Share

Part 4 | Keseriusan Pak Bagas

Tiba di depan pintu dengan napas terengah-engah, aku menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Tanpa banyak kata, segera ku hampiri Pak Bagas yang menatap ku terkejut. Aku tidak memedulikan tatapan Bapak dan Ibu yang melihat sikap ku. Bahkan aku melupakan ucapan salam, semuanya karena panik setelah aku mendapat kabar dari Wahyu.

"Pak Bagas ngapain disini?" Aku bertanya dengan raut panik.

Belum sempat Pak Bagas menjawab, aku mengalihkan pandangan ku pada Bapak, "Bapak, sebenarnya apa yang Bapak dan Pak Bagas bicarakan? Lulu merasa bersalah sama Pak Bagas."

Bapak diam menatap ku.

Ku beranikan diri lagi untuk mengatakan semuanya pada Bapak juga Ibu. "Lulu minta maaf sama Bapak dan Ibu. Lulu melupakan semua perkataan Lulu sebelum Lulu masuk kuliah, maafkan Lulu..."

Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar. Lantas, aku menatap Pak Bagas. Aku akan menyampaikan keinginan ku, yang telah ku pikirkan matang-matang semalam.

"Untuk Pak Bagas, Lulu minta maaf." Aku menunduk, tatapan ku tak bisa memandang wajah Pak Bagas.

"Lu..." Suara Pak Bagas memanggil ku, namun ku acuhkan. Aku lebih memilih melanjutkan kalimat ku.

"Maaf Pak, Lulu menolak lamaran,--"

"Lulu berhenti!" Pak Bagas spontan menghentikan ucapan ku dengan suara tegasnya. Membuat ku mematung diam di kursi.

Wajahnya melembut, namun tidak dengan suaranya yang terdengar amat tegas. Sama seperti Bapak ketika marah, suaranya mampu membuat ku diam tak berkutik.

"Jangan katakan apapun lagi. Jangan mematahkan usaha saya untuk mendapatkan restu dari orang tua kamu, Leuca." Kata Pak Bagas menatap ku dalam.

"Tapi Pak, saya..."

"Lu," panggil Ibu seraya menghampiri ku.

Aku menatap Ibu dengan tatapan penuh air mata, lantas Ibu mengajak ku untuk masuk ke dalam.

"Ayo ikut Ibu, biarkan Nak Bagas dan Bapak bicara."

"Tapi Bu,--"

"Tenangkan diri kamu dulu, Lu." Ibu memaksa ku untuk bangkit. Meninggalkan Bapak dan Pak Bagas di ruang tamu.

Dengan raut tak rela, aku menurut dengan mengikuti Ibu masuk ke dalam. Ibu membawa ku ke dapur, disana sudah ada Wahyu yang duduk di meja makan seraya menikmati kue brownies di piring dengan santai.

"Hai, Mbak!" Sapa Wahyu.

Aku melengos, pikiran ku sudah tak karuan. Aku ingin masalah ini segera selesai dengan aku yang membatalkan menerima lamaran Pak Bagas.

"Ayo duduk dulu," Ibu mengajakku duduk di meja makan, lagi, aku menurut.

"Ibu ambilkan makanan ya, pasti kamu tadi buru-buru kesini karena Wahyu." Ucap Ibu sibuk mengambilkan ku makanan di atas piring.

Setelah selesai mengambil makanan, Ibu meletakkan makanannya di hadapan ku. Tak lupa menjewer telinga Wahyu.

"Dasar anak bandel! Sudah dibilang jangan kasih tau Mbak mu, malah telepon!"

"Aw! Aw! Ibu! Sakit Bu!"

"Rasakan! Lihat! Mbak mu datang karena panik! Kalo ada apa-apa di jalan, bagaimana?"

"Iya! Iya! Wahyu salah! Wahyu minta maaf Bu."

Ibu melepas jewerannya setelah mendengar Wahyu meminta maaf. Aku masih duduk dengan pikiran berkecamuk. Aku sama sekali tidak tenang karena meninggalkan Bapak dan Pak Bagas berdua saja.

Bagaimana jika Bapak mengatakan hal buruk mengenai Pak Bagas seperti kemarin? Rasanya aku sangat malu bertemu Pak Bagas, apalagi menerima lamaran pria itu.

"Bu, ada apa sebenernya? Cerita ke Lulu. Apa yang tidak Lulu ketahui, Bu?"

Ibu yang tadinya mengomeli Wahyu, kini menatap ku. "Kamu makan dulu ya Lu, nanti kita semua bicara."

Jawaban Ibu sama sekali tidak membuat ku tenang. Namun tak ada pilihan lain selain menuruti ucapan Ibu.

***

"Sekarang, kalian bicaralah. Bapak dan Ibu akan berikan kalian waktu."

Lantas Bapak menoleh pada Pak Bagas, "Nak Bagas, jelaskan semuanya pada Lulu. Sepertinya putri Bapak ini sangat cemas sama Nak Bagas." Kata Bapak dengan nada kalem.

"Tentu Bapak. Terima kasih banyak atas kesempatannya." Balas Pak Bagas tersenyum sumringah.

Aku yang baru saja duduk di kursi menoleh bingung saat Bapak bangkit. Memberikan waktu untuk ku dan Pak Bagas bicara. Entah apa yang terjadi di rumah, dengan Bapak dan Pak Bagas yang tidak aku ketahui. Bahkan Bapak dan Pak Bagas tampak akrab.

"Pak, ini ada apa? Kenapa Pak Bagas bisa ada di rumah kedua orang tua saya?"

"Lalu, Pak Bagas cuti dan tidak bisa di hubungi karena saya bukan? Kejadian beberapa hari lalu tentu membuat Pak Bagas sakit hati. Saya minta maaf."

"Saya tidak apa-apa, Lu."

Aku mendongak mendengar jawaban dari Pak Bagas, "Benarkah?"

Pak Bagas mengangguk. Senyuman hangat itu kembali aku lihat. Rasanya tentram sekali melihat semuanya baik-baik saja. Sekarang saatnya aku mengutarakan niat ku untuk membatalkan lamaran Pak Bagas.

"Pak Bagas..." Panggilku pelan.

Pak Bagas masih menatapku dengan tatapan hangatnya. Lidahku terasa kelu saat kami berhadapan seperti ini. Bukan, lebih tepatnya aku. Rasanya aku tidak mampu mengatakan semuanya saat melihat tatapan hangat Pak Bagas memandangku, begitu lembut penuh perhatian.

"Terima kasih, karena Pak Bagas mau memaafkan saya." Kataku.

Pak Bagas menarik napas pelan, "Sudah saya katakan Lu, saya menyayangi kamu. Bagaimana mungkin saya tidak memaafkan kamu?"

Aku terkesiap, dan lagi. Pak Bagas kembali menyatakan perasaannya. Aku merasa tak enak hati. Tapi bagaimana pun, aku tetap memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Mengakhiri?

Bahkan aku tidak pernah merasa memulai semua ini.

"Pak Bagas, saya... Menarik ucapan saya sama Pak Bagas." Aku berkata seraya menunduk. Takut melanda diriku sekedar menatap Pak Bagas.

Aku menyiapkan diri, menerima kemarahan Pak Bagas. Yang terpenting sekarang, aku harus mengutarakan semuanya. Perasaan mengganjal dan rasa bersalah yang setiap hari membelenggu ku setelah hari itu.

"Saya tidak menerimanya, Leuca."

Aku terkejut mendengar suara Pak Bagas yang terdengar tegas menolak. Tatapan lembut saat menatapku beberapa menit lalu, kini sudah sirna. Hanya ada raut ketegasan dari wajahnya. Menatapku serasa mengintimidasi.

"Pak Bagas,--"

"Beberapa hari terakhir, saya berusaha mendapat restu dari kedua orang tua kamu. Saya berjuang demi kamu, karena saya yakin. Kamu, adalah gadis yang pantas untuk saya perjuangkan. Perasaan saya tidak bisa saya pendam lagi, Leuca."

Aku terdiam, menatap Pak Bagas yang menyela ucapanku. Tak ada keraguan dari manik mata Pak Bagas. Sepenuhnya memandangku penuh perasaan. Sedikit banyak aku terkejut, mendengar pernyataan Pak Bagas.

"Maksud, maksud Pak Bagas, restu dari Bapak dan Ibu saya?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Karena saya serius ingin menikahi kamu, Leuca." Tambah Pak Bagas dengan nada yang mantap.

Napasku terasa sesak, pasukan oksigen terasa sempit untukku mengambil napas. Tidak akan pernah ku sangka dalam hidupku, menjauh dari semua lelaki berharap fokus pada pendidikan ku, justru datang seorang lelaki dengan keseriusannya meminta ku pada Bapak dan Ibu.

"Pak, saya gak tau lagi harus ngomong apa." Jujur saja, aku bingung dengan kalimat apa yang harus aku sampaikan pada Pak Bagas.

"Kamu pasti cukup terkejut dengan semua ini. Saya mengerti. Tapi, saya tidak main-main dengan ucapan saya. Saya serius, ingin menikah dengan kamu, Leuca. Bukan soal ucapan saya yang ingin membiayai kuliah kamu, tapi saya ingin memenuhi segala kebutuhan kamu. Kebutuhan lahir dan batin."

Aku benar-benar tak bisa berbicara selain diam. Memandang Pak Bagas dengan tatapan yang tak bisa ku jelaskan. Pria dewasa di hadapan ku ini begitu serius dalam mengucapkan kalimatnya. Membuatku terpaku tak dapat mengalihkan pandangan darinya.

***

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status