LOGINHari pertama kuliah ternyata lebih melelahkan daripada yang Alana bayangkan. Sejak pagi, Axel tak henti-hentinya mencari perhatian.
Entah itu dengan mengetuk kursinya dari belakang, berbisik komentar usil saat dosen bicara, atau memperkenalkannya kepada teman-teman barunya dengan cara yang membuat Alana ingin menghilang dari muka bumi. Saat bel istirahat makan siang berbunyi, Alana menarik napas lega. Mahasiswa lain berhamburan ke kantin, tapi Alana tidak berniat ikut. Perutnya memang lapar, tapi lebih lapar lagi otaknya untuk mencari sedikit ketenangan setelah seharian diseret dalam pusaran Axel. Ia berjalan menuju perpustakaan kampus. Dari luar, gedung itu tampak seperti kuil pengetahuan—tinggi, megah, dengan dinding kaca yang memantulkan sinar matahari. Begitu masuk, aroma khas kertas dan kayu tua langsung menyambutnya, membuat hatinya sedikit lebih ringan. Alana melangkah di antara rak-rak buku, lalu bergumam kecil, suara yang hanya cukup didengar dirinya sendiri. “Kenapa sih dia harus semenyebalkan itu? Masa iya setiap hari harus ketemu Axel, bahkan di kampus? Rasanya… Tuhan sengaja bikin hidupku repot.” Ia mendengus kesal, sambil menggeser jemarinya di sepanjang punggung buku-buku. Saat matanya tertuju pada salah satu judul yang akrab, wajahnya langsung cerah. Buku itu termasuk favoritnya sejak SMA, sebuah novel klasik yang jarang ia temui di perpustakaan umum dekat rumah lamanya. “Tidak mungkin…” ujarnya pelan, lalu tersenyum penuh semangat. Ia meraih buku itu, membuka halamannya, dan mulai membaca sambil berjalan pelan, pikirannya terhanyut ke dunia lain. Namun, kebiasaannya itu membawa masalah. Saat ia sedang menunduk membaca, tubuhnya menabrak seseorang. Buku hampir terlepas dari tangannya. “Oh! Maaf, aku—” Suara itu tercekat begitu matanya bertemu dengan sosok yang berdiri di hadapannya. Nero. Kebetulan Nero datang menemui dosen tamu dari perusahaan ayahnya. Justru saat akan kembali, malah bertemu dengan Alana seperti ini. Dengan jas kasual yang tetap terlihat rapi, dasi tipis di leher, dan map kerja di tangannya, Nero tampak lebih seperti eksekutif muda daripada mahasiswa. Tatapannya tajam, tenang, tapi memberi tekanan yang membuat Alana langsung merasa kecil. “Alana.” Suaranya datar, tapi cukup untuk membuat jantung Alana berdebar kencang. Alana menunduk cepat, wajahnya memerah. “S-sorry… aku nggak lihat jalan.” Nero menghela napas pelan, menatapnya dari ujung kepala hingga kaki. Ada sesuatu di sorot matanya—bukan sekadar tatapan kakak tiri, tapi tatapan seorang pria dewasa yang terbiasa menilai orang di sekitarnya dengan standar tinggi. “Kau seharusnya lebih hati-hati,” ucap Nero dingin. “Kampus bukan tempat untuk berjalan tanpa memperhatikan sekitar. Apalagi… membaca sambil jalan. Itu ceroboh.” Alana menelan ludah. Tangannya meremas buku erat-erat. “Iya… aku salah.” Nero mencondongkan tubuh sedikit, suaranya rendah tapi tegas. “Kalau kau benar-benar ingin berkembang di sini, jangan terbawa gaya Axel. Dia boleh saja suka bermain-main, tapi itu bukan alasan bagimu untuk ikut tidak fokus. Kau harus belajar bersikap lebih dewasa.” Kalimat itu menancap di telinganya. Tidak ada nada marah, tapi tekanan yang dipancarkan membuatnya serasa sedang diadili. Alana ingin membela diri, mengatakan bahwa dirinya tidak sama dengan Axel. Tapi bibirnya kelu. Yang bisa ia lakukan hanyalah mengangguk. “Baik, Kak…” Nero memandangnya sejenak, seolah ingin memastikan kata-katanya benar-benar masuk ke kepala Alana. Lalu ia melangkah pergi, map kerjanya masih di tangan, meninggalkan aroma parfum maskulin yang samar. Alana berdiri terpaku di antara rak-rak buku, wajahnya panas. Rasa malu, kagum, dan takut bercampur jadi satu. Ia menggigit bibir, memeluk buku ke dadanya. Kenapa dia harus sedingin itu? Tapi… kenapa aku justru merasa makin ingin diperhatikan olehnya?Udara hangat Maldives masih melekat di kulit saat Alana dan Nero berjalan menyusuri koridor hotel menuju kamar mereka. Perjalanan liburan singkat ini ternyata menyenangkan, jauh dari tekanan rutinitas dan yang paling penting jauh dari Axel, meski hanya untuk sementara.“Kalau butuh apa-apa, jangan ragu untuk telepon aku,” ujar Nero sambil mengeluarkan kunci kamarnya. Wajahnya tenang, tapi sorot matanya penuh perhatian.Alana tersenyum lega. “Iya, Kak. Terima kasih untuk semuanya.” Nero membalas senyumnya sebelum masuk ke kamarnya.Napas lega itu masih tertahan di dada Alana saat dia memasukkan kartu kunci ke slot pintunya. Klik. Begitu dia mendorong pintu, sebuah bayangan besar bergerak cepat dari belakangnya.Sebuah tangan kuat mendorongnya masuk ke dalam kamar yang gelap sebelum dia sempat berteriak. Tubuhnya dihempas hingga membelakangi pintu yang kini tertutup rapat.“Kak Axel?” serunya, jantungnya berdebar kencang. Matanya mulai terbiasa dengan cahaya remang-remang dari balik tir
Alana berdiri di depan cermin kamar mandi hotel yang besar dan terang, memperhatikan wajahnya yang sedikit memerah karena air hangat. Butiran air masih menetes dari ujung rambutnya, membasahi bahu.Ia tersenyum kecil pada bayangan dirinya sendiri, jarang sekali ia bisa merasa sebebas ini. Tak ada notifikasi ponsel, tak ada gosip, tak ada tekanan apa pun. Hanya dirinya, lautan, dan hari yang baru.Selesai mengeringkan rambutnya dengan handuk putih lembut, Alana mengenakan dress santai berwarna biru muda yang ringan. Ia menatap sebentar ke arah jendela kamar.Cahaya matahari sore sudah mulai keemasan. Waktu yang sempurna untuk ke pantai. Dengan langkah kecil tapi semangat, ia mengambil tas kecil, kacamata hitamnya, lalu keluar dari kamar.Tok tok tok!Ia mengetuk pintu kamar sebelah sambil berseru, “Kak Nero! Aku udah siap! Ayo ke pantai, cepetan, nanti sunset-nya keburu ilang!”Tak lama kemudian pintu terbuka. Nero muncul dan Alana langsung terbelalak.“Eh?!” serunya spontan. “Kak Nero
Pagi itu udara masih terasa segar ketika Alana sudah berdiri di ruang tamu dengan koper di tangan. Rambutnya dikuncir rapi, wajahnya tampak semangat meski matanya masih menyisakan sedikit kantuk.Ia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan degup jantung yang terasa agak cepat. Ini akan jadi perjalanan panjang dan entah kenapa ia sedikit gugup.Pintu kamar Nero terbuka, dan laki-laki itu keluar sambil menepuk-nepuk jaketnya. Begitu melihat Alana berdiri di sana, ia spontan tersenyum kecil lalu bergegas menghampiri.“Wah, kamu cepat juga siapnya. Sini, koper kamu biar aku bawa.”Alana langsung menyerahkan gagang koper itu, tersenyum malu. “Makasih, Kak.”“Siap berangkat?”“Siap banget!” jawabnya mantap.Begitu mereka keluar rumah, halaman sudah tampak ramai. Sopir keluarga sedang menunggu di dekat mobil hitam besar yang sudah siap dengan bagasi terbuka. Nero membantu memasukkan koper Alana ke dalam mobil, lalu ia sendiri duduk di kursi depan sementara Alana duduk di belakang.Di
“Argh!”Suara Alana terdengar dari sisi ranjang, diikuti dengan bunyi keras tombol keyboard yang ditekan berulang-ulang.“Kenapa sih game ini susah banget!”Axel, yang duduk di depan komputernya, hanya melirik sebentar sambil menahan tawa. “Kau bahkan belum sampai setengah level, Alana.”“Aku udah tiga kali jatuh ke jurang! Gimana mau naik gunung kalau jalannya licin gitu!” Alana menatap layar laptopnya dengan wajah sebal. Rambutnya berantakan, dan pipinya sedikit menggelembung.Axel mengangkat sebelah alis, memutar kursinya menghadap Alana. “Mau aku bantu?”“Enggak! Aku bisa sendiri!”Tangannya bergerak cepat lagi, tapi baru lima detik, avatarnya di game itu terjatuh ke bawah jurang sekali lagi.Axel tertawa terbahak. “Kau ini parah banget. Naik gunung di Roblox aja susah?”“Ya ampun, kak! Jalannya sempit, batunya licin, trus anginnya bikin jatuh!”“Itu game, Alana. Tidak ada angin beneran,” Axel berkata tenang sambil menahan tawa.Alana mendengus. “Pokoknya game ini ga adil! Kau pas
Alana menghela napas lega. Ia memeluk kantong dimsum hangat di dadanya, berniat langsung naik ke kamarnya.Namun saat ia berbalik, tubuhnya terhenti.Di sana, tepat di depan pintu masuk, Axel sudah berdiri bersandar pada kusen. Tangannya terlipat di dada, bahunya santai, tapi sorot mata, tajam, menusuk, tidak bersuara namun jelas mempertanyakan sesuatu.“…kak?” suara Alana tercekat, lebih ke kaget.Tatapan hitam keabu-abuan itu menarik garis tipis. Rahang Axel mengencang.“Darimana?” tanyanya datar.Tak ada salam. Tak ada sapa. Hanya interogasi lirih.Alana berkedip, lalu mengangkat kantong di tangannya. “Beli dimsum.”Dia berjalan melewati Axel, berniat menuju ruang tengah. “Kakak mau ikut makan? Aku beli lumayan banyak.”Tanpa menjawab, Axel bergerak mengikuti langkahnya. Begitu jarak mereka dekat, lengan Axel melingkar tiba-tiba di pinggang Alana. Tarikannya tenang, tapi tidak bisa ditolak. Bibir Axel mendekati telinga Alana, napas hangat menyentuh kulitnya.“Aku tidak suka kau dek
Hening mengisi kamar besar keluarga Graves hari ini. Setelah kelas onlinenya selesai, Alana mematikan laptop lalu menatap langit-langit.Tidak ada notifikasi, ponsel sengaja dibiarkan tergeletak di sudut meja. Ia bahkan tidak ingin menyentuhnya. Ia tahu, di sana pasti ada jutaan komentar, gosip, screenshot, tawa dan ia belum siap.Dengan sederhana ia bangkit lalu keluar ke lorong. Langkahnya santun melewati karpet merah anggun rumah itu. Ketika turun ke lantai bawah, suara denting halus terdengar dari arah dapur.Seorang pelayan yang sedang merapikan vas langsung menunduk hormat ketika melihatnya.“Selamat sore, Nona Alana,” sapa pelayan itu dengan sopan. “Apakah Anda membutuhkan sesuatu? Anda tampak bosan.”Alana menoleh sebentar, menggigit bibirnya. “Tidak juga. Hanya… butuh udara.”Pelayan itu menatap cemas. “Kalau begitu, apakah Anda ingin camilan? Atau minuman hangat?”Alana sempat berpikir. Keinginan kecil muncul di kepala, sesimpel sesuatu yang dulu bisa membuatnya tenang.“Dim







