Bianca is caught in a web of deceit woven by her mother. Mated to Beta, yet manipulated into believing that power lies in a union with the kingdom's king. As Bianca struggles with her desires and her mother's manipulations, she finds herself torn between staying true to her mate and being tempted by power and status. With every decision she makes, she delves further into a web of deceit and treachery, where the line between right and wrong blurs. Will she embrace her destiny as Daniel's mate, or will she be consumed by the darkness that threatens to engulf her?
View MorePart 1 Aku yang Menyerah
"Cerai? Kamu serius?" tanya Miya dengan mimik muka tidak percaya. Dia memandangku lekat.
"Ya."
"Sudah kamu pikirkan masak-masak."
"Hu um. Ini sudah keputusan finalku. Aku menyerah dengan cinta yang kuperjuangkan selama ini. Nyatanya sampe sekarang aku tidak pernah jadi pemenangnya. Hati Mas Ilham tetap untuk Nura."
Rasanya sangat sakit mengucapkan kalimat itu. Namun aku memang butuh teman berbagi, agar beban dan luka dada ini terasa berkurang.
Miya sudah kukenal sejak duduk di bangku SMA hingga kuliah. Dia juga yang tahu bagaimana hubunganku dan Mas Ilham bermula.
"Kalian punya Syifa. Apa enggak kasihan sama anak."
Kupandang bocah perempuan yang asyik bermain dengan Tita, anaknya Miya yang seumuran dengan Syifa.
"Syifa enggak begitu dekat dengan papanya. Jadi enggak akan berpengaruh dengan perpisahan kami."
Miya menggenggam erat tanganku yang dingin. Sebak di dada ini tidak lagi mengalirkan air mata seperti biasanya. Hatiku memang sudah beku dengan drama yang terjadi di rumah tangga yang terbina lima tahun ini.
"Sabar, Vi."
Aku tersenyum getir.
"Apa ibumu dan mertuamu sudah tahu."
"Sebelumnya aku sudah minta pertimbangan sama Ibu. Beliau enggak bisa berkata apa-apa. Ibu juga tahu aku sudah cukup bertahan selama ini. Kalau mertuaku ... masih berharap bahwa kami akan baik-baik saja."
"Ilham sendiri bagaimana?"
"Masih diam."
Kualihkan pandanganku pada mentari di ujung barat. Sinarnya mulai meredup di antara gumpalan mega-mega putih.
"Teman-teman kita akan kaget mendengar ini," gumam Miya.
Tentu saja mereka akan kaget. Sebab orang-orang di luar melihat kami hidup dengan harmonis. Mereka mana tahu, apa yang sesungguhnya terjadi di istana megah kami. Aku hanyalah ratu tanpa mahkota di sana. Aku hanya pelengkap status bagi pria yang menikahiku lima tahun yang lalu.
Aku sudah berusaha semampuku menjadi istri yang berbakti untuknya. Melayani dengan paripurna, tapi masa lalu masih juga merongrongnya.
Cerai? Selama lima tahun ini aku tidak pernah berpikir mengambil jalan itu. Aku percaya semua akan membaik pada akhirnya. Namun kini aku harus menyerah juga.
Malam setelah kupergoki Mas Ilham tertidur di ruang kerjanya, saat itu ditangannya ada buku yang terselip foto lama seorang wanita. Dia Nura. Mantan kekasihnya.
Bukan alasan itu saja yang membuatku nekat bercerai. Waktu Mas Ilham opname, dari kaca pintu kulihat Nura menyuapinya dengan penuh perhatian. Mereka bercengkrama layaknya pasangan yang bercinta.
"Vi," panggilan Miya membuyarkan lamunanku.
Aku menarik napas panjang, melihat jam tangan kemudian meraih hand bag di atas meja taman, tempat di mana aku dan Miya bertemu sore itu.
"Ayo, kita pulang Miya. Nanti suamimu pulang kerja kalian enggak ada di rumah."
"Vi, aku yakin kamu kuat. Hadapi dengan sabar dan doa."
Aku mengangguk. Kurasa aku cukup kuat selama ini. Bertahan dalam mahligai tanpa ada cinta di dalamnya.
"Syifa, ayo kita pulang, Sayang."
Dua bocah perempuan itu berlari pada kami. Miya mengajak anaknya pulang jalan kaki setelah aku naik taksi bersama Syifa. Taman itu memang tidak jauh dari perumahannya. Tadi aku belanja kebutuhan rumah di pusat perbelanjaan yang tidak jauh dari rumah Miya. Makanya sekalian kuajak dia ketemuan.
Jarak dari taman ke rumah hanya dua puluh menit. Saat taksi berhenti di depan rumah, tampak mobil Mas Ilham sudah terparkir di garasi. Rupanya dia pulang lebih awal. Apa tidak ada janji dengan perempuan itu?
Setelah membayar ongkos taksi, kugandeng Syifa masuk rumah.
"Assalamu'alaikum."
"W*'alaikumsalam," jawab Mas Ilham yang keluar dari kamar.
Tampaknya dia baru selesai mandi. Bau wangi sabun menguar di sekitar kami. Seperti yang kuajarkan pada Syifa, gadis kecilku akan mencium tangan papanya saat kami baru dari luar atau ketika Mas Ilham baru pulang dari kantor.
"Darimana?"
"Belanja, sekalian ngajak main Syifa sebentar."
Aku ke belakang untuk menaruh barang belanjaan. Syifa langsung duduk di depan TV melihat kartun dan Mas Ilham duduk di sebelahnya. Membelai rambut putri kami.
Ah, tiba-tiba dadaku terasa nyeri melihat pemandangan yang sangat jarang terjadi. Mas Ilham, ayah yang kaku dan tidak tahu bagaimana memuji anaknya. Dia hanya akan tersenyum sambil mengacungkan ibu jari saat Syifa menunjukkan hasil mewarnai di sekolah.
Jilbab kulepas sambil melangkah masuk kamar. Kemudian menutup jendela, mengambil baju kotor Mas Ilham di kamar mandi lalu membawanya ke belakang. Sekalian aku menyiapkan hidangan makan malam.
Kami langsung ke ruang makan setelah selesai Salat Maghrib berjamaah. Kulayani suami seperti biasa setelah mengambilkan makan untuk Syifa.
"Ma, besok kita jadi renang, enggak? Katanya kalau libur sekolah Mama mau ngajak Syifa renang," tanya Syifa.
"Iya. Besok kita pergi," jawabku sambil tersenyum.
"Besok Papa antar."
Syifa mengangguk sambil memandang papanya. Ada binar bahagia di mata gadis kecil kami. Namun aku justru takut, karena kenyamanan itu tak lama lagi akan terenggut.
Kami makan malam sambil mendengar Syifa bercerita tentang sekolahnya. Seperti biasa aku yang menanggapi, sedangkan Mas Ilham hanya jadi pendengar. Terkadang saja tersenyum.
Sudah jadi kebiasaanku kalau habis makan malam, langsung membereskan dapur. Bahkan langsung kupel malam itu juga. Keharmonisan yang tidak ada di antara kami, membuatku selalu menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah tangga. Hampir setiap hari lantai aku pel setelah mengantar Syifa sekolah. Kaca rumah bening tanpa dihinggapi debu karena selalu kulap setiap hari.
Sejak pembicaraan cerai seminggu yang lalu, aku tidur menemani Syifa di kamarnya. Seperti malam ini. Setelah Syifa tidur, aku membereskan buku-buku mewarnai dan beberapa krayon yang berserakan di atas meja belajarnya.
"Vi." Ada panggilan pelan bersamaan dengan ketukan di pintu kamar.
"Syifa sudah tidur?" tanya Mas Ilham saat aku membuka pintu.
"Sudah."
"Kita bicara sebentar."
Aku mengangguk dan mengikutinya ke ruang tengah.
Hening sejenak menjadi jeda.
"Minggu depan aku akan pindah ke rumah Ibu." Akhirnya aku yang membuka percakapan. Mas Ilham menatap kaget.
"Kamu serius kita cerai?"
"Ya."
"Apa tanggapan orang-orang nanti?"
Aku tersenyum getir sambil memainkan ujung piyama yang kupakai.
"Kenapa harus peduli dengan tanggapan orang. Mereka hanya beberapa waktu saja menggunjing. Setelahnya akan diam dan lupa."
"Antara aku dan Nura tidak ada hubungan apa-apa."
"Yang kutahu kalian saling mencintai dan menunggu satu sama lain. Sampai dia rela meninggalkan suaminya hanya untuk bersama Mas. Aku tahu kalian pergi bersama keluar kota hari itu."
Mas Ilham menatapku lekat. "Itu hanya untuk urusan pekerjaan."
"Aku juga tahu saat dia menyuapi Mas di rumah sakit. Aku tahu saat dia menggenggam tangan Mas dengan tatapan memuja. Aku pun tahu saat Mas tertidur di ruang kerja sambil memeluk buku terbuka yang terselip foto lama Nura."
"Vi ...."
"Aku juga tahu catatan di laptop Mas, tentang ungkapan perasaan Mas padanya. Maaf, aku enggak sengaja membacanya ketika Mas lupa mematikan laptop malam itu."
Aku berhenti sejenak. Menarik napas dalam-dalam untuk melonggarkan dada yang kian sesak.
"Jadi enggak ada alasan aku untuk bertahan lagi. Seolah aku yang menjadi duri di antara kalian. Aku enggak ingin seperti ini. Aku juga ingin bahagia. Mungkin dengan kita bercerai, Mas akan bahagia dan aku juga akan tenang."
Hembusan napas Mas Ilham terlihat berat, netranya sudah memerah. Entah apa yang dirasakannya. Malu karena aku bisa menyibak semuanya, atau khawatir dengan reputasinya yang akan terjejas setelah perceraian kami. Secara kariernya di kantor sebagai branch manager sedang berada di puncak.
"Aku enggak akan menuntut apa pun. Nafkah untuk Syifa, Mas pikirkan sendiri. Bukan karena aku enggak butuh, tapi aku juga sadar kalau sebenarnya kelahiran Syifa enggak pernah Mas inginkan."
Mas Ilham menatapku tajam, seolah menyangkal dengan apa yang aku ucapkan. Namun dia tetap diam tak bersuara. Membuatku semakin membenarkan asumsiku sendiri.
"Kita akan berpisah secara damai. Jangan khawatir, aku tidak akan mempersulit urusan pengadilan. Biar kalian segera bisa bersama."
Air mata berderai tidak terbendung. Aku harus segera pergi biar dia tidak tahu betapa hancurnya perasaanku.
"Vi."
Mas Ilham meraih lenganku kemudian berdiri. "Maaf untuk semuanya. Mungkin Mas memang sebrengsek itu, yang tidak memahami bagaimana perasaanmu. Marilah kita perbaiki hubungan ini. Kita coba sekali lagi."
Aku tersenyum getir. "Jangan sia-siakan waktu untuk uji coba. Kalau Mas ingin berubah, waktu lima tahun enggak sebentar. Tapi kenyataannya semua masih sama."
"Mas tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Nura. Kami memang dekat, tapi hanya sebatas teman. Kamu juga tahu kalau Mama sudah menganggap Nura seperti anak sendiri."
"Enggak ada apa-apa, tapi Mas menulis ungkapan cinta untuknya."
"Itu tulisan lama yang belum sempat Mas hapus."
Ah, tulisan lama katanya. Namun kenapa dia membuka dan membacanya lagi. Jika itu tidak bermakna lagi, kenapa tidak segera dihapus saja.
Kulepaskan pegangan tangannya. Aku tidak ingin membicarakan hal itu lagi. Semua amat menyakiti. Mungkin Mas Ilham tidak tahu, kalau aku mengetahui mereka sering pergi berdua. Meski dengan alasan pekerjaan. Ya, mereka memang bekerja di dua tempat yang berbeda, tapi masing-masing perusahaan memiliki ikatan kerjasama.
"Sudah malam, tidurlah, Mas!"
Aku melangkah kembali ke kamar Syifa sambil mengusap air mata.
Setelah menutup pintu kamar, aku duduk menatap Syifa yang tidur pulas. Air mata kembali menganak sungai saat ingat lima tahun yang lalu. Bagaimana reaksi Mas Ilham saat tahu aku hamil, tidak tampak dimatanya binar bahagia. Bahkan begitu kaget dan tidak siap.
Bahkan waktu kelahiran Syifa dia sedang ke luar kota. Dia tidak tahu bagaimana aku bertarung nyawa demi melahirkan anaknya. Setelah pulang pun Mas Ilham tetap sibuk dengan urusan pekerjaan. Bayi kecilku kuurus dengan bantuan Mama mertua.
Sesekali Ibu akan datang di waktu longgarnya. Sebab usaha kue ibu saat itu sedang berkembang pesat. Pesanan datang dari mana-mana.
Kukecup kening gadis cantikku penuh cinta sebelum aku rebah di sampingnya.
🌷🌷🌷
"Mama, tolong ikatkan tali sepatu. Syifa enggak bisa, Ma," teriak Syifa dari teras. Pagi itu kami bersiap pergi berenang.
"Iya, sebentar," jawabku sambil memasukkan bekal. Aku membawa kue dan cemilan.
"Sini, Papa ikatkan."
Mas Ilham mendekati Syifa. Kuperhatikan bocah itu diam saja. Setelah mengucapkan terima kasih langsung duduk di kursi teras, menjauh dari papanya.
Lihatlah, anak sekecil itu sangat peka dengan apa yang terjadi antara kami. Mungkin Syifa juga merasa bahwa dulu kehadirannya diterima dengan setengah hati.
Dari dalam kulihat Mas Ilham masih berjongkok sambil memandang putri kami. Mungkin dia juga sadar bahwa ada jarak yang membentang di antara dia dan anaknya.
"Kita berangkat!" ajakku dengan nada datar.
Tercipta hening dalam perjalanan. Aku tetap duduk di bangku depan, sambil memangku Syifa. Sesekali Syifa bertanya tentang apa yang dilihatnya dalam perjalanan.
"Katanya kita mau tinggal di rumah Nenek. Kapan, Ma?"
Mas Ilham menatap kami.
"Minggu depan, Sayang. Nunggu Pak Nardi longgar dulu, ya," jawabku pelan.
Pak Nardi adalah tetangga ibuku sekaligus orang yang sering disuruh ibu untuk mengantarkan pesanan-pesanan kue.
"Papa ikut juga?"
"Enggak. Kalau Papa ikut siapa yang akan menjaga rumah."
Syifa mengangguk sambil memandang papanya sebentar.
Setelah turun dari mobil, Syifa langsung berlari sambil menarikku menuju loket pembelian tiket. Mas Ilham mengikuti di belakang. Entah kenapa dia ikut, biasanya menunggu di mobil atau pulang.
Kami duduk di ayunan besi tepi kolam tempat berenang Syifa. Dia sibuk dengan ponselnya, sedangkan aku memperhatikan keceriaan anak-anak yang sedang bermain air dan beberapa orang tua yang sedang menungguinya.
Tiba-tiba ponsel Mas Ilham berdering. Kulirik sekilas ada panggilan masuk dari Nura. Dibiarkan panggilan itu hingga berhenti. Kemudian disusul panggilan selanjutnya. Dan sebuah pesan masuk saat Mas Ilham masih diam. Entah pesan dari siapa.
Kenapa aku tidak marah atau menegurnya? Bukankah aku berhak untuk itu?
Aku tidak akan melakukan hal itu lagi. Setelah aku hampir depresi setelah melahirkan Syifa. Aku pernah mengamuk saat bayi kami rewel, sedangkan Mas Ilham malah sibuk menenangkan Nura yang kala itu sedang mengurus perceraian dengan suaminya.
Saat Syifa umur dua bulan, aku tidak mau menyusuinya. Setelah bayiku hampir sakit, aku sadar kalau tindakan itu sangat bodoh dan konyol. Untuk apa menyiksa diri demi pria yang tidak menganggapku sama sekali. Aku harus waras demi anak dan diriku sendiri.
"Kalau Mas ada urusan lain, tinggalkan kami. Nanti kami bisa naik taksi," ucapku kemudian meninggalkannya untuk menghampiri Syifa.
Dia tidak pergi, tapi malah memperhatikan aku dan Syifa yang bercanda di tepi kolam. Sejak dulu sikapnya memang sulit ditebak.
Next ...
Terima kasih untuk like dan komentarnya Man-teman 😍😘
BiancaThe much-anticipated mate ball had finally arrived. I didn’t really know what to expect, but I felt it was extremely necessary for me to muster some surge of hope, one that would surely prevent me from spending the rest of my life with my nightmare.I stood right in front of the mirror, staring at my reflection, while the maids took their time dressing me. Thinking of the event made me curl with much anticipation of what the night held.The door opened slightly, Amber ducking her head halfway into the room, her mouth slightly open as she pushed the rest of her body inside.“Good Heavens, my lady!” she exclaimed, pushing her small, cute head beside mine, her chin resting tentatively on my shoulders. “You’re extremely blessed by the moon goddess with exceptional beauty, my lady.”“Flattery, Amber; flattery is what your words echo,” I retorted, locking gazes with her through the reflection of the mirror.“You know I speak the truth, my lady,” she insisted stubbornly.“Your truths
BiancaHis fingers curled angrily around my neck, making it nearly impossible for me to breathe. My vision blurred, and fear gripped me as I struggled for air. Suddenly, the door to the study flung open, and a guard rushed in.“My Prince, the—” he stopped abruptly, his eyes widening in shock as he took in the scene before him. This was not the demeanor expected of the prince. “My Prince!”Despite the guard’s attempts to pull him away, the prince tightened his grip on my neck, his eyes filled with pure hatred. The guard moved closer, trying to restrain him, but his indifference to his efforts only heightened their concern.“Listen to me, Bianca...” His voice was laced with pure hatred. The guards, sensing the urgency, tried to hold the prince back, probably hoping to bring him back to his kind and loving self, but the indifference in his actions sent fear coursing through their faces.“I don’t want you around me. Not as a mate or even as a friend. So whatever this is, stop it before I
Bianca The room felt suffocating, with the weight of my brother’s words pressing down on me like a dreaded nightmare. “You disappoint me, Bianca.” His accusation echoed in my mind, each syllable a sharp reminder of my own betrayal. I had shattered the image he held of me. I sat on the edge of my bed, my hands trembling as tears streamed down my cheeks. I thought of Daniel, his eyes dark with disappointment and disbelief. The warmth of his embrace, the strength of his love—I had tarnished it. With trembling hands, I wiped my tears, trying to regain control of my emotions, as I heard a knock on the door. “Who is there?” I asked. My voice cracked. “It’s me, my lady,” she replied. “You should go back, Amber. I am not in the place to talk to you,” I responded with a heavy sigh. “I needed to tell you...” “Amber,” I called, cutting off her words. “Please respect my word.” “I’m sorry, my lady,” she pleaded. I could hear her footsteps as she walked away. It was total silence as I bega
Bianca“Good morning, my lady.” Amber’s voice greeted me. I blinked, opening my eyes to meet her gaze.“Good morning, Amber,” I answered, pulling the blanket around me as I sat up. “What brings you here so early?”“My lady, I am here to inform you that your brother has returned,” she announced. Shock coursed through me at her words.My heart skipped a beat. The news I had been dreading had finally arrived. I had waited yesterday for Daniel to return, as Mother said, but he hadn’t arrived. And now he was home. How would I face him?“Where is he?” I asked, taken aback.“He is with your mother. They are having a discussion,” Amber informed me. Glancing at the clock in my room, I realized it was already 9 a.m. How had I slept in so late? Whatever Mother was discussing with him couldn’t be good. It must be about the marriage to the prince.I rose from the bed. “I need to shower, Amber. You can go back.”“Of course, my lady,” she responded before leaving the room. I hurried into the bathroo
Bianca.The next day.I was awakened by a loud knock on my door. I slowly opened my eyes, feeling groggy from sleep. The knocking persisted, growing louder each time.“Who’s there?” I asked, my voice barely above a whisper.“My lady, it is I,” the voice replied. It was Amber.“Come in,” I said, struggling to get up from the bed. She opened the door, revealing her worried look. What was going on?“Why do you look like that?” I questioned, rubbing my eyes.“My lady...” Amber began, her voice trembling as she knelt before me.“What is wrong?” I asked, rushing to her. My eyes were already clear. What the heck was going on? “Did you offend my mother?”“I’m sorry, my lady,” Amber apologized, struggling to find the right words, tears welling up in her eyes. This was unlike her; Amber was usually full of life and free-spirited.I sighed and pulled her up. “What is wrong?” I questioned her softly, wiping away her tears. She looked at me, deep inside my eyes. Wait! What did I just see in her ey
Bianca.“You’re here to see me. So, let’s go inside,” she insisted, pulling me along.“Mom, Dad, look who’s here,” she announced, ushering me in. “It’s Bianca.”“Bianca,” her mother called, rising to her feet. She rushed toward me and enveloped me in a motherly hug. “It’s so good to see you again, dear.” I melted into her embrace.“How are you doing, ma’am?” I asked, as she smoothed my hair, showing genuine affection, unlike my own mother, who often faked it.“I’m fine, darling,” she replied, holding my hand and leading me to the sofa, where she gestured for me to sit. She caressed my hand. “We all miss you, darling.”“Especially me,” her husband cut in. “I miss you so much.” My heart skipped a beat. They showered me with love. Apart from my brother and father, who genuinely loved me, they were the next closest.“I miss you too. If it weren’t for my mother, I would be coming here every day,” I admitted, and the room fell silent. What was going on? Did Sophia tell her parents what she
Welcome to GoodNovel world of fiction. If you like this novel, or you are an idealist hoping to explore a perfect world, and also want to become an original novel author online to increase income, you can join our family to read or create various types of books, such as romance novel, epic reading, werewolf novel, fantasy novel, history novel and so on. If you are a reader, high quality novels can be selected here. If you are an author, you can obtain more inspiration from others to create more brilliant works, what's more, your works on our platform will catch more attention and win more admiration from readers.
Comments