Share

Sekolah Baru

Kantin siswa tampak sangat ramai. Hampir setiap bangku terisi penuh dengan anak-anak yang sibuk makan atau sedang ngerumpi meski hanya memesan segelas es teh. 

Minggu fakultatif menjadikan kantin sebagai tujuan utama mereka menghabiskan waktu di sekolah bagi sebagian siswa yang tidak ikut kegiatan Masa Orientasi Siswa(MOS) atau lomba. Setelah memesan nasi goreng telur mata sapi dan segelas es teh, Farizka berkeliling mencari bangku yang kosong. 

Anak-anak sibuk dengan kegiatannya sendiri dan tampak acuh tak acuh dengan keberadaan guru yang baru lima hari berada di sekolah tersebut. Sebenarnya, bisa saja Farizka menyuruh salah satu dari mereka untuk bergeser dan mencari tempat duduk lain, tetapi niat tersebut urung dilakukan. Dia ingin menguji sejauh mana kepekaan anak-anak—calon siswa barunya.

Akhirnya, seorang siswa laki-laki segera berdiri ketika Farizka sampai di bangku pojok.

“Silakan, Bu,” ujarnya sambil mengambil jus Mangga yang masih separuh. 

Dia dan temannya segera berpindah ke taman kecil di samping kantin yang biasanya dijadikan tempat nongkrong dadakan kalau kantin sedang penuh. Farizka segera melahap nasi goreng pesanannya begitu pemilik warung kantin mengantarkan ke meja.

Beberapa anak melirik dan melihat ke arah Farizka. Namun, Farizka tampak tidak peduli dan melanjutkan makan paginya. 

Kenapa ada guru baru makan sendirian? Di kantin siswa, lagi, mungkin begitu pikir mereka.

Sebenarnya, semua guru mendapatkan jatah makan siang pada jam istirahat kedua di kantin guru, tetapi Farizka tidak sempat sarapan. Akan terlalu lama kalau menunggu jam makan siang. Perihal makan sendiri, Farizka masih canggung untuk mengajak teman barunya—sesama guru—meskipun hanya makan.

Entah hanya perasaan Farizka atau memang benar adanya, hawa persahabatan di sekolah kurang hangat dibanding dengan sekolahnya dulu.

“Eh, untungnya aku enggak dapat kelas di sana.”

Tiba-tiba, suara anak perempuan yang duduk di sudut kantin membuyarkan lamunan Farizka.

“Ya. Aku juga. Aku enggak ngebayangin kalau dapat kelas di sana. Jam terakhir, lagi. Hi ...,” ujar teman di depannya.

Suara mereka nyaring, bahkan cenderung di atas rata-rata, sehingga Farizka dapat mendengarkan dengan jelas meskipun tidak berniat menguping.

“Iya. Kamu masih ingat, kan, pas dulu kita kelas sepuluh dapat les tambahan sore hari di sekolah? Tiba-tiba, pintu kelasnya tertutup sendiri,” lanjut cowok di antara kerumunan mereka, berusaha mengingatkan kepada teman-temannya.

“Iya. Aku ingat, kok. Tapi, udah deh, enggak usah bahas yang serem-serem. Lagian, kita semua, kan, enggak ada yang dapat kelas 211 sekarang,” ujar teman cowok lainnya, berusaha menyudahi percakapan.

“Justru karena kita udah enggak dapet kelas di sana, kita bahas. Kan, kita enggak bakal ketemu lagi,” ujar cewek yang pertama kali membuka topik pembicaraan.

“Iya. Enggak habis pikir aku. Kok, bisa, ya, hantunya suka sama kita?” ujar cowok jangkung tadi sambil menyibakkan poni di wajahnya.

“Ih, udah, deh. Ganti topik kenapa, sih?” ujar cowok yang tadi berusaha menengahi.

Dari tempat duduknya, Farizka dapat membaca nama anak cowok yang berusaha menengahi pembicaraan—di dadanya tertulis Dave.

“Bilang aja kamu takut, Dave,” ujar cewek di depannya sambil cekikikan.

Farizka terus menyimak percakapan mereka. Tanpa mereka berempat sadari, sepasang mata merah mengawasi mereka tajam dari lantai dua. Dari kelas 211.

“Eh Nin, bukannya takut ya, aku cuma enggak mau membahas yang enggak penting,” bela Dave.

Beberapa saat kemudian, telinga Dave serasa ditiup angin dingin, membuat bulu kuduk cowok itu berdiri. Dave menengok ke belakang. 

“Kenapa, Dave?” tanya cowok yang duduk di sebelahnya.

Menyadari sesuatu yang pernah dialaminya di kelas 211 kembali dialami saat ini dan sepertinya akan terjadi kembali jika dia ikut bergabung di kantin ini dan membahasnya, Dave memutuskan untuk meninggalkan kantin. Biarlah dia dianggap pengecut, asalkan bisa tidur nyenyak tanpa bayang-bayang gadis penunggu ruang kelas 211. Berbicara dengan ketiga temannya saat ini akan percuma. Sama seperti waktu itu. Dave sudah melarang teman-temannya, tetapi mereka masih saja melakukannya. Akhirnya, hampir selama satu tahun belajar di kelas 211, Dave dan teman-temannya harus berurusan, bukan dengan “guru galak”, melainkan dengan sesuatu hal yang jauh lebih galak dan menyeramkan.

“Aku lupa, tadi ada rapat OSIS setelah jam istirahat pertama. Duluan, ya.” Dave berlalu.

Dia tahu, selepas kepergiannya, teman-temannya pasti membicarakannya.

“Halah cuma alasan dia kali, dari dulu dia kan, emang penakut,” ledek Ninda, teman perempuannya itu.

“Eh, Nin! Es kamu!” Tiba-Tiba, Rasti berteriak, membuat hampir seluruh penghuni kantin menoleh ke meja mereka.

“Kenapa sih Ras, teriak-teriak!” bentak Ninda, merasa sikap Rasti sangat norak. Plus risih diawasi anak-anak lain.

“Eeeeh, itu … itu … yang ada di gelas kamu … darah,” ucap Rasti dengan terbata-bata.

Selang beberapa detik kemudian, dia segera berlari meninggalkan kantin.

“Hiiih, anak itu, sama penakutnya dengan Dave. Mereka itu cocok banget,” ucap Ninda kesal.

“Jelas-jelas ini es sirup, masak dibilang darah,” ucap cowok di depannya.

Keduanya masih belum peka bahwa tidak hanya penghuni kantin yang mengawasi mereka, melainkan juga penghuni kelas 211. Dengan senyum penuh dendam terus mengawasi mereka dari lantai dua.

Farizka merasa tidak perlu mendengarkan lebih lanjut pembicaraan para anak ABG tersebut. Setelah menyeruput es teh untuk terakhir kalinya, dia berdiri dan meninggalkan kantin.

Ninda dan teman cowoknya baru sadar bahwa di sebelah meja mereka ada guru baru yang makan di kantin siswa.

Tiba-tiba ....

Pyaaar!

Gelas bekas es teh yang diminum Farizka jatuh ke lantai dan pecah.

“Eh, gelasnya pecah sendiri!” Kali ini, cowok di depan Ninda sedikit takut.

“Paling kesenggol guru baru itu, mana mungkin jatuh sendiri.” Ninda menanggapi.

“Kamu enggak lihat? Ibu itu sudah sampai ujung.” Cowok itu menunjuk ke arah Farizka dengan gerakan matanya.

Benar juga, batin Ninda. Gadis itu segera meraih gelas minuman yang hampir habis. Begitu menelan air berwarna merah yang ada di gelasnya, bau anyir langsung tercium sangat kentara. Rasanya amis. Ninda segera mengelap mulutnya dengan tisu. Betapa kagetnya dia. Itu … itu darah!

Sepasang mata dari sudut kelas 211 tertawa terbahak-bahak melihat Ninda dan teman cowoknya lari tunggang-langgang meninggalkan kantin.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status