Cinta, mengubah seseorang menjadi setia. Tapi, Isabel tak mengerti kesetiaannya untuk siapa. Ingatannya terbelah antara kenyataan dan fantasi malamnya. Ada perasaan gugup yang mendera setiap kali bangun pagi, setelah bermimpi tentang orang yang berdiri di tengah lapangan Slavidion menghadap menara. Kali ini, perasaan gugup itu semakin menekan batinnya. Membuatnya enggan beranjak dari tempat tidur pagi itu.
Rin, sejak setengah jam lalu ketenangan hilang. “Bagaimana mungkin aku bisa lupa soal Isabel?” gumamnya sambil gigit jari. Sudah berkali-kali Rin mengatakan pada Isabel camp malam yang menjadi tradisi Slavidion, akan dilakukan di Istana Houston. Tapi, Isabel tak terlihat di antara kerumunan yang hadir. Dia berlari ke sana kemari, bertanya sana sini dan tak ada seorang pun tahu perihal Isabel. “Kupernya itu sungguh keterlaluan,”desah Rin lagi.&n
“Apa kita hanya bisa berdiam di sini?” Isabel bersuara dari teras balkon. Saat itu baru pukul delapan malam. Namun, pekatnya malam tak menyisakan tempat untuk bernapas. Bau amis terbawa angin dan setiap sudut selalu saja ada sorot mata mengerikan mengarah padanya. William berbaring saja di atas sofa. Dia sudah tak berdaya untuk sekadar menegakkan badannya. Orang itu tak mau didekati. &ldquo
Musim dingin telah datang saat langit yang mestinya biru, terlihat berkabut. Isabel mendekap dirinya sendiri yang hanya mengenakan seragam berlapis sweater tipis. “Harus mulai dari mana?” pertanyaan pertama terlintas di benak Isabel. Masih satu kilometer untuk mencapai halte bus dari mulut gerbang Slavidion. Bukan kali pertama ia harus berjalan mencari pemberhentian bus. Setiap kali libur dimulai, saat anak-anak diizinkan kembali ke rumah mereka masing-masing, Isabel tahu tidak ada orang tuanya
Diran terganggu oleh suara-suara itu. Teriakan memilukan yang bohong jika tak membuatnya merinding dan waspada. Jika wujudnya sekarang adalah seekor serigala, maka telinga Diran akan terbuka lebar dan bulu-bulu putihnya menegang. Diran memperhatikan sekelilingnya, kepakan jendela tak tertutup memperlihatkan langit yang hitam. Diran heran sendiri, tak menyadari kapan dirinya tertidur. Baru saja ia ingin bangun, terasa berat di dadanya. Rin, ia mendekap Diran dan tertidur di posisi itu. Hampir Diran mengira pertemuannya pada Rin hanyalah mimpi. Dan tak mengerti harus
“Biarkan aku ikut!” lirih Isabel hampir tak sanggup menegakkan tubuhnya. Efek kehilangan banyak darah, walau tak akan membuatnya mati.Diran dan William diam saja. William, sepertinya itu yang ia inginkan. Tak ingin melibatkan siapa pun dalam perjalanannya menemukan kunci spiral Denova. Kunci itu, Rin yang membawanya ke Slavidion dan ia tak sengaja menjatuhkannya. “Aku tak menyangka benar benda itu yang kalian cari,”ucapnya ketika Diran bertanya soal kunci. “Rick Albert, kupikir dia tahu soal kunci spiral Denova. Dia juga tahu soal kembarannya France Albert mendatangi Diana u
...[Aku bisa mengingatanya, selama 600 tahun dan tak pernah lekang. Saat matahari bergerak ke bawah dan ketika tak sengaja melihatmu di antara cahayanya yang menyilaukan, aku merasa berdosa karena telah membiarkan detik itu merekam keanggunan yang kau miliki. Aku seorang pangeran, tapi aku sadar aku tak berdaya di hadapan raja, ayahku sendiri. Ironi seperti apa yang membuat seorang anak berani merebut calon ratu ayahnya sendiri? Terkutuklah aku dan aku tahu aku mulai gila saat berpikir seperti itu.Tapi, Putri! Tidakkah kau juga melihatku saat itu? Dan kita saling bicara dalam diam. Lalu, batinku bertanya, “Bisakah kau menjadi Queen of Rose saja, agar aku bisa memandangimu setiap saat?”Di jalan tempat aku melihatmu, adalah jalan dengan batu alam tersusun rapi. Di sisi-sisinya berjejer bangunan sederhana tak terlalu tinggi, yang seolah hanya terbuat dari tanah. Yang sebenarnya, tempat itu adalah benteng istana yang akan lebih dulu hancur j
Mata Isabel memicing. Dalam, dan lebih dalam pada dasar kolam Houston. Airnya yang jernih, membuat dasarnya terlihat sangat dekat. Atau, itu hanyalah sebuah ilusi. Bahkan Diran tidak tahu persis seberapa dalam kolam itu. Yang jelas, siapa pun mencoba masuk ke sana, akan tenggelam. Tidak sedikit catatan tentang mayat mengapung di kolam itu. Beberapa berhasil diselamatkan karena Diran yang coba menarik dan mengeluarkan mereka. "Seperti ada yang menarikku, mengikat kaki dan mendekap tubuhku. Aku mencoba berteriak, tapi air bukan jalannya gelombang suara," begitulah kesaksian mereka.
Seperti kilat, cahaya itu menyambar dari sisi kiri Isabel. Tubuh Rin melayang, kemudian turun dengan perlahan. Ada seseorang yang menyembutnya, “Kamu baik-baik saja?” tanyanya. Pertanyaan yang terdengar tak berguna, karena sebenarnya Diran bisa melihat sendiri bagaimana Rin dalam genggamannya.Isabel berpaling, feeling-nya terasah untuk setiap kehadiran makhluk setengah iblis di belakang. Berjalan dengan lambat, tapi aroma kemarahan jelas terlihat dari api-api kecil berwarna hitam yang berkobar di seluruh tubuhnya. Jemari William terselip di saku celananya sendiri, mungkin untuk menyembunyikan betapa mengerikan dan berbahayanya jari itu.“Kenapa kamu bisa ada di sini?” Isabel terbata.William memakunya, dalam diam dan sorot mata yang membuat tangan Isabel bergetar. Isabel tersudut. Tidak ada celah untuknya berlari saat itu. Ia sempat melangkah mundur untuk menjauhi William, tapi kini, ada lemari buku besar di belakangnya.“Menurutmu, k