Gaun satin merah darah membalut tubuh Adhara dengan sempurna malam itu. Ia melangkah percaya diri memasuki ballroom hotel bintang lima, tempat pesta digelar. Musik jazz mengalun lembut, para undangan menyesap anggur dalam gelas kristal, dan lampu gantung berkilau seperti permata. "Lihat, itu Adhara. Aku kira dia sudah tidak berani muncul karena malu," cibir salah satu tamu wanita. "Dia bermuka tebal," sahut yang lain dengan pandangan menyepelekan. Adhara tak peduli dengan pandangan orang lain, ia tetap berjalan anggun di depan mereka. Pesta ini bukan sekadar perayaan, tapi ajang pertemuan orang-orang penting industri perfilman. Sang tuan rumah adalah teman lama Aries Bagaskara, sekaligus salah satu produser veteran yang masih punya pengaruh besar. Di sudut ruangan, berdiri seorang pria dengan setelan hitam yang tak asing lagi—Gallen. Dikelilingi beberapa investor, ekspresinya tetap kalem meski terlihat tak menikmati suasana. Sebenernya Gallen malas bersosialisasi hanya untu
Malam itu, hujan turun gerimis saat Titan membuka pesan masuk dari Bulan. Tak ada kata, hanya sebuah file video. Tangannya sempat gemetar sebelum menekan tombol play. Di layar, rekaman dari kejauhan menunjukkan sosok bertopi hitam dan hoodie gelap sedang mendekati alat pengaman yang akan digunakan Titan untuk adegan melompat. Titan menahan napas saat sosok itu terekam sedang memotong sesuatu—tali pengaman. Meski wajahnya tak tampak jelas, detail dari tubuh pria itu tertangkap saat hoodienya sedikit tersingkap. Sebuah tato berbentuk sayap kecil di sisi punggung kirinya terlihat samar. Mata Titan membelalak. Esoknya, Titan pulang syuting tanpa memberitahu siapa pun, dan langsung menuju kantor Gallen. Ia muncul tiba-tiba di depan meja resepsionis, mengejutkan dua wanita yang berdiri di balik meja dan staf lain. Salah satu dari mereka buru-buru mengabari Hamal. Hamal menjemput Titan dari lobi, mengantarnya ke ruangan kerja Bos-nya. "Kenapa tidak langsung naik ke atas?" tanya Hamal
Sudah berminggu-minggu sejak insiden jatuhnya Titan dari ketinggian. Gallen belum juga menemukan titik terang. Namun, hatinya sudah mencurigai satu nama yang tak asing baginya—Adhara. Meskipun dugaannya mengarah kuat pada gadis itu, Gallen tak bisa gegabah. Semua bukti yang ia temukan selalu berujung buntu. Tak ada rekaman kamera, tak ada saksi, dan alat pengaman yang rusak pun sudah dibuang secara misterius sebelum bisa diperiksa secara menyeluruh. "Adhara terlalu bersih. Terlalu cerdik," gumam Gallen sambil menatap layar laptopnya yang penuh dengan data investigasi dari Hamal. "Anda yakin dia pelakunya?" tanya Hamal saat itu, memecah keheningan. "Yakin. Tapi aku belum bisa membuktikannya. Semua bukti menghilang atau memang tidak pernah ada. Dan kalau aku bertindak sekarang, hanya akan memperkeruh semuanya. Aku harus menunggu saat yang tepat." Di sisi lain, Titan perlahan mulai pulih. Luka di tubuhnya belum sembuh sepenuhnya, namun ia bersikeras kembali ke lokasi syuting. Pih
Di tengah padatnya penyelidikan bersama Hamal, Gallen tetap menyamaratakan prioritasnya—Titan. Ia tak bisa lagi diam. Semua kejanggalan harus diselidiki, dan Jupiter—aktor pendatang baru yang sangat mirip dirinya—menjadi titik awal. Gallen diam-diam menyuruh tim internal agensinya untuk mencari tahu latar belakang Jupiter. Terlalu bersih. Terlalu sempurna untuk seseorang yang baru muncul. "Kamu yakin dia bukan aktor lepas?" tanya Gallen pada Hamal. "Yakin, Bos. Tapi dia masuk lewat casting khusus, yang salah satu sponsornya punya hubungan dengan Aries Bagaskara," jawab Hamal, tajam. Mata Gallen menyipit. "Adhara." Sementara itu, Titan tengah mencoba menikmati masa cutinya bersama Galaksi dan Giselle. Malam itu mereka sepakat pergi karaoke, melepas stres. Tawa dan suara sumbang mereka mengisi ruangan. Titan bahkan menyanyikan lagu rock dengan ekspresi dramatis yang membuat Galaksi terguling tawa. "Dewi Titan, ternyata kamu tidak hanya jago akting," ujar Galaksi sambil memeg
Satu minggu setelah kejadian tragis di lokasi syuting, Titan akhirnya muncul kembali di hadapan publik. Ia mengenakan blazer putih lembut dan blouse hitam elegan, duduk di ruang konferensi pers yang dipenuhi wartawan dan kamera yang siap merekam tiap katanya. Meski masih tampak pucat, sorot matanya tegas. Senyumnya lembut, tapi menyiratkan keteguhan. "Pertama-tama," ucap Titan, "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua doa dan dukungan. Aku sangat bersyukur bisa pulih secepat ini." Seseorang dari media mengangkat tangan. "Dewi Titan, publik menduga kejadian itu bukan kecelakaan biasa. Apakah Anda punya komentar?" Titan tersenyum, tenang. "Aku memahami kekhawatiran itu. Tapi setelah berbicara dengan tim produksi dan pihak-pihak terkait, kami sepakat bahwa itu adalah kecelakaan kerja. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan." Seketika ruangan dipenuhi kilatan kamera dan bisik-bisik. Namun Titan tetap tenang. Ia tidak ingin membuat keadaan semakin panas. Ia tahu, jika ia men
Bulan berdiri mematung di depan kamar rawat VIP rumah sakit tempat Titan dirawat. Dari balik kaca, ia bisa melihat tubuh Titan yang terbaring lemah dengan infus menempel di tangan dan perban di beberapa bagian tubuh. Gadis itu tampak tak sadarkan diri, wajahnya pucat… rapuh. Ada perasaan aneh menyelinap dalam dada Bulan. Di satu sisi, ia pernah berharap Titan tersingkir dari dunia hiburan. Tapi saat keinginan itu seolah terkabul… mengapa dadanya terasa sesak? "Harusnya aku senang… kenapa malah begini," gumamnya pelan. Ia hanya berdiri sebentar, sekadar memastikan Titan masih hidup, sebelum perasaan bersalah mulai menggerogoti nuraninya. Tangan yang memegang tas terasa dingin. Video dalam ponselnya terus berputar dalam kepalanya. Ia tahu, jika video itu sampai ke tangan yang tepat… semuanya bisa berubah. Tiba-tiba suara langkah tergesa membuatnya tersentak. Bulan melihat Galaksi. Panik, Bulan langsung menarik masker dan topinya lebih rendah menutupi wajah, lalu buru-buru berb
Setelah liburan singkat bersama Gallen, Titan kembali menyapa dunia hiburan dengan energi baru. Ia menerima tawaran film dari rumah produksi ternama, dan namanya kembali mencuat sebagai salah satu aktris paling diperhitungkan. Yang tidak Titan tahu, di balik layar, Adhara sedang bermain api. Sebagai anak dari Aries Bagaskara—produser kuat di balik banyak film besar—Adhara punya cukup kuasa untuk mengatur beberapa hal, termasuk menyusupkan satu nama ke dalam daftar cast film baru Titan. "Pilih dia untuk jadi pemeran pendukung," ucap Adhara pada asisten produksi, sambil menyerahkan foto seorang pria. "Tapi Mba, pria ini kan...?" "Lakukan saja apa yang ku perintahkan. Kalau tidak... kamu tahu akibatnya!" Ancaman Adhara membuat sang asisten produksi tak berkutik. Dia punya kuasa, apapun bisa dilakukan. Akhirnya orang itu menurut. Lokasi syuting film terbaru Titan kembali ramai. Kamera, lampu-lampu besar, dan suara aba-aba sutradara menciptakan atmosfer sibuk yang akrab bagi
Kesibukan Titan sebagai aktris tengah memuncak. Ia baru saja menyelesaikan adegan film terakhir bersama Rigel. Hari itu, langit senja menggantung dengan rona oranye yang hangat, dan tubuh Titan terasa lelah namun puas. Para kru memberikan tepuk tangan saat sang sutradara mengumumkan wrap up. Titan tersenyum tulus, membungkuk dalam, mengucapkan terima kasih kepada semua yang terlibat. Setelah perpisahan dengan para kru, Titan memilih tidak langsung pulang ke apartemennya. Kakinya membawanya ke tempat yang sudah lama menjadi pelariannya—apartemen Gallen. Ia masih menyimpan kunci cadangan yang pernah diberikan Gallen. Suasana dalam apartemen itu tenang, hangat, dan selalu membuat Titan merasa aman. Ia melepas sepatunya, menggantung jaket di belakang pintu, lalu berjalan pelan ke arah kamar Gallen. Pintu kamar terbuka sedikit, mengundang rasa penasaran. Di meja kerja Gallen, ada beberapa dokumen, dan di rak kecil dekat ranjang, sebuah kotak kayu terbuka. Titan mendekat. Pandangan Ti
Hubungan Gallen dan Titan perlahan membaik. Setelah badai rumor dan kesalahpahaman itu, keduanya sepakat untuk saling terbuka dan menjaga komunikasi. Titan kembali fokus ke pekerjaannya, begitu pun Gallen. Namun kedekatan Titan dan Rigel di lokasi syuting tetap menjadi ganjalan di hati Gallen, walau dia tahu Titan mencintainya sepenuh hati. Hari itu, Titan dan Rigel sedang menghafal dialog di ruang tunggu syuting. Lokasi sedang cukup sepi. Kru dan staf sedang makan siang, menyisakan hanya mereka berdua, Titan dan Rigel. keduanya duduk berhadapan sambil memegang naskah ditangan masing-masing. "Aku akan improvisasi bagian ini," tutur Rigel. Ia menunjuk bagian dialognya dan memperlihatkannya pada Titan. Gadis itu mengangguk pelan, matanya lekat menatap barisan tulisan itu. Mereka melanjutkan, membaca dialog. Rigel tampak santai, duduk menyilang kaki sambil sesekali melempar candaan pada Titan yang dibalas dengan tawa renyah. Titan dan Rigel tak tahu, bahwa ada seseorang yang me