Bab 36
Bu Farah nampak sibuk di kamarnya. Jari jemarinya begitu lihai mengutak-atik layar pipih di tangan. "Tahu rasa kau Kiara!" Perempuan paruh baya itu senyum-senyum sendiri sambil mengirimkan sebuah undangan pernikahan antara Celine dan Galih dalam bentuk undangan digital. Bu Farah cukup bangga dengan video dalam undangan tersebut yang di desain sedemikian rupa cantiknya. "Huuh ... Kiara biar kau jantungan ketika tahu bahwa kau akan dimadu tanpa bisa kau elak. Supaya kau sadar bahwa tidak sulit bagi Galih untuk membuangmu ke tong sampah. Sedangkan Kiara, mana ada laki-laki yang ingin menikahi wanita polos dan kampungan kayak dia. Palingan juga dapat orang-orang dari kalangan pinggiran. salahmu sendiri mengapa tidak mau patuh pada keluargaku,' batin Bu Farah. &Bab 37 Siang hari menjelang, aku menghampiri ruang kantor Papa. ada suatu hal yang mendorongku untuk meminta pendapat beliau. "Non Kiara, Pak Alfath sedang kedatangan tamu penting dari perusaaan lain. Tapi baiklah aku akan mencoba mengatakan pada beliau, bahwa Non Kiara ingin menemuinya," ucap Aldi, asisten pribadi Papa. "Ah tidak usah, tidak usah. Nanti saja. Biarkan mereka bicara, mungkin saja mereka sedang berdiskusi soal masalah penting," sahutku cepat. Aku tak ingin mengganggu kinerja Papa. Kulirik jam tangan Hermes yang melingkari pergelangan tanganku, ternyata hari sudah menunjukkan waktunya untuk makan siang. Kuputuskan untuk bersantap siang di sebuah kafe khusus area kantor. Entahlah menu lobster sangat menarik seleraku hari ini. Sembari berjalan, aku m
Bab 38 Di sebuah klinik swasta dengan dokter kandungan yang sudah tidak diragukan lagi kualitasnya, Kiara merasakan perutnya semakin mulas. Sudah beberapa jam yang berada dalam ruangan klinik bersalin tersebut. Bu Aliyah, ibunda Kiara tidak puas-puasnya memberikan dorongan semangat kepada sang putri. Menguatkan hati Kiara supaya tidak lemah, meski melahirkan dalam kondisi tanpa kehadiran suami. Sebagai sesama wanita, Bu Aliyah bisa merasakan apa yang ada dalam benak anak perempuan semata wayangnya. Dimana seharusnya dalam kondisi seperti Kiara saat ini, seorang wanita membutuhkan dampingan, dan perhatian penuh dari seorang suami. "Yang kuat ya, Nak. Mama yakin kamu bisa menghadapi semuanya. Berprinsiplah bahwa kau akan lebih kuat apabila kekuatan itu berasal dari dalam dirimu sendiri, bukan dari orang lain. Di sini Mama akan selalu ada untukmu," uca
Bab 39 "Apa ..? Kau memberiku kado? Kado apa?" Tanya Galih seperti orang linglung. Sedang mulutnya berbicara, pandangan matanya masih harus memperhatikan sosok Kiara yang sama sekali tidak seperti yang ia kenal selama ini. "Tak perlu aku menjelaskan padamu apa isinya! Nanti kau bisa cek sendiri!" Jawab Kiara terkesan biasa namun menyiratkan arti yang dalam. "Kiara, kau ... Kau sudah melahirkan? Mana bayinya? Mana anakku?" Galih berujar ketika tersadar jikalau perut Kiara tak lagi membuncit. Spontan ucapan itu membuat Kiara jijik. "Kau tidak pantas di sebut ayah untuk bayiku!" jawab Kiara. "Jangan bilang begitu Kiara. Walau bagaimanapun, anak yang kau lahirkan merupakan darah dagingku juga," ucap Galih. Sesungguhnya, penampilan dan kecantikan Kiaralah yang menaklukk
Bab 40 "Kiara? Kiara? Mengapa ada namanya Kiara di sini? Tidak ...! Ini pasti surat rekayasa," "Tapi ... Tapi stempel ini ... Asli dari perusahaan, apa mungkin seseorang seperti Kiara bisa berbuat sejauh ini ...?" Galih bicara kebingungan, tidak percaya dan gelisah berbaur menjadi satu. "Mas ...! Aku tidak percaya surat ini ...!" sergah Celine cepat. "Sebentar, sebaiknya kita beritahukan sama ibu!" ujar Galih. Pria itu berjalan dengan cepat menemui sang ibu. "Bu ...!" "Ya, ada apa lagi, Galih?" sahut Bu Farah jutek. "Coba Ibu lihat surat ini," Galih mendekat dengan nafas setengah ngos-ngosan. "Surat apa memangnya?" "Surat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan, Bu ...!" Ucap Galih dengan bingung t
Bab 41 "Sejak kapan saya di pecat? saya tidak pernah memintamu untuk menggantikan posisiku, jangan sembarangan bicara ya," Galih yang baru saja tiba tersulut emosi. "Aku tidak sembarangan bicara justru yang aku katakan adalah suatu kebenaran. Untuk apa aku datang ke kantor ini kalau cuma untuk berbohong?" Imbuh pria itu dengan bersungguh-sungguh. Galih semakin bingung. Di samping kebingungannya emosi juga turut menggebu. "Tidak bisa begitu! Aku sudah bertahun-tahun bekerja di kantor ini. Selama itu pula tidak ada satupun seseorang yang berani bicara padaku seperti kamu. Terlebih-lebih menggantikan posisiku. Anda tidak bisa bicara seenaknya terhadap saya!" Galih membentak-bentak tidak karuan. Tingkah Galih membuat geleng-geleng kepala lelaki yang diajak bicara. "Maaf Pak, saya sebagai karyawan baru di sini, mohon jangan memb
Bab 42 "Pak, rasanya Bapak tidak pantas berucap seperti itu kepada Kiara!" Lelaki itu angkat bicara. "Tidakkah Anda punya rasa menghargai terhadap wanita?" Darah galih kian mendidih mendengar laki-laki asing tersebut. "Apa pedulimu! Memangnya siapa kau? Sampai berani ikut campur masalahku bersama wanita jalan ini!" jawab galih kasar. Emosi Galih semakin naik melihat adanya orang yang turut campur dengan pembicaraan mereka. "Dia rekan kerjaku Galih!" Sebuah suara keras menyapa dari belakang. Galih menoleh. Melihat siapa yang datang, spontan Galih menundukkan kepala dan membukukkan tubuh. "Maaf Pak AlFath, bukan maksud saya untuk berbicara kasar! hanya saja saya menyayangkan Bapak jikalau terlalu percaya kepada perempuan ini!" ucap Ga
Bab 43 "Buat apa kamu minta maaf sekarang! Sudah lama kau dan keluargamu menyakiti putriku," ucap Pak Alfath. "Sekarang saya sadar, saya akui saya salah. Mohon Pak, maafkan kami! Saya mewakili keluargaku," ucap Galih dengan air mata menetes ke pipi. sungguh sesuatu perilaku yang tidak pantas dilakukan oleh seorang laki-laki. "Tutup mulutmu!" Sambar Pak Alfath cepat. Galih terdiam. Sejenak ruangan itu hening. "Astaga ...!" Tiba-tiba Kiara menjerit sambil menepis-nepus pundaknya. Seekor makhluk kecil merayap-rayap di sana. Rupanya seekor kecoa sedang merayap di pundak Kiara. Galih tahu, bahwa binatang serangga itu memang merupakan binatang yang di takuti oleh Kiara. Dengan ragu, Galih mencoba untuk m
Bab 44 Mendengar ucapan Celine galih yang tadi baru saja ingin beranjak mengurungkan niatnya. Langkah kakinya berhenti. "Apa maksudmu bicara begitu, Celine?" Tanya Galih. "Telingamu kan tidak tuli. Aku yakin kau dengar apa yang aku katakan barusan," jawab Celine ketus dan sinis. "Celine, telingaku memang tidak tuli. Oleh karena itu aku memberitahumu bahwa tidak seharusnya kamu membanding-bandingkan perhatian yang kuberikan sama ibu dan kamu," ucap Galih. "Apa ...? Harus lah mas! Kalau kau masih tetap mengutamakan ibumu di segala situasi, maka seharusnya dulu kau tidak perlu menikahiku. Hidup saja kau sama ibu dan saudari perempuanmu! Kau tahu, sebagai seorang istri aku berhak menuntut perhatian lebih darimu. Karena aku adalah masa depanmu. Kalau kau berani macam-macam, Aku tidak akan segan-segan untuk membuangmu. D