Setelah satu jam Cindy mengerjakan pekerjaannya. Dia merasa tubuhnya sangat lelah dan segera mengistirahatkannya, untung saja semua pekerjaannya sudah beres hingga dia bisa bersantai sejenak.
Cindy yang memang bergantung pada pekerjaan ini, bekerja tanpa henti agar bisa digaji lebih tinggi oleh Wina, sang pemilik toko. Dia juga menjadi karyawan amanah sang pemilik toko, makanya dia sering diberikan makanan gratis oleh Wina karena jujur dan sangat membantu. Cindy menyeka keringat yang membanjiri keningnya. Kedua tangannya aktif mengibas untuk menghilangkan hawa panas di tubuhnya, setelah bekerja cukup keras. "Huufff, lelahnya," ucapnya sembari mengibas baju kausnya, menyenderkan tubuhnya di bangku kasir. Terdengar pintu kaca toko itu dibuka pelan. Cindy lekas berdiri, saat melihat pelanggan masuk ke tokonya. Dia menundukkan kepala sedikit. "Selamat datang," ucapnya sembari tersenyum ramah pada pelanggan yang wajahnya belum terlihat olehnya. Cindy begitu ramah melayani setiap pelanggan yang mendatangi toko itu. Dia tidak pernah bosan untuk tersenyum kepada siapapun yang mampir ke sana, meski terkadang para pelanggan yang datang dia merespon dirinya dengan baik.Setidaknya Cindy bersikap demikian, selain memang dia yang ramah, dia ingin membuat para pelanggan senang dengan pelayanannya dan betah belanja di toko itu. "Cindy, ibuk pergi dulu yah, jaga toko dengan baik," ucap Wina lalu tersenyum pada pelanggan yang baru saja masuk itu. "Iya, Bu. Hati-hati di jalan, Buk," balasnya ramah.Toko menjadi sepi, Cindy seorang diri menjaganya. Dia akan memiliki teman jika malam mulai datang. Diraihnya buku yang sengaja diletakkan di laci kasir. Seandainya bosan, Cindy akan membacanya tanpa tahu ada pelanggan lagi yang masuk ke dalam toko tersebut."Selamat datang," ucap Cindy gegas berdiri menyambut pelanggan yang baru saja datang, setelah pelanggan sebelumnya pergi. "Astaga." Cindy menutup mulutnya dengan satu tangan, melihat siapa yang masuk ke dalam toko itu. "Haii miskin, ketemu lagi deh kita," sapa Nada tersenyum meledek. Sementara Kesya, memasang wajah angkuhnya. Melihat ke sekeliling toko itu dan memandanginya dengan jijik. Dan Tahnia sendiri sibuk melihat jajanan apa yang akan dia nikmati saat ini. Raut wajah Cindy mendadak berubah, melihat Kesya dan kedua temannya datang ke toko itu. Gadis itu ketakutan, dia seorang diri di sini, tidak akan ada yang membantunya. Meminta tolong pun pada Gilang, Cindy tidak mungkin berani, dia juga segan mengganggu aktivitas kekasihnya. Wajah pucat Cindy, sukses membuat Kesya tersenyum penuh kemenangan. Dia pun melangkah menghampiri gadis itu. "Ma-mau apa kalian ke sini?" Cindy akhirnya bersuara, dengan sedikit gugup dia melihat ke arah luar berharap ada yang datang membantu dirinya."Loh, memangnya kita nggak boleh yah belanja di sini, kita kan pelanggan. Ingat, pelanggan adalah raja loh," ucap Kesya pelan, tapi bagi Cindy, suara gadis itu bagaikan sebuat teror bom yang amat menakutkan."Boleh kan, kita mampir." Kesya semakin mendekat. Senyuman sinisnya semakin menakutkan bagi Cindy. "Bo-boleh," jawabnya gugup. Kesya tersenyum sinis, dia memundurkan kakinya dan tangannya mulai mengobrak-abrik jajanan serta barang-barang lain, terutama barang-barang yang baru saja disusun oleh Cindy tadi. Kesya, Nada dan Tahnia mengacau di toko itu. Mereka seolah-olah tidak peduli jika si pemilik toko nantinya akan marah, toh yang akan dimarahi adalah Cindy, bukan mereka. Cindy hanya bisa melihatnya dengan menahan tangis. Dia tidak berani melawan mereka bertiga. Dikeramaian saja, Cindy tidak berkutik melawan tiga gadis menakutkan itu. Apalagi di dalam toko yang jelas hanya dia seorang yang berada di sana. Kesya melangkah maju mundur, mengacaukan segala barang yang sudah tertata rapi. "Yuk teman-teman, kita cari makanan yang kita mau, kacau semuanya kalau barang yang kalian inginkan tidak ketemu." Kesya memerintah teman-temannya dan ikut mengacak-acak bungkusan makanan yang tersusun di raknya. Cindy mengepal tangannya menahan emosi. Dia marah pada dirinya sendiri yang tidak bisa melawan. Dia tarik nafas dalam, lalu menatap tajam ke depan. "Kesya, cukup. Hentikan semua ini." Sang punya nama seketika menghentikan aktivitasnya, kala merasakan sebuah tangan menghentikan kegiatannya. Kesya menoleh pada Cindy yang menggenggam pergelangan tangannya dengan erat. Dia murka, dia marah, lantas menatap gadis lemah itu tajam. "Kamu mau mati, hah?"Cindy panik kala pekerjaannya yang baru saja diselesaikan, justru kembali dikacaukan teman-teman kelasnya. Dia gegas menuju Kesya, untuk menghentikan kekacauan yang diperbuat mereka. Dia takut jika buk Wina nantinya marah padanya, hingga membuat dirinya harus kehilangan pekerjaan yang menggantungkan kehidupannya. "Stop, stop, hentikan semuanya. Kalian tidak boleh mengobrak-abriknya. Tolong, jangan seenaknya di sini." Cindy berteriak mencoba menghentikan. Namun, sayang, mereka yang memang sengaja berbuat demikian. Mengabaikan ucapan, dan larangan dari Cindy. Justru mereka semakin menjadi-jadi dengan kelakuan mereka. Cindy menguatkan dirinya untuk berani melawan mereka, dia memegang tangan Kesya. "Kesya, cukup. Hentikan semua ini," teriak Cindy. Sang empu nama seketika menghentikan kegiatannya. Dia melihat ada tangan mencengkram pergelangan tangannya. Lalu, mengalihkan pandangannya pada si gadis yang memegang tangannya itu. "Kamu bilang apa tadi?" tanya Kesya mendekati menatap Cind
Cindy mati kutu dibuatnya. Tatapan ketiga gadis kaya keturunan bangsawan, bangsa di atas awan itu, bak menusuk jantungnya. Apalagi, bisikan roh halus jelmaan manusia, Kesya Alvionita, berisi tentang sebuah ancaman. Membuat bulu kuduk Cindy merinding. "Jawab cepat," sentak Kesya memberi ultimatum dari tatapannya. Kesya sibuk sendiri melihat Cindy yang diam membisu. Dia sedikit takut pada Retno yang bisa saja menjadi ancamannya saat ini. Sementara Tania dan Nada hanya diam, memperhatikan di belakang Kesya."I-iya, Pak. Mereka ke sini cuma belanja kok," jawab Cindy gugup, sembari tangannya menyeka keringat yang membendung keningnya. Sadar Cindy ketakutan, Retno melirik tidak percaya pada Kesya, lalu kedua temannya yang mematung. Dia menarik nafas panjang, menghempaskannya kasar. "Ya sudah, kalau kalian sudah selesai membeli apa yang kalian mau, pulang lagi ke rumah kalian," ucap Retno dengan tegas sembari terus berdiri, berkacak pinggang memperhatikan murid-muridnya.Kesya mencebik k
Malam pun tiba, Yuuna terbangun dari tidurnya. Dia yang sebelumnya berniat berpesta ria setelah sukses dengan misinya, membatalkan semua itu, dan memilih untuk istirahat di rumahnya. Kesadarannya belum terkumpul full, Yuna kembali merebahkan tubuhnya. Tiba-tiba perutnya keroncongan, Yuna yang masih mengantuk, terpaksa bangun. Dia melihat sekeliling rumahnya gelap, hanya lampu dari luar yang merambat masuk ke celah jendelanya. "Mmmhhh." Yuna menggeliat manja, dia meraih ponselnya di atas nakas.Dilihatnya jam telah menunjukkan pukul 8 malam. "Akkkhhh sial," umpatnya dan bangkit.Yuna pun gegas turun dari kontrakan barunya untuk mencari makanan. Berjalan menyusuri gang-gang kecil, dengan sorotan lampu jalanan yang sedikit redup, dan mengerjap. Tiada rasa takut dalam dirinya akan terjadi bahaya yang menimpanya. Sudah lama Yuna berkeliling di lingkungan itu. Namun, belum juga dia dapati tempat untuk dia bisa mengisi perutnya yang sudah memberontak untuk diisi. "Arrgghh, masa di lingku
Jam menunjukkan pukul 21.30 WIB. Waktunya untuk Cindy kembali ke rumahnya. Gadis cantik itu pun bersiap-siap untuk pulang ke tempat tinggalnya, membereskan semua roti pemberian Wina padanya dengan berbagai rasa. "Bagus lah, bisa untuk beberapa hari. Lagian kadaluwarsanya masih seminggu lagi," ucap Cindy, senang bukan main.Wina tadinya hendak membuang roti yang hampir kadaluwarsa itu. Namun, Cindy yang melihatnya mencegahnya. Meminta semua roti itu untuk dia bawa pulang ke rumahnya. "Buk, Cindy pulang dulu yah, makasih banyak buk, rotinya Cindy pulang dulu," ucapnya berpamitan pada Wina yang membalasnya dengan tersenyum ramah. Cindy pun gegas melangkahkan kakinya agar sampai di rumahnya yang cukup jauh dari toko. Berulang kali Cindy menguap, matanya begitu mengantuk. Namun, dia tetap harus bertahan karena belum mengerjakan tugas-tugas sekolahnya. Dia pun menatap kantong plastik yang ada di dekapannya. "Syukurlah, roti ini bisa sampai besok sore. Lumayan, ngirit uang jajan," ucap C
Mobil sedan hitam itu berhenti di sebuah jembatan yang berada di pemukiman kumuh di pinggiran kota. El pun menghentikan mobil mereka sekitar 100 meter dari mangsanya. "Lo nggak usah ikut campur," tegas Yuna dengan tampang serius. Yuna pun turun, membiarkan El diam di dalam mobilnya, karena ini adalah tugasnya seorang. Tidak membutuhkan orang lain dalam menjalankan misinya."Sombong," ucap El dalam hati, mendengar temannya itu tidak membutuhkan dirinya. Yuna mendekati pria itu pelan dan hati-hati. Pria berjaket hitam, dengan sepatu sport yang dikenakannya, tampak menemui seorang pria paruh baya di bawah jembatan. Pria yang di kawal dua bodyguard di belakangnya, serta dua bodyguard lagi di mobil belakangnya. Clengok ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang melihat transaksi mereka. Pria itu memberikan apa yang diinginkan si pria paruh baya tersebut. "Okey, pastikan setelah ini rencana kita berhasil. Kalau tidak maka ...." Kata-kata pria itu terhenti tepat saat peluru menjebol t
El panas dingin mendengar pujian dari Mr. P untuk Yuna. Dia tersenyum miris mendengarnya. Dulu, sebelum Yuna benar-benar berkecimpung di dunia kriminal mereka, dia lah yang mendapat pujian itu dari Sang pemimpin organisasi. Namun nyatanya sekarang, pria tua itu justru dengan mudahnya memuji anak lain dan membuang dia seenaknya saja. Bak sampah yang tidak berguna, habis manis sepah di buang. "El, kamu bisa keluar dulu. Ada hal yang harus saja bicarakan dengan Yuna. Hanya empat mata," ucap pria itu, mengarahkan dua jarinya ke matanya, lalu ke mata Yuna yang tersenyum menyombongkan dirinya. Mr. P pun memberi kode pada dua pria bertubuh besar di belakangnya, untuk menggiring El keluar dari ruangan itu, menyisakan mereka berdua.Sadar tidak dibutuhkan, El hanya tersenyum miris, membungkuk hormat pada Mr. P dan melangkah keluar tanpa harus di giring siapapun."Brengsek!!" umpat El menatap pintu yang langsung tertutup saat kakinya telah berada di luar ruangan. "Awas saja kau pria tua bren
Yuuna bersiul-siul sepanjang perjalanan. Dia terlihat bahagia memegang uang imbalannya yang cukup besar kali ini. Dia turun dari mobilnya, meninggalkan mobil itu di sebuah lapangan. Dirinya pun memilih berjalan kaki menuju kontrakannya yang memang berada di dalam gang sempit. Sengaja mencari pemukiman kecil untuk menghemat biaya. Satu kali belokan lagi, Yuna akan sampai di depan rumahnya. Namun, sontak dia menghentikan langkahnya. Dari tempatnya berpijak, terlihat dua pria yang dia ingat dari pakaiannya, merupakan pengawal si bandot tua yang tadi pagi dia bunuh. Yuna diam sejenak, memperhatikan gerak gerik pria-pria dengan jumlah yang cukup banyak itu. Memastikan apakah memang dirinya yang diincar sekarang, atau tidak. Si botak dengan pakaian hitam dan tubuh yang lebih tinggi dari teman-temannya, melangkah mondar mandir menunggu seseorang. Dia merasa ada yang memperhatikan, lantas menoleh ke samping kiri, melihat keberadaan seorang gadis kecil. Yuna ternyata mematung menatap diriny
Yuna pun menarik nafas berat. Baginya hari ini adalah hari sialnya. Padahal, tadi dia sangat bahagia mendapat bayaran yang cukup banyak dari Mr. P, hingga dia lupa diri.Yuna yang bosan diciduk seperti maling oleh peliharaan dari pemilik rumah mewah tempat persembunyiannya itu. Lantas memilih melompati pagar untuk keluar dari rumah besar itu, daripada dirinya nanti benar-benar dituduh sebagai maling asli.Yuna mulai memanjat dinding itu. Dan saat dia lompat, tanpa melihat ke sekelilingnya lebih dulu. Dia pun meloncat dari pagar tinggi itu hingga tanpa sengaja, lompatan Yuna hampir mengenai seseorang yang tengah lewat di jalan depannya. "Aduh," ucap gadis itu terduduk seketika. Cindy yang kecewa karena tidak bisa masuk ke sekolahnya, lantas pulang dan ingin segera masuk kerja agar mendapat upah besar nantinya. Terduduk letih karena sosok yang hampir menghimpitnya. Yuna yang tanpa bersalah, segera berdiri dan gegas membalikkan tubuhnya tanpa mau menolong korbannya. "Ya ampun. Siapa s