Tatapanku tertuju pada cermin besar di depan ku. Sesosok perempuan berkebaya putih dengan gaya busana khas Jawa Timur itu begitu cantik. Make up melekat di wajahnya, dengan hijab berwarna putih serta mahkota kecil di kepalanya membuat sosoknya begitu memesona. Tak lupa ronce bunga melati di sisi sebelah kiri dan kanan berbeda ukuran membuat aroma wangi semakin semerbak.
"Cantiknya anak Ibu."Ibu datang, seraya mengelus pundakku. Senyum manis di bibir keriput Ibu terlukis hangat, berbeda dengan pelupuk matanya yang berkaca-kaca."Ibu...""Sekarang, Cah Ayu-nya Ibu sudah mau menikah ya? Padahal kemarin kamu masih nangis minta jajan ke Ibu. Rebutan boneka sama Wahyu.""Ibu..." Panggil ku dengan suara bergetar, tak mampu ku sembunyikan air mata yang nyaris jatuh."Jangan nangis ya, Cah Ayu-nya Ibu. Seberat apapun masalah kalian di dalam rumah tangga nanti, tetap layani suami mu dengan baik. Berbakti sama suami mu dan penuhi kebutuhannya meski kalian sedang bertengkar.""Ibu jangan ngomong gitu..."Ibu menyeka air matanya pelan, "Beberapa saat lagi, tanggung jawab Bapak dan Ibu sama kamu akan diambil alih oleh calon suami mu. Tapi sampai kapan pun, Bapak dan Ibu akan selalu jadi orang tua untuk Lulu."Rasanya dadaku semakin sesak, air mata jatuh merembes membasahi pipi. Ibu menyeka pelan, lalu menggeleng."Cah Ayu-nya Ibu jangan menangis, kalo Nak Bagas menyakiti Lulu jangan lupa. Ada Bapak dan Ibu yang selalu ada buat Lulu, ada Wahyu yang selalu siaga buat Lulu."Aku hanya mampu mengangguk, tak ada sepatah kata pun keluar dari bibir ku. Ibu memeluk erat, terasa pelukan terakhir yang bisa aku rasakan sebelum aku benar-benar meninggalkan rumah ini bersama Pak Bagas yang akan menjadi suamiku sebentar lagi."Mari Cah Ayu, calon suami mu sudah datang. Kita lihat Nak Bagas mengucapkan ijab kabul dengan Bapak mu."Ibu menuntunku perlahan. Aku bangkit dari kursi rias yang berada di kamar ku. Langkah demi langkah aku berjalan, Ibu meminta ku untuk duduk di hadapan televisi yang menyiarkan secara langsung kondisi ruang keluarga, tepatnya acara ijab kabul berlangsung.Disana, aku terpaku pada sosok gagah berkemeja putih. Memakai jas hitam serta dasi hitam mengkilap. Tak lupa peci hitam berludru tersemat di kepalanya. Menambah aura wibawa yang menguar semakin terpancar.Di belakangnya, sepasang suami istri paruh baya duduk menyaksikan acara ijab kabul yang akan dimulai. Tak lupa, seorang gadis kecil dengan rambut di kuncir dua duduk manis di pangkuan wanita paruh baya. Aku yakin sekali, mereka adalah kedua orang tua Pak Bagas bersama Lily.Sekilas aku baru mengenal mereka ketika acara lamaran secara resmi kemarin. Meski Ibu dari Pak Bagas terlihat diam saat acara lamaran, aku berharap bisa akrab bersama kedua orang tua Pak Bagas juga kerabat Pak Bagas yang lain.Hingga suara lantang dari Bapak membuat lamunan ku buyar."Saya nikahkan dan saya kawainkan engkau saudara Bagas Anugraha bin Graha dengan anak saya yang bernama Melaleuca binti Agung dengan mas kawin berupa seperangkat alat sholat, emas lima puluh gram dan uang tunai sebesar lima juta lima ratus lima puluh lima ribu rupiah dibayar tunai!""Saya terima nikah dan kawinnya Melaleuca binti Agung dengan mas kawin tersebut, dibayar tunai!""Bagaimana para saksi? Sah?""Sah!""Sah!""Alhamdulillah..."Air mata tak mampu ku bendung lagi. Bapak sudah menyerahkan tanggung jawab sepenuhnya atas diriku pada Pak Bagas. Sekilas, kenangan masa lalu membuat ku teringat.Bapak, adalah sosok pahlawan untukku. Bapak adalah sosok yang menjaga ku saat aku merasa ketakutan dengan hal baru. Bapak, adalah sosok yang mengajariku sepenuh hati ketika aku tidak mengetahui apapun. Dan Bapak, adalah sosok pelindung dari Ibu saat aku melakukan kesalahan.Bapak, adalah sosok saat selama ini menjadi tameng untukku, kini telah menyerahkan anaknya pada sosok asing yang baru beberapa hari Bapak temui."Selamat ya, Cah Ayu. Sekarang tanggung jawab Bapak terhadap mu, sudah Bapak serahkan pada Nak Bagas. Baik-baik sama Nak Bagas, apapun masalahnya jaga komunikasi diantara kalian. Bicarakan semuanya dengan kepala dingin, jangan sampai terbawa emosi.""Sesekali, jangan lupa untuk jengukin Bapak dan Ibu di sini."Aku semakin menahan isak tangis yang ingin terlepas. Seperti inikah, perasaannya menjadi anak perempuan yang harus siap kapan pun ikut suaminya pergi?"Ibu, jangan ngomong begitu. Mbak Lulu makin nangis tuh!" Wahyu datang dengan memeluk tubuh Ibu singkat.Menampilkan senyum untukku, Wahyu berkata, "Selamat ya Mbak, atas pernikahannya. Sering-sering main ke rumah sama Mas Bagas, kalo ada apa-apa jangan lupa hubungi Wahyu."Aku mengangguk, "Iya Yu. Makasih.""Bu, ayo ajak Mbak Lulu keluar kamar. Mas Bagas dan yang lain udah nungguin." Ajak Wahyu sebelum keluar dari kamar."Ayo Cah Ayu, kita ketemu sama suami kamu." Bisik Ibu di telingaku. Aku mengangguk patuh. Di tuntun Ibu menuju suamiku yang saat ini tengah menunggu.Di ruang keluarga, beralas karpet. Aku meminta acara pernikahan ku dilakukan secara sederhana, tanpa perayaan besar-besaran. Dekorasi ruangan di dominasi warna putih serta bunga segar untuk melengkapi suasana pagi ini. Tak banyak tamu diundang, hanya tetangga, kerabat dekat dan keluarga dari Pak Bagas. Itu pun tidak semua yang datang.Sesaat aku terdiam melihat semua orang memandangku. Pandangan ku tertuju pada satu sosok yang menunggu dengan senyuman hangat terpatri di bibirnya. Kemudian Ibu kembali menuntunku pada Pak Bagas, yang sekarang sudah sah menjadi suamiku.Ibu setia menuntun ku untuk duduk disamping Pak Bagas, mencium tangannya lalu memasang cincin pernikahan kami. Saat Ibu melepas tangannya dari tubuh ku, Pak Bagas mencondongkan tubuhnya di depan ku, mencium keningku dan berbisik sesuatu yang membuat hatiku bergetar."Perjuangan saya membahagiakan kamu baru saja di mulai, Lulu. Saya mohon, dampingi saya agar saya mampu menjadi imam yang baik untuk kamu juga keluarga kecil kita nanti. Dan menuntun kamu menuju kebahagiaan dunia dan akhirat."Tanpa mampu ku berkata, aku mengangguk diiringi air mata yang lagi-lagi menetes tanpa ku minta. Aku begitu terharu mendengar kalimat dari Pak Bagas yang menyentuh hati.Pak Bagas, sosok pria asing yang baru ku kenal secara formal selama satu tahun ini, tak akan ku sangka menjadi suamiku. Pria yang memendam perasaan sejak pertama kali melihat ku, bahkan memperhatikan ku secara diam-diam, begitu lembut dan penuh kasih terhadapku.Meski aku sendiri tidak tau bagaimana perasaan ku pada Pak Bagas. Namun, di cintai oleh sosok yang begitu mencintai ku dengan penuh perjuangan mendapat restu dari Bapak dan Ibu mampu membuat ku menjadi perempuan beruntung di dunia ini."Lulu juga minta sama Pak Bagas, untuk selalu bimbing dan nasehatin Lulu ketika Lulu salah. Lulu perlu belajar untuk menjadi istri yang baik untuk Pak Bagas sekaligus ibu sambung untuk Lily.""Pasti Lulu, itu sudah menjadi tugas saya sebagai suami kamu." Ucap Pak Bagas di iringi kecupan manis di keningku.***Suasana kemarin masih terasa di pagi ini. Dingin dan kaku tanpa ocehan Lily. Sepertinya Lily masih marah padaku. Aku pun tidak ingin memaksa Lily berbaikan denganku, aku biarkan Lily untuk sendiri terlebih dahulu. Semalam, Pak Bagas sudah menemui Lily di kamarnya. Kata Pak Bagas, Lily masih butuh waktu. Kemungkinan ada pergolakan di hatinya yang tidak bisa di ungkapkan atau justru Lily belum menemukan kenyamanan sehingga memilih diam tidak bercerita pada Papanya. Aku memaklumi, setidaknya Pak Bagas sudah mencoba mendamaikan ku dengan Lily. Setelah ini, biar aku yang berusaha berbaikan dengan Lily. Ku ukir senyum manis, meski Lily hanya diam. Sebisa mungkin, aku tidak ingin membuat Lily merasakan perasaan tak nyaman jika bersamaku. Aku sudah lama mengenal Lily, baru kali ini Lily marah padaku. "Lily mau makan pakai apa?" Tanyaku dengan nada perlahan. "Nasi goreng sama telor aja." Jawab Lily tanpa senyuman. Aku melirik Pak Bagas, dari tempat duduknya Pak Bagas memberikan seny
"Kak Yuka, Lily mau tanya deh." Aku menoleh sesaat setelah Lily berkata demikian. Kami sedang berada di belakang rumah, lebih tepatnya kami tengah berkebun. Menanam beberapa bunga yang kemarin kita beli di pasar. Banyak sekali jenis bunga yang dibeli, katanya sebagai inspirasi Lily saat menggambar bunga. "Lily mau tanya apa?" Aku meletakkan sekop kecil, menghampiri Lily yang duduk di atas rumput. "Ibu tiri itu jahat ya?" Aku tersentak kaget. "Lily tau soal itu dari mana, Sayang?" Selama ini, Lily tidak pernah membicarakan soal ibu tiri. Aku pun tidak tau, apakah Lily mengetahui makna ibu tiri. Selama yang aku tau selama tinggal disini setelah menikah dengan Pak Bagas, Lily tidak pernah menanyakan hal tersebut. "Kata teman-teman Lily di sekolah." Kali ini Lily bermain dengan bunga melati. "Kemarin, teman Lily ada yang bawa buku cerita Cinderella. Kata teman Lily, ibu tiri itu jahat banget sama Cinderella. Suka suruh-suruh Cinderella. Jahatin Cinderella pokoknya, pa
Seperti sebelum-sebelumnya, aku hanya bisa memandangi kepergian mobil Honda Brio milik Mama mertua dari halaman rumah. Mama mertua masih belum bisa menerima kehadiranku sebagai menantunya. Tidak apa, aku akan berusaha perlahan-lahan mendekati hati Mama mertua. Hingga malam menjelang setelah kepergian Lily dan Mama, Pak Bagas belum ada kabar. Bahkan pesanku sejak siang belum juga dibalasnya. Rasa khawatirku kian mengganggu. Satu langkah kaki ku akan memasuki rumah, cahaya lampu sorot dari mobil menyapa. Aku berbalik, tersenyum sumringah melihat mobil suamiku yang telah aku tunggu kedatangannya sejak tadi. Rasa khawatirku berubah kelegaan yang luar biasa. "Pak Bagas." Aku langsung berlari menghampiri pintu kemudi. Pak Bagas keluar dengan setelan yang sedikit berantakan, "Maaf, saya tidak sempat mengabari mu." Aku mencium tangannya, dibalas kecupan manis di keningku. Baru-baru ini, mencium kening adalah kebiasaan Pak Bagas sebelum pria itu bekerja. Bahkan, sekedar mengerjak
Hari ini terasa berbeda dari hari sebelumnya. Aku yang mulai terbiasa berangkat bersama Pak Bagas kini harus menyesuaikan kembali. Tepat awal minggu ini, Pak Bagas mulai mengajar di kampus baru. Sementara aku berusaha menyelesaikan semester akhir yang tersisa dua semester lagi. "Nanti kalau masih ada matkul, biar saya saja yang jemput Lily." Kata Pak Bagas. Aku mengangguk, "Iya Pak, nanti Lulu kabarin." "Hari ini mata kuliah Bu Sesa kan? Bahasa inggris." Ujar Pak Bagas lagi. "Iya, tapi katanya anak-anak di grub kelas, Bu Sesa ada acara seminar diluar kota. Mungkin nanti dikasih tugas aja sih. Kalo memang free, biar aku aja yang jemput Lily." "Kamu fokus sama kuliah kamu dulu, urusan Lily itu gampang." "Ini kan hari pertama bapak ngajar di sana, jadi enggak etis kalo bapak sering-sering keluar." Kataku seraya membalas usapan tangannya. Pak Bagas yang masih sibuk menyetir terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Ya sudah, saya serahkan Lily ke kamu. Saya akan beru
Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari
"Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa