Share

Part 3

Penulis: Blade Armore
last update Terakhir Diperbarui: 2021-08-29 08:42:18

Tiada kematian yang mampu kita hindari, sekeras apapun kita berusaha. Takdir sudah tertulis jelas saat kita akan terlahir didunia ini, kita perlu perbanyak bekal sehingga saat kematian itu datang kita akan selalu siap.

Setelah mendengar kabar dari Rinda, aku hanya termenung tanpa berbuat apa-apa. Rasa debaran ini belum hilang karena kecelakaan itu, sekarang ditambah kabar kematian yang masih menyisakan bau menyengat di hidung.

Tiga hari aku mengurung diri dan akhirnya dering ponsel membuatku bangkit dari ranjang. Tertera nama manager tempatku bekerja dulu.

Ku tekan tombol berwarna hijau,

 "Assalamualaikum pak Andri, ada apa pak?" Tanyaku sopan.

 "Waalaikumusalam Nit, sekarang kamu sudah bekerja?"

 "Alhamdulillah belum pak, sahabat saya belum mengabarkan saya diterima atau tidak ditempatnya bekerja." Jelasku.

 "Kalau begitu saya mau menawarkan pekerjaan ke kamu tapi di daerah palembang, gimana?" tanyanya membuat ku berpikir.

 "Kerja apa pak?" Tanyaku kemudian.

 "Sama saja di admin, dicabang sana kekurangan orang. Mau ya Nit, saya yang akan jamin." 

 "Lumayan jauh Pak, nanti saya telpon bapak lagi jika saya siap."

 "Baik, ditunggu kabarnya ya,"

Sambungan kami pun terputus.

Masalah perut memang tak bisa dikesampingkan, apapun kondisinya. Aku melangkah keluar ingin ke toilet. Namun langkahku terhenti mendengar pembicaran umi dan abi mbak Afsah. Ternyata mereka ingin menjodohkanku dengan salah satu keluarga mereka, namun mereka bingung menyampaikannya padaku. Aku terpaksa keluar dengan cepat seakan tak mendengar perbincangan mereka. 

Ya, aku masih disini. Tapi bukan menumpang melainkan kost, awalnya mereka keberatan namun aku memaksa. Tak ingin menjadi beban mereka, setidaknya aku bisa meringankan dengan cara indekost disini.

Saat aku ke mandi ponselku berdering berkali-kali membuat mbak Afsah mengambilnya dan ingin memberikan kepadaku,

 "Nit, ada telpon nih dari Rinda." Teriaknya dari balik pintu.

 "Bentar mbak," Tidak kalah kencang aku berteriak.

Kuselesaikan hajatku dan menghampirinya. Kuraih ponsel yang disodorkan mbak Afsah dan mendial no Rinda.

Rinda mengabarkan jika aku diterima ditempatnya bekerja sebagai Accounting dan menyuruhku datang ke rumahnya segera.

Bingung melanda karena kedua tawaran yang menggiurkan. Aku konsultasi hal inidini mbak Afsah, agar tidak salah langkah. Saran yang diberikan menjawab kebimbanganku dan aku bersiap ke tempat Rinda. 

Perjalanan ini begitu lama dan sangat berat. Suara jeritan dan teriakan saling bersahutan, ada yang terdengar jelas dan hanya terdengar samar-samar. Bulu kuduk pun berdiri tidak disangka-sangka, gambaran wajah-wajah tersiksa dan dijemput kematian sangat jelas tergambar.

Bagaimana aku menggambarkan ketiada berdayaan pada suara juga gambaran wajah yang ketakutan saat menghadapi kematian itu. Saat sharing tentang ini, sebagian orang menghujatku berpikir aku gila dan tak beriman. Sebagian lagi mengatakan jika aku harus mengolahnya. Tekanan selalu datang setiap saat tanpa ada yang membimbingku, sedari aku kecil.

Metromini yang akan aku tumpangi sudah terlihat dan mendekat, aku bergegas menaikinya. Saat masuk terasa aura yang berbeda terpancar dari semua penumpang dan bau daging panggang menyengat sekali dihidung, membuat bulu kuduk semakin meremang. Aku hanya mengalihkan perhatianku pada kendaraan yang melaju melawan metromini. Sayangnya, ke ngerian tetap terasa. Piasnya wajah-wajah mereka menahan perih juga sakit yang tidak terlukiskan, namun tidak terlihat nyata.

Celotehan seorang ibu muda yang sedang hamil besar membuatku berpaling ke arahnya. Dia sedang tiduran dibahu sang suami yang wajahnya sama seperti penumpang yang lainnya, hanya saja sang ibu muda ini di rona wajahnya terlihat begitu berseri-seri. Sadar sedang kuperhatikan, dia memandangku dengan senyuman dan berkata,

 "Jangan takut, ikuti takdirmu maka semua akan baik-baik saja."

Terkejut dengan perkataannya aku palingkan wajahku ke depan. Mencerna setiap kata-katanya, namun aku tetap tak mengerti.

Ketukan dijendela membuat pak supir menghentikan laju kendaraannya, biasanya ada penumpang yang turun. Namun beberapa saat dinanti tak ada yang turun dan supir pun melanjutkan kendaraannya lagi. 

Terdengar ketukan ditiang pegangan membuat metromini ini berhenti untuk kedua kalinya, semua penumpang saling pandang dan tengok ke kanan dan ke kiri melihat siapa yang turun, tapi nihil sama seperti yang pertama. Dengan rasa kesal sopir berdiri dan bicara, 

 "Siapa yang berani ngerjain orang hah!" Teriaknya.

Kami semua terdiam, tidak ada suara yang berani menimpali perkataan sang sopir.

Dengan kesal sopir melajukan lagi kendaraannya. Baru saja melaju terdengar suara teriakan seorang wanita,

 "Pak saya turun!"

Ketiga kalinya kendaraan ini berhenti, namun semua duduk diam ditempatnya membuat sang sopir makin geram.

Tak lama ibu muda yang kuperhatikan tadi mendekatiku.

 "Mbak, tadi minta diberhentikan disini kan?" Tanyannya.

 "Haah, enggak bu tujuan saya kali bata." Bantahku.

Namun, ibu muda itu menarikku agar mengikutinnya menuju pintu keluar.

 "Maaf bu, saya belum mau turun!" Lalu mencoba menepis tangannya, namun tak bisa. Kekuatan tangannya seperti laki-laki.

 "Jangan bantah turun saja, setelah ini kamu cari Rian di alamat ini." Sang ibu muda itu menyerahkan sebuah amplop coklat tebal.

Lalu mendorongku sehingga aku terpeleset kebawah dan membuat kaki kananku terkilir. Belum sempat berkata apa-apa metro mini itu melaju cepat, hanya terlihat sekilas wajah sang ibu muda tersenyum indah. Dan,

Duuuuuar! 

Duaaar!!

Percikan api membesar dan membakar metromini itu, api dengan cepat menjalar keseluruhan bagian mobil. Pemandangan di depanku sangat mengerikan karna ada lagi motor yang menabrak metromini yang terbakar tersebut, menjadikan ledakan semakin besar.

Orang-orang di sekitar melihat kearah kendaraan-kendaraan yang terbakar itu dan mendekat, ada yang berselfi ria, ada yang menelpon seseorang, ada yang berzikir dan aku ... aku hanya diam mematung tak mengerti.

Hingga beberapa saat suara sirine mobil polisi  terdengar, mereka datang mengamankan tempat kejadian hingga beberapa meter. Melihatku diam tak bergerak, polisi yang bertugas mendorongku hingga terjatuh.

 "Mbak bangun, bahaya bila kena bodi kendaraan. Pergi sana!" Teriak salah satu dari mereka

 "Team medis tolongin dia, dia terkilir jatuh dari metro mini itu." Teriak seorang wanita di belakangku.

Tak berapa lama petugas medis menghampiriku dan memapahku mendekati mobil ambulance. Lalu mataku mengelilingi sekitar, tepat ditempat aku berdiri mematung. Tapi tidak ada yang peduli denganku, mereka asik dengan kegiatan sendiri. Suara siapa tadi yang meminta bantuan? Bulu di tangan seolah tak mau kalah dengan kengerian yang terjadi di depan sana.

Tercium aroma daging terpanggang dari arah jauh, yang sudah dipastikan itu aroma orang-orang yang terpanggang didalam metromini itu. Lalu seorang polisi menghampiriku,

"Mbak Nita, apakah bisa berjalan?" Tanyanya.

 "Diusahakan, pak." Jawabku.

 "Ini ponsel mbak Nita. Sepertinya tadi terjatuh disana." Polisi itu berkata sambil menunjukkan metromini yang terbakar. Terimakasih sudah menelpon kami sehingga segera menuju kemari dan memanggil Damkar."

Lalu, polisi itu pergi membantu yang lain memadamkan kobaran api.

Lagi-lagi aku terpaku karena merasa tak menelpon siapapun selama perjalanan. Aku membolak balik ponselku, merasa heran. Bagaimana ponsel keluar dari tas dan bisa menelpon? Ah jika seperti ini aku akan gila beneran.

 "Mbak, dari tadi saya bertanya!" Tepukan seseorang mengalihkan perhatianku.

 "Ah, iyakah!" jawabku ragu.

 "Kronologi kejadian bagaimanai mbak?" tanyanya lagi.

 "Haaah." Aku melongok mendengar polisi itu bertannya.

 "Kamu tadi di dalam metromini itu kan? Apa ada sesuatu yang mengganjal? Apa yang terjadi hingga ada percikan api? Apakah sudah terlihat sebelumnya? Apakah ada orang menitip barang?" Tanyannya tak henti.

 "Maaf pak saya dipaksa turun, ini bukan tujuan saya. Saya pun engga tau!" Jelasku.

 "Tidak mungkin Mbak." Tantangnya, dengan tatapan membunuh.

 "Terserah pak polisi baiknya gimana? Jika harus ditahan ya lakukan saja." Dengan bergetar aku berbicara.

 "Kami akan menyelidiki dulu, mbak Nita ikut kami." Katanya yang menggetarkanku.

Aku hanya mengangguk pasrah dan polisi itu menuntunku menuju mobil polisi. Lalu melaju meninggalkan halte itu dan melewati metromini yang terbakar, sekilas aku melihat sang ibu muda tadi. Melambaikan tangannya dan tersenyum hangat. Tak sengaja aku meneteskan air mata, entah karna apa?

Mobil dihentikan ditengah jalan, lalu sang polisi itu duduk menyerong kearahku.

 "Berikan amplop itu, saya akan mengantarkan pada orangnya!" Sedikit memaksa polisi itu coba menarik paksa.

Bayangan ibu muda itu terlihat jelas di depanku,

 "Pergi ... lekas pergi!"

 "Haah!" Refleks aku berkata, dan hidungku mencium bau menyengat.

 "Heii ...!! Saya minta amplop itu. Serahkan pada saya!" Bentak polisi itu.

 "Maaf pak, ini surat lamaran untuk saya kerja." Jelasku sambil menarik dan mendekapnya erat.

 "Serahkan! Itu dari penumpang di dalam metromini itu kan!" Hardiknya lagi.

 "Cepat pergi ... cepat pergi!" Teriak ibu muda itu, yang sudah kupastikan bukan lah manusia lagi.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bisikan Kematian   Part 32

    "Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.

  • Bisikan Kematian   Part 31

    Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a

  • Bisikan Kematian   Part 30

    "Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab

  • Bisikan Kematian   Part 29

    "Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m

  • Bisikan Kematian   Part 28

    Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b

  • Bisikan Kematian   Part 27

    Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status