuktikan rasa penasaran dan kekecewaan yang terus menembus keakar-akar hati.Terisak sambil mengendalikan kemudi. Tangisannya semakin menjadi ketika dia menyaksikan ekspresi suaminya yang keli
Kuusap wajah yang sedikit berminyak sambil mendesah kasar. Perasaan semakin tak karuan. Marah pada diri sendiri yang terlanjur terjebak dalam keadaan rumit seperti ini. Sungguh, apa yang terjadi tidak sesuai dengan harapan dan rencana. Kini semua telah kandas.Bagaimana bisa, ibu sudah mengetahui semuanya? Mati-matian kusembunyikan identitas Rahma. Tapi, tetap saja akhirnya terbongkar. Papa mertua, ibu, semua sudah tahu. Jadi, sebenarnya siapa yang memberitahu mereka? Salma? Ah, tidak, tidak mungkin. Dia bukan orang seperti itu. Perasaan dan otakku semakin tidak sinkron. Menerka-nerka siapa provokator dibalik semua ini. Sekarang, yang menjadi masalah paling utama, Ibupun tidak mau membantuku. Bagaimana dengan orang lain? Ibu kandung saja sudah tidak peduli padaku, apalagi orang lain. Argghh!"Pak, pak, maaf pak!" panggil salah satu petugas bagian informasi membuyarkan lamunanku. "Ah, i- iya bu, maaf!" jawabku terbata. Akalku nyaris hilang, tak mampu mengendalikan suasana hati.
"Tamu papa?""Ya, kamu duduk saja temenin ibu mertuamu!"Papa berlalu meninggalkan Salma dan Firda di ruang makan."Siapa tamu papa malam-malam begini?" tanya hati Salma sambil kembali melangkah untuk duduk di kursi makan. "Nak, maafkan ibu, ibu tidak bisa mendidik Tama, karena Tama hidupmu jadi hancur!" Pecah tangis wanita tua itu kembali menggema. Dia seperti tidak mampu menerima kenyataan. Mengulang kata-kata yang membuatnya terus menangis. Perlahan aku mendekat, menenangkannya. "Sudah, Bu! Insya allah Salma baik-baik saja. Sekarang ibu makan ya!" Salma menyodorkan sesendok nasi dengan sayur bening kesukaan Firda. "Nak!"Firda menatap Salma penuh kasih sayang. Memang dia sangat menyayangi salma sejak awal bertemu. Selain sudah tidak punya ibu, Salma pun pandai mencuri hati ibunya Tama, sampai akhirnya mereka sangat dekat bak ibu dan anak kandung. Salma mengangguk pelan dan tersenyum pada Sang Ibu, lalu segera memasukan sendok itu pada mulut wanita tua itu. Selesai menyuap
"beres bos!"Kudengar percakapan Rio dengan lawan bicaranya di telepon. Aku sedikit curiga, dengan siapa dia berbicara? Sampai-sampai mengangkat telepon saja menjauh. Seharusnya kalau membahas soal bisnis, ya santai saja. Aku juga tidak akan ikut campur soal bisnisnya. Rio terkekeh menghampiriku. "Sorry bro! biassaa, bisnis." Aku hanya tersenyum kecut mambalasnya. Dari tingkahnya saja seperti ada sesuatu yang direncanakan. Cengar-cengir tidak jelas, seperti menyembunyikan sesuatu. Tapi, itu bukan urusanku. Yang terpenting sekarang aku harus segera mendapatkan uang dari hasil penjualan mobilku, untuk makan dan membayar biaya perawatan Rahma. "Gimana? Deal kan?" tanyaku cepat, karena aku sudah harus kembali melihat kondisi Rahma. " Oke deal, 50% gua bayar sekarang!""Oke!"Lalu dia menyodorkan uang tujuh puluh lima juta rupiah padaku. Setelah mendapatkan uang itu, aku segera mencari ojek untuk mengantarku ke klinik. "Gua antar ya, bro?" tawar Rio padaku. "Ah, nggak usah, gua
Salma mencoba menekan tombol power pada ponsel itu. "Jangan diaktifkan!" sergah lelaki paruh baya itu. Salma hanya mengernyitkan kening. Kenapa dia tidak boleh mengaktifkan ponselnya? Rahasia apa yang sebenarnya ada dalam ponsel itu? Bukannya sebagai penggugat wajib tahu apa saja barang bukti yang akan dipakai untuk sidang perceraian nanti? "Memangnya kenapa, Pa? Kan Salma juga wajib tahu barang buktinya apa saja, papa saja sudah tahu. Masa Salma nggak boleh tahu."Salma bersikukuh menyalakan ponsel itu. Papa mengehela napas pasrah. Bukan dia pelit. Dia hanya takut, anak perempuannya mengetahui semua video yang ada di dalam galeri ponsel milik Rahma itu. "Sayang, papa hanya nggak mau kamu sakit hati lagi melihatnya!"Papa berusaha mencegah Salma untuk tidak membuka galeri. "Tidak pa, Salma kan udah bilang, insya allah Salma kuat. Papa tenang saja!"Setelah ponsel berbunyi tanda menyala, Salma segera membuka aplikasi yang menurutnya sangat penting. Watsapp, dia membuka semu
"Teh...Teh Salma!" Suara parau seseorang memanggilnya lemah membuat langkah Salma terhenti. Sedetik kemudian, dia menoleh. Rahma, Ya, Rahma telah berdiri di depan pintu kamar pasien dengan selang infus yang masih menempel. Hari ini ketegaran Salma terbukti. Meski dia membenci suami dan wanita simpanannya itu, tapi dia tak memperlihatkan kebencian itu pada mereka. Wanita bergamis ungu itu berjalan dengan tegak menghampiri mereka. Salma tertegun melihat dua insan yang terlihat lemah di hadapannya. Meski pada hakikatnya seharusnya dia yang paling lemah disini, karena dia lah yang paling tersakiti. Namun, dia tak memperlihatkan kelemahan di depan mereka. kekuatan telah mendominasi dalam dirinya. "Tidak ada wanita yang kuat, kecuali dia yang berdiri tegak dan menyembunyikan air mata di hadapan pria yang telah mengecewakannya."Begitu pesan Papa yang selalu Salma ingat. "Perempuan kuat adalah perempuan yang mampu bertahan dan bangkit ketika terpuruk. Bukan hanya menangis lemah dan mer
"Tidak, kamu tidak berhak masuk ke dalam rumah ini lagi. Kamu telah menjadi anak durhaka dan lebih pantas di penjara.""Ibu?"Tama terperanjat, menyaksikan ibu yang tiba-tiba keluar dari rumah Salma."Tolong ampuni Tama. Tama menyesal, Bu." "Tidak ada penyesalan yang terletak diawal, apalagi melakukan sesuatu yang tanpa kau sadari itu adalah dosa. Dibmana otakmu ? Di mana nuranimu, Tama?" Firda berbicara dengan gemetar. Dia menggertakkan gigi, tak mampu menahan amarah dan kesedihan yang menyatu. Dia merasa telah gagal menjadi seorang ibu. Gagal mendidik anak lelaki satu-satunya. "Ibuuu,, ampuni Tama! Tama janji akan menerima semua hukuman yang dijatuhkan. Tapi, Tama tidak ingin berpisah dengan Salma."Tama bersimpuh di kaki Firda yang nyaris terjatuh. Namun wanita yang sudah berkeriput itu tidak goyah. Dia tetap membuang pandangannya. Ia menahan bulir bening agar tidak terjun lagi. Air matanya telah habis tumpah ruah sejak mengetahui kelakuan anaknya. Kali ini, air mata itu tel