Accueil / Romansa / Bisikan Dosa / Bab 3 - Adik kecil

Share

Bab 3 - Adik kecil

Auteur: Lee Sizunii
last update Dernière mise à jour: 2025-08-19 21:59:18

Keesokan paginya, Alana terbangun lebih siang dari yang ia bayangkan. Cahaya matahari sudah menembus tirai kamarnya yang lebar. Dengan tergesa, ia mandi dan berpakaian, lalu menuruni tangga marmer yang terasa terlalu sepi untuk ukuran rumah sebesar itu.

Di meja makan, sarapan sudah tersaji rapi. Roti panggang, telur dadar, buah segar, dan segelas jus jeruk. Pelayan yang berdiri di samping pintu segera menunduk hormat begitu melihatnya.

“Selamat pagi, Nona Alana,” ucap salah satu pelayan.

Alana menarik kursi dengan hati-hati, masih canggung dipanggil seperti itu. “Pagi… Mama mana?” tanyanya sambil menatap piring yang sudah ditata dengan begitu sempurna.

“Nyonya berangkat pagi-pagi sekali bersama Tuan Edward,” jawab pelayan dengan sopan.

“Ah iya, aku lupa…” Alana mengangguk. “Kalau… Kak Nero sama Kak Axel?”

“Mereka juga sudah pergi sejak pagi. Tuan Muda Nero berangkat ke kantor, sedangkan Tuan Muda Axel keluar lebih awal bersama temannya.”

Alana terdiam, merasa seperti orang terakhir yang bangun di sebuah dunia yang sudah berjalan lebih cepat darinya. Ia menghela napas, menunduk pada sarapannya, dan mulai makan dengan tenang.

Setelah selesai, ia berjalan keluar rumah. Di halaman depan yang luas, sebuah mobil hitam mengilap sudah menunggunya. Sopir membungkuk kecil.

“Selamat pagi, Nona. Saya akan mengantar Anda ke kampus.”

Alana sempat ragu, semua terasa begitu resmi, tapi akhirnya ia masuk ke mobil. Perjalanan menuju kampus ternyata cukup menyenangkan. Ia menempelkan wajah di jendela, menatap gedung-gedung tinggi yang berjejer di jalan utama kota, sesuatu yang jarang ia lihat di tempat asalnya. Angin AC mobil bercampur dengan hiruk pikuk kota yang baru mulai sibuk.

“Lumayan indah juga,” gumam Alana pelan, senyum tipis tersungging tanpa sadar.

Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan gerbang besar bertuliskan "Valemont University", salah satu universitas paling prestisius di kota itu. Gedungnya menjulang dengan arsitektur modern, dipenuhi mahasiswa yang sibuk dengan jadwal mereka masing-masing.

Alana menurunkan langkahnya dengan hati-hati, menyerap semua suasana baru ini. Meskipun berasal dari pinggiran kota, ia cukup percaya diri untuk menemukan ruang kelasnya. Papan informasi dan peta kampus sangat jelas, jadi ia tidak kesulitan.

Setelah beberapa menit berjalan, ia menemukan kelas pertamanya hari itu. Ruangannya luas dengan barisan meja berderet. Alana memilih duduk di baris tengah, agak ke samping, agar tidak terlalu mencolok. Ia mengeluarkan buku catatan, mencoba menenangkan diri.

Namun ketenangan itu hanya bertahan sebentar. Pintu kelas terbuka keras, dan suara ramai segera memenuhi ruangan.

“Bro, ini kelasnya, kan?”

“Yoi, santai aja.”

Alana menoleh dan nyaris tersedak napasnya sendiri ketika melihat sosok yang masuk.

Axel.

Dengan kemeja yang separuh keluar dari celana, ransel disampirkan asal, ia melangkah bersama rombongan teman-teman laki-laki dan perempuan yang ramai, tertawa keras-keras tanpa peduli suasana.

“Ya Tuhan…” bisik Alana, menunduk buru-buru, berharap Axel tidak melihatnya.

Tapi tentu saja itu sia-sia. Begitu mata Axel bertemu dengan sosok adiknya itu, Axel tersenyum lebar, penuh kemenangan.

“Eh, lihat siapa ini!” serunya sambil menepuk bahu salah satu temannya. “Guys, kenalin. Ini adik manisku.”

Alana mematung di kursinya. Semua mata di kelas beralih ke arahnya.

“Dia baru pindah dari pinggiran kota. Anak baru, masih manja, tapi jangan salah… bisa ngegemesin banget kalau lagi bingung,” tambah Axel dengan tawa kecil, jelas menikmati perhatian yang ia ciptakan.

Alana ingin membantah, tapi lidahnya kelu. Pipinya memanas, separuh karena malu, separuh karena kesal. Baginya, ini bukan pujian. Axel memperkenalkannya seperti anak kecil yang butuh perlindungan, padahal ia berusaha keras terlihat mandiri.

Salah satu teman Axel tertawa. “Serius, manis banget sih. Nggak heran kalau kamu betah di rumah, Xel.”

Axel menyeringai, menepuk meja Alana sebelum duduk di belakangnya. “Jangan salah, adik kecilku ini gampang tersipu. Makanya jangan ganggu dulu, biar dia menyesuaikan.”

Alana menggenggam pensilnya erat-erat. Kenapa harus dia ada di sini? Kenapa harus Axel?

Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application

Latest chapter

  • Bisikan Dosa   Bab 11 - Teman baru

    Suasana kelas perlahan lengang setelah dosen menutup penjelasannya. Mahasiswa lain berbondong-bondong keluar menuju kantin atau sekadar nongkrong di luar. Alana, seperti biasanya, tetap duduk di kursinya. Ia membuka kembali buku catatan, merapikan tulisan-tulisan dosen tadi yang sempat tercecer.Pensil mekaniknya menari di atas kertas, sementara ruang kelas makin sepi. Hanya ada suara kipas angin di langit-langit yang berputar pelan.Namun, tidak lama kemudian, telinganya menangkap suara kecil, seperti barang jatuh dan seseorang yang bergumam gelisah. Alana menoleh.Di pojok belakang, seorang gadis masih berada di kelas. Penampilannya cukup mencolok. Kacamata besar yang tampak kebesaran menutupi setengah wajahnya, rambut diikat seadanya, dan wajah yang dipenuhi beberapa tahi lalat. Gadis itu tampak sibuk meraba-raba lantai, menunduk dengan panik.Alana ragu sejenak, tapi akhirnya menutup bukunya. Ia bangkit dan berjalan mendekati. “Hei… kamu

  • Bisikan Dosa   Bab 10 - Tidur di kamar yang salah

    Ruang kamar Axel masih dipenuhi dengan suara game yang setengah mati ia mainkan. Di meja belajar, kertas salinan sudah menumpuk, barisan tulisan tangan Alana memenuhi halaman demi halaman. Gadis itu bersandar di kursi, kepala tertunduk, mata terpejam.Axel melirik sekilas, mengangkat alis. “Hah? Udah tidur?” gumamnya.Ia bangkit dari beanbag, berjalan mendekat, lalu menepuk bahu Alana. “Hei, bangun. Baru segini aja udah tumbang? Dasar kebo.”Tidak ada respon.Axel menghela napas panjang, kali ini menggoyangkan tubuh Alana. Tetap tidak ada gerakan selain hembusan napas halus yang teratur.“Astaga, susah banget sih bangunin cewek ini.”Kesal, Axel mencoba menarik tubuh Alana agar duduk tegak. Tapi saat ia menarik, kakinya sendiri tersandung botol air mineral kosong yang ia biarkan berserakan di lantai.“Shit—!”Tubuh Axel kehilangan keseimbangan. Ia terjatuh, menyeret kursi sekaligus Alana yang masih tertidur. Refleks, Axel mengg

  • Bisikan Dosa   Bab 9 - Kamar yang berantakan

    Malam itu meja makan terasa lebih lengang dari biasanya. Hanya Edward, Vivienne, dan Alana yang duduk mengitari meja panjang berlapis kain putih itu.Nero entah di mana, Axel pun tak terlihat batang hidungnya.Alana mengaduk sup di mangkuknya, tapi pikirannya melayang jauh. Bayangan video aneh yang ia tonton di ruang baca tadi sore masih mengganggu. Gerakan tubuh wanita itu, pelukan pria asing yang begitu erat, semua membuat pipinya kembali panas. Lebih buruk lagi, ia masih tak tahu siapa pengirim email itu.“Bagaimana harimu di kampus, sayang?” tanya Vivienne dengan senyum lembut.Alana tersentak kecil, buru-buru mengangkat wajahnya. “B-baik, Ma. Semua berjalan lancar.”Edward menatapnya dengan hangat. “Kalau ada kesulitan, bilang saja. Jangan dipendam sendiri.”Alana mengangguk patuh, meski senyumnya kaku. Hanya ada sedikit percakapan singkat setelah itu. Begitu makan malam selesai, Alana segera pamit ke kamar. Ia butuh ruang untuk bernapa

  • Bisikan Dosa   Bab 8 - Link video

    Sore itu, langkah Alana terasa berat ketika ia menuruni mobil yang baru saja membawanya pulang dari kampus. Hari yang panjang benar-benar menguras tenaga. Tasnya terasa lebih berat dari biasanya, meski hanya berisi buku dan catatan. Begitu memasuki rumah keluarga Graves, kesunyian langsung menyambut. Rumah megah itu terasa dingin, terlalu luas untuk diisi oleh hanya satu orang. Tidak ada suara tawa, tidak ada percakapan. Bahkan jejak langkahnya bergema di lorong panjang, membuat kesepian semakin terasa menusuk. Alana berhenti sejenak di ruang tamu. Matanya menyapu setiap detail yang sebelumnya tak pernah ia perhatikan. Kenapa aku tidak pernah berjalan-jalan di rumah ini sejak datang? pikirnya. Rasa penasaran pun mendorong langkahnya. Ia mulai menelusuri lorong-lorong besar dengan karpet tebal berwarna merah marun, melewati deretan lukisan tua dengan bingkai emas. Ada sebuah ruang musik dengan piano grand hitam berkilau, sunyi namun anggun, seolah menunggu seseorang untuk menyentuh

  • Bisikan Dosa   Bab 7 - Bekal

    Hari itu, kelas terasa begitu lengang meskipun ramai oleh suara mahasiswa yang baru saja masuk kuliah. Alana duduk di kursi barisan tengah, tubuhnya tegak, kedua tangannya bertumpu pada meja. Meski matanya menatap papan tulis kosong, pikirannya berkelana entah ke mana. Sudah beberapa hari ia berada di kampus ini, tapi teman? Belum satu pun. Sifat pendiamnya membuat ia sering terjebak di ruang sendiri, merasa asing sekaligus enggan membuka diri. Baginya, mendengarkan lebih nyaman daripada ikut bersuara. Suara tawa di belakangnya membuat Alana sedikit menoleh. Sekelompok mahasiswa sedang bercakap heboh. Mereka membicarakan sesuatu yang… aneh. “Gue tuh pernah kepikiran, kalau punya kakak seganteng artis, kayaknya nggak bakal tahan deh buat nggak mikirin macem-macem.” Yang lain tertawa. “Eh gila lu! Kakak sendiri? Itu udah fantasi keluarga namanya.” “Ya gimana? Kalau liat bibir kakak gue, bawaannya pengen gue cium aja.” “Tapi iya sih, gue punya kakak keponakan juga ganteng bener, di

  • Bisikan Dosa   Bab 6 - Sentuhan jari

    Pagi itu, sinar matahari menerobos kaca jendela ruang makan keluarga Graves, menyoroti meja panjang yang sudah tertata rapi dengan hidangan sarapan. Alana duduk di kursi, berusaha menenangkan diri. Semalaman ia hampir tidak tidur. Bayangan Axel, suara tawanya, dan kalimat “Kamu penasaran?” terus bergema di kepalanya. Namun sekarang, semua anggota keluarga hadir di meja. Vivianne duduk anggun di sisi Edward, wajahnya penuh kehangatan. Nero, seperti biasa, tampak serius dengan kemeja rapi meski hanya sarapan. Dan Axel… duduk santai di kursinya, melahap roti dan telur seolah dunia sama sekali tidak menyimpan rahasia. “Alana sayang,” suara lembut Vivianne memecah keheningan. “Bagaimana kuliahmu kemarin? Semua baik-baik saja?” Alana tersenyum kaku, menunduk sebentar sebelum menjawab, “Iya, Mama. Baik-baik saja.” Edward menambahkan, dengan nada perhatian khas seorang ayah, “Kalau ada apa-apa, jangan ragu bilang ke Papa, ya. Kamu sekarang bagian dari keluarga ini. Tidak ada yang perlu di

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status