Home / Romansa / Bisikan Dosa / Bab 4 - Perpustakaan

Share

Bab 4 - Perpustakaan

Author: Lee Sizunii
last update Huling Na-update: 2025-08-19 22:16:23

Hari pertama kuliah ternyata lebih melelahkan daripada yang Alana bayangkan. Sejak pagi, Axel tak henti-hentinya mencari perhatian.

Entah itu dengan mengetuk kursinya dari belakang, berbisik komentar usil saat dosen bicara, atau memperkenalkannya kepada teman-teman barunya dengan cara yang membuat Alana ingin menghilang dari muka bumi.

Saat bel istirahat makan siang berbunyi, Alana menarik napas lega. Mahasiswa lain berhamburan ke kantin, tapi Alana tidak berniat ikut. Perutnya memang lapar, tapi lebih lapar lagi otaknya untuk mencari sedikit ketenangan setelah seharian diseret dalam pusaran Axel.

Ia berjalan menuju perpustakaan kampus. Dari luar, gedung itu tampak seperti kuil pengetahuan—tinggi, megah, dengan dinding kaca yang memantulkan sinar matahari. Begitu masuk, aroma khas kertas dan kayu tua langsung menyambutnya, membuat hatinya sedikit lebih ringan.

Alana melangkah di antara rak-rak buku, lalu bergumam kecil, suara yang hanya cukup didengar dirinya sendiri.

“Kenapa sih dia harus semenyebalkan itu? Masa iya setiap hari harus ketemu Axel, bahkan di kampus? Rasanya… Tuhan sengaja bikin hidupku repot.”

Ia mendengus kesal, sambil menggeser jemarinya di sepanjang punggung buku-buku. Saat matanya tertuju pada salah satu judul yang akrab, wajahnya langsung cerah. Buku itu termasuk favoritnya sejak SMA, sebuah novel klasik yang jarang ia temui di perpustakaan umum dekat rumah lamanya.

“Tidak mungkin…” ujarnya pelan, lalu tersenyum penuh semangat.

Ia meraih buku itu, membuka halamannya, dan mulai membaca sambil berjalan pelan, pikirannya terhanyut ke dunia lain.

Namun, kebiasaannya itu membawa masalah. Saat ia sedang menunduk membaca, tubuhnya menabrak seseorang. Buku hampir terlepas dari tangannya.

“Oh! Maaf, aku—”

Suara itu tercekat begitu matanya bertemu dengan sosok yang berdiri di hadapannya. Nero.

Kebetulan Nero datang menemui dosen tamu dari perusahaan ayahnya. Justru saat akan kembali, malah bertemu dengan Alana seperti ini.

Dengan jas kasual yang tetap terlihat rapi, dasi tipis di leher, dan map kerja di tangannya, Nero tampak lebih seperti eksekutif muda daripada mahasiswa. Tatapannya tajam, tenang, tapi memberi tekanan yang membuat Alana langsung merasa kecil.

“Alana.” Suaranya datar, tapi cukup untuk membuat jantung Alana berdebar kencang.

Alana menunduk cepat, wajahnya memerah. “S-sorry… aku nggak lihat jalan.”

Nero menghela napas pelan, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Ada sesuatu di sorot matanya—bukan sekadar tatapan kakak tiri, tapi tatapan seorang pria dewasa yang terbiasa menilai orang di sekitarnya dengan standar tinggi.

“Kau seharusnya lebih hati-hati,” ucap Nero dingin. “Kampus bukan tempat untuk berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Apalagi… membaca sambil jalan. Itu ceroboh.”

Alana menelan ludah. Tangannya meremas buku erat-erat. “Iya… aku salah.”

Nero mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah tapi tegas.

“Kalau kau benar-benar ingin berkembang di sini, jangan terbawa gaya Axel. Dia boleh saja suka bermain-main, tapi itu bukan alasan bagimu untuk ikut tidak fokus. Kau harus belajar bersikap lebih dewasa.”

Kalimat itu menancap di telinganya. Tidak ada nada marah, tapi tekanan yang dipancarkan membuatnya serasa sedang diadili. Alana ingin membela diri, mengatakan bahwa dirinya tidak sama dengan Axel. Tapi bibirnya kelu.

Yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk. “Baik, Kak…”

Nero memandangnya sejenak, seolah ingin memastikan kata-katanya benar-benar masuk ke kepala Alana. Lalu ia melangkah pergi, map kerjanya masih di tangan, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar.

Alana berdiri terpaku di antara rak-rak buku, wajahnya panas. Rasa malu, kagum, dan takut bercampur jadi satu. Ia menggigit bibir, memeluk buku ke dadanya.

Kenapa dia harus sedingin itu? Tapi… kenapa aku justru merasa makin ingin diperhatikan olehnya?

Patuloy na basahin ang aklat na ito nang libre
I-scan ang code upang i-download ang App

Pinakabagong kabanata

  • Bisikan Dosa   Bab 11 - Teman baru

    Suasana kelas perlahan lengang setelah dosen menutup penjelasannya. Mahasiswa lain berbondong-bondong keluar menuju kantin atau sekadar nongkrong di luar. Alana, seperti biasanya, tetap duduk di kursinya. Ia membuka kembali buku catatan, merapikan tulisan-tulisan dosen tadi yang sempat tercecer.Pensil mekaniknya menari di atas kertas, sementara ruang kelas makin sepi. Hanya ada suara kipas angin di langit-langit yang berputar pelan.Namun, tidak lama kemudian, telinganya menangkap suara kecil, seperti barang jatuh dan seseorang yang bergumam gelisah. Alana menoleh.Di pojok belakang, seorang gadis masih berada di kelas. Penampilannya cukup mencolok. Kacamata besar yang tampak kebesaran menutupi setengah wajahnya, rambut diikat seadanya, dan wajah yang dipenuhi beberapa tahi lalat. Gadis itu tampak sibuk meraba-raba lantai, menunduk dengan panik.Alana ragu sejenak, tapi akhirnya menutup bukunya. Ia bangkit dan berjalan mendekati. “Hei… kamu

  • Bisikan Dosa   Bab 10 - Tidur di kamar yang salah

    Ruang kamar Axel masih dipenuhi dengan suara game yang setengah mati ia mainkan. Di meja belajar, kertas salinan sudah menumpuk, barisan tulisan tangan Alana memenuhi halaman demi halaman. Gadis itu bersandar di kursi, kepala tertunduk, mata terpejam.Axel melirik sekilas, mengangkat alis. “Hah? Udah tidur?” gumamnya.Ia bangkit dari beanbag, berjalan mendekat, lalu menepuk bahu Alana. “Hei, bangun. Baru segini aja udah tumbang? Dasar kebo.”Tidak ada respon.Axel menghela napas panjang, kali ini menggoyangkan tubuh Alana. Tetap tidak ada gerakan selain hembusan napas halus yang teratur.“Astaga, susah banget sih bangunin cewek ini.”Kesal, Axel mencoba menarik tubuh Alana agar duduk tegak. Tapi saat ia menarik, kakinya sendiri tersandung botol air mineral kosong yang ia biarkan berserakan di lantai.“Shit—!”Tubuh Axel kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh, menyeret kursi sekaligus Alana yang masih tertidur. Refleks, Axel mengg

  • Bisikan Dosa   Bab 9 - Kamar yang berantakan

    Malam itu meja makan terasa lebih lengang dari biasanya. Hanya Edward, Vivienne, dan Alana yang duduk mengitari meja panjang berlapis kain putih itu.Nero entah di mana, Axel pun tak terlihat batang hidungnya.Alana mengaduk sup di mangkuknya, tapi pikirannya melayang jauh. Bayangan video aneh yang ia tonton di ruang baca tadi sore masih mengganggu. Gerakan tubuh wanita itu, pelukan pria asing yang begitu erat, semua membuat pipinya kembali panas. Lebih buruk lagi, ia masih tak tahu siapa pengirim email itu.“Bagaimana harimu di kampus, sayang?” tanya Vivienne dengan senyum lembut.Alana tersentak kecil, buru-buru mengangkat wajahnya. “B-baik, Ma. Semua berjalan lancar.”Edward menatapnya dengan hangat. “Kalau ada kesulitan, bilang saja. Jangan dipendam sendiri.”Alana mengangguk patuh, meski senyumnya kaku. Hanya ada sedikit percakapan singkat setelah itu. Begitu makan malam selesai, Alana segera pamit ke kamar. Ia butuh ruang untuk bernapa

  • Bisikan Dosa   Bab 8 - Link video

    Sore itu, langkah Alana terasa berat ketika ia menuruni mobil yang baru saja membawanya pulang dari kampus. Hari yang panjang benar-benar menguras tenaga. Tasnya terasa lebih berat dari biasanya, meski hanya berisi buku dan catatan. Begitu memasuki rumah keluarga Graves, kesunyian langsung menyambut. Rumah megah itu terasa dingin, terlalu luas untuk diisi oleh hanya satu orang. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan. Bahkan jejak langkahnya bergema di lorong panjang, membuat kesepian semakin terasa menusuk. Alana berhenti sejenak di ruang tamu. Matanya menyapu setiap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Kenapa aku tidak pernah berjalan-jalan di rumah ini sejak datang? pikirnya. Rasa penasaran pun mendorong langkahnya. Ia mulai menelusuri lorong-lorong besar dengan karpet tebal berwarna merah marun, melewati deretan lukisan tua dengan bingkai emas. Ada sebuah ruang musik dengan piano grand hitam berkilau, sunyi namun anggun, seolah menunggu seseorang untuk menyentuh

  • Bisikan Dosa   Bab 7 - Bekal

    Hari itu, kelas terasa begitu lengang meskipun ramai oleh suara mahasiswa yang baru saja masuk kuliah. Alana duduk di kursi barisan tengah, tubuhnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada meja. Meski matanya menatap papan tulis kosong, pikirannya berkelana entah ke mana. Sudah beberapa hari ia berada di kampus ini, tapi teman? Belum satu pun. Sifat pendiamnya membuat ia sering terjebak di ruang sendiri, merasa asing sekaligus enggan membuka diri. Baginya, mendengarkan lebih nyaman daripada ikut bersuara. Suara tawa di belakangnya membuat Alana sedikit menoleh. Sekelompok mahasiswa sedang bercakap heboh. Mereka membicarakan sesuatu yang… aneh. “Gue tuh pernah kepikiran, kalau punya kakak seganteng artis, kayaknya nggak bakal tahan deh buat nggak mikirin macem-macem.” Yang lain tertawa. “Eh gila lu! Kakak sendiri? Itu udah fantasi keluarga namanya.” “Ya gimana? Kalau liat bibir kakak gue, bawaannya pengen gue cium aja.” “Tapi iya sih, gue punya kakak keponakan juga ganteng bener, di

  • Bisikan Dosa   Bab 6 - Sentuhan jari

    Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca jendela ruang makan keluarga Graves, menyoroti meja panjang yang sudah tertata rapi dengan hidangan sarapan. Alana duduk di kursi, berusaha menenangkan diri. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bayangan Axel, suara tawanya, dan kalimat “Kamu penasaran?” terus bergema di kepalanya. Namun sekarang, semua anggota keluarga hadir di meja. Vivianne duduk anggun di sisi Edward, wajahnya penuh kehangatan. Nero, seperti biasa, tampak serius dengan kemeja rapi meski hanya sarapan. Dan Axel… duduk santai di kursinya, melahap roti dan telur seolah dunia sama sekali tidak menyimpan rahasia. “Alana sayang,” suara lembut Vivianne memecah keheningan. “Bagaimana kuliahmu kemarin? Semua baik-baik saja?” Alana tersenyum kaku, menunduk sebentar sebelum menjawab, “Iya, Mama. Baik-baik saja.” Edward menambahkan, dengan nada perhatian khas seorang ayah, “Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke Papa, ya. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Tidak ada yang perlu di

Higit pang Kabanata
Galugarin at basahin ang magagandang nobela
Libreng basahin ang magagandang nobela sa GoodNovel app. I-download ang mga librong gusto mo at basahin kahit saan at anumang oras.
Libreng basahin ang mga aklat sa app
I-scan ang code para mabasa sa App
DMCA.com Protection Status