Share

Bab 6 : You're The Best, Perfectly

Sebuah gedung tua, berdiri kokoh di tengah hutan belantara. Seorang gadis cantik berkacamata hitam tengah melangkah memasuki gedung tersebut. Setiap ruangan dengan minim pencahayaan, dia tembus dengan langkah anggunnya. 

"Mr. P!!" ucapnya pada dua pria bertubuh besar yang berada di depan ruangan, menjaganya dengan ketat. 

Tanpa membalas, keduanya membuka pintu itu dengan lebar. Gadis itu kembali melangkah setelah sebelumnya menghentikan langkah untuk menghidupkan sebatang rokok yang dibawanya. 

"Haiii gadisku," ucap pria paruh baya, meletakkan gelas kopi yang baru dia seruput isinya. 

Gadis itu hanya mengangkat tangannya sekilas, lalu meletakkan sebuah foto di atas meja yang berada di sebelah kiri pria itu. Sembari tersenyum, dia berucap mission succes. 

Pria paruh baya itu tersenyum getir, melirik sekilas foto dan merasa puas dengan foto tersebut. Lantas Mr. P kembali tersenyum padanya, mengangguk kecil sembari bertepuk tangan memberi pujian.

"I Like You, Yuna. You're the best. Perfectly," ucapnya dan kembali bertepuk tangan, setelah sebelumnya pria itu mengacungkan kedua jempolnya. 

"Tidak sia-sia aku membesarkan kamu untuk menjadi manusia hebat seperti sekarang, putriku tercinta," lanjutnya dan tertawa lepas.

Yuna hanya tersenyum miring, rokok yang sebelumnya dia hisap, dia buang ke atas lantai. Lalu mematikannya dengan kaki. Menggantikan rokok itu dengan permen tangkai yang dia nikmati dengan penuh sensasi. 

Pria paruh baya itu menggerakkan telunjuknya pada pengawal yang selalu standby di dekat jendela, memberikan sebuah amplop tebal pada gadis itu. 

"Yuna, ingat keberhasilanmu tidak boleh gagal. Hanya kamu yang benar-benar tidak pernah mengecewakanku. Dan aku harap kalau kamu benar-benar pilihan yang tepat untuk mewarisinya," pujinya kembali dan seperti memberikan sebuah pertanda pada gadis itu, bahwa dia adalah pewaris dari organisasi yang dipimpin Mr. P itu. 

Yunna tersenyum, dan membungkukkan tubuhnya setengah derajat. Mengabaikan ucapan pria yang telah membesarkannya. Kemudian pergi sembari membuka isi amplop yang dia terima. Langkahnya terhenti memastikan jumlah uang di dalam amplop itu, yang membuat matanya semakin terbutakan.

"Baik juga tuh bapak tua

Lumayan," ucapnya menghentikan langkah sejenak. 

"Aggghhh wajib dong pesta," ucapnya dan kembali melangkah. 

Tanpa disadari olehnya, seseorang dibalik dinding, mengenakan jubah hitam yang menutupi hingga kepalanya. Menatap sinis pada Yuna. Dia tertunduk dan meremas jemari tangannya menahan amarah yang luar biasa. 

"Ini tidak adil," ucapnya menatap kepergian Yuna dengan amarah yang membuncah di dadanya.

Yuuna berjalan dengan santai keluar dari hutan tersebut menuju tempat tinggalnya. Dia menyusuri gang demi gang, untuk kembali ke tempat tinggalnya untuk melepas penat di tubuhnya setelah seharian bekerja. 

Sesampainya di depan sebuah rumah kontrakan. Yuna gegas memasuki kamarnya, merebahkan tubuhnya untuk menghilangkan rasa lelah. Perlahan-lahan, dirinya memejamkan mata, menikmati alam mimpinya kembali.

"Mama, Papa, Cindy," ucapnya yang tengah berada di alam mimpi. Dan tanpa sadar, dia menangis dalam tidurnya. 

***

Jam menunjukkan pukul 15.00 WIB, Cindy baru saja keluar dari sekolah, gegas pulang ke rumahnya untuk melakukan aktivitas sehari-harinya sebagai pekerja paruh waktu di toko dekat rumahnya. 

Mengganti seragam sekolahnya dengan pakaian biasa. Cindy mengenakan baju kaus longgar dan celana jeans panjang. Tanpa makan atau mengistirahatkan tubuhnya lebih dulu, dia keluar rumah, mengunci pintu dan gegas berlari secepat mungkin menuju toko tempat dia bekerja. 

"Sore buk Wina," sapanya ramah, setelah menormalkan nafasnya yang tersengal akibat berlari. 

Pemilik toko itu tersenyum melihat Cindy yang baru saja datang. 

"Eh, Cindy. Sudah datang ternyata, cepat kamu angkat barang itu ke sini, jangan lupa susun ya di rak ujung. Semuanya sudah hampir kosong," perintah Wina kemudian.

"Baik, Bu." Cindy gegas mengangkat tumpukan kardus yang terletak di dekat pintu, mengangkatnya dengan hati-hati. 

Meski berat, Cindy harus kuat mengangkatnya. Dia sudah biasa melakukan kegiatan mengangkat beban berat. Meski dulunya, dia adalah gadis yang begitu manja.

Namun, setelah ditinggal pergi kedua orang tuanya, Cindy harus kuat menghadapi kejamnya dunia. Mencoba menikmati kehidupannya yang tinggal sebatang kara di rumah peninggalan orang tuanya. 

"Huffft, sudah beres." Cindy akhirnya menyelesaikan pekerjaannya. 

"Haduh, lelahnya," ucapnya kemudian, menyenderkan tubuhnya di bangku kasir. Lalu menyeka keringat yang membanjiri tubuhnya. 

"Selamat datang," ucap Cindy yang langsung berdiri saat ada pelanggan yang masuk. 

Namun, raut wajahnya berubah ketika melihat sosok yang berdiri di depan pintu, sembari menatap dirinya. 

"Astaga." Cindy membekap mulutnya dengan satu tangan. 

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status