Bab 40
"Kiara? Kiara? Mengapa ada namanya Kiara di sini? Tidak ...! Ini pasti surat rekayasa,"
"Tapi ... Tapi stempel ini ... Asli dari perusahaan, apa mungkin seseorang seperti Kiara bisa berbuat sejauh ini ...?" Galih bicara kebingungan, tidak percaya dan gelisah berbaur menjadi satu.
"Mas ...! Aku tidak percaya surat ini ...!" sergah Celine cepat.
"Sebentar, sebaiknya kita beritahukan sama ibu!" ujar Galih.
Pria itu berjalan dengan cepat menemui sang ibu.
"Bu ...!"
"Ya, ada apa lagi, Galih?" sahut Bu Farah jutek.
"Coba Ibu lihat surat ini," Galih mendekat dengan nafas setengah ngos-ngosan.
"Surat apa memangnya?"
"Surat pemutusan hubungan kerja dari perusahaan, Bu ...!" Ucap Galih dengan bingung t
Bab 41 "Sejak kapan saya di pecat? saya tidak pernah memintamu untuk menggantikan posisiku, jangan sembarangan bicara ya," Galih yang baru saja tiba tersulut emosi. "Aku tidak sembarangan bicara justru yang aku katakan adalah suatu kebenaran. Untuk apa aku datang ke kantor ini kalau cuma untuk berbohong?" Imbuh pria itu dengan bersungguh-sungguh. Galih semakin bingung. Di samping kebingungannya emosi juga turut menggebu. "Tidak bisa begitu! Aku sudah bertahun-tahun bekerja di kantor ini. Selama itu pula tidak ada satupun seseorang yang berani bicara padaku seperti kamu. Terlebih-lebih menggantikan posisiku. Anda tidak bisa bicara seenaknya terhadap saya!" Galih membentak-bentak tidak karuan. Tingkah Galih membuat geleng-geleng kepala lelaki yang diajak bicara. "Maaf Pak, saya sebagai karyawan baru di sini, mohon jangan memb
Bab 42 "Pak, rasanya Bapak tidak pantas berucap seperti itu kepada Kiara!" Lelaki itu angkat bicara. "Tidakkah Anda punya rasa menghargai terhadap wanita?" Darah galih kian mendidih mendengar laki-laki asing tersebut. "Apa pedulimu! Memangnya siapa kau? Sampai berani ikut campur masalahku bersama wanita jalan ini!" jawab galih kasar. Emosi Galih semakin naik melihat adanya orang yang turut campur dengan pembicaraan mereka. "Dia rekan kerjaku Galih!" Sebuah suara keras menyapa dari belakang. Galih menoleh. Melihat siapa yang datang, spontan Galih menundukkan kepala dan membukukkan tubuh. "Maaf Pak AlFath, bukan maksud saya untuk berbicara kasar! hanya saja saya menyayangkan Bapak jikalau terlalu percaya kepada perempuan ini!" ucap Ga
Bab 43 "Buat apa kamu minta maaf sekarang! Sudah lama kau dan keluargamu menyakiti putriku," ucap Pak Alfath. "Sekarang saya sadar, saya akui saya salah. Mohon Pak, maafkan kami! Saya mewakili keluargaku," ucap Galih dengan air mata menetes ke pipi. sungguh sesuatu perilaku yang tidak pantas dilakukan oleh seorang laki-laki. "Tutup mulutmu!" Sambar Pak Alfath cepat. Galih terdiam. Sejenak ruangan itu hening. "Astaga ...!" Tiba-tiba Kiara menjerit sambil menepis-nepus pundaknya. Seekor makhluk kecil merayap-rayap di sana. Rupanya seekor kecoa sedang merayap di pundak Kiara. Galih tahu, bahwa binatang serangga itu memang merupakan binatang yang di takuti oleh Kiara. Dengan ragu, Galih mencoba untuk m
Bab 44 Mendengar ucapan Celine galih yang tadi baru saja ingin beranjak mengurungkan niatnya. Langkah kakinya berhenti. "Apa maksudmu bicara begitu, Celine?" Tanya Galih. "Telingamu kan tidak tuli. Aku yakin kau dengar apa yang aku katakan barusan," jawab Celine ketus dan sinis. "Celine, telingaku memang tidak tuli. Oleh karena itu aku memberitahumu bahwa tidak seharusnya kamu membanding-bandingkan perhatian yang kuberikan sama ibu dan kamu," ucap Galih. "Apa ...? Harus lah mas! Kalau kau masih tetap mengutamakan ibumu di segala situasi, maka seharusnya dulu kau tidak perlu menikahiku. Hidup saja kau sama ibu dan saudari perempuanmu! Kau tahu, sebagai seorang istri aku berhak menuntut perhatian lebih darimu. Karena aku adalah masa depanmu. Kalau kau berani macam-macam, Aku tidak akan segan-segan untuk membuangmu. D
Bab 45 "Galih, jangan main-main dengan ucapanmu! Bagaimana mungkin Kiara adalah putri dari Pak Alfat?" Bu Farah bertanya tidak percaya. "Buat apa aku bohong? Ibu tahu selama ini hanya ibu lah tempatku bercerita dan berkeluh kesah. Sekarang Galih ingin bertanya, bagaimana kira-kira pendapat ibu?" Bu Farah tidak langsung menjawab. Sepertinya pikiran wanita itu masih saja merasa shock dan terkejut dengan kenyataan yang baru saja diceritakan oleh anak laki-laki satu-satunya tersebut. "Aduh Galih, sepertinya ibu belum bisa bicara sekarang," Bu Farah nampak bingung. "Sebentar, kalau boleh tahu bagaimana ekspresi yang ditunjukkan oleh Kiara padamu? Kira-kira masih adakah rasa suka ataupun rasa cintanya padamu?" Selidik Bu Farah. "Aku tidak bisa menebak dan meramal hal itu, Bu!" jawab Galih.
Bab 46 Galih yang merasa pusing dengan ulah ibunya akhirnya berjalan menjauh sambil mengacak-acak rambut. "Ck ... ck ... ck... Anak keras kepala!" Bu Farah geleng-geleng kepala melihat aksi Galih. Entahlah apa yang dipikirkan oleh perempuan paruh baya itu. Langkah kaki menuju ke kamar dan menghempaskan tubuhnya ke ranjang dengan kasar dan nafas yang berat. "Ada-ada saja masalah yang semakin membuat pikiran saya kusut. Yang satu belum kelar malah ditambah dengan masalah yang lain," "Ibu, mengapa beliau tidak bisa berpikir panjang. Nasib, nasib. Mengapa ibu tidak mengerti keadaan sih?" Galih berbicara sendiri menyesali perbuatan Bu Farah yang dianggapnya kekanak-kanakan. Tok ... tok ... tok ... Suara pintu diketuk. Galih tidak begitu peduli. "Itu sudah pasti ibu. Mau
Bab 47 "Apa ...? Ibu simpan di rekening Celine?" Galih berucap menganga tidak percaya. Bu Farah bingung mau menanggapi dengan cara bagaimana. "Tenang! kamu tenang saja, Galih. Ibu yakin Celine bisa menghabdle uang itu dengan cara yang tepat. Bukankah dia adalah istrimu? Dia istri yang baik. Lihat saja, belum begitu lama ia menjadi istrimu, dia sudah bisa membuatmu merasakan kebahagiaan dan rasa nyaman. Sedangkan Kiara dulu, tidak pernah," ujar Bu Farah. "Iya tapi kita rugi besar, Bu. Coba kalau dulu saya tidak bercerai dari Kiara. Sudah pasti hidup kita akan jauh lebih baik. Ayahnya Kiara orang terpandang. Banyak warisan. Mereka orang-orang kaya," tutur Galih. "Hmm ...," Bu Farah tidak langsung menjawab. Beliau nampak berpikir dengan mata memandang ke langit-langit. "Kalau saja Kiara
Bab 48"Ibu ...!" Galih mendelikkan mata. "Pak Alfath yang mana?" wanita itu kebingungan. "Maaf, Bu. Ini saya, suaminya Kiara!" Galih menjelaskan. "Kiara ...? Kiara yang mana lagi?" Wanita paruh baya itu kebingungan. "Sebentar, sebentar. Dulu, sejak pacaran sama Kiara, yang aku tahu Kiara tinggal di sini. Belakangan aku baru tahu jikalau Kiara adalah putri dari pak Alfat ...," "Oooh ... Kiara putrinya Pak Alfath," wanita itu mengangguk-anggukkan kepala. "Maaf, saya bukan siapa-siapanya Kiara. Kebetulan rumah ini baru saja saya beli dari Bu Ratih, asisten rumah tangganya Pak Alfath," "Haaa...? Bu Ratih Asisten Pak Alfath? Bukannya dulu Kiara hanya hidup numpang sama Bu Ratih ...?" ujar Galih terheran-heran. "Huusst... Jangan sembarangan bicara!