Persis seperti di foto, lelaki berambut cepak, berkulit putih dengan mata sipit, hidung mancung dan dagu runcing itu duduk bersandar di kursi sebuah caffe. Santai tanpa beban.
Kemeja slimfit membungkus badannya yang atletis. Jas casual tersampir di kursi. Sementara gawai keluaran terbaru miliknya tergeletak begitu saja di atas meja bersama segelas minuman bersoda.
Ketika Nun tiba, lelaki itu langsung mendongakkan kepala.
“Kamu, yang mau ta’aruf dengan saya?” tanya dia, bahkan sebelum Nun bersuara. Intonasi dan tatapan lelaki itu seperti meremehkan dia.
Nun cepat-cepat memberi isyarat penyangkalan, “Bukan ... bukan saya,” kata dia sambil memasang wajah seramah mungkin.
Sedongkol apa pun hatinya saat itu, dia tetap harus memberikan pelayanan prima sebagai Mak Comblang elite dari pangkalanhati.com.
Lelaki itu menjulurkan bibir bagian bawahnya, jelas mencibir.
“Saya consultan relationship dari pangkalanhati.com. Saya menggantikan Mas Haris yang berhalangan hari ini,” jelas Nun sambil menangkupkan tangan memberikan salam.
Lelaki itu sama sekali tidak membalas. Dia malah menilik penampilan Nun dari ujung kaki hingga ujung kepala sambil memicingkan mata. “Bocil begini ... enggak cocok kamu jadi Mak Comblang saya!” kata dia.
“Bocil?” Nun menggumam dalam hati. Namun, wajahnya tetap setenang permukaan air di bak mandi. Setidaknya dia tahu diri, tubuhnya memang mungil, dan wajahnya imut sekali. Naik angkot saja ongkosnya masih disamakan dengan anak SMP. Pantas saja dia dibilang bocil oleh klien sendiri.
Meski pertemuan itu dimulai dengan sesuatu yang tidak mengenakan hati. Nun lega sebab dia akhirnya sukses mempertemukan klien bernama Alif itu dengan wanita yang sesuai kriteria.
Wanita itu seorang selebgram yang cukup terkenal di kalangan anak muda. Wajah cantiknya perpaduan Uzbekistan dan Tionghoa. Kulit putih sebening porselin, rambut panjang hitam legam seperti duta shampo lain, tubuh tinggi semampai bak model catwalk. Nun saja terpana ketika wanita itu muncul di hadapannya. Apalagi sang klien pria. Dia tidak berkedip saking terkesima dan akhirnya langsung iya-iya saja.
Sayangnya begitu pertemuan usai, Nun mendapat kabar tidak menyenangkan.
Sore hari sepulang kerja, dia dan kru biro jodoh pangkalanhati.com berangkat bersama menjenguk Mas Haris di rumah sakit, tanpa Kafka. Kondisi Mak Comblang senior itu memang cukup memprihatinkan. Tangan dan kakinya dibebat perban. Dia tidak leluasa bergerak di tempat tidurnya. Selang infus terpasang di tangan kiri sementara tangan kanannya disangga gips.
Dia mengalami kecelakaan akibat motornya ditabrak pengemudi mobil ugal-ugalan. Meski jadi korban tabrak lari, semua pengobatannya ditanggung perusahaan. Kafka sebagai CEO pangkalanhati.com memang selalu terdepan pasang badan soal kesejahteraan karyawannya. Itu salah satu poin plus sang Bos dimata para karyawan, terutama Nun selaku secret admire-nya.
“Moga lekas sembuh, ya, Mas!” ucap Kak Pawpaw tulus dan ikhlas sambil nyomot sebiji anggur dari parsel yang teronggok di atas nakas samping ranjang pasien. Si Hobi makan satu itu memang tidak bisa lihat makanan nganggur.
“Makasih, ya, kalian semua sudah repot-repot datang ke sini,” ucap Mas Haris.
Basa-basi berlanjut sebelum semuanya pamit. Namun, pada pembicaraan soal agenda kerja yang Nun ambil alih, Mas Haris berkata, “Sukses ya, Nun. Semoga Mbak Selebgram cocok sama Pak Ustaz.”
“Pak Ustaz?” Nun mengernyitkan dahi. Asli. Dia tidak mengerti.
“Mbak Selebgram yang beken itu ... dia mau hijrah. Hasil matchmaking-nya juga pas dengan Pak Ustaz hafiz Qur’an yang juga YouTuber itu lho, Nun. Mereka sudah nazhor belum?”
Nun membeku di tempatnya berdiri, seperti baru disambar petir. Dia jadi teringat ekspresi Mbak selebgram yang tampak ganjil sepanjang pertemuan dengan klien bernama Alif tadi. Sayangnya, dia tidak berkata apa-apa, atau mungkin Nun yang tidak paham dengan isyarat yang diberikan Mbak-Mbak tersebut sebab si Alif tidak berhenti nyerocos dengan antusias sepanjang pertemuan. Nun kan jadi tidak konsen.
“Aduh bapaaaak ... Nun harus sabar lagi nih, kayaknya,” teriak dia. Tentu dalam hati saja.
***
Nun meringis. Dia sungguh kebingungan karena telah salah menta’arufkan pasangan. Untung saja, urusan ketoprak sudah selesai dibagikan. Pagi itu, ekspresi wajah Nun tidak seceria hari-hari yang lalu sebelum negara api menyerang, eh ... sebelum dia menangani klien songong bernama Alif itu.
Sungguh Nun seperti menelan sarapan simalakama. Padahal, tidak sesuap ketoprak pun yang masuk ke mulutnya. Gadis itu jadi tidak nafsu makan. Ekpresi wajahnya malah seperti orang menahan sembelit tujuh hari tujuh malam.
“The Nun, kenapa lu?” tanya Devan yang lewat untuk membuang sampah bungkus ketoprak.
“Enggak apa-apa, Bang.”
“Kalau ada masalah, cerita!” kata Devan syok bijaksana.
“Sebenarnya ....” Nun baru saja hendak berkata-kata.
“Cerita sama Mami Dedeh sana! Jangan curhat sama gue. Wew!” Devan berlalu dengan wajah lugu.
Ingin rasanya Nun mengunyah setumpuk berkas CV klien di kubikelnya. “Dasar Bang Devan!” Atasannya yang satu itu memang suka bikin kesel sekaligus keselek kalau lagi makan.
***
Sungguh, Nun tidak pernah menyangka bahwa perjodohan manusia bisa serumit ini, apalagi saat semua diatur sistem dan dikerjakan secara profesional. Fix, dia harus meralat kesalahan, melapor kepada atasan dan mengonfirmasikan kekeliruan yang terjadi kepada kliennya.
Sang Selebgram sudah menghubungi Nun dan menolak meneruskan ta’aruf. Dia menyatakan lebih tertarik dengan CV yang sebelumnya ditawarkan Mas Haris, yakni CV milik ustaz sang Hafiz.
Nun pun memeriksa kembali berkas yang dia ambil dari kubikel tempo hari. Benar, ternyata ada map yang jatuh. Itu berisi berkas calon pasangan Alif yang seharusnya Nun ta’arufkan hari itu.
Nun menyandarkan tubuhnya ke kursi dan berputar-putar di sana saking pusingnya memikirkan masalah ini. Bisa-bisanya Mas Haris tidak menyusun berkas dengan benar sampai berceceran begitu. Namun, mau bagaimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Nun yang harus menyantapnya sampai kenyang.
Diam-diam dia menatap ruangan berdinding kaca di pojok kantornya. Nun sangat menyayangkan Pak bosnya belum kembali dari luar kota. Curhat ke Mami Dedeh akan makan waktu lama. Akhirnya dia berkonsultasi dengan Kak Pawpaw.
Hebohlah duo senior-junior tidak terpisahkan itu, yakni Pawpaw-Dede ketika mendengar Nun curhat.
“Binasa karier kamu, The Nun!” Komen Kak Pawpaw yang tidak ubahnya seperti ocehan pedas Devan.
“Cilaka dua belas lima atuh eta mah, Teh Nun!” komen Dede syok pakai bahasa Barat mengikuti logat Nun yang asli Sunda.
Bukan kelegaan yang didapat, Nun malah makin senewen dibuatnya. Tidak tahukah mereka bahwa bukan komentar ala netizen yang Nun butuhkan, melainkan solusi cerdas, cermat, dan akurat. Salah Nun juga sih, curhat kepada dua makhluk penyuka ghibah.
“Mending The Nun hubungi Pak Kafka aja deh coba,” saran Kak Pawpaw pada akhirnya.
Dede pun menambahkan, “Iya, Teh Nun. Siapa tahu ada kesempatan cari perhatian bos.”
Nun mendelik. Mulut Dede satu itu memang kadang enggak ada akhlak. Minta disuapin ketoprak level pedas kali dia.
“Baiklah, saudara-saudara ....” Nun memungkas pembicaraan. “Nun akan coba memberanikan diri bicara sama Pak Kafka.
Karya ini saya persembahkan secara khusus untuk almarhum bapak. Sebab, kisah di dalamnya adalah sekelumit gambaran tentang konflik yang pernah membelit kami.Dari Bapak saya belajar tentang sederhananya menjalani hidup dan tentang ajaibnya takdir. Hal itu pula lah yang saya coba sampaikan melalui kisah Nun-Alif-Kafka di Biro Jodoh Pangkalan Hati ini.Semoga berkenan di hati pembaca.Terima kasih saya ucapkan kepada semua pembaca dan mohon maaf apabila terdapat banyak sekali kesalahan dalam pengetikan dan penyampaian cerita ini.Versi cetak novel Biro Jodoh Pangkalan Hati sudah beredar dan bisa didapatkan di market place penerbit LovrRinz Store. Bagi yang ingin memeluk Nun-Alif-Kafka versi cetak, bisa langsung ke sana, atau silakan komen di sini, ya.
Pernikahan The Nun dengan cucu sultan dan identitas Bos Pangkalan Hati yang baru terungkap, menjadi gosip hangat di kantor.“Heh, berisik!” Devan lewat dengan kalimat saktinya hingga hening seketika tercipta kala Pawpaw-Dede menyebar gosip kepada Mang Jaja. Dia lantas, melangkah lurus ke kubikel Nun yang baru masuk kerja setelah dapat jatah cuti nikah.“Hei, pengantin baru, gue ada order nih!”Dengan malas, Nun menoleh. Dia sudah hafal dengan kelakuan asisten bosnya itu. Nun siap makan hati. “Ketoprak?” tanyanya.“Bukan. Sst ...” Devan mengatupkan mulutnya dengan menempelkan satu jari. “Ikut ke meja gue sekarang!”Nun mengekori dia tanpa semangat. ‘Awas aja kalau sampai dibully lagi kayak waktu kasus si Hamzah dulu!’ ancam Nun dalam hati.Tiba di meja Devan, Nun diperlihatkan sebuah berkas.“Lu jangan ketawa, jangan senyum, jangan nyengir! Mingkem aja!&rdquo
Alif senyam-senyum waktu Nun cerita soal bapaknya yang ajaib. Digenggamnya tangan Nun yang hari itu tampak beda dari biasa. Gaun pengantin berupa gamis putih berlapis brokat dan payet membungkus tubuh mungilnya. Riasan tipis membuat wajah pucat Nun jadi cantik berseri dibingkai jilbab. Style-nya sama seperti biasa, model The Nun.“Alhamdulillah,” ucapnya. “Bagaimanapun indahnya rencana manusia, tidak akan bisa menandingi kesempurnaan takdir yang ditetapkan Allah untuk kita. Ya, kan?”Di mata Nun, Alif jadi berlipat-lipat ganda level kegantengannya. Entah karena setelan jas dan dandanan ala mempelai pria; senyum permanen yang melekat di wajahnya; atau kata-katanya yang bijak bestari; pokoknya Alif jadi terlihat kalem, dewasa, dan bijaksana sekali.“Gimana, udah jatuh cinta belum sama aku?” tanya Alif sambil menjingka-jingkatkan alis. Sikap belagunya bikin ambyar penilaian sang Istri. Tadinya Nun sudah fix kesengsem, eh ... jadi
Sepulang dari acara fitting baju, Nun merasa kepalanya pusing. AC mobil Alif menurutnya terlalu dingin. Kardigan tebal tidak menyelamatkan Nun dari masuk angin. Dia mual-mual begitu pulang ke rumah. Namun, tetap tidak lupa menyerahkan bungkusan berisi setelan untuk Pak Sabar pakai di hari H.Bapaknya baru pulang dari masjid usai salat Isya. Dia masih memakai sarung, baju koko dan peci. Dilepanya peci yang warna hitam yang sudah agak pudar itu di atas kursi, seraya merebahkan diri.“Pak, ini setelan Bapak untuk hari pernikahan Nun nanti!” Diletakkannya bungkusan baju itu dekat peci bapak.Lelaki itu hanya melirik. Bukan kegembiraan yang Nun dapati dari sorot mata Pak Sabar. Bola mata berwarna kelabu itu terlihat sendu.“Kamu sama Alif ...?” ujar Pak Sabar setengah bergumam, “Ngapain saja selama ini?”Nun terbeliak. “Nun enggak ngapa-ngapain.” Dia gelagapan, tetapi tidak bisa menahan mual.Pak Sa
Pasangan ini memang belum berani menceritakan soal pernikahan mereka, terutama kepada Pak Sabar. Mereka bersepakat untuk tidak memberi tahu siapa pun hingga resepsi yang sudah dijadwalkan benar-benar digelar. Mereka juga tetap berkonsultasi dengan Kafka perihal langkah yang perlu dijalankan agar semuanya lancar dan baik-baik saja.“Kalian sudah menikah, sah secara agama,” kata Kafka, “Jadi, kalaupun nanti harus akad lagi, itu tidak masalah.”Nun yang ragu soal itu lantas, bertanya kepada Mami Dedeh yang kebetulan datang ke kantor pada suatu hari. Kata Mami Dedeh, memang benar hal itu diperbolehkan, selama rukun dan syarat sah nikahnya sempurna. Akad kedua tidak membatalkan akad yang pertama.Mami Dedeh mengutip sebuah hadis yang diriwayatkan Imam Bukhari.“Abu ‘Ashim bercerita sebagaimana diceritakan dari Yazid bin Abu Ubaid dari Salamah,” kata Mamah Dedeh. ”Nabi bertanya kepada Salamah, ‘Ya, Salamah,
Sejak meninggalnya Pak Yasin, Alif tenggelam dalam kesedihan. Banyak hal yang harusnya dia urusi, mulai dari pekerjaan kantor hingga hak waris. Namun, itu semua dia abaikan. Nun bahkan tidak bisa menghubungi dia lagi. Sampai suatu ketika, sopir Alif datang ke kantor Biro Jodoh untuk menemuinya.“Mbak Bos, saya ke sini bukan mau cari jodoh, tapi minta tolong. Bujuk Bos Alif ... sudah tiga hari dia tidak mau makan dan tidak mau keluar kamar.”Lantas, Nun meminta ijin kepada Kafka untuk ikut bersama sopir Alif ke rumah sang Suami.“Enggak usah minta ijin lagi sama aku. Kamu kan berhak menemui dia kapan pun. Kalau dia enggak mau ketemu, bilang sama aku,” kata Kafka.Di rumah Alif yang bak istana pangeran dalam kisah Cinderella, Nun disambut hangat para pengurus yang disebut Alif sebagai keluarganya ketika lamaran dahulu. Laporan tentang Alif langsung Nun terima. Mereka tidak sungkan kepada Nun, begitu dia kepada mereka.Ditunjuk