Share

Part2

Author: Blade Armore
last update Last Updated: 2021-08-29 07:35:17

Berjalannya waktu perlahan kesembuhanku semakin baik dan aku berusaha keras untuk sembuh kembali. Begitu banyak biaya yang sudah keluar untuk kesembuhan kakiku. Keluargaku tak diberitahu, karna mereka pasti berhutang untuk pengobatanku.

Pagi ini aku memaksa mencari pekerjaan. Selain merasa jenuh karena hanya diam saja dan ada rasa sungkan. Persiapan sudah selesai, amplop-amplop coklat sudah terisi dan tersusun rapi didalam tasku. Aku berpamitan untuk menyusuri Ibu kota mencari pekerjaan yang tersedia.

Diperjalanan terdengar rintihan, suara menangis juga teriakan orang yang sepertinya tersiksa. Ku sapu mata ini mengelilingi daerah sekitar, tak ada yang mencurigakan. Orang berlalu lalang dengan santai dan ada juga yang tergesa-gesa.

Ada apa lagi dengan diriku, kupercepat langkahku didaerah pertokoan. Kucoba datangi satu persatu mencari lowongan kerja yang tersedia, untuk sementara tak apa kerja ditoko, pikirku.

Rintihan itu makin jelas terdengar ditelinga, ada juga makian yang menggetarkan jiwa.

 "Ambil saja apa yang kalian inginkan, lepaskan kami." Pinta seorang pria tua dengan nada lemah, terdengar jelas suaranya.

Disisi lain seseorang berteriak, 

 "Masuk kalian ... masuk!"

Dengan isakan beberapa orang sepertinya mengikuti  perintah pria bersuara serak itu.

 "Kunci pintunya, g*bl*k!" pekik sesorang yang berbeda.

 "Lepaskan, apa yang sebenarnya kalian inginkan!" teriak pria yang bersuara lemah itu.

Sepertinya aku sudah gila, pikirku. Melangkah terus menelusuri pertokoan yang ada, tak ku hiraukan jeritan juga rintihan mereka. Ponselku berdering, salah satu sahabat menelphon.

 [Hai Nit ... kerumah ya, mau aku kenalin sama bosku. Siapa tau kamu bisa bekerja disini.]

[Oke aku kesana.]

Setelah kumatikan ponsel dan menaruh kedalam tasku. Aku bergegas mencari metromini yang menuju kedaerah dimana sahabatku tinggal.

Rasa debaran didada sama seperti saat kecelakaan itu. Entahlah, aku hanya mampu berzikir, berlindung pada-NYA lebih baik.

 "Buka ... buka, disini sempit." Rengek suara bocah perempuan.

Terdengar suara tersengal-sengal seperti kekurangan oksigen dari beberapa orang. 

Aku menutup telingaku dan berusaha terus untuk berzikir, mengingat Allah. Semakin aku berzikir bayangan mereka semakin terlihat. Ruangan kecil yang engap ditempati banyak orang. Tentu saja sulit untuk bernapas.

 "Mbak, kalau sakit jangan keluar rumah" tegur penumpang metromini disebelahku.

 "Maaf bu, tiba-tiba kepala saya sakit sekali." Sambil memegangi kepala aku menjawab. 

 "Ini minum biar sedikit lega," disodorkannya bekal minuman yang dibawanya.

 "Enggak apa-apa Bu, sebentar lagi saya turun," ku tolak secara halus.

 "Kalau tidak dibawa saja untuk bekal." Dipaksanya aku menerima bekal minumannya.

 "Terimakasih Bu." Sambil tersenyum aku mengucapkannya.

 "Bu saya pamit duluan ya, terimaka kasih minumannya." Aku berpindah tempat dan berpamitan.

 "Hati-hati dijalan Nak." aku hanya menjawab dengan anggukan.

Berjalan melewati rumah-rumah mewah membuatku sedikit iri. "Bahagianya mereka," gumamku.

Saat melewati satu rumah, rintihan itu terdengar sangat jelas. Aku melihat kearah rumah itu, tapi tak berani lancang. Akupun berlalu tanpa pedulikan rintihan itu, "iya kalau yang aku dengar betul, jika tidak" pikiranpun berkecamuk.

Poselku berdering lagi, kupastikan siapa yang menelphon.

 "Hallo Nit, kamu jadi kesini enggak. Koq lama?" Tanyanya.

 "Ini sudah mau sampai, tunggu ya Rin."

Kupercepat langkah ini menuju rumah, yang hanya beberapa meter dari perumahan mewah ini. Langkah yang diiringi isakan juga rintihan karna sulit bernapas dari orang yang tak kukenal, membuat langkah ini sangat berat.

 "Assalamualaikum Rin ... Rinda." Panggilku.

 "Waalaikumusalam ...  sebentar." Teriak seseorang dari dalam rumah.

Lalu keluar seorang ibu cantik saat diusianya yang tak lagi muda.

 "Masuk Nak, Rinda didalam. Sekalian ibu pergi ya." Aku mengangguk setelah bersalaman dengan beliau.

Setelah mengobrol dengan Rinda, kami berangkat ketempat yang dimaksudnya. Berjalan melewati perumahan mewah tadi membuat debaran didada semakin sesak.

 "Rin, tak ada jalan lain kah?" Tanyaku.

 "Enggak ada Nit, kan memang rumah kami dibelakang perumahan ini." Jelasnya.

Dengan terpaksa aku mengikutinya berjalan. Rintihan itu tak kunjung hilang malah semakin menjadi.

 "Tolong ... tolong, buka pintunya." Suara pria paruh baya lain mencoba berteriak.

 "Pak, tak ada ventilasi disini. Udara semakin engap." Sekarang suara wanita tua yang berbicara.

 "Pak, lihat bos." Seru lelaki lain.

 "Bos ... Bos bangun, bertahan bos."

Entah apa yang terjadi pada mereka. Aku berusaha menghilangkan suara-suara itu dengan terus berzikir. Rasa mual karna aroma nafas yang tersengal begitu terasa juga bau keringat yang menguar karna pengapnya ruangan itu.

Tepat didepan rumah yang tadi terlewati. Aku mengeluarkan isi perutku. Hingga membuatku lemas, bukan karna bau anyir darah tapi mampu membuat perutku berontak sehingga memuntahkan semua isinya.

 "Kamu kenapa Nit? Kita pulang saja ya?" Tanya Rinda khawatir.

 "Enggak usah Rind, kita lanjut lagi." jawabku.

Aku menatap rumah itu, rumah mewah terlihat ada beberapa mobil-mobil bagus didalamnya. Tak terasa airmata ini turun begitu saja ketika melihat dua orang pria tua yang mengenakan seragam biru tua.

Seperti takut kehilangan mereka, "tapi kenapa? Aku saja tak mengenal mereka," batinku.

Mereka menghampiri kami dan menanyakan kenapa kami berhenti lama didepan rumah itu.

Rinda hanya menjelaskan jika aku sedang sakit dan mau mencari kerja.

Salah satu dari mereka tersenyum dan mengeluarkan uang, namun aku menolaknya. Wajah-wajah itu, wajah yang tak asing.

Aku dan Rinda bergegas menuju kerumah bosnya karna sudah menunjukan pukul dua siang. Sesampainya disana aku melihat beberapa orang yang sudah terbujur kaku karna kehabisan nafas, membuatku tersentak dan lagi-lagi mual ini menyerang perutku.

Kutahan rasa mual ini dan menyerahkan amplop coklat berisi surat lamaran kerja ku kepada bosnya Rinda. Selesai berbincang aku pamit pulang, sedang Rinda melanjutkan pekerjaannya.

Dalam perjalanan pulang, teriakan memilukan itu sangat terasa. Terlintas wajah dua pria tua itu sudah terbujur kaku.

"Ya Rabb, bantulah mereka," do'aku.

Terdengar suara dua pria, sepertinya mereka jahat.

 "Ayo buruan sudah semakin malam, nanti ada yang kesini." Bentak salah satu dari mereka.

 "Bagaimana dengan mereka yang terkurung?" Tanya yang lain.

 "Bukannya kita sudah sepakat, agar mereka mati. Kalaupun tertangkap kita bisa beralasan tak sengaja, sudah cepat." Perintahnya.

 "Bayaran kita sudah aman." Terang salah satu dari mereka.

Tak lama suara kendaraan menjauh dari rumah itu. Dan suara-suara rintihan hanya terdengar oleh gelapnya malam, hingga berlalu pagi. Satu persatu melepaskan nyawanya karena sesak terasa, diiringi tangis yang tak mampu berbuat banyak.

Sempitnya ruangan menjadikan gerak tak leluasa dan kokohnya bangun menjadikan mereka terjebak. Kali ini aku hanya mampu melihat jauh tak terjangkau. Hingga siang itu Rinda menelphonku.

 "Hallo Nit, ada kabar duka Nit."

 "Apa Rind? Pasti aku enggak diterima ya, belum rezeki Rind, enggak apa-apa."

 "Bukan masalah kerjaan Nit, Satpam kemarin yang mau ngasih uang kekamu, meninggal kehabisan napas. Dikurung perampok kabarnya." Terang Rinda.

Seketika lututku lemas dan terduduk dilantai.

 "Halo Nit ... halo, kamu dimana, Nit ... Nitaa." Suara Rinda memanggil namun ku abaikan.

Kematian datang lagi namun aku tak mampu menolong mereka. Kupikir hanya firasat semata. Tapi itu adalah takdir mereka, menemui Rabbnya dengan caranya masing-masing.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bisikan Kematian   Part 32

    "Masih ingat aku ...." tanya lelaki itu, tiba-tiba. "Kamu ... kamu itu," tunjukku pada polisi yang tidak kukenal, mencoba mengingat-ingat. "Lama tidak jumpa," sapanya. Lalu, dia mendekati dan mengulurkan tangannya. Aku mengeratkan pegangan tanganku pada Sopyan. Sopyan merasa ada sesuatu yang aneh, dia pun bertanya, "Kalian saling kenal?" tanyanya pada polisi itu. "Cukup kenal, saya hanya meminta milik saya di kembalikan," ujarnya dengan memicingkan matanya. "Kamu, mengambil miliknya," tanya Sopyan padaku. Aku hanya diam dan makin mengeratkan pegangan tanganku. Polisi itu makin mendekat dan berdiri di hadapanku. "Itu bukan milikmu, jika milikmu maka akan aku serahkan dengan suka rela," bentakku. "Kamu tak akan bisa lari dariku," ujarnya. "Tunggu ... Tunggu. Kalian saling kenal atau tidak?" tanya Sopyan, sambil melihat ke arahku dan polisi itu.

  • Bisikan Kematian   Part 31

    Tangan lelaki itu, mulai menjamah kakiku, Kemudian, terus merangkak di atasku. Tubuhku masih terasa sakit, ketika didorong olehnya tadi. "Ayolah, aku tahu, ini juga hal yang diinginkan wanita kebanyakan, yaitu ranjang yang hot!" cibirnya. Auranya sangat membuatku takut, bukan karena ilmu hitam, tapi karena kekuatan tuuhnya yang tidak bisa dibandingakan dengan kekuatan seorang wanita sepertiku. Apakah aku akan berakhir seperti ini? Bruk! Tubuh lelaki pemangsa, jatuh terkulai di atas tubuhku. Kukira karena dia mulai ingin melakukan hal buruk padaku, tapi ternyata kepalanya dipukul kayu balok oleh Nadin. "Ayo, Kak!" ajaknya menahan rasa sakit. Aku mendorong tubuh lelaki yang mulai tidak berdaya, membuatnya terjatuh dari dipan kayu. Aku dan Nadin saling memapah, berharap isa selamat berdua. Teringat akan Sopyan yang tidka kunjung datang, apakah mungkin dia takut dan pergi? "Nita!" seru Sopyan, membuka pintu. Rasanya a

  • Bisikan Kematian   Part 30

    "Ayo kita keluar, sebelum penjahat itu datang lagi!" seruku. Aku mencoba memapah tubuh kecil itu, untuk keluar dari dalam gubuk. Namun, dikejauhan terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku yang setengah panik, mengangkat tubuh mungil di depanku. "Kak, pergilah dari sini! Nadin belum kuat untuk jalan," lirihnya "Kakak, kuat!" bantaku. Gadis kecil itu meringis, ketika lukanya tersenggol olehku. Ingin tidak memperdulikannya, tapi sepertinya dia benar-benar kesakitan. "Kak, pergila, jika dia kembali, kita berdua dalam bahaya!" pintanya. Baru saja aku ingin membuka pintu, sosok laki-laki menghadang langkahku. Matanya melotot dan napasnya memburu, tubuh yang tidak terbalut seelai benang pun membuatnya gaga, tapi sayangnya kelakuannya sungguh tidak manusiawi. "Siapa kamu? Mau apa? Kenapa mau bawa anak itu?" tanyanya beruntun. "Kamu sudah membunuh ibunya! Sekarang mau menyiksa anaknya?" tanyaku tanpa menjawab

  • Bisikan Kematian   Part 29

    "Apa kamu suka pria seperti itu?" tanyanya membuatku merasa aneh. Ingin rasanya kujawab, aku mulai menyukaimu meski menyebalkan. Namun, kutahan dalam diam. Suara azan berkumandang menandakan magrib sudah datang, dengan cekatan Sopyan mencari dimana tempat kami akan berhenti dan menunaikan kewajiban kami. Setelah menemukan Masjid Sopyan berhenti, lalu kami masuk dan melaksanakan kewajiban kami. Selesai sholat kami melanjutkan perjalanan kembali menuju rumah Umi, seperti pinta Sopyan sebelum mencari anak itu. "Ehem ... habis sholat koq diem aja," sindirnya. "Emang kalau habis sholat harus jungkir balik ya!" jawabku nyeleneh. "Harusnya salim dengan suami, itu baru afdhol. Cari pahala lagi," terangnya. "Ooo ... Kenapa nggak bilang aja langsung!" Tanyaku sengit. "Belajarkan pelan-pelan, masa mau ngegas nanti nabrak," ceramahnya. Dengan memaksakan diri, aku mengulurkan tangan dan disambut olehnya. "Barakallahu, semoga m

  • Bisikan Kematian   Part 28

    Aku menangis dalam pelukan Sopyan namun, teriakan juga isakan itu masih terdengar jelas di telingaku. Dieratkannya pelukan Sopyan, membuatku tenang sesaat. "Lepaskan! Jangan ... Jangan lakukan itu. Biarkan aku pergi," Suara anak itu kembali terdengar. Sopyan menarik tanganku menuju parkiran. Dirogoh saku celananya lalu mengambil ponsel, berulang kali melakukan panggilan akhirnya terhubung. Dilepaskan genggamannya dan sedikit menjauh dariku saat dia menerima panggilan itu. Aku terpaku menatap punggung lelaki setia itu, tapi sayang aku tidak mencintainya. Dikala aku asik memandanginya, dia berbalik dan menatapku dengan binar aneh dimatanya. "Ayo, kita pergi," ucapnya lirih. "Katanya ijin dokter dulu," bantahku. "Udah ada yang ngurus. Mau pergi apa nggak nih!" tantangnya. Tanpa menjawab aku mendekatinya, lalu dia menarikku mendekati sebuah mobil. Dari mobil itu turun seorang lelaki muda, bisa saja itu sepupu atau siapanya Sopyan. Akukan b

  • Bisikan Kematian   Part 27

    Tanpa mau mendengarnya lagi aku berjalan, namun dia mengekoriku seperti anak ayam kehilangan induknya. Menjengkelkan tapi tak bisa berbuat banyak. Pikiranku makin melayang mengingat amanah yang banyak aku pegang, namun belum juga aku selesaikan. "Tenang amanah dari James sudah hampir selesai, jangan jadi beban lagi!" ujar Sopyan, menghentikan langkahku. "Kamu buka tas milikku? Kenapa enggak ijin!" cecarku. "Kamu tau seberapa lama kamu di rumah sakit?" tanyanya, membuat aku sedikit merenung. Benar juga perkataannya, aku tidak tahu sudah berapa lama aku tidak sadarkan diri. Luka didadaku cukup parah, hampir mematahkan tulangku dan menggores jantungku. Tak ingin berterimakasih aku melangkah lagi. Kesombonganku mengalahkan segalanya, hanya untuknya. Kami berjalan ke taman rumah sakit, di sana bisa melihat pemandangan sore. Menyejukan mata yang selama ini tertidur. Perlahan aku menceritakan niatku untuk menolong anak dari Suster Dian, pada Sopyan.

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status