Gallen baru saja membuka pintu apartemennya, lalu menyalakan lampu, ia terkejut saat melihat Titan sedang duduk bersila di sofa, memeluk bantal, wajahnya serius—tapi matanya langsung berbinar melihat kedatangannya. "Titan, kenapa kamu ada di sini? Bukannya kamu lagi syuting?" tanya Gallen, bingung. Titan berdiri dan menghampiri, senyumnya mulai muncul, saat melihat Gallen baik-baik saja. "Aku menunggumu. Ingin tahu apa yang terjadi. Aku melihat beritanya. Jadi sekarang, kamu pengangguran?" Gallen menyipitkan mata, "Titan..." "Kenapa? Emang iya kan? Sekarang kamu pengangguran, Pak Mantan CEO." Alih-alih marah, Gallen justru tertawa pendek. Tapi ada gurat lelah yang tak bisa disembunyikannya. Titan melihat itu. Wajah Gallen yang biasanya tegas, kini tampak kosong. Bahunya sedikit merosot, dan langkahnya lebih berat dari biasanya. Titan mengambil langkah maju, mendekat, lalu berdiri tepat di hadapan pria itu, mengusap kepalanya perlahan. "Tapi jangan sedih, ya…" Suaranya me
Pagi itu gedung Alpha Star Entertainment lebih ramai dari biasanya. Para staf berlalu lalang dengan bisik-bisik yang tak berani mereka lontarkan keras-keras. Rapat dewan pemegang saham yang berlangsung sejak pagi telah berakhir, namun dentum keputusannya masih terasa membekas di dinding-dinding kantor pusat. Di dalam ruang rapat utama, Gallen berdiri membeku, menyaksikan berkas keputusan final yang kini berada di tangannya. Di sebelahnya, Galaksi berdiri dengan ekspresi antara bingung dan kesal. "Mulai hari ini," ucap salah satu direksi utama dengan nada formal, "Gallen Alpha Pratama secara resmi diberhentikan dari jabatannya sebagai CEO Alpha Star Entertainment." Satu detik. Dua detik. Tak ada suara. Hingga suara langkah tongkat terdengar dari ujung ruangan. Semua menoleh saat Pratama Wira, Kakek Gallen dan Galaksi, memasuki ruang rapat dengan gaya aristokratiknya yang dingin. "Keputusan ini tidak hanya berdasarkan rapat, tapi juga karena saya yang mendukungnya," ucapny
Suasana rapat dewan direksi Alpha Star Entertainment berlangsung tegang. Di ruang konferensi besar yang dikelilingi dinding kaca dan lukisan abstrak, para pemegang saham dan petinggi perusahaan duduk melingkar dengan wajah serius. Di tengah meja, proyektor menampilkan laporan pendapatan kuartal terakhir, tapi perhatian semua orang bukan lagi pada grafik keuntungan. Gallen duduk di ujung meja dengan wajah tanpa ekspresi, menunggu apa yang akan dilontarkan oleh para kolega bisnisnya. Di sebelahnya, Galaksi menatap khawatir. Hamal berdiri tidak jauh, wajahnya waspada. "Kami tidak menyangkal kemampuanmu memimpin, Gallen," ujar Pak Surya, salah satu dewan senior. "Tapi dalam beberapa bulan terakhir... reputasi perusahaan ikut terombang-ambing oleh masalah pribadimu." Gallen menegakkan punggungnya. "Saya sudah pastikan semua kegiatan operasional tetap berjalan dengan lancar. Saya tidak mencampurkan—" "Tapi publik melihatnya berbeda," sambar Pak Surya. Salah satu pemegang saham lai
Gaun satin merah darah membalut tubuh Adhara dengan sempurna malam itu. Ia melangkah percaya diri memasuki ballroom hotel bintang lima, tempat pesta digelar. Musik jazz mengalun lembut, para undangan menyesap anggur dalam gelas kristal, dan lampu gantung berkilau seperti permata. "Lihat, itu Adhara. Aku kira dia sudah tidak berani muncul karena malu," cibir salah satu tamu wanita. "Dia bermuka tebal," sahut yang lain dengan pandangan menyepelekan. Adhara tak peduli dengan pandangan orang lain, ia tetap berjalan anggun di depan mereka. Pesta ini bukan sekadar perayaan, tapi ajang pertemuan orang-orang penting industri perfilman. Sang tuan rumah adalah teman lama Aries Bagaskara, sekaligus salah satu produser veteran yang masih punya pengaruh besar. Di sudut ruangan, berdiri seorang pria dengan setelan hitam yang tak asing lagi—Gallen. Dikelilingi beberapa investor, ekspresinya tetap kalem meski terlihat tak menikmati suasana. Sebenernya Gallen malas bersosialisasi hanya untu
Malam itu, hujan turun gerimis saat Titan membuka pesan masuk dari Bulan. Tak ada kata, hanya sebuah file video. Tangannya sempat gemetar sebelum menekan tombol play. Di layar, rekaman dari kejauhan menunjukkan sosok bertopi hitam dan hoodie gelap sedang mendekati alat pengaman yang akan digunakan Titan untuk adegan melompat. Titan menahan napas saat sosok itu terekam sedang memotong sesuatu—tali pengaman. Meski wajahnya tak tampak jelas, detail dari tubuh pria itu tertangkap saat hoodienya sedikit tersingkap. Sebuah tato berbentuk sayap kecil di sisi punggung kirinya terlihat samar. Mata Titan membelalak. Esoknya, Titan pulang syuting tanpa memberitahu siapa pun, dan langsung menuju kantor Gallen. Ia muncul tiba-tiba di depan meja resepsionis, mengejutkan dua wanita yang berdiri di balik meja dan staf lain. Salah satu dari mereka buru-buru mengabari Hamal. Hamal menjemput Titan dari lobi, mengantarnya ke ruangan kerja Bos-nya. "Kenapa tidak langsung naik ke atas?" tanya Hamal
Sudah berminggu-minggu sejak insiden jatuhnya Titan dari ketinggian. Gallen belum juga menemukan titik terang. Namun, hatinya sudah mencurigai satu nama yang tak asing baginya—Adhara. Meskipun dugaannya mengarah kuat pada gadis itu, Gallen tak bisa gegabah. Semua bukti yang ia temukan selalu berujung buntu. Tak ada rekaman kamera, tak ada saksi, dan alat pengaman yang rusak pun sudah dibuang secara misterius sebelum bisa diperiksa secara menyeluruh. "Adhara terlalu bersih. Terlalu cerdik," gumam Gallen sambil menatap layar laptopnya yang penuh dengan data investigasi dari Hamal. "Anda yakin dia pelakunya?" tanya Hamal saat itu, memecah keheningan. "Yakin. Tapi aku belum bisa membuktikannya. Semua bukti menghilang atau memang tidak pernah ada. Dan kalau aku bertindak sekarang, hanya akan memperkeruh semuanya. Aku harus menunggu saat yang tepat." Di sisi lain, Titan perlahan mulai pulih. Luka di tubuhnya belum sembuh sepenuhnya, namun ia bersikeras kembali ke lokasi syuting. Pih
Di tengah padatnya penyelidikan bersama Hamal, Gallen tetap menyamaratakan prioritasnya—Titan. Ia tak bisa lagi diam. Semua kejanggalan harus diselidiki, dan Jupiter—aktor pendatang baru yang sangat mirip dirinya—menjadi titik awal. Gallen diam-diam menyuruh tim internal agensinya untuk mencari tahu latar belakang Jupiter. Terlalu bersih. Terlalu sempurna untuk seseorang yang baru muncul. "Kamu yakin dia bukan aktor lepas?" tanya Gallen pada Hamal. "Yakin, Bos. Tapi dia masuk lewat casting khusus, yang salah satu sponsornya punya hubungan dengan Aries Bagaskara," jawab Hamal, tajam. Mata Gallen menyipit. "Adhara." Sementara itu, Titan tengah mencoba menikmati masa cutinya bersama Galaksi dan Giselle. Malam itu mereka sepakat pergi karaoke, melepas stres. Tawa dan suara sumbang mereka mengisi ruangan. Titan bahkan menyanyikan lagu rock dengan ekspresi dramatis yang membuat Galaksi terguling tawa. "Dewi Titan, ternyata kamu tidak hanya jago akting," ujar Galaksi sambil memeg
Satu minggu setelah kejadian tragis di lokasi syuting, Titan akhirnya muncul kembali di hadapan publik. Ia mengenakan blazer putih lembut dan blouse hitam elegan, duduk di ruang konferensi pers yang dipenuhi wartawan dan kamera yang siap merekam tiap katanya. Meski masih tampak pucat, sorot matanya tegas. Senyumnya lembut, tapi menyiratkan keteguhan. "Pertama-tama," ucap Titan, "Aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua doa dan dukungan. Aku sangat bersyukur bisa pulih secepat ini." Seseorang dari media mengangkat tangan. "Dewi Titan, publik menduga kejadian itu bukan kecelakaan biasa. Apakah Anda punya komentar?" Titan tersenyum, tenang. "Aku memahami kekhawatiran itu. Tapi setelah berbicara dengan tim produksi dan pihak-pihak terkait, kami sepakat bahwa itu adalah kecelakaan kerja. Tidak ada yang perlu dibesar-besarkan." Seketika ruangan dipenuhi kilatan kamera dan bisik-bisik. Namun Titan tetap tenang. Ia tidak ingin membuat keadaan semakin panas. Ia tahu, jika ia men
Bulan berdiri mematung di depan kamar rawat VIP rumah sakit tempat Titan dirawat. Dari balik kaca, ia bisa melihat tubuh Titan yang terbaring lemah dengan infus menempel di tangan dan perban di beberapa bagian tubuh. Gadis itu tampak tak sadarkan diri, wajahnya pucat… rapuh. Ada perasaan aneh menyelinap dalam dada Bulan. Di satu sisi, ia pernah berharap Titan tersingkir dari dunia hiburan. Tapi saat keinginan itu seolah terkabul… mengapa dadanya terasa sesak? "Harusnya aku senang… kenapa malah begini," gumamnya pelan. Ia hanya berdiri sebentar, sekadar memastikan Titan masih hidup, sebelum perasaan bersalah mulai menggerogoti nuraninya. Tangan yang memegang tas terasa dingin. Video dalam ponselnya terus berputar dalam kepalanya. Ia tahu, jika video itu sampai ke tangan yang tepat… semuanya bisa berubah. Tiba-tiba suara langkah tergesa membuatnya tersentak. Bulan melihat Galaksi. Panik, Bulan langsung menarik masker dan topinya lebih rendah menutupi wajah, lalu buru-buru berb