Anggun menatap lelah ke arah Elsa yang berdiri di halaman kediaman Wisesa. Tatapannya kosong, enggan untuk mendekat atau sekadar menyapa. Luka hatinya masih terlalu dalam, karena baru kehilangan Sabda. Untuk itulah, ia lebih baik menjauh daripada harus merasakan kepahitan yang semakin dalam.
Kehadiran Elsa di rumah duka tidaklah salah. Namun, bagi Anggun, wanita itu adalah pengingat dari pahitnya semua tindakan kejam yang dilakukan Regan. Membuat rasa sakit di hatinya seolah bertambah tiap kali ia memandang wajah Elsa. Pun dengan April.
“Anggun.” Elsa segera menghampiri dan menyapa, meskipun serba salah menyelimuti dada. “Tan–”
“Jangan sekarang, Tante.” Anggun terus berjalan melewati ruang tamu dengan kursi rodanya. “Langsung ke kamarku, Sus,” pinta Anggun pada suster yang berada di belakangnya.
Elsa tidak bisa berbuat apa-apa. Tidak hanya Anggun yang tidak mau bicara dengannya, tetapi Syifa pun juga enggan menemuinya. Wanita itu masih berada di kamar, setelah pingsan karena tidak kuasa melepas kepergian putranya.
“Des ...” ucapan Elsa menggantung ketika melihat besannya menggeleng ketika baru memasuki ruang tamu.
“Pulanglah dengan April,” pinta Desty masih bisa bersikap sopan pada Elsa. “Dan tolong, jangan dulu datang ke sini karena banyak luka yang harus disembuhkan.”
Elsa kembali kecewa karena penolakan yang ada. Ia menatap keluar, kemudian berjalan perlahan menghampiri Wahyu yang juga duduk di kursi roda. Elsa belum sempat menjenguk Wahyu di rumah sakit, karena kabar duka dari Sabda yang begitu mengejutkan.
“Wahyu.” Elsa seolah terombang-ambing, karena tidak bisa berkomunikasi seperti dulu lagi. Hubungan ketiga keluarga merenggang, akibat ulah Regan yang ternyata sudah melewati batas.
“April sepertinya masih di belakang, Ma,” ucap Wahyu masih bisa bersikap sopan pada wanita itu.
“Kamu baik-baik aja?” tanya Elsa melihat sekilas pada Kendrick yang berdiri di belakang kursi roda Wahyu. Ia akan menunggu April lebih dulu, barulah Elsa akan mengajak putrinya pulang dengan segera. “Kenapa pake kursi roda?”
“Kakiku memar, bengkak, dan terkilir,” terang Wahyu memberitahukan kondisinya. “Bahuku dislokasi, dan selebihnya aku baik-baik aja. Mama nggak perlu khawatir.”
Elsa melepas napas samar, penuh kelegaan. Meskipun kondisi Wahyu bisa dibilang parah, tetapi pria itu masih bisa duduk dan terlihat sehat.
“Tapi ...”
“Tapi apa?” Elsa mendadak tersentak dari kelegaannya barusan. Merasa khawatir, jika ada hal buruk yang akan disampaikan oleh Wahyu.
“Tolong bawa April pulang dan jangan datang ke sini untuk ketenangan bersama,” pinta Wahyu. “Aku tahu Mama dan April nggak terlibat dan nggak tahu menahu dalam kecelakaan yang menimpa Sabda. Tapi, tolong hormati perasaan tante Syifa yang baru kehilangan anak satu-satunya, karena pak Regan.”
“Wahyu—”
“Maaf,” sela Wahyu mulai berujar datar. “Aku harus baring dan istirahat di dalam. Permisi.”
Kendrick yang mendengar dan mengerti ucapan Wahyu, langsung mengangguk sopan pada Elsa. Ia mendorong kursi roda Wahyu memasuki ruang tamu dan terus berjalan menuju kamar tamu yang ditempati pria itu.
“Ken.”
“Ya, Pak?”
“Siapkan berkas perceraianku dengan April dan urus semuanya,” pinta Wahyu ingin mempercepat prosesnya. “Buatkan juga surat kuasa untuk pengalihan sahamku di Kalingga. Atas namamu.”
“Apa?” Kendrick berhenti tepat di depan kamar tamu yang ditempati Wahyu. Bergeser ke hadapan pria itu, agar bisa memastikan lagi perkataan yang baru dilontarkan atasannya. “Atas nama saya? Kenapa saya yang diberi kuasa? Kenapa—”
“Diamlah, Ken, dan urus semua seperti yang aku minta.” Wahyu sudah memikirkannya dengan matang, meskipun hanya dalam waktu yang singkat.
“Baik, Pak,” ucap Kendrick tidak bisa lagi membantah. Walaupun, ia tidak mengetahui tentang rencana Wahyu perihal pengalihat saham atas namanya.
Kenapa Kendrick harus diberi kuasa, jika Wahyu bisa melakukan tugasnya?
Pria itu ... pasti sudah merencanakan sesuatu.
~~~~~~~~~~~~~~~~
Anggun menoleh pada pintu kamarnya yang diketuk pelan. Sejurus kemudian, pintu itu terbuka dan Syifa masuk dengan wajah sembab nan letihnya. Wanita itu tersenyum, meskipun terlihat begitu berat karena dipaksakan.
“Kata suster, makanmu nggak habis dari siang tadi,” ucap Syifa sembari duduk pada sofa panjang yang berada di samping jendela. Tepat di samping Anggun yang sedang menatap gelapnya langit malam, tanpa kilauan bintang. “Tadi pagi juga kamu nggak minum vitamin.”
“Saya ...” Anggun menunduk dan menghela. “Andai saya nggak nikah sama mas Sabda ...”
“Takdir yang tertulis sudah seperti itu,” ujar Syifa meneruskan kalimat yang tidak bisa diteruskan Anggun. “Semua cuma titipan dan ... kita harus siap kalau sewaktu-waktu ...” Syifa menghela dan mulai mengedipkan mata berulang kali, karena genangan air mata yang kembali mengaburkan pandangannya. “Ikhlas ... walaupun masih agak sulit untuk diterima dengan akal sehat.”
“Mama ...” Anggun meraih satu tangan Syifa dan menggenggamnya. “Saya minta maaf,” ucap Anggun dengan mata yang sudah berkaca-kaca. “Saya betul-betul minta maaf, karena sudah masuk ke kehidupan keluarga ini. Saya juga maklum dan bisa mengerti kalau kalian semua menyalahkan dan benci sama saya.”
Syifa terisak mendengar penuturan Anggun. Sesekali, wajar jika Syifa menimpakan semua kesalah pada Anggun, karena semua ini tidak akan terjadi jika wanita itu tidak memasuki kehidupannya.
Namun, Syifa juga tidak bisa mengelak, jika semua yang terjadi sekarang adalah suratan takdir yang sudah digariskan. Kendati masih merasa semua tidak adil, tetapi Syifa tidak bisa berbuat apa-apa.
“Kita nggak perlu bahas itu lagi,” ujar Syifa mengusap air matanya dengan segera. Kendati tangannya masih terasa bergetar, tetapi Syifa mulai cukup tenang. “Sekarang, yang penting jaga kesehatanmu sama cucu Mama,” pintanya sembari mengulurkan tangan menyentuh perut Anggun yang mulai membesar.
Sejauh ini, hanya keluarga besar saja yang tahu kondisi Anggun. Syifa meminta Anggun selalu memakai kemeja oversize, agar kehamilannya tidak diketahui orang luar. Ada ketakutan tersendiri, jika hal yang menimpa April akan terjadi pada Anggun. Karena bagi Syifa, kehadiran bayi tersebut adalah satu-satunya harapan yang masih bisa ia pegang setelah kepergian Sabda.
“Sekali lagi maaf.” Anggun mendongak. Menarik napas dalam-dalam dan berusaha tidak lagi meneteskan air mata demi bayi di dalam kandungannya. Hatinya memang tengah tersayat pedih, tetapi Anggun tidak bisa terus-terusan tenggelam dalam kepahitan yang bisa merugikan dirinya dan calon anaknya.
“Ada yang lebih penting daripada terus-terusan minta maaf,” ujar Syifa kemudian mengurai kedua tangannya dari tubuh Anggun. “Yaitu jaga kesehatanmu baik-baik. Banyak makan, minum vitamin, dan tolong jangan terlalu stres, karena cucu Mama nanti juga ikutan stres.”
“Makasih, Ma.” Anggun mengangguk pelan.
“Tunggu di sini,” titah Syifa lalu mengusap wajah lelahnya sebentar. Berusaha tenang dan kuat dalam menghadapi semuanya. “Mama minta bibik buatkan susu hangat buat kamu. Diminum, habis itu tidurlah. Istirahat. Mama sudah buatkan janji dengan psikologmu besok pagi, jadi kamu harus kuat!” ucap Syifa dengan nada penuh harap. “Kita akan hadapi semua sama-sama dan ... bahagia bersama."
“Tarik napas.”“Aku tahu, aku dengeerr,” rintih Anggun di sela-sela proses persalinannya. Tatapan kesalnya ia tujukan pada Wahyu, karena suaminya selalu mengulang perintah dari dokter.Padahal, Anggun juga mendengar semua perkataan dokter, tetapi Wahyu tetap saja tidak mau menutup mulutnya. Kalau tahu begini, lebih baik Syifa saja yang menemaninya melahirkan seperti dahulu kala, karena wanita itu begitu sabar ketika menemani Anggun. Tidak seperti Wahyu yang hanya bisa memberi perintah padanya.“Sedikit lagi, Bu,” ujar sang dokter yang sejak tadi tetap sabar menghadapi pasien dan suaminya.“Sedikit lagi, Sweet—”“Dieeem kamu, Mas!” Anggun menggenggam tangan Wahyu dengan kekuatan yang cukup membuat pria itu meringis kesakitan. Dengan sengaja, ia menancapkan kuku-kukunya agar Wahyu juga merasakan nyeri yang kini dirasakan Anggun.Meskipun sakit yang dirasakan Wahyu mungkin tidak seberapa, tetapi Anggun cukup merasa senang ketika melihat pria itu meringis menatapnya. Penderitaan Wahyu saat
“Papa ...” Putra berseru girang, berlari kecil ke arah Wahyu yang baru saja melangkah masuk ke ruang keluarga. Tanpa menunggu aba-aba, bocah kecil itu melompat ke dalam gendongan Wahyu, tangannya yang mungil menunjuk ke arah mainan barunya dengan semangat yang menggebu.“Boana banak!” Putra mengoceh tanpa jeda, menunjuk tenda bermotif Cars, dengan terowongan yang mengarah ke bak besar penuh bola.“Dibeliin eyangnya,” ujar Anggun yang hanya duduk di sofa sambil menyelonjorkan kedua kaki. Kehamilan keduanya hampir-hampir tidak ada keluhan, karena semua rasa tidak nyaman di kala kehamilan diambil alih oleh Wahyu. Dan ya, Anggun tetap mengatakan jika semua itu adalah karma yang harus diterima. “Mereka baru pulang sejam yang lalu.”“Sudah kubilang, kan, kalau kita memang harus beli rumah di sebelah.” Wahyu menurunkan Putra di dalam kubangan bola kecilnya, lalu menghampiri Anggun. Berlutut di samping sofa lalu meletakkan telinganya di perut yang sudah cukup besar itu. Saat merasakan pergerak
“Ssshh ...” Anggun meletakkan telunjuk di bibirnya sambil menunduk. Memberi isyarat pada Putra, agar tidak membuat keributan setelah membuka pintu kamar. “Papa bobok, nggak boleh ribut.”Putra geleng-geleng, sambil menirukan sikap Anggun. Ikut meletakkan telunjuk kecilnya di bibir. “Papa bobok.”“Iya,” ucap Anggun lalu membuka pintu dengan perlahan dan membiarkan Putra masuk lebih dulu. Hanya lampu tidur yang menyala di dalam sana, memancarkan cahaya redup yang membuat suasana kamar terasa tenang dan hangat.Namun, perintah Anggun ternyata tidak berjalan sesuai rencana. Putra memang tidak mengeluarkan sepatah kata dari mulutnya, tetapi balita itu justru berlari menuju tempat tidur dan berbaring di samping Wahyu. Memeluk sang papa.“Mas, ayo bobok di kasur bawah sama Mama,” ujar Anggun dengan suara yang sangat pelan. “Papa—”“Nggak papa,” sela Wahyu tanpa membuka mata dan membalas pelukan Putra. “Dia mau tidur sama papanya. Lagian baunya Putra enak, bau minyak telon.”Anggun tertawa de
Wahyu memeluk Anggun begitu erat. Tangannya masih menggenggam tespek yang baru saja ditunjukkan oleh sang istri. Menatap dua garis merah yang muncul di sana, walaupun salah satunya masih tampak samar.“Sepertinya rumah sebelah bakal aku beli.” Wahyu tersenyum lebar. “Kita jebol temboknya supaya makin luas dan bisa dipake anak-anak main.”Anggun memutar bola matanya. “Mas, Putra masih kecil dan—”“Sebentar lagi dia punya adek,” sela Wahyu sembari mengurai pelukannya dan mengangkup kedua bahu Anggun. Tangan kanannya masih memegang sebuah tespek, seolah tidak ingin melepas benda itu dari genggaman. “Gimana kalau oma sama eyangnya mau nginap di sini? Rumahnya jadi kurang luas.”“Papa!” Putra mulai menarik-narik jemari Wahyu dengan tidak sabar. “Ayok, ayok”“Mas—”“Nggak papa.” Wahyu kembali menyela, lalu menunduk dan menggendong Putra. “Nanti aku langsung hubungi pak Johan biar urusan cepat.”“Dengerin aku dulu.” Nada bicara Anggun mulai meninggi. Ia kesal karena Wahyu selalu memutus ucap
Pagi itu, tawa kecil dan suara decitan sandal karet Putra yang berbunyi khas, terdengar sejak tadi dari area depan rumah. Bocah yang sebentar lagi berusia dua tahun itu sedang menyibukkan diri dengan bermain bola bersama Wahyu, sembari menunggu Desty yang akan menjemput.“Yayaaa ...” Putra segera bangkit ketika melihat Desty memasuki pagar. Berlari kecil menghampiri, tetapi tubuhnya langsung ditangkap oleh Darwin dan membawa ke dalam gendongannya.“Sudah siap?” tanya Darwin pada Putra.“Iaap!” jawab Putra bersemangat.“Dia sudah nunggu dari tadi,” ujar Anggun menghampiri sambil membawa tas ransel kecil milik Putra. “Kacamata sama topi kesayangannya ada di dalam,” ucapnya sambil menyerahkan tas kecil tersebut pada sang mama mertua.Desty terkekeh saat membuka tas ransel Putra dan melihat topi merah dengan tiga tanduk kuning yang warnanya sudah memudar. Topi yang akan selalu dipakai Putra, ketika berpergian ke mana pun.Desty kemudian mengeluarkan topi tersebut, beserta kacamata berwarn
“Ayo, Ma,” ajak Wahyu dengan senyuman penuh semangat.Anggun hanya menggeleng pelan sambil memegang gelas susunya. “Aku nggak ikut. Capek.” jawabnya tegas. Menolak ajakan Wahyu bersepeda pagi di hari libur, seperti yang biasa pria itu.Anggun hanya ingin menikmati harinya dengan bersantai, karena Putra biasanya akan pergi berkeliling bersama Wahyu dengan sepedenya. Putra akan duduk di depan dengan helm kecilnya, lengkap dengan kacamata mungil yang membuat balita itu semakin menggemaskan.“Me time, aku mau rebahan aja di rumah,”“Oke.” Wahyu menatap Putra yang berada di gendongannya sambil tersenyum. “Nanti kita ke pantai dan main bola sama tante-tante bule di sana!”“Ohhh ... jadi itu kegiatan kalian berdua kalau jalan-jalan pagi?” Anggun meletakkan gelas susunya dengan perlahan. Namun, tatapannya tertuju tajam pada Wahyu. Kemudian, ia menunjuk ke arah tanah kosong yang berada di sebelah dapur. Tepatnya berada setelah kolam renang. “Kalau mau main bola, main bola di sana.”“No,” ucap W