Binar Jelita, seorang gadis yang tumbuh di panti asuhan, berjuang keras untuk bertahan hidup. Beragam pekerjaan paruh waktu ia jalani demi memenuhi kebutuhannya. Suatu hari, ia mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di sebuah bar eksklusif dengan gaji yang menggiurkan. Namun, tak disangka, ia dipaksa untuk menemani seorang pejabat kaya. Meski berusaha menolak, Binar tak berdaya melawan tekanan mereka. Ia dicekoki minuman keras yang telah dicampur afrodisiak. Di tengah kesadarannya yang mulai memudar, sosok seorang pria tiba-tiba muncul. Pria itu membawanya keluar dari neraka yang menjeratnya. Namun, siapa pria itu? Mengapa wajahnya tampak begitu familiar? Apakah ia memiliki hubungan dengan masa lalu Binar?
Lihat lebih banyak"Aku datang kesini hanya untuk menjadi pelayan, bukan wanita panggilan!" Binar menyalak keras, menatap wanita glamour yang menggunakan riasan tebal itu dengan amarah yang menggelegak.
Binar jelita-gadis berusia 27 tahun itu tak terima dengan keputusan sepihak Madam Siska-pemilik Bar Eclipse. Namun, tawa wanita itu menggema. "Sayang sekali, orang tua angkatmu sudah menjualmu padaku." Dunia Binar runtuh dalam sekejap. Tak mungkin. Meski mereka memanfaatkannya selama ini, tak mungkin mereka akan sekejam itu. Namun, bukti itu nyata—kontrak perjanjian dengan tanda tangan ibunya. "Aku tak percaya ...." Suaranya nyaris tak terdengar. "Terserah." Madam Siska meniup asap rokoknya. "Pegang dia!" Dua pria berbadan besar segera mencengkram Binar, mengabaikan teriakannya yang menggema di antara dentuman musik. Cairan panas dipaksa melewati tenggorokannya, membuat tubuhnya terbakar dari dalam. "Nikmati malam pertamamu." Binar terus meronta, tapi tubuhnya melemah. Napasnya mulai memburu dan kulitnya berkeringat dingin. Ia semakin merasa ada yang tak beres dengan tubuhnya. Tubuh Binar diseret melewati ruangan penuh pengunjung yang hanya menatap tanpa peduli—kecuali satu orang. "Berhenti." Mendengar langkah kaki yang mendekat, sontak Binar mengangkat kepalanya. Ia berusaha menatap wajah pria dengan nama familiar baginya, tapi tertutupi oleh air mata dan keringat yang membasahi wajahnya. "Lepaskan dia," perintahnya tak menerima bantahan. Kedua pria itu saling memandang dengan raut cemas dan ketakutan yang nyata. "Tapi ... Tuan Dante ...." Salah satu pria berusaha berargumen meski suaranya bergetar. Tatapan Dante cukup membuat mereka patuh. Tubuh Binar nyaris jatuh jika pria itu tak menangkapnya. "To-tolong ...." bibir Binar nampak bergetar, genggamannya melemah di jas hitam Dante yang mulai kusut. Pandangan Dante menggelap, menyadari gadis ini telah diberi obat perangsang. Tanpa mengatakan apapun dia menggendong Binar dengan mudah, segera melangkah pergi. "Tenang, kau aman bersamaku ... Binar." Dante berjalan dengan rahang mengeras, mengabaikan banyak pasang mata yang melihatnya penasaran. "Urus mereka," perintahnya pada empat pria berseragam yang mengikutinya. Namun, sebelum benar-benar pergi. Suara keras melengking datang dari arah belakang. "TUAN DANTE! TUNGGU SEBENTAR!" Madam Siska berlari dengan keringat yang mengucur deras. Ia berniat menghampiri Dante, tapi pria itu bahkan tak menghentikan langkah panjangnya sembari mendekap Binar lebih erat. Semua orang memilih menepi meski merasa penasaran, tak ingin terlibat dalam masalah yang akan ditimbulkan Madam Siska. Dia sudah bosan hidup, begitulah isi pikiran semua orang ketika melihat keberanian Madam Siska. "Tuan Dante. Maafkan aku, tapi anda tidak bisa membawanya," seru Madam Siska terburu-buru, mengabaikan beberapa pria berjas hitam yang berdiri tegak mengawasi gerak-geriknya. "Kata siapa?" Madam Siska merasakan tubuhnya tiba-tiba menggigil ketika pria itu menatapnya tajam. Namun, ia tak punya pilihan lain. Ia hanyalah pedagang yang menginginkan keuntungan dari bisnisnya. "Maaf, tapi saya sudah membayarnya mahal dari seseorang. Saya tahu anda berkuasa, tapi bisnis adalah bisnis. Jika anda menginginkannya, anda harus-" DOR Tubuh Madam Siska menghantam tanah dengan peluru yang bersarang di dahinya, memutus perkataannya yang belum selesai. "Berisik." Dante mengernyit jijik, tak mengacuhkannya dan memasuki mobil. Mengabaikan satu nyawa yang baru saja ia renggut. "Ke hotel A," Suara Dante mendingin, membekukan udara dalam mobil. "Baik, Tuan." Secepat angin, mobil itu membelah keheningan malam yang terasa lebih dingin dari malam biasanya. --- Binar menahan tubuh Dante yang akan menjauh setelah membaringkannya di ranjang. Ia butuh sentuhannya. Sentuhan yang bisa meredakan rasa frustasi di tubuhnya. "Tolong ... aku ...," bisik Binar patah-patah. Nafasnya memburu dengan wajah memerah sepenuhnya. Dante tetap tenang, meski sedikit goyah. "Kau mungkin akan menyesalinya jika aku membantumu," ucapnya berat, memperhatikan Binar yang terus bergerak menempel padanya. Binar membuka sedikit matanya, menangkap sosok pria tampan meski terlihat buram. Ia butuh sesuatu yang bisa menenangkan rasa frustasinya. Dengan naluriah, ia menarik kerah pria itu dan mencium bibirnya dengan rakus. "Aku ingin lebih." Sesuatu dalam dirinya sedang mengendalikan tubuhnya. Rasanya menjengkelkan, tapi ia tak mampu menguasai dirinya. Ciumannya terkesan amatir, dengan gerakan terburu-buru. Dante memejamkan matanya, menikmati ciuman Binar yang kini turun ke lehernya. Perlahan, nafasnya menjadi berat dan ia menelan ludah sesekali kala Binar menggigitnya dengan liar. Namun, Dante dengan cepat menarik diri, menatap Binar yang kini bahkan menangis. "Apa yang harus kulakukan padamu?" tanyanya dengan nada berat, menahan hasratnya yang membumbung tinggi. Binar mencoba menjangkau tubuh Dante, sesuatu yang bisa menolongnya. "Aku mohon ...," rengeknya. Tiba-tiba, Dante mencium bibir Binar dengan gerakan lebih liar. Lidahnya menjelajah, membelit dan menghisap membuat Binar kuwalahan. Satu tangannya mulai menelusuri kulit Binar yang terekspos, membuat gadis itu meleguh tanpa sadar. Binar mengambil oksigen dengan rakus kala Dante melepaskan ciumannya. “Maaf,” gumam Dante pelan, lalu dengan hati-hati menekan arteri karotis dengan presisi tepat di bawah rahangnya. Hanya butuh beberapa detik. Binar mengerjap saat rasa pusing tiba-tiba menyerangnya. Telinganya berdenging saat mencoba meraih lengan Dante, tapi kekuatannya melemah dengan cepat. “Apa ... yang ...,” bisiknya hampir tak terdengar sembelum kegelapan menelannya sepenuhnya. Dante memperhatikan nafas Binar yang mulai stabil dan mengatur tubuhnya supaya ia bisa berbaring dengan nyaman. Matanya yang tajam memindai beberapa luka memar ditubuhnya dengan pandangan gelap. Dia bangkit menuju dapur dan kembali setelah dengan membawa kompres dan salep di tangannya. "Maafkan aku," gumamnya dengan rasa bersalah di wajahnya yang biasanya tanpa ekspresi. Begitu Dante menyingkap lengan bajunya, ia terdiam beberapa saat. Tangannya mengelus bekas luka bakar yang sedikit memudar dan mengecupnya penuh perasaan. "Aku kembali." Dante menetap lembut wajah Binar yang kini tertidur lelap. Setidaknya, ini lebih baik daripada harus membiarkannya tersiksa oleh efek afrodisiak yang mengendalikan tubuhnya. Dia beranjak untuk tidur di samping Binar dan menariknya dalam pelukan. Rasanya seperti dulu, saat ia selalu menidurkan adik kecilnya yang selalu ketakutan karena mimpi buruknya yang berulang. --- Suara detak jarum jam yang terdengar samar, bersaing dengan degup jantung Binar ketika mendapati dirinya terbangun di sebuah kamar mewah asing. Ketakutan dan kebingungan merayapi hatinya kala mencium aroma parfum maskulin yang tersisa di ranjang. Binar panik dan segera terduduk meski kepalanya masih berdenyut. "Di mana aku?" gumamnya kebingungan. Binar mengingat sesuatu. Madam Siska, dua pria besar yang menyeretnya dan ... Seorang pria. Binar ingat kalau dia jatuh di pelukan seorang pria sebelum jatuh tak sadarkan diri. Apa pria itu telah menyelamatkannya atau- Sebelum Binar bisa mencerna semuanya, pintu kamar terbuka. Seorang pria masuk dengan langkah tenang. Lengan kemeja hitamnya digulung sampai siku memperlihatkan lengan yang berurat. Wajahnya tampan, apalagi matanya yang tajam menatap Binar dengan intens bak tengah mengamati buruannya. "Kau sudah bangun," ucapnya dengan suara rendah dan santai, tapi Binar tak bisa mengabaikan nada tegas dibaliknya. Binar mundur selangkah, menatap pria asing itu dengan tatapan antisipasi. “Siapa kau?” tanyanya dengan suara serak khas bangun tidur. Alih-alih menjawab, pria itu malah menyeringai. Langkahnya mendekati Binar hingga berhenti tepat satu langkah darinya. “Sudah lama sekali ... Binar,” katanya pelan. Binar mengerutkan kening. “Apa maksudmu?” Pria itu tertawa pelan, seolah sudah menduga reaksi yang akan ia terima. “Kau tidak ingat aku?” Binar menelan ludahnya gugup. Ia menatap mata pria itu dalam, tapi belum berhasil menggali ingatannya. Namun, entah mengapa ia merasa familiar dengannya. Dengan tenang, pria itu merogoh saku celananya dan mengeluarkan sebuah kalung perak dengan liontin kecil berbentuk bulan sabit. Binar membelalakkan mata. Itu miliknya. Lebih tepatnya, kalung itu telah ia berikan kepada seseorang lima belas tahun yang lalu. Mungkinkah? “Ka-kak D-Dante...?” gumamnya nyaris tak percaya. Senyuman tipis terangkat di bibir pria itu. “Akhirnya.” Binat tercekat. Dante yang dulu ia kenal adalah laki-laki lugu dengan sorot mata penuh kelembutan. Bukan pria yang memiliki tatapan tajam dan aura berbahaya di sekelilingnya.“Aku benci saat seseorang menyentuh apa pun yang menyangkutmu. Bahkan sekadar memanggil namamu, sayang,” bisik Dante di leher Binar. Menghembuskan nafas hangat, meski tubuhnya sendiri tengah tegang terbakar emosi. Binar menyentuh kedua pipi Dante lembut, menegakkan wajahnya agar bisa menatap tepat ke dalam mata hitam bak lubang hitam yang menyedot seluruh atensinya. "Lalu, kenapa kau tetap mengirimku ke sana jika tak suka?" Tarikan nafas berat Dante terdengar. Pria itu menyatukan kening keduanya dan menarik pinggang Binar dengan posesif. "Karena aku tau dia menginginkannya. Dan aku juga ingin menunjukkan siapa wanita yang kupilih untuk mengoloknya." Binar terdiam. Dante menyeringai getir. “Aku bisa membuatnya menghilang malam ini juga, Binar. Kau tahu itu dengan benar. Tapi aku ... mencoba tidak menjadi monster. Untukmu.” Lama, Binar mencoba memahami maksud Dante yang sebenarnya. Sampai matanya terperangah saat pemikiran itu terlintas di otaknya. "Kau ingin aku yang berger
Binar memutar gelas sampanyenya pelan, memandang para tamu lainnya menelisik. Sesekali ia akan menyesap minumannya dengan kening berkerut. Banyak hal yang mengisi pikirannya. Matthias menyandarkan tubuh di dinding, menyilangkan tangan sambil menatap tajam eka arah Binar, tapi kali ini ada sedikit kerutan di antara alisnya. “Kau bertemu Velda,” ungkap Matthias tanpa basa-basi. Bukan bertanya, tapi lebih seperti pernyataan. “Ya,” jawab Binar datar, tanpa menoleh. “Kau tahu?” “Aku memperhatikan dia sejak awal masuk ruangan. Dia menatapmu seolah ingin membunuhmu lewat tatapan mata,” ujar Matthias datar, penuh perhitungan. "Aku tahu dia merencanakan sesuatu." Binar menghela napas. “Dia menyebut tentang jatuh dari ketinggian, tentang cinta yang terlalu dalam. Aku tahu maksudnya. Dia ingin menjatuhkan Dante ... dan aku sasarannya.” Matthias mendekat, mengambil gelas dari tangan Binar dan meletakkannya di meja. “Kalau kau pintar, kau akan menjauh dari panggung ini, Binar.” Pria itu b
Binar menatap undangan bertuliskan emas di tangannya dengan skeptis. berulangkali membacanya setelah mendengar ucapan Dante yang mengejutkan. "Kau yakin ingin aku yang pergi?" tanya Binar untuk ke-tiga kalinya dalam beberapa menit terakhir. "Ke acara seformal itu sendirian?" Alis Binar terangkat tinggi, tak bisa mempercayai perintah Dante. Mendengar itu, Dante tak menjawab langsung. Ia menyandarkan diri ke kursinya yang tinggi dengan mata tajamnya mengunci pandangan Binar. Sejak ia bisa keluar dari ruang rawat, tubuhnya memang belum pulih seratus persen, tapi kuasanya tak pernah berkurang. Bahkan aura dinginnya terasa lebih mencekam dari sebelumnya. “Bukan sendirian,” kata Dante pelan. “Matthias akan menjagamu.” Binar mendesah. “Itu tidak menjawab pertanyaanku.” "Dari awal kau selalu melarangku keluar mansion. Dan sekarang ... kau ingin aku pergi ke Gala pertemuan tokoh elit di Orsaria?" imbuh Binar bertanya-tanya. Dante berdiri perlahan, lalu berjalan mendekati Binar. Jema
Velda Lucienne adalah gadis kebanggaan Leonard. Seorang wanita ahli strategi, kejam, tapi mampu bergerak tenang. Kakek Dante melihatnya sebagai pasangan ideal untuk cucunya. Dua darah dingin yang akan membuat nama besar Daggers pact makin disanjung dan ditakuti. Tunangan Dante. Velda menerima status itu dengan bangga karena ia pun telah lama menaruh rasa pada pria tampan itu. Walaupun Dante tak pernah melihatnya selain sebagai senjata yang berguna. Dante memang tetap patuh ... selama kakeknya hidup.Namun, hari kematian pria tua itu jadi akhir segalanya.Tanpa basa-basi, tanpa pertemuan empat mata, Dante dengan kejam mencoret nama Velda dari daftar pewaris, menarik seluruh sumber dayanya, dan mengusirnya dari organisasi.“Dia bukan siapa-siapa,” ucap Dante dengan kejam kala itu. Baginya Velda hanyalah noda di kehidupannya. Sejak awal, posisi penting di hatinya telah jatuh pada gadis kecil yang ia jaga dulu ... maupun sekarang. Binar.Mendengar cerita itu, Binar hanya bergeming.
Binar terbangun perlahan, mendapati dirinya masih di sofa, dengan selimut yang membungkus tubuhnya rapat. Matthias tak terlihat di manapun, tapi aroma kopi samar-samar tercium dari dapur.Tak lama, atensi Binar teralihkan pada suara langkah berat terdengar dari pintu utama. Binar tak dapat menyembunyikan senyum haru saat melihat sosok itu ada di sana. Menatapnya dengan tatapan yang jarang sekali ia dapatkan. Dante berdiri di sana.Wajah tampan Dante masih memperlihatkan bekas luka samar dan kantung mata yang gelap. Namun, kekurangan itu sama sekali tak terlihat dibandingkan wajah dingin menawannya. Ada rasa lega yang Dante rasakan saat melihat Binar. Kemarahan yang ia tahan semalam, runtuh perlahan, walaupun rasa posesif tak pernah hilang. Binar bangkit segera dan berjalan cepat menghampiri Dante. “Kau terluka lagi?” tanya Binar terdengar cemas sambil menyentuh pipi Dante.Dante mengabaikan pertanyaannya. Ia hanya memeluk Binar dengan satu tangannya yang tak terluka. Tak begitu e
Ruang rawat Dante terasa sunyi meski diisi oleh tiga orang. Namun semua sedang sibuk dengan pikirannya sendiri.Tubuh Dante masih belum pulih sepenuhnya, bersandar di ranjang tanpa mengenakan atasan, memperlihatkan luka-lukanya yang dibalut perban.Di tangan kiri Dante, ada sebuah belati kecil kesayangannya, mengkilap ketika terkena cahaya lampu.Binar melirik Matthias dan Dante beberapa kali sembari fokus mengoleskan salep di beberapa luka gores di tangan Dante.Kecanggungan merayapi ketiganya. Dan Binar memilih diam, memperlambat gerakannya.“Bicara, Matthias,” ucap Dante dingin. Namun mengandung tekanan. “Aku tahu kau datang bukan hanya untuk menatap istriku.”Matthias menatap Dante tenang meskipun mendengar nada sarkastis. Mata hitamnya berkilat. “Kau tetap setajam biasa.”“Dan kau tetap terlalu diam untuk orang yang menyimpan terlalu banyak,” sahut Dante menyipitkan mata.Binar menunduk, pura-pura sibuk dengan luka Dante, tapi jantungnya berdetak terlalu cepat. Ia bisa merasakan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen