Alana tak pernah menyangka, pindah ke rumah baru berarti menyerahkan dirinya pada dua godaan yang tak termaafkan. Axel, kakak tirinya yang urakan, mengajarinya kenikmatan yang membuatnya candu. Dan Nero, sang kakak sulung yang dingin, justru membuatnya terikat pada pesona yang tak bisa ia lawan. Semua batas seharusnya jelas. Semua larangan seharusnya tak bisa ditembus. Namun semakin ia berusaha menjauh, semakin dalam ia tenggelam dalam bisikan dosa yang memabukkan.
View MoreAlana berdiri di depan gerbang besi hitam yang menjulang tinggi. Ukirannya rumit, tampak angkuh sekaligus indah, seperti gerbang istana dalam dongeng.
Bedanya, ini bukan dongeng. Ini kenyataan baru yang harus ia jalani, sebuah rumah megah milik keluarga Graves, tempat ibunya kini tinggal bersama suami barunya. Mobil berhenti. Supir turun, membukakan pintu untuknya. Dengan langkah ragu, Alana menapaki jalan setapak menuju rumah utama. Setiap sisi dipenuhi taman yang tertata sempurna, dengan patung-patung marmer putih dan air mancur berkilauan di tengah halaman. Rumah itu begitu besar hingga membuatnya merasa kecil. "Apa aku benar-benar akan tinggal di sini...?" pikirnya. Ada kekaguman, tapi juga ketakutan yang merayap. Selama hidup, Alana hanya mengenal rumah sederhana di pinggiran kota, tempat suara ayam tetangga terdengar setiap pagi dan jalanan tanah selalu becek setelah hujan. Kini, semua tampak asing. Dinding menjulang tinggi, jendela kaca besar, dan kesunyian mewah yang membuatnya gugup. Di pintu masuk, Edward Graves sudah menunggu. Pria dewasa yang masih sangat tampan itu berdiri tegak dengan jas abu-abu yang rapi. Senyumnya tipis, lebih terlihat sebagai formalitas ketimbang sambutan hangat. “Selamat datang di rumahmu yang baru, Alana,” kata Edward, nada suaranya datar. Alana mengangguk, berusaha sopan. “Terima kasih, Tuan Graves.” Dia ingin berkata 'ayah tiri', tapi lidahnya kelu. Ibunya, Vivienne, segera meraih tangan Alana dan menepuknya lembut. “Kamu pasti capek, sayang. Ayo masuk, Mama tunjukkan kamarmu nanti.” Wajah Vivienne penuh senyum, seolah yakin semua ini akan menjadi awal indah. Namun sebelum langkah mereka berlanjut, dua sosok muncul dari dalam rumah. Yang pertama, tinggi dan tegap dengan kemeja hitam pas badan. Rambutnya rapi, wajahnya serius, sorot matanya tajam seperti sedang menilai. Itulah Nero Graves, putra sulung Edward. Tatapannya berhenti lama pada Alana, dingin dan menghitung, seakan hanya dengan sekali pandang dia sudah menentukan Alana tak pantas berada di sini. “Ini adik barumu, Nero,” ucap Edward. Nero hanya mengangguk singkat. “Selamat datang,” katanya, nadanya formal, tanpa sedikit pun kehangatan. Alana menelan ludah, merasa tercekik oleh tatapan itu. Kakak tirinya terlihat mengerikan. Kemudian, suara langkah santai terdengar dari tangga. Axel Graves turun dengan kemeja putih yang kancing atasnya terbuka, rambut acak-acakan, dan senyum lebar di wajah. Berbanding terbalik dengan Nero, Axel terlihat urakan, seolah tak peduli pada aturan rumah mewah ini. “Oh, jadi ini yang namanya Alana?” Axel menyipitkan mata, lalu menyeringai nakal. “Wah, lebih manis dari yang kubayangkan.” Dia menyandarkan tubuh ke pegangan tangga, tatapannya terang-terangan menelusuri Alana dari atas sampai bawah. Alana terdiam, wajahnya memanas. “Uh… terima kasih?” suaranya terdengar gugup. Vivienne buru-buru menengahi. “Axel, jangan membuat adikmu tidak nyaman.” “Tapi aku cuma jujur, Ma,” jawab Axel, terkekeh pelan. Lalu, tanpa rasa bersalah, ia menambahkan, “Kalau begini sih aku jadi nggak keberatan punya adik baru.” Alana merasa darahnya naik ke wajah. Tangannya meremas tali tas di pundak, berusaha menutupi kegugupan. Dalam hati, ia langsung sadar, rumah baru ini memang megah, tapi orang-orang di dalamnya… tidak semuanya ramah. "Aku harap kalian bisa akur di rumah ini. Nero, jangan buat Alana merasa tertekan. Axel, jaga sikapmu dan jangan bertingkah," ingat Edward. "Apa sih Pa, mana mungkin aku bertingkah. Aku suka kok punya adik perempuan." Axel tersenyum ke arah Alana. Alana menunduk kikuk. Ini sangat tidak nyaman untuknya. "Ayo sayang, Mama antar kamu ke kamar." Vivienne menggandeng tangan Alana untuk pergi dari sana. Sementara Axel melompat kecil membuntuti mereka. "Aku ikut!"Suasana kelas perlahan lengang setelah dosen menutup penjelasannya. Mahasiswa lain berbondong-bondong keluar menuju kantin atau sekadar nongkrong di luar. Alana, seperti biasanya, tetap duduk di kursinya. Ia membuka kembali buku catatan, merapikan tulisan-tulisan dosen tadi yang sempat tercecer.Pensil mekaniknya menari di atas kertas, sementara ruang kelas makin sepi. Hanya ada suara kipas angin di langit-langit yang berputar pelan.Namun, tidak lama kemudian, telinganya menangkap suara kecil, seperti barang jatuh dan seseorang yang bergumam gelisah. Alana menoleh.Di pojok belakang, seorang gadis masih berada di kelas. Penampilannya cukup mencolok. Kacamata besar yang tampak kebesaran menutupi setengah wajahnya, rambut diikat seadanya, dan wajah yang dipenuhi beberapa tahi lalat. Gadis itu tampak sibuk meraba-raba lantai, menunduk dengan panik.Alana ragu sejenak, tapi akhirnya menutup bukunya. Ia bangkit dan berjalan mendekati. “Hei… kamu
Ruang kamar Axel masih dipenuhi dengan suara game yang setengah mati ia mainkan. Di meja belajar, kertas salinan sudah menumpuk, barisan tulisan tangan Alana memenuhi halaman demi halaman. Gadis itu bersandar di kursi, kepala tertunduk, mata terpejam.Axel melirik sekilas, mengangkat alis. “Hah? Udah tidur?” gumamnya.Ia bangkit dari beanbag, berjalan mendekat, lalu menepuk bahu Alana. “Hei, bangun. Baru segini aja udah tumbang? Dasar kebo.”Tidak ada respon.Axel menghela napas panjang, kali ini menggoyangkan tubuh Alana. Tetap tidak ada gerakan selain hembusan napas halus yang teratur.“Astaga, susah banget sih bangunin cewek ini.”Kesal, Axel mencoba menarik tubuh Alana agar duduk tegak. Tapi saat ia menarik, kakinya sendiri tersandung botol air mineral kosong yang ia biarkan berserakan di lantai.“Shit—!”Tubuh Axel kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh, menyeret kursi sekaligus Alana yang masih tertidur. Refleks, Axel mengg
Malam itu meja makan terasa lebih lengang dari biasanya. Hanya Edward, Vivienne, dan Alana yang duduk mengitari meja panjang berlapis kain putih itu.Nero entah di mana, Axel pun tak terlihat batang hidungnya.Alana mengaduk sup di mangkuknya, tapi pikirannya melayang jauh. Bayangan video aneh yang ia tonton di ruang baca tadi sore masih mengganggu. Gerakan tubuh wanita itu, pelukan pria asing yang begitu erat, semua membuat pipinya kembali panas. Lebih buruk lagi, ia masih tak tahu siapa pengirim email itu.“Bagaimana harimu di kampus, sayang?” tanya Vivienne dengan senyum lembut.Alana tersentak kecil, buru-buru mengangkat wajahnya. “B-baik, Ma. Semua berjalan lancar.”Edward menatapnya dengan hangat. “Kalau ada kesulitan, bilang saja. Jangan dipendam sendiri.”Alana mengangguk patuh, meski senyumnya kaku. Hanya ada sedikit percakapan singkat setelah itu. Begitu makan malam selesai, Alana segera pamit ke kamar. Ia butuh ruang untuk bernapa
Sore itu, langkah Alana terasa berat ketika ia menuruni mobil yang baru saja membawanya pulang dari kampus. Hari yang panjang benar-benar menguras tenaga. Tasnya terasa lebih berat dari biasanya, meski hanya berisi buku dan catatan. Begitu memasuki rumah keluarga Graves, kesunyian langsung menyambut. Rumah megah itu terasa dingin, terlalu luas untuk diisi oleh hanya satu orang. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan. Bahkan jejak langkahnya bergema di lorong panjang, membuat kesepian semakin terasa menusuk. Alana berhenti sejenak di ruang tamu. Matanya menyapu setiap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Kenapa aku tidak pernah berjalan-jalan di rumah ini sejak datang? pikirnya. Rasa penasaran pun mendorong langkahnya. Ia mulai menelusuri lorong-lorong besar dengan karpet tebal berwarna merah marun, melewati deretan lukisan tua dengan bingkai emas. Ada sebuah ruang musik dengan piano grand hitam berkilau, sunyi namun anggun, seolah menunggu seseorang untuk menyentuh
Hari itu, kelas terasa begitu lengang meskipun ramai oleh suara mahasiswa yang baru saja masuk kuliah. Alana duduk di kursi barisan tengah, tubuhnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada meja. Meski matanya menatap papan tulis kosong, pikirannya berkelana entah ke mana. Sudah beberapa hari ia berada di kampus ini, tapi teman? Belum satu pun. Sifat pendiamnya membuat ia sering terjebak di ruang sendiri, merasa asing sekaligus enggan membuka diri. Baginya, mendengarkan lebih nyaman daripada ikut bersuara. Suara tawa di belakangnya membuat Alana sedikit menoleh. Sekelompok mahasiswa sedang bercakap heboh. Mereka membicarakan sesuatu yang… aneh. “Gue tuh pernah kepikiran, kalau punya kakak seganteng artis, kayaknya nggak bakal tahan deh buat nggak mikirin macem-macem.” Yang lain tertawa. “Eh gila lu! Kakak sendiri? Itu udah fantasi keluarga namanya.” “Ya gimana? Kalau liat bibir kakak gue, bawaannya pengen gue cium aja.” “Tapi iya sih, gue punya kakak keponakan juga ganteng bener, di
Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca jendela ruang makan keluarga Graves, menyoroti meja panjang yang sudah tertata rapi dengan hidangan sarapan. Alana duduk di kursi, berusaha menenangkan diri. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bayangan Axel, suara tawanya, dan kalimat “Kamu penasaran?” terus bergema di kepalanya. Namun sekarang, semua anggota keluarga hadir di meja. Vivianne duduk anggun di sisi Edward, wajahnya penuh kehangatan. Nero, seperti biasa, tampak serius dengan kemeja rapi meski hanya sarapan. Dan Axel… duduk santai di kursinya, melahap roti dan telur seolah dunia sama sekali tidak menyimpan rahasia. “Alana sayang,” suara lembut Vivianne memecah keheningan. “Bagaimana kuliahmu kemarin? Semua baik-baik saja?” Alana tersenyum kaku, menunduk sebentar sebelum menjawab, “Iya, Mama. Baik-baik saja.” Edward menambahkan, dengan nada perhatian khas seorang ayah, “Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke Papa, ya. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Tidak ada yang perlu di
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments