Kafka mengerem kendaraan secara spontan. Tubuhnya tertahan seatbelt sehingga dia tidak terjungkal ke depan kemudi. Itu terjadi begitu saja ketika Kafka mendengar salah satu pegawainya yang bernama Ainun Mardiyya berkata lewat sambungan telepon, “Nun salah menta’arufkan klien.”
“Klien yang mana?” tanya Kafka setelah dia bisa mengatasi sport jantungnya barusan.
“Klien VIP bernama Alif.”
Kafka menghela napas berat. Ingin dia berkata kasar, tetapi dia juga sadar bahwa pegawainnya itu berhati lembut dan baperan.
“Saya sedang dalam perjalanan pulang. Nanti kita bahas solusinya di kantor.” Demikian keputusan Kafka.
***
Brak. Pintu kantor bak dihantam angin kencang, terbuka lebar-lebar didorong seseorang. Semua kru Biro Jodoh Pangkalan Hati yang hari itu mangkal di kantor sontak melempar pandang kepada tamu yang datang.
Seorang pria jangkung berkulit putih masuk ke ruangan tanpa mengucap salam. Matanya menyimpan kobaran api yang menyala-nyala. “Mana Kafka?” tanyanya kasar.
“Ep ... eph ...ef ... Fa ... eh, Pak Kafka ... didididi ... disana!” jawab Mang Jaja, cleaning service yang kebetulan sedang menyapu di ambang pintu. Dia yang pertama kena terjang saat orang itu masuk. Hampir kepalanya kejedot pintu.
“Siapa Mang?” tanya duo kepo Dede dan Kak Pawpaw. Mereka langsung mengintrogasi Mang Jaja begitu tamu tadi melangkah ke ruangan Kafka.
“Eng ... eng ....” Mang Jaja yang memang gagap itu sulit memberikan jawaban.
“Engap, Mang?” samber Dede syok perhatian.
“Enggak.” Gagap Mang Jaja tiba-tiba sirna.
“Terus apa? Itu tadi siapa Mang?” cecar Kak Pawpaw.
“Eng ... eng ... enggak tahu,” jawab Mang Jaja akhirnya.
“Ya elah, Mang. Bilang enggak tahu aja lama bener. Geleng kepala aja cukup kali, Mang,” gerutu Kak Pawpaw sambil kembali menghadapkan diri ke mejanya. Di sana sudah terhidang laptop yang menyala, dan sejumlah pesan masuk di gawainya, serta dua buah bakpaw sebagai penyemangat perutnya.
Di ruangan Kafka, tamu tidak diundang itu menggebrak meja.
“Sabar, Bro!” ucap Kafka menenangkan tamunya. Dia tidak kaget mengapa orang tersebut marah padanya. Sebab beberapa jam yang lalu Kafka mengabarkan bahwa telah terjadi kesalahan dalam perjodohannya. “Gue minta maaf soal kesalahan yang terjadi sama lu.”
“Lu jangan main-main, ya, Ka!” ancam orang itu. Dia sepertinya sudah kenal baik dengan bos Biro Jodoh Pangkalan Hati tersebut hingga berani menyapa dengan sebutan lu-gue seperti demikian. “Gue udah lima kali gagal ta’aruf. Eh sekalinya gue setuju, lu bilang salah orang. Sebenarnya Mak Comblang lu bisa kerja enggak sih?”
“Tenang dulu, Bro! Ini bisa dibicarakan baik-baik!”
“Hei, lu tahu kan kenapa gue buru-buru cari jodoh? Lu juga pasti tahulah kenapa gue pake jasa biro jodoh lu ....”
“I see ... I see ....” sela Kafka. Dia sebenarnya tidak mau berdebat. Kafka tahu benar watak lelaki di hadapannya itu. Mereka pernah jadi bos dan anak buah di perusahaan yang sama ketika Kafka masih merintis karier sebagai insinyur TI. “Kita bicarakan solusinya, ok?”
“Apa?” Lelaki berwajah baby face itu mendongakkan wajah seperti menantang Kafka bertaruh.
“Kita mulai pencocokan lagi dengan matching engine, maybe.”
Lelaki itu mengibaskan tangan menolak usulan Kafka tadi. “Panggil Mak Comblang error lu ke sini! Dia yang harus tanggung jawab soal ini.”
Kafka menghela napas. Dia sungguh ingin melindungi pegawainya yang berhati lembut itu. Namun apa daya, dia pun tidak bisa menolak permintaan klien. Apalagi klien VIP yang sudah menyumbang sejumlah dana untuk kemajuan Biro Jodohnya.
Sementara itu, di kubikelnya, Nun pura-pura bersikap tenang. Namun, keringat dingin membasahi pelipisnya sejak dia mengenali orang yang masuk dengan ‘mendobrak’ pintu tadi.
Alif Sya’bani Abyansyah Alkhalifi. Biarpun nama orang itu panjang seperti rel kereta api, tetapi Nun tentu tidak lupa. Dialah yang menjerat Nun ke dalam masalah.
Kedatangan Alif ke kantor itu juga pasti terkait dengan dirinya. Nun merasa jantungnya kebat-kebit tidak karuan. Dia menghitung satu, dua, tiga ... Nun merasakan tanda kiamat mendekat. Benar saja, pada hitungan ke sekian, Kafka memanggilnya ke ruangan.
Nun melafalkan segala bacaan, mulai dari bismillah sampai sepuluh ayat pertama dan terakhir surat Al Kahfi, seolah dia sedang melangkah untuk menghadapi Dajjal.
Sorot mata Alif yang menyebalkan menyambut kedatangan Nun di ruangan Kafka. Gadis berhijab klasik itu menundukkan kepala. Dia tidak sanggup menatap bosnya maupun klien sengak di hadapannya.
“Gue mau dia yang gantiin calon gue yang kemarin!” Tunjuk Alif.
Baik Kafka maupun Nun sontak mendongakkan kepala.
“Gila lu Ndro, eh ... Bro!” Kafka yang tidak pernah bercanda saja sampai keserimpet saking kagetnya.
“Gue enggak lagi becanda, ya, Ka,” sahut Alif dingin. “Gue terlanjur bilang kalau gue bakal nikah sama cewek yang kemarin gue temui di caffe. Bisa-bisa kakek gue kena serangan jantung kalau gue bilang enggak jadi. Lu kira gue bisa main-main sama nyawa kakek?”
“Ya, tapi masa sama Mak Comblang gue?” Kafka tidak habis pikir. Dia tahu benar situasi Alif yang mendesak untuk segera menikah yakni karena kakeknya sudah divonis hanya bisa bertahan hidup tidak lebih dari setahun lagi.
“Gini-gini gue bukan pembohong. Kalau gue bilang cewek yang di caffe ya, berarti yang di caffe. Kalau bukan si Selebgram itu, ya berarti bocil ini.” Alif menunjuk Nun dengan dagunya yang runcing.
Dalam benaknya Kafka mengatakan, “Iya juga sih.” Namun, hatinya tetap tidak rela. Akhirnya, dia menyerahkan keputusan kepada Nun.
Nun mematung di tempat tanpa mengedipkan mata. Dia bahkan tidak sanggup menghirup udara. Wajahnya menjadi datar tanpa riak persis seperti tembok ruangan kafka yang berwarna putih pucat.
“Hei, jawab! Tuh muka jangan lempeng aja, serem tahu. Kayak The Nun,” celoteh Alif melihat kebekuan di wajah Nun yang berbingkai jilbab putih model jadul.
“Kamu boleh menolak kalau tidak bersedia,” Kafka menengahi dengan bijak, tetapi Alif menyela sengit.
“Hei, enggak bisa gitu, ya! Pokoknya dia harus tanggung jawab! Kalau dia enggak bersedia, lu pecat aja dia!”
Nun gemetaran mendengar suara kliennya yang menggelegar. Dia ingin pingsan, tetapi nyatanya tetap sadar. Ingatannya tiba-tiba melompat ke tagihan listrik dan uang sewa kontrakan.
“Bapaaaak ... “ Nun terbayang wajah tua ayahnya yang mirip Tok Dalang. “Nun enggak bisa diginiin!” teriaknya dalam diam.
Kedua pasang mata pasangan bos dan klien di hadapannya kini terfokus kepada dirinya.
Nun menggelengkan kepala.
Alif seketika membelalakan mata. Dagu runcingnya terangkat seakan menantang perang. “Lu nolak gue?”
Nun yang mungil itu jadi makin ciut. Sekali lagi dia menggelengkan kepala.
“Berarti gue diterima, kan?”
Nun membelalakan mata sambil menggeleng lebih cepat.
“Gimana sih, diterima enggak nih?” sela Alif. Mulai kesal dia rupanya.
Kafka menatap Nun. Dalam diam, dia meminta kepastian jawaban.
Nun malah membisu setelahnya. Matanya bahkan tidak sanggup berkedip saking gegar kena teror Park Seo Joon kw.
***
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk