Home / Romansa / Bisikan Dosa / Bab 5 - Kamu penasaran?

Share

Bab 5 - Kamu penasaran?

Author: Lee Sizunii
last update Last Updated: 2025-08-20 17:18:10

Malam itu rumah keluarga Graves sudah senyap. Hanya suara jarum jam di lorong yang terdengar pelan, berdetak seakan menghitung detik-detik panjang menuju pagi. Alana terbangun dengan mata berat dan tenggorokan kering. Ia menguap, duduk sebentar di tepi ranjang, lalu meraih sweater tipis untuk mengusir dingin.

Dengan langkah gontai, ia membuka pintu kamar dan berjalan menuju dapur. Cahaya lampu temaram dari ruang makan samar-samar menyoroti tangga marmer. Awalnya ia mengira rumah benar-benar sepi, tapi begitu menuruni anak tangga, suara samar—entah musik atau sesuatu yang lain—mulai terdengar.

Alana memperlambat langkahnya. Dari ruang makan, terlihat Axel duduk sendirian di meja panjang. Headphones menempel di telinganya, matanya terpaku pada layar laptop di depannya. Rambut berantakan, kaus longgar, dan tatapan intens—pemandangan yang tak biasa dibanding sikap urakan yang biasanya ia tunjukkan.

Alana hendak mengabaikannya. Ia hanya ingin minum segelas air lalu kembali tidur. Tapi saat jarak mereka semakin dekat, layar laptop itu tanpa sengaja terpantul sedikit ke arahnya. Alana menahan napas.

Gambar bergerak di layar itu jelas sekali. Tubuh manusia. Kulit bersentuhan. Suara samar meski teredam headphone. Tak butuh waktu lama bagi Alana untuk menyadari—Axel sedang menonton video porno.

"Mhhh ah! Faster, faster."

Suara itu semakin jelas terdengar telinga Alana. Adegan penyatuan dua tubuh manusia. Suara kecipak dan erangan yang membuat Alana merinding.

Wajahnya langsung panas. Jantungnya berdetak lebih keras. Sekejap ia ingin berbalik dan naik lagi ke kamarnya, pura-pura tidak melihat apa pun. Tapi langkahnya terhenti ketika Axel tiba-tiba menoleh.

Seolah instingnya tajam, Axel menyadari kehadiran Alana meski masih dengan headphone di telinga. Bibirnya melengkung, membentuk senyum nakal yang khas. Ia tak buru-buru menutup laptop, malah sengaja memutar tubuh agar Alana bisa lebih jelas melihat apa yang ia lakukan.

“Ups,” ucapnya ringan, sambil melepas satu sisi headphone dari telinganya. “Kamu belum tidur, adik manis?”

Alana tersentak, wajahnya memerah. Ia menunduk cepat, pura-pura sibuk meraih gelas di dapur.

“Aku… cuma mau minum.”

Axel mengangkat alis, menutup setengah layar laptopnya dengan santai, tapi tidak benar-benar menutup videonya. Suara dari video itu masih terdengar samar-samar.

Bahkan Alana bisa melihat adegan seorang laki-laki sedang asik menjilati wanita di sana, membuat Alana langsung mengalihkan pandangannya. Axel menyandarkan punggung di kursi, menatap Alana seperti seekor kucing yang baru menemukan mainan barunya.

“Kamu lihat apa, hm?” suaranya terdengar ringan, tapi penuh tantangan.

Alana menggenggam erat gelas yang baru saja diisinya. “Aku… tidak lihat apa-apa.”

Axel terkekeh pelan. “Oh, ayolah. Nggak usah pura-pura. Wajahmu sudah jelas bilang kalau kamu tahu apa yang kutonton.” Ia mengetuk-ngetuk meja dengan jarinya, ritme santai yang justru membuat suasana semakin menegangkan.

Alana meneguk air cepat-cepat, berharap bisa segera kabur. Tapi langkahnya berhenti lagi ketika mendengar kalimat berikutnya.

“Kamu penasaran?”

Pertanyaan itu meluncur begitu ringan, seolah menanyakan hal sepele. Tapi bagi Alana, kalimat itu menghantam seperti petir. Ia membeku di tempat, tubuhnya kaku, pipinya semakin panas.

“A… apaan sih kamu?” suara Alana bergetar, campuran marah, malu, sekaligus takut.

Axel tersenyum lebih lebar, matanya berkilat nakal. “Nggak apa-apa kok. Itu hal normal. Semua orang pasti pernah nonton… atau minimal penasaran.” Ia mencondongkan tubuh sedikit, bersandar pada siku di meja. “Kamu kelihatan tipe yang polos banget. Jadi aku penasaran… kalau lihat yang kayak gini, reaksimu gimana?”

Alana benar-benar tidak tahu harus berkata apa. Tangannya gemetar saat meletakkan gelas ke counter. Ia ingin menegur Axel, ingin mengatakan kalau itu menjijikkan. Tapi tubuhnya sendiri mengkhianati pikirannya. Ada sensasi aneh, panas, yang merayap perlahan dari perut ke wajahnya.

Ia akhirnya berlari kecil, hampir tersandung tangga karena terburu-buru. Axel tertawa di belakangnya, suara yang terdengar seperti ejekan sekaligus godaan.

“Tidur nyenyak, adik manis. Jangan sampai mimpi yang aneh-aneh, ya.”

Alana tidak berani menoleh. Ia menutup pintu kamarnya dengan cepat, bersandar di baliknya sambil menahan napas. Dada naik-turun tak terkendali, wajahnya masih panas.

Ia menutup wajah dengan kedua telapak tangan. Kenapa aku malah merasa deg-degan? Kenapa aku tidak bisa melupakan senyumnya?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bisikan Dosa   Bab 11 - Teman baru

    Suasana kelas perlahan lengang setelah dosen menutup penjelasannya. Mahasiswa lain berbondong-bondong keluar menuju kantin atau sekadar nongkrong di luar. Alana, seperti biasanya, tetap duduk di kursinya. Ia membuka kembali buku catatan, merapikan tulisan-tulisan dosen tadi yang sempat tercecer.Pensil mekaniknya menari di atas kertas, sementara ruang kelas makin sepi. Hanya ada suara kipas angin di langit-langit yang berputar pelan.Namun, tidak lama kemudian, telinganya menangkap suara kecil, seperti barang jatuh dan seseorang yang bergumam gelisah. Alana menoleh.Di pojok belakang, seorang gadis masih berada di kelas. Penampilannya cukup mencolok. Kacamata besar yang tampak kebesaran menutupi setengah wajahnya, rambut diikat seadanya, dan wajah yang dipenuhi beberapa tahi lalat. Gadis itu tampak sibuk meraba-raba lantai, menunduk dengan panik.Alana ragu sejenak, tapi akhirnya menutup bukunya. Ia bangkit dan berjalan mendekati. “Hei… kamu

  • Bisikan Dosa   Bab 10 - Tidur di kamar yang salah

    Ruang kamar Axel masih dipenuhi dengan suara game yang setengah mati ia mainkan. Di meja belajar, kertas salinan sudah menumpuk, barisan tulisan tangan Alana memenuhi halaman demi halaman. Gadis itu bersandar di kursi, kepala tertunduk, mata terpejam.Axel melirik sekilas, mengangkat alis. “Hah? Udah tidur?” gumamnya.Ia bangkit dari beanbag, berjalan mendekat, lalu menepuk bahu Alana. “Hei, bangun. Baru segini aja udah tumbang? Dasar kebo.”Tidak ada respon.Axel menghela napas panjang, kali ini menggoyangkan tubuh Alana. Tetap tidak ada gerakan selain hembusan napas halus yang teratur.“Astaga, susah banget sih bangunin cewek ini.”Kesal, Axel mencoba menarik tubuh Alana agar duduk tegak. Tapi saat ia menarik, kakinya sendiri tersandung botol air mineral kosong yang ia biarkan berserakan di lantai.“Shit—!”Tubuh Axel kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh, menyeret kursi sekaligus Alana yang masih tertidur. Refleks, Axel mengg

  • Bisikan Dosa   Bab 9 - Kamar yang berantakan

    Malam itu meja makan terasa lebih lengang dari biasanya. Hanya Edward, Vivienne, dan Alana yang duduk mengitari meja panjang berlapis kain putih itu.Nero entah di mana, Axel pun tak terlihat batang hidungnya.Alana mengaduk sup di mangkuknya, tapi pikirannya melayang jauh. Bayangan video aneh yang ia tonton di ruang baca tadi sore masih mengganggu. Gerakan tubuh wanita itu, pelukan pria asing yang begitu erat, semua membuat pipinya kembali panas. Lebih buruk lagi, ia masih tak tahu siapa pengirim email itu.“Bagaimana harimu di kampus, sayang?” tanya Vivienne dengan senyum lembut.Alana tersentak kecil, buru-buru mengangkat wajahnya. “B-baik, Ma. Semua berjalan lancar.”Edward menatapnya dengan hangat. “Kalau ada kesulitan, bilang saja. Jangan dipendam sendiri.”Alana mengangguk patuh, meski senyumnya kaku. Hanya ada sedikit percakapan singkat setelah itu. Begitu makan malam selesai, Alana segera pamit ke kamar. Ia butuh ruang untuk bernapa

  • Bisikan Dosa   Bab 8 - Link video

    Sore itu, langkah Alana terasa berat ketika ia menuruni mobil yang baru saja membawanya pulang dari kampus. Hari yang panjang benar-benar menguras tenaga. Tasnya terasa lebih berat dari biasanya, meski hanya berisi buku dan catatan. Begitu memasuki rumah keluarga Graves, kesunyian langsung menyambut. Rumah megah itu terasa dingin, terlalu luas untuk diisi oleh hanya satu orang. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan. Bahkan jejak langkahnya bergema di lorong panjang, membuat kesepian semakin terasa menusuk. Alana berhenti sejenak di ruang tamu. Matanya menyapu setiap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Kenapa aku tidak pernah berjalan-jalan di rumah ini sejak datang? pikirnya. Rasa penasaran pun mendorong langkahnya. Ia mulai menelusuri lorong-lorong besar dengan karpet tebal berwarna merah marun, melewati deretan lukisan tua dengan bingkai emas. Ada sebuah ruang musik dengan piano grand hitam berkilau, sunyi namun anggun, seolah menunggu seseorang untuk menyentuh

  • Bisikan Dosa   Bab 7 - Bekal

    Hari itu, kelas terasa begitu lengang meskipun ramai oleh suara mahasiswa yang baru saja masuk kuliah. Alana duduk di kursi barisan tengah, tubuhnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada meja. Meski matanya menatap papan tulis kosong, pikirannya berkelana entah ke mana. Sudah beberapa hari ia berada di kampus ini, tapi teman? Belum satu pun. Sifat pendiamnya membuat ia sering terjebak di ruang sendiri, merasa asing sekaligus enggan membuka diri. Baginya, mendengarkan lebih nyaman daripada ikut bersuara. Suara tawa di belakangnya membuat Alana sedikit menoleh. Sekelompok mahasiswa sedang bercakap heboh. Mereka membicarakan sesuatu yang… aneh. “Gue tuh pernah kepikiran, kalau punya kakak seganteng artis, kayaknya nggak bakal tahan deh buat nggak mikirin macem-macem.” Yang lain tertawa. “Eh gila lu! Kakak sendiri? Itu udah fantasi keluarga namanya.” “Ya gimana? Kalau liat bibir kakak gue, bawaannya pengen gue cium aja.” “Tapi iya sih, gue punya kakak keponakan juga ganteng bener, di

  • Bisikan Dosa   Bab 6 - Sentuhan jari

    Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca jendela ruang makan keluarga Graves, menyoroti meja panjang yang sudah tertata rapi dengan hidangan sarapan. Alana duduk di kursi, berusaha menenangkan diri. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bayangan Axel, suara tawanya, dan kalimat “Kamu penasaran?” terus bergema di kepalanya. Namun sekarang, semua anggota keluarga hadir di meja. Vivianne duduk anggun di sisi Edward, wajahnya penuh kehangatan. Nero, seperti biasa, tampak serius dengan kemeja rapi meski hanya sarapan. Dan Axel… duduk santai di kursinya, melahap roti dan telur seolah dunia sama sekali tidak menyimpan rahasia. “Alana sayang,” suara lembut Vivianne memecah keheningan. “Bagaimana kuliahmu kemarin? Semua baik-baik saja?” Alana tersenyum kaku, menunduk sebentar sebelum menjawab, “Iya, Mama. Baik-baik saja.” Edward menambahkan, dengan nada perhatian khas seorang ayah, “Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke Papa, ya. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Tidak ada yang perlu di

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status