Ruang pantry kantor siang itu tak terlalu ramai. Hanya ada suara dentingan sendok dan garpu yang beradu pelan, diselingi suara kipas angin langit-langit yang berputar malas. Melia duduk di ujung meja, membuka kotak makannya perlahan. Nasi dan lauk kesukaannya ada di dalamnya, tapi entah mengapa tak satupun menggugah selera.
Siska datang dengan senyum khasnya, membawa kotak makan dan sebotol air mineral. “Kosong?” tanyanya sambil duduk di seberang Melia.
Melia mengangkat bahu. “Lagi nggak pengen makan.”
Siska mengernyit, meletakkan kotaknya. “Tumben. Kamu biasanya yang paling lahap di jam makan siang.”
Melia hanya tersenyum sekilas, datar.
Siska memandangnya sejenak sebelum mulai membuka kotaknya sendiri. Ia menyuapkan sesendok nasi, lalu meletakkan sendoknya, menatap serius sahabatnya. “Mel, kamu kenapa sih? Dari pagi wajah kamu suram banget. Nggak biasanya kayak gini.”
Melia menghela napas panjang, memandang ke luar jendela kecil di sudut ruangan. Matahari cerah, tapi hatinya justru sebaliknya. “Berantem lagi sama Mas Radit.”
Siska tak menjawab, hanya mengangguk pelan. Sudah beberapa kali Melia mengeluhkan hal serupa, tapi kali ini nada suaranya berbeda, ada kelelahan yang lebih dalam.
Melia melanjutkan, suaranya pelan dan berat. “Kemarin malam... kita ke rumah mertuaku. Dan seperti biasa, mulai lagi sindiran soal belum punya anak. Soal aku yang katanya terlalu sibuk kerja, terlalu cuek sama rumah. Kamu tahu, Sis, rasanya kayak ditelanjangi pelan-pelan di depan umum.”
Siska menatap Melia, empatinya terasa hangat. “Radit... bilang apa?”
Melia tertawa kecil, getir. “Nggak bilang apa-apa. Dia duduk di sebelahku, denger semuanya. Tapi nggak sekalipun buka suara. Seolah-olah... aku pantas disalahin.”
Siska mendesah. Ia tahu persis bagaimana perasaan itu. Saat berharap pasangan berdiri melindungi, tapi justru membiarkan terbakar sendirian.
“Aku bukan butuh dia ngebentak ibunya, Sis,” lanjut Melia pelan, “tapi setidaknya, kasih tanda kalau aku nggak sendirian. Kalau dia suamiku, bukan cuma anak dari ibunya.”
Siska menggenggam tangan Melia di atas meja. Hangat dan lembut. “Kamu udah ngomong sama dia?”
“Udah. Tapi dia cuma bilang ‘aku capek’. Seolah-olah capek dia lebih penting dari rasa disudutkanku.”
Siska terdiam sejenak, lalu berkata lirih, “Aku ngerti, Mel. Kadang laki-laki itu lupa, kita juga punya batas. Kita bukan cuma istri yang kuat, tapi manusia juga. Punya rasa.”
Melia mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. Tapi ia cepat-cepat mengedip, menahan air yang nyaris tumpah.
“Kamu nggak sendiri, Mel. Kalau kamu butuh tempat buat tenang sebentar, rumahku selalu terbuka. Malam ini pun bisa kalau kamu mau.”
Melia tersenyum, untuk pertama kalinya hari itu. “Makasih, Sis. Aku mungkin nggak akan datang. Tapi tahu kamu ada di sini… rasanya cukup.”
Di luar, matahari tetap bersinar cerah. Tapi di dalam ruang kecil itu, dua perempuan duduk saling memahami, saling menguatkan—dengan luka masing-masing yang mereka rawat dalam diam.
^*^
Jordy Hidayat, baru saja pulang kerja dengan stelan khas pegawai kantoran level menengah. Saat mengemudi, pikirannya teringat obrolan keluarga kakaknya kemarin malam soal Melia, istrinya Radit, keponakannya. Jordy sedikit mencurigai jika masalah sebenarnya ada pada Radit, bukan Melia, meski Radit selalu menyangkal.
Di tengah lamunan, pikiran liar tiba-tiba melintas untuk membantu Melia agar bisa hamil. Namun secepatnya, Jordy tersadar dan mengucap istigfar berulang kali, merasa terganggu oleh pikirannya sendiri. Radit adalah keponakannya sendiri.
Saat melintasi kantor kecamatan, Jordy melihat Melia sedang menunggu angkot. Ia menepi dan menawarkan tumpangan. “Melia, ayo ikut Om aja. Naik angkot capek,” katanya, berusaha terlihat wajar.
Melia tersenyum dan setuju. Di dalam mobil, Jordy membuka percakapan tentang desakan ibu mertua Melia atau kakaknya Jordy yang berharap segera memiliki cucu.
“Om harap kamu nggak terganggu dengan ucapan ibunya Radit kemarin. Mereka cuma gak sabar ingin segera menimang cucu, bukan menyudutkanmu, Mel.”
Melia menjawab tenang, “Nggak apa-apa, Om. Saya paham kok, mungkin Ibu khawatir.”
Jordy mengangguk, “Om yakin, Radit dan kamu pasti sudah berusaha. Tapi ingat, jangan merasa sendirian. Om pasti akan selalu mendukung kalian.”
Melia tersenyum, meski ada kesedihan di matanya. “Terima kasih, Om. Saya sangat bersyukur punya paman seperti Om Jordy.”
Tak lama kemudian mobil sampai di depan rumah Melia.
"Salam buat Radit ya," ucap Jordy sebelum melaju lagi, bergulat dengan rasa bersalah atas pikiran keliru yang tadi sempat terlintas.
Melia mengangguk, lantas masuk ke rumahnya. Ada sedikit perasaan lega, karena masih ada yang peduli.
^*^
Hari berikutnya, Radit mampir kembali ke rumah orang tuanya, seperti rutinitas yang sudah berjalan bertahun-tahun. Rumah itu hangat seperti biasa, aroma kayu manis dari dapur menggoda indra, dan suara TV dari ruang keluarga menyambut dengan biasa.
Namun hati Radit tak setenang suasana rumah itu. Kali ini, ia datang tanpa Melia.
Bu Maria menyambutnya dengan teh hangat seperti biasa. “Sendirian, Dit? Melia nggak ikut?” tanyanya sambil menyodorkan cangkir.
Radit menerima teh itu dengan tangan kaku. “Dia lagi capek, Bu.”
Arin, adiknya, yang sedang menyusui bayinya di sofa, tertawa kecil tanpa menyembunyikan nada sinis. “Capek? Belum punya anak kok sering capek? Aku yang repot ngurus bayi aja masih bisa datang ke sini.”
Kelvin, suami Arin, hanya menunduk. Ia tahu betul medan ini bukan tempat yang nyaman untuk menyela.
Radit tersenyum kaku, mencoba menjaga suasana tetap netral. Tapi Bu Maria seperti sudah bersiap menyerang dari arah yang sama.
“Ibu sama Arin cuma peduli sama kamu, Dit,” ucapnya lembut tapi menyisipkan ketegangan. “Lima tahun menikah tapi belum ada anak, nggak ada kabar baik. Apa mungkin… Melia yang bermasalah?”
Radit menahan napas. Ada gumpalan amarah dan kesedihan yang tersangkut di dadanya, tapi ia telan semuanya. Ia tahu kebenarannya, namun memilih diam.
“Jadi Ibu ingin aku pisah?” tanyanya perlahan, namun jelas.
Bu Maria terdiam sejenak, lalu menjawab dengan suara dingin. “Ibu nggak bilang gitu. Tapi kalau memang dia jadi penghalang kamu punya keturunan…”
“Iya, Mas,” sahut Arin cepat-cepat, mengangkat wajah dari bayinya. “Kamu masih muda, mapan. Kenapa harus bertahan sama perempuan yang, maaf, mungkin mandul?”
Radit menggenggam gelas teh terlalu erat sampai jari-jarinya memutih. “Belum tentu Melia yang bermasalah,” ucapnya akhirnya. “Kami semua baik-baik saja. Hanya... belum ditakdirkan.”
Bu Maria menggeleng, ekspresinya mulai berubah kesal. “Dit, Ibu cuma ingin yang terbaik. Kamu anak lelaki satu-satunya. Ibu cuma pengen lihat kamu punya penerus. Kalau Melia nggak bisa kasih kamu anak, apa salahnya mempertimbangkan yang lain?”
Radit menunduk, rahangnya mengeras. Suaranya pelan, nyaris bergetar. “Cukup, Bu. Jangan salahin Melia lagi.”
“Kenapa?” tanya Bu Maria tajam. “Apa kamu tahu sesuatu yang Ibu nggak tahu?”
Radit terdiam lagi. Pandangannya menerawang. Sebuah kebenaran menggantung di lidahnya, ingin sekali meluncur keluar. Tapi rasa malu, ego, dan ketakutan akan penolakan membuatnya menelan kembali semua.
Ia berdiri perlahan, meletakkan gelas teh yang belum disentuh. “Aku pulang, Bu. Nggak enak ninggalin Melia sendirian.”
Kelvin berdiri setengah, seperti ingin menenangkannya, tapi Radit sudah berjalan cepat ke pintu.
^*^
Langkah Bu Maria terasa lebih ringan saat ia melangkah kembali melewati jembatan. Udara malam menyelusup lembut ke balik kerudungnya, membawa aroma kopi dan suara tawa dari anak-anak muda yang masih berkumpul.Tapi jantungnya berdetak lebih cepat. Apalagi saat ia mendengar langkah kaki di belakangnya. Pelan, tapi terasa jelas.‘Jangan-jangan…’ pikirnya. Ia memperlambat langkah, pura-pura memperbaiki ujung kerudung, berharap… siapa tahu. Mungkin saja Akmal bangkit dan menyapanya. Mungkin hanya ingin tahu, ke mana Bu Maria malam-malam begini. Mungkin ingin… mengantar.Deg. Hatinya benar-benar berharap.“Bu Maria…”Langkahnya sontak berhenti. Suara itu membuatnya menoleh cepat.Namun bukan Akmal yang berdiri di sana.Irwan. Sahabat dekat Akmal.Pemuda itu tersenyum malu, tangannya menggaruk tengkuk. “Saya disuruh nganter Ibu. Sama Akmal…” bisiknya, seolah takut terdengar anak-anak lain.Bu Maria memandang ke belakang, ke arah tempat Akmal masih duduk di pinggir jembatan. Jarak mereka cuk
Setelah Bi Iroh pergi, Bu Maria berwudhu. Air dingin meredakan pikirannya. Saat membasuh wajah, ia menatap cermin, merenung. "Apa aku memang makin tua makin cantik?"Selesai wudhu, ia segera mengenakan mukena dan melaksanakan shalat Dzuhur. Namun, sepanjang shalat, pikirannya tetap melayang ke wajah Akmal. Saat sujud terakhir, tanpa sadar bibirnya bergetar dalam doa yang bahkan ia sendiri tak mengerti.Usai shalat, ia melipat mukena dengan rapi, lalu beranjak ke ruang tamu. Badannya rebah di sofa, televisi menyala tapi tidak benar-benar ditontonnya. Yang ada hanya bayangan Akmal dalam benaknya."Ya Allah, kenapa dia makin ganteng aja sih?"“Aku memang sudah bersuami, kalau dia serius kan bisa diam-diam. Banyak kok yang selingkuh, kayak…” Bu Maria seketika teringat pada Bude Nola, yang justru bersikap seperti pacar pada Tony, menantunya.Sore itu langit berwarna jingga tembaga. Angin mengelus dedaunan di halaman kecil samping rumah Bu Maria. Ia seda
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
"Eh, Bu Maria… tumben pakai gamis rapi begini. Mau pengajian di mana?" goda Bu Haji Ifah sambil menyerahkan plastik berisi cabai.Bu Maria tersenyum tipis. "Ah, nggak ke mana-mana, Bu Haji. Cuma kepikiran aja pengen pakai ini," jawab Bu Maria sambil menyodorkan uang dua ribu rupiah.Namun, gerak-geriknya tidak seperti biasa. Tangannya menerima kembalian, tapi matanya sibuk mencari seseorang. Rumah Ustadzah Fatimah tampak sepi, tapi motor yang tadi pagi dipake Akmal, sudah terparkir di halaman."Nyari siapa, Bu Maria?" tanya Bu Haji Ifah, memperhatikan tingkah tetangganya yang biasanya malas belanja ke warung kecul tetangganya. "Kayaknya lagi ngawasin rumah Ustadzah Fatimah ya?" godanya.Bu Maria tergagap sejenak, lalu buru-buru tersenyum. "Oh, nggak, Bu Haji. Tadi kayaknya ada pemuda yang nyapa saya, tapi saya nggak yakin siapa dia," jawabnya.Bu Haji Ifah tertawa kecil. "Maksudnya Akmal? Iya, dia baru pulang kemarin sore. Udah gede ya sekarang, beda banget sama dulu."Bu Maria mengan
Waktu terus merambat, kehidupan perlahan kembali ke porosnya. Melia dan Radit memasuki masa pemulihan, saling berjanji untuk menjaga, memperbaiki, dan berjuang bersama demi mendapatkan keturunan. Ketenangan juga mulai hadir dalam rumah tangga mereka, apalagi sejak Bu Maria tampak melupakan obsesinya terhadap cucu.Istri Pak Darma itu kini justru sibuk dengan gairah mudanya yang seperti terlahir kembali, seakan melupakan tahun-tahun panjangnya sebagai istri setia.Pak Darma pun merasa lebih tenang, bisa fokus mengembangkan kariernya di sisa masa kerja, tanpa lagi harus menghadapi keluhan Bu Matria yang selalu menuntut macam-macam. Ia bahkan semakin serius mendorong kemajuan karier Radit, dan mulai menyarankan opsi yang lebih realistis: mengadopsi anak.Meski begitu, Radit masih menahan diri. Ia belum sepenuhnya siap meninggalkan harapan untuk memiliki darah daging sendiri. Baginya, usia mereka masih cukup muda; belum saatnya menyerah. Masih ada waktu, dan ia yakin, selama tekad itu ada
Sore menjelang dengan langit yang dilapisi jingga lembut. Di teras rumah yang diteduhi pohon mangga tua, dua perempuan duduk menghadap taman kecil yang mulai merekah setelah disiram hujan semalam.Bu Maria mengenakan daster biru dengan motif bunga-bunga halus. Wajahnya tampak lebih segar dari bisanya. Senyumnya lebih ringan, dan tatapan matanya punya sorot yang sulit dijelaskan, seolah ada percikan kehidupan yang sudah makin menyala dalam dirinya.Bude Yati memperhatikan adik iparnya diam-diam, lalu menaruh cangkir tehnya sambil menghela napas kecil.“Kamu sekarang lain, Mar,” katanya pelan, “Langkahmu terlihat lebih enteng, suaramu juga nggak berat kayak biasanya.”Bu Maria tertawa kecil. Lirih, tapi hangat. “Bude bisa aja. Mungkin karena aku sudah mulai belajar menerima hidup seperti yang disarankan Gus Bokis.”“Dari Gus Bokis?” Bude Yati menaikkan alisnya sambil menyeringai nakal. “Atau... dari Kelvin?”Nama Kelvin disebut dengan nada menggoda, membuat Bu Maria mengangkat alis, lal