Home / Rumah Tangga / Bocilnya Mas Duda / Part 4 | Keseriusan Pak Bagas

Share

Part 4 | Keseriusan Pak Bagas

Author: Mami Mochi
last update Last Updated: 2022-05-25 19:24:19

Tiba di depan pintu dengan napas terengah-engah, aku menjadi pusat perhatian di ruang tamu. Tanpa banyak kata, segera ku hampiri Pak Bagas yang menatap ku terkejut. Aku tidak memedulikan tatapan Bapak dan Ibu yang melihat sikap ku. Bahkan aku melupakan ucapan salam, semuanya karena panik setelah aku mendapat kabar dari Wahyu.

"Pak Bagas ngapain disini?" Aku bertanya dengan raut panik.

Belum sempat Pak Bagas menjawab, aku mengalihkan pandangan ku pada Bapak, "Bapak, sebenarnya apa yang Bapak dan Pak Bagas bicarakan? Lulu merasa bersalah sama Pak Bagas."

Bapak diam menatap ku.

Ku beranikan diri lagi untuk mengatakan semuanya pada Bapak juga Ibu. "Lulu minta maaf sama Bapak dan Ibu. Lulu melupakan semua perkataan Lulu sebelum Lulu masuk kuliah, maafkan Lulu..."

Aku tak kuasa menahan air mata yang memaksa keluar. Lantas, aku menatap Pak Bagas. Aku akan menyampaikan keinginan ku, yang telah ku pikirkan matang-matang semalam.

"Untuk Pak Bagas, Lulu minta maaf." Aku menunduk, tatapan ku tak bisa memandang wajah Pak Bagas.

"Lu..." Suara Pak Bagas memanggil ku, namun ku acuhkan. Aku lebih memilih melanjutkan kalimat ku.

"Maaf Pak, Lulu menolak lamaran,--"

"Lulu berhenti!" Pak Bagas spontan menghentikan ucapan ku dengan suara tegasnya. Membuat ku mematung diam di kursi.

Wajahnya melembut, namun tidak dengan suaranya yang terdengar amat tegas. Sama seperti Bapak ketika marah, suaranya mampu membuat ku diam tak berkutik.

"Jangan katakan apapun lagi. Jangan mematahkan usaha saya untuk mendapatkan restu dari orang tua kamu, Leuca." Kata Pak Bagas menatap ku dalam.

"Tapi Pak, saya..."

"Lu," panggil Ibu seraya menghampiri ku.

Aku menatap Ibu dengan tatapan penuh air mata, lantas Ibu mengajak ku untuk masuk ke dalam.

"Ayo ikut Ibu, biarkan Nak Bagas dan Bapak bicara."

"Tapi Bu,--"

"Tenangkan diri kamu dulu, Lu." Ibu memaksa ku untuk bangkit. Meninggalkan Bapak dan Pak Bagas di ruang tamu.

Dengan raut tak rela, aku menurut dengan mengikuti Ibu masuk ke dalam. Ibu membawa ku ke dapur, disana sudah ada Wahyu yang duduk di meja makan seraya menikmati kue brownies di piring dengan santai.

"Hai, Mbak!" Sapa Wahyu.

Aku melengos, pikiran ku sudah tak karuan. Aku ingin masalah ini segera selesai dengan aku yang membatalkan menerima lamaran Pak Bagas.

"Ayo duduk dulu," Ibu mengajakku duduk di meja makan, lagi, aku menurut.

"Ibu ambilkan makanan ya, pasti kamu tadi buru-buru kesini karena Wahyu." Ucap Ibu sibuk mengambilkan ku makanan di atas piring.

Setelah selesai mengambil makanan, Ibu meletakkan makanannya di hadapan ku. Tak lupa menjewer telinga Wahyu.

"Dasar anak bandel! Sudah dibilang jangan kasih tau Mbak mu, malah telepon!"

"Aw! Aw! Ibu! Sakit Bu!"

"Rasakan! Lihat! Mbak mu datang karena panik! Kalo ada apa-apa di jalan, bagaimana?"

"Iya! Iya! Wahyu salah! Wahyu minta maaf Bu."

Ibu melepas jewerannya setelah mendengar Wahyu meminta maaf. Aku masih duduk dengan pikiran berkecamuk. Aku sama sekali tidak tenang karena meninggalkan Bapak dan Pak Bagas berdua saja.

Bagaimana jika Bapak mengatakan hal buruk mengenai Pak Bagas seperti kemarin? Rasanya aku sangat malu bertemu Pak Bagas, apalagi menerima lamaran pria itu.

"Bu, ada apa sebenernya? Cerita ke Lulu. Apa yang tidak Lulu ketahui, Bu?"

Ibu yang tadinya mengomeli Wahyu, kini menatap ku. "Kamu makan dulu ya Lu, nanti kita semua bicara."

Jawaban Ibu sama sekali tidak membuat ku tenang. Namun tak ada pilihan lain selain menuruti ucapan Ibu.

***

"Sekarang, kalian bicaralah. Bapak dan Ibu akan berikan kalian waktu."

Lantas Bapak menoleh pada Pak Bagas, "Nak Bagas, jelaskan semuanya pada Lulu. Sepertinya putri Bapak ini sangat cemas sama Nak Bagas." Kata Bapak dengan nada kalem.

"Tentu Bapak. Terima kasih banyak atas kesempatannya." Balas Pak Bagas tersenyum sumringah.

Aku yang baru saja duduk di kursi menoleh bingung saat Bapak bangkit. Memberikan waktu untuk ku dan Pak Bagas bicara. Entah apa yang terjadi di rumah, dengan Bapak dan Pak Bagas yang tidak aku ketahui. Bahkan Bapak dan Pak Bagas tampak akrab.

"Pak, ini ada apa? Kenapa Pak Bagas bisa ada di rumah kedua orang tua saya?"

"Lalu, Pak Bagas cuti dan tidak bisa di hubungi karena saya bukan? Kejadian beberapa hari lalu tentu membuat Pak Bagas sakit hati. Saya minta maaf."

"Saya tidak apa-apa, Lu."

Aku mendongak mendengar jawaban dari Pak Bagas, "Benarkah?"

Pak Bagas mengangguk. Senyuman hangat itu kembali aku lihat. Rasanya tentram sekali melihat semuanya baik-baik saja. Sekarang saatnya aku mengutarakan niat ku untuk membatalkan lamaran Pak Bagas.

"Pak Bagas..." Panggilku pelan.

Pak Bagas masih menatapku dengan tatapan hangatnya. Lidahku terasa kelu saat kami berhadapan seperti ini. Bukan, lebih tepatnya aku. Rasanya aku tidak mampu mengatakan semuanya saat melihat tatapan hangat Pak Bagas memandangku, begitu lembut penuh perhatian.

"Terima kasih, karena Pak Bagas mau memaafkan saya." Kataku.

Pak Bagas menarik napas pelan, "Sudah saya katakan Lu, saya menyayangi kamu. Bagaimana mungkin saya tidak memaafkan kamu?"

Aku terkesiap, dan lagi. Pak Bagas kembali menyatakan perasaannya. Aku merasa tak enak hati. Tapi bagaimana pun, aku tetap memutuskan untuk mengakhiri semuanya.

Mengakhiri?

Bahkan aku tidak pernah merasa memulai semua ini.

"Pak Bagas, saya... Menarik ucapan saya sama Pak Bagas." Aku berkata seraya menunduk. Takut melanda diriku sekedar menatap Pak Bagas.

Aku menyiapkan diri, menerima kemarahan Pak Bagas. Yang terpenting sekarang, aku harus mengutarakan semuanya. Perasaan mengganjal dan rasa bersalah yang setiap hari membelenggu ku setelah hari itu.

"Saya tidak menerimanya, Leuca."

Aku terkejut mendengar suara Pak Bagas yang terdengar tegas menolak. Tatapan lembut saat menatapku beberapa menit lalu, kini sudah sirna. Hanya ada raut ketegasan dari wajahnya. Menatapku serasa mengintimidasi.

"Pak Bagas,--"

"Beberapa hari terakhir, saya berusaha mendapat restu dari kedua orang tua kamu. Saya berjuang demi kamu, karena saya yakin. Kamu, adalah gadis yang pantas untuk saya perjuangkan. Perasaan saya tidak bisa saya pendam lagi, Leuca."

Aku terdiam, menatap Pak Bagas yang menyela ucapanku. Tak ada keraguan dari manik mata Pak Bagas. Sepenuhnya memandangku penuh perasaan. Sedikit banyak aku terkejut, mendengar pernyataan Pak Bagas.

"Maksud, maksud Pak Bagas, restu dari Bapak dan Ibu saya?" Tanyaku memastikan.

"Iya. Karena saya serius ingin menikahi kamu, Leuca." Tambah Pak Bagas dengan nada yang mantap.

Napasku terasa sesak, pasukan oksigen terasa sempit untukku mengambil napas. Tidak akan pernah ku sangka dalam hidupku, menjauh dari semua lelaki berharap fokus pada pendidikan ku, justru datang seorang lelaki dengan keseriusannya meminta ku pada Bapak dan Ibu.

"Pak, saya gak tau lagi harus ngomong apa." Jujur saja, aku bingung dengan kalimat apa yang harus aku sampaikan pada Pak Bagas.

"Kamu pasti cukup terkejut dengan semua ini. Saya mengerti. Tapi, saya tidak main-main dengan ucapan saya. Saya serius, ingin menikah dengan kamu, Leuca. Bukan soal ucapan saya yang ingin membiayai kuliah kamu, tapi saya ingin memenuhi segala kebutuhan kamu. Kebutuhan lahir dan batin."

Aku benar-benar tak bisa berbicara selain diam. Memandang Pak Bagas dengan tatapan yang tak bisa ku jelaskan. Pria dewasa di hadapan ku ini begitu serius dalam mengucapkan kalimatnya. Membuatku terpaku tak dapat mengalihkan pandangan darinya.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bocilnya Mas Duda   part 21 | Suami Ku

    Suasana kemarin masih terasa di pagi ini. Dingin dan kaku tanpa ocehan Lily. Sepertinya Lily masih marah padaku. Aku pun tidak ingin memaksa Lily berbaikan denganku, aku biarkan Lily untuk sendiri terlebih dahulu. Semalam, Pak Bagas sudah menemui Lily di kamarnya. Kata Pak Bagas, Lily masih butuh waktu. Kemungkinan ada pergolakan di hatinya yang tidak bisa di ungkapkan atau justru Lily belum menemukan kenyamanan sehingga memilih diam tidak bercerita pada Papanya. Aku memaklumi, setidaknya Pak Bagas sudah mencoba mendamaikan ku dengan Lily. Setelah ini, biar aku yang berusaha berbaikan dengan Lily. Ku ukir senyum manis, meski Lily hanya diam. Sebisa mungkin, aku tidak ingin membuat Lily merasakan perasaan tak nyaman jika bersamaku. Aku sudah lama mengenal Lily, baru kali ini Lily marah padaku. "Lily mau makan pakai apa?" Tanyaku dengan nada perlahan. "Nasi goreng sama telor aja." Jawab Lily tanpa senyuman. Aku melirik Pak Bagas, dari tempat duduknya Pak Bagas memberikan seny

  • Bocilnya Mas Duda   part 20 | Ibu Tiri

    "Kak Yuka, Lily mau tanya deh." Aku menoleh sesaat setelah Lily berkata demikian. Kami sedang berada di belakang rumah, lebih tepatnya kami tengah berkebun. Menanam beberapa bunga yang kemarin kita beli di pasar. Banyak sekali jenis bunga yang dibeli, katanya sebagai inspirasi Lily saat menggambar bunga. "Lily mau tanya apa?" Aku meletakkan sekop kecil, menghampiri Lily yang duduk di atas rumput. "Ibu tiri itu jahat ya?" Aku tersentak kaget. "Lily tau soal itu dari mana, Sayang?" Selama ini, Lily tidak pernah membicarakan soal ibu tiri. Aku pun tidak tau, apakah Lily mengetahui makna ibu tiri. Selama yang aku tau selama tinggal disini setelah menikah dengan Pak Bagas, Lily tidak pernah menanyakan hal tersebut. "Kata teman-teman Lily di sekolah." Kali ini Lily bermain dengan bunga melati. "Kemarin, teman Lily ada yang bawa buku cerita Cinderella. Kata teman Lily, ibu tiri itu jahat banget sama Cinderella. Suka suruh-suruh Cinderella. Jahatin Cinderella pokoknya, pa

  • Bocilnya Mas Duda   19 | Perkara Iklan Dewasa

    Seperti sebelum-sebelumnya, aku hanya bisa memandangi kepergian mobil Honda Brio milik Mama mertua dari halaman rumah. Mama mertua masih belum bisa menerima kehadiranku sebagai menantunya. Tidak apa, aku akan berusaha perlahan-lahan mendekati hati Mama mertua. Hingga malam menjelang setelah kepergian Lily dan Mama, Pak Bagas belum ada kabar. Bahkan pesanku sejak siang belum juga dibalasnya. Rasa khawatirku kian mengganggu. Satu langkah kaki ku akan memasuki rumah, cahaya lampu sorot dari mobil menyapa. Aku berbalik, tersenyum sumringah melihat mobil suamiku yang telah aku tunggu kedatangannya sejak tadi. Rasa khawatirku berubah kelegaan yang luar biasa. "Pak Bagas." Aku langsung berlari menghampiri pintu kemudi. Pak Bagas keluar dengan setelan yang sedikit berantakan, "Maaf, saya tidak sempat mengabari mu." Aku mencium tangannya, dibalas kecupan manis di keningku. Baru-baru ini, mencium kening adalah kebiasaan Pak Bagas sebelum pria itu bekerja. Bahkan, sekedar mengerjak

  • Bocilnya Mas Duda   Part 18 | Menantu yang Tidak Dianggap

    Hari ini terasa berbeda dari hari sebelumnya. Aku yang mulai terbiasa berangkat bersama Pak Bagas kini harus menyesuaikan kembali. Tepat awal minggu ini, Pak Bagas mulai mengajar di kampus baru. Sementara aku berusaha menyelesaikan semester akhir yang tersisa dua semester lagi. "Nanti kalau masih ada matkul, biar saya saja yang jemput Lily." Kata Pak Bagas. Aku mengangguk, "Iya Pak, nanti Lulu kabarin." "Hari ini mata kuliah Bu Sesa kan? Bahasa inggris." Ujar Pak Bagas lagi. "Iya, tapi katanya anak-anak di grub kelas, Bu Sesa ada acara seminar diluar kota. Mungkin nanti dikasih tugas aja sih. Kalo memang free, biar aku aja yang jemput Lily." "Kamu fokus sama kuliah kamu dulu, urusan Lily itu gampang." "Ini kan hari pertama bapak ngajar di sana, jadi enggak etis kalo bapak sering-sering keluar." Kataku seraya membalas usapan tangannya. Pak Bagas yang masih sibuk menyetir terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Ya sudah, saya serahkan Lily ke kamu. Saya akan beru

  • Bocilnya Mas Duda   Part 17 | Keterbukaan

    Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status