"Ibu dengar dari orang-orang, kalian masih belum dapat kabar baik, ya. Padahal sudah lima tahun loh." Suara Bu Maria, ibu mertua Melia, terdengar ringan, tapi langsung menusuk tepat ke hati.
Melia menelan ludah, mencoba mempertahankan senyumnya. "Iya, Bu. Kami masih berusaha..."
Tiba-tiba Anin, adik ipar perempuan Melia, menimpali dengan nada geli, "Lho, di keluarga kita nggak ada yang susah punya anak, kok. Aku aja, begitu nikah, langsung hamil."
Melia meremas jemarinya di pangkuan. Napasnya terasa berat, tapi ia tetap berusaha tenang. Di ruang tamu keluarga Jordy yang seharusnya hangat, udara di sekeliling Melia terasa berbeda, penuh tekanan yang tidak diucapkan.
"Iya, mungkin Melia perlu periksa lebih lanjut," Bu Maria menambahkan sambil tertawa kecil. "Siapa tahu ada sesuatu yang perlu diperbaiki."
Melia menoleh sejenak ke arah suaminya, Radit, berharap dia akan membela dirinya. Namun, Radit tetap sibuk berbincang dengan Pak Darma, ayahnya, juga Jordy, pamannya, seolah tidak peduli dengan apa yang sedang terjadi di depan mereka.
Dengan suara tertahan, Melia tersenyum kecil. "Kami sudah periksa, Bu. Dan hasilnya... yang perlu lebih berusaha sebenarnya Mas Adit."
Hening. Suasana ruangan tiba-tiba berubah sunyi. Ekspresi kaget tampak di wajah Bu Maria, dan Anin hanya terdiam. Radit, yang sedang menyeruput teh, tiba-tiba terbatuk kecil.
"Ah, masa?" Bu Maria terkekeh, tapi wajahnya terlihat tidak nyaman. "Dokter bisa salah, lho. Adit itu sehat dari kecil sampai remaja, nggak pernah sakit parah."
"Iya, Bu, tapi yang diperiksa bukan soal itu," Melia menjelaskan lembut tapi tegas. "Dokter bilang, faktor kualitas benih juga mempengaruhi peluang kehamilan."
Radit menatap Melia dengan tatapan peringatan, seolah meminta istrinya untuk berhenti berbicara. Namun, kali ini Melia tak peduli. Sudah terlalu lama hanya dia yang menanggung beban dan tekanan. Kali ini, ia ingin suaminya juga merasakan tanggung jawab itu.
"Ah, dokter zaman sekarang terlalu banyak maunya. Mungkin Mas Adit cuma kurang makan yang sehat aja," Arin terkekeh, mencoba mengalihkan.
Melia tersenyum getir. Rasa sesak dalam dadanya semakin dalam. Di sisi lain, Radit tetap diam.
Di tengah ketegangan itu, pintu depan terbuka dan Bude Yati, kakak ipar Bu Maria, masuk tanpa mengetuk. "Lho, kok tegang gini? Lagi ngomongin apa?" tanyanya sambil duduk di sebelah Bu Maria.
"Ini lagi ngobrolin Melia sama Adit yang belum dikasih momongan," jawab Bu Maria sambil terkekeh ringan.
Bude Yati tersenyum lebar. "Kenapa nggak bilang ke Bude dari dulu? Ada Gus Bokis di kampung sebelah, lho. Banyak yang sudah berhasil. Begitu datang ke sana, langsung hamil dalam hitungan bulan."
Melia menatap Radit, berharap kali ini suaminya akan segera menolak usulan tersebut. Tapi seperti biasa, Radit tetap diam.
Melia menarik napas dalam-dalam, lalu berkata dengan tegas, "Maaf, Bude. Saya dan Mas Adit lebih percaya pada pengobatan medis. Kami sudah periksa ke dokter dan tahu apa yang perlu dilakukan."
Namun, Bude Yati tidak menyerah. "Jangan sombong, Neng. Usaha kan bisa dari berbagai cara. Tetangga Bude yang divonis mandul sama dokter aja akhirnya bisa punya anak setelah ke Gus Bokis."
"Iya, kenapa nggak dicoba, Mel? Jangan terlalu kaku," sahut Bu Maria setuju.
Melia menggigit bibir. Ini sudah kelewatan. Tapi sebelum ia sempat berkata apa-apa, Radit akhirnya angkat bicara, meski dengan nada ragu. "Kami akan tetap jalani pengobatan sesuai rekomendasi dokter, Bude. Terima kasih sarannya."
Melia sedikit terkejut, namun merasa lega karena setidaknya Radit akhirnya bersuara. Tetapi Bude Yati hanya mendengus, "Ya sudah, kalau nggak mau nurut, semoga aja nggak nyesel."
Suasana menjadi canggung setelah itu. Tak lama kemudian, Radit mengajak Melia pulang.
Dalam perjalanan pulang dengan motor, Melia duduk diam. Tangannya tak melingkar di pinggang suaminya seperti biasa. Angin malam menerpa wajahnya, tapi tak cukup dingin untuk meredakan panas di dalam dadanya. Ia menatap lurus ke depan, seolah mencoba menahan lautan emosi yang siap meledak.
Radit bisa merasakan perubahan sikap istrinya. Tapi seperti biasa, ia memilih diam.
Sesampainya di rumah, Melia langsung turun tanpa sepatah kata. Langkahnya cepat masuk ke dalam, membiarkan pintu terbuka begitu saja. Radit menghela napas berat, lalu memarkir motor dengan perasaan tak menentu.
Di ruang tengah, Melia berdiri dengan tangan gemetar, melepaskan kerudungnya dengan kasar. Matanya merah bukan karena ingin menangis, tapi karena marah yang sudah mencapai puncaknya.
"Kenapa kamu diam aja tadi, Mas?" tanyanya. Suaranya pelan, tapi tajam seperti pisau yang menyayat.
Radit menutup pintu perlahan dan menguncinya. "Aku nggak mau ribut sama Ibu, Mel."
Melia tertawa pendek, getir. "Oh, jadi biar kamu tetap kelihatan anak baik, aku harus terus-terusan dijadikan sasaran? Kamu denger sendiri kan tadi mereka bilang apa? Seolah-olah aku ini... mandul!"
Radit mengusap wajah. "Aku cuma nggak pengin keributan di rumah orang tua sendiri, Mel."
Melia mendekat, matanya menyala. "Tapi kamu tega biarin aku dilecehkan begitu? Lima tahun, Mas. Lima tahun aku disindir, dibanding-bandingkan. Dan kamu selalu... DIAM!" Melia tak kuasa lagi menahan gejolak dalam dadanya,
"Aku capek, Mel," jawab Radit, nada suaranya mulai meninggi. "Kamu pikir aku nggak ngerasa bersalah? Aku juga malu!"
"Kalau kamu malu, kenapa kamu biarin aku terus yang dihina?" suara Melia mulai bergetar, tapi bukan karena tangis, karena kemarahan yang tak lagi bisa ditahan. "Aku ini istri kamu, Mas. Tapi aku merasa seperti orang asing di keluargamu sendiri!"
Radit menunduk. "Aku nggak tahu harus gimana..."
"Kamu tinggal ngomong! Satu kalimat, Mas. ‘Tolong jangan salahin Melia, ini bukan salah dia.’ Sesederhana itu! Tapi kamu nggak pernah punya nyali!" Suara Melia makin meninggi, dadanya naik-turun.
Radit terpaku. Suara Melia menggema di antara dinding yang dingin.
"Setiap kali kita pulang dari rumah orang tuamu, aku selalu ngerasa kecil. Terhina. Tapi kamu... kamu selalu bilang 'biarin aja', 'nggak usah dipikirin'. Apa kamu pikir hatiku ini batu? Aku ini manusia Mas, punya perasaan? Coba kalau kamu dihina dan direndahkan oleh keluargaku, terus aku diam saja, kamu mau gimana?" Melia benar-benar lepas kontrol.
Radit menggigit bibirnya. "Aku cuma... bingung harus hadapin mereka gimana."
Melia menatapnya dalam. "Kamu itu laki-laki, Mas. Kamu cuma takut jadi anak durhaka. Tapi kamu nggak pernah takut kehilangan aku sebagai istrimu, kan?"
Radit menegang. Tidak ada bantahan.
Melia menarik napas panjang, suaranya melemah, tapi lebih dalam. "Aku butuh suami, Mas. Seseorang yang berdiri di sampingku, bukan di belakang ibunya. Bagaiman kalu hinaan itu datang dari orang lain, apakah kamu juga akan membiarkanm istrimu direndahkan?"
Melia berbalik, melangkah ke kamar, meninggalkan Radit yang berdiri membeku, diliputi rasa bersalah dan kekosongan yang menggigit.
Ketika Radit mengetuk pintu kamar, Melia justru memberikan Ultimatum, “Kalau kamu belum siap menjadi suami, sebaiknya kita tidak perlu tidur bareng, Mas!”
“Melia….”
“Aku ingin sendirian dulu, Mas!” potong Melia tegas.
Radit hanya bisa pasrah.
^*^
Langkah Bu Maria terasa lebih ringan saat ia melangkah kembali melewati jembatan. Udara malam menyelusup lembut ke balik kerudungnya, membawa aroma kopi dan suara tawa dari anak-anak muda yang masih berkumpul.Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi saat ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Pelan, tapi terasa jelas.‘Jangan-jangan…’ pikirnya. Ia memperlambat langkah, pura-pura memperbaiki ujung kerudung, berharap… siapa tahu. Mungkin saja Akmal bangkit dan menyapanya. Mungkin hanya ingin tahu, ke mana Bu Maria malam-malam begini. Mungkin ingin… mengantar.Deg. Hatinya benar-benar berharap.“Bu Maria…”Langkahnya sontak berhenti. Suara itu membuatnya menoleh cepat.Namun bukan Akmal yang berdiri di sana.Irwan. Sahabat dekat Akmal.Pemuda itu tersenyum malu, tangannya menggaruk tengkuk. “Saya disuruh nganter Ibu. Sama Akmal…” bisiknya, seolah takut terdengar anak-anak lain.Bu Maria memandang ke belakang, ke arah tempat Akmal masih duduk di pinggir jembatan. Jarak mereka cuk
Setelah Bi Iroh pergi, Bu Maria berwudhu. Air dingin meredakan pikirannya. Saat membasuh wajah, ia menatap cermin, merenung. "Apa aku memang makin tua makin cantik?"Selesai wudhu, ia segera mengenakan mukena dan melaksanakan shalat Dzuhur. Namun, sepanjang shalat, pikirannya tetap melayang ke wajah Akmal. Saat sujud terakhir, tanpa sadar bibirnya bergetar dalam doa yang bahkan ia sendiri tak mengerti.Usai shalat, ia melipat mukena dengan rapi, lalu beranjak ke ruang tamu. Badannya rebah di sofa, televisi menyala tapi tidak benar-benar ditontonnya. Yang ada hanya bayangan Akmal dalam benaknya."Ya Allah, kenapa dia makin ganteng aja sih?"“Aku memang sudah bersuami, kalau dia serius kan bisa diam-diam. Banyak kok yang selingkuh, kayak…” Bu Maria seketika teringat pada Bude Nola, yang justru bersikap seperti pacar pada Tony, menantunya.Sore itu langit berwarna jingga tembaga. Angin mengelus dedaunan di halaman kecil samping rumah Bu Maria. Ia seda
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
"Eh, Bu Maria… tumben pakai gamis rapi begini. Mau pengajian di mana?" goda Bu Haji Ifah sambil menyerahkan plastik berisi cabai.Bu Maria tersenyum tipis. "Ah, nggak ke mana-mana, Bu Haji. Cuma kepikiran aja pengen pakai ini," jawab Bu Maria sambil menyodorkan uang dua ribu rupiah.Namun, gerak-geriknya tidak seperti biasa. Tangannya menerima kembalian, tapi matanya sibuk mencari seseorang. Rumah Ustadzah Fatimah tampak sepi, tapi motor yang tadi pagi dipake Akmal, sudah terparkir di halaman."Nyari siapa, Bu Maria?" tanya Bu Haji Ifah, memperhatikan tingkah tetangganya yang biasanya malas belanja ke warung kecul tetangganya. "Kayaknya lagi ngawasin rumah Ustadzah Fatimah ya?" godanya.Bu Maria tergagap sejenak, lalu buru-buru tersenyum. "Oh, nggak, Bu Haji. Tadi kayaknya ada pemuda yang nyapa saya, tapi saya nggak yakin siapa dia," jawabnya.Bu Haji Ifah tertawa kecil. "Maksudnya Akmal? Iya, dia baru pulang kemarin sore. Udah gede ya sekarang, beda banget sama dulu."Bu Maria mengan
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal