Home / Rumah Tangga / Bocilnya Mas Duda / Part 3 | Calon Suami

Share

Part 3 | Calon Suami

Author: Mami Mochi
last update Last Updated: 2022-05-08 20:15:07

Aku tidak menyangka Pak Bagas benar-benar serius dalam ucapannya. Tubuh ku masih duduk dengan kaku menatap ke depan. Suasana dan keadaan ini, adalah hal yang ingin aku datangi sejak bulan lalu. Tepat dimana aku memilih untuk kost di kota.

Aku menghela napas panjang, ku lirikkan sudut mata ku ke samping jendela. Tepat disana, ada Ibu yang tengah menyapu halaman. Aku tersenyum kecil, kebiasaan Ibu sama sekali tidak berubah.

Tak lama, aku melihat Wahyu keluar dengan seragam SMA-nya. Wajah polos khas anak remaja pada umumnya bersinar cerah saat berpamitan pada Ibu. Mengendarai motor barunya, aku dapat melihat betapa senangnya Wahyu memiliki motor baru. Begitu pula Ibu, bahkan Ibu membiarkan sapunya tergeletak di tanah seraya melihat Wahyu hingga hilang di persimpangan jalan.

"Kamu masih ragu?"

Suara baritone itu mengalun lembut di dalam mobil, aku menoleh ke sebelah kiri. Pak Bagas menatap ku dengan tatapan lembut dan hangat, bahkan aku ragu jika itu adalah Pak Bagas. Berbeda sekali saat beliau mengajar di kelas.

"Leuca, takut Pak. Leuca bingung gimana ngomong sama Bapak Ibu. Leuca,--"

Tanpa aku duga, Pak Bagas menggenggam tangan ku. Menatapku dengan tatapan mata elangnya yang hangat. Aku terpana sesaat, tatapan matanya begitu mudah menghipnotis ku hingga aku tak bisa berpaling.

"Saya tidak meminta kamu untuk bicara pada orang tua kamu. Cukup berada di samping saya dan beri saya dukungan untuk meminta kamu secara resmi pada orang tua kamu."

Jantungku berdetak kencang mendengar kalimat Pak Bagas yang bersungguh-sungguh. Aku tidak bisa mendeskripsikan bagaimana perasaan ku sekarang. Rasanya, seperti campur aduk. Hingga tanganku terasa dingin dalam genggamannya.

"Tapi, Pak saya,--"

"Saya percaya pada kamu, Lulu."

Lulu...

Aku termenung mendengar panggilan Pak Bagas. Dengan senyuman yang terpatri di bibirnya, Pak Bagas membuat jantungku tidak sehat. Bahkan aku sendiri takut, Pak Bagas mendengar detakan jantung ku yang kencang.

"Bapak, panggil saya Lulu?"

"Maaf jika saya lancang,"

Lagi-lagi, suara lembut Pak Bagas membuat jantungku tak karuan. Dengan tanganku yang masih berada dalam genggaman pria itu, aku yakin sekali. Pak Bagas merasakan tangan ku yang dingin. Pertanda aku gugup berada dekat dengannya.

"--Saya hanya ingin menghapus jarak diantara kita. Mengenal mu lebih dekat lagi." Sambung Pak Bagas.

"Saya, saya tidak tau harus bagaimana sama Bapak." Aku berkata dengan kebingungan. Aku sendiri tidak tau dengan apa yang aku bicarakan, pikiranku sama sekali tak bisa diajak kerja sama kali ini. Entah kemana logika ku pergi, yang ada hanya perasaan gugup dan takut.

"Cukup percaya pada saya, Lulu. Kamu hanya perlu menunggu sebentar, dan saya akan membawa mu ke dalam pelukan saya."

Jika ini adalah mimpi, sungguh aku tidak ingin terbangun begitu cepat. Aku masih ingin menikmati perasaan mendebarkan dan larut dalam suasana manis bersama Pak Bagas.

***

"Saya harap, apa yang saya pikirkan ini tidak benar."

Samar-samar, aku mendengar ucapan Bapak dengan Pak Bagas yang kini berada di ruang tamu. Nada bicara Bapak tak lagi ramah seperti awal kami datang. Sudah tidak ada senda gurau yang Bapak lontarkan, hal itu membuat ku gugup.

Aku menoleh saat merasakan sentuhan di pundakku. Ibu menatap ku penuh tanda tanya, rasa penasaran Ibu sejak aku datang belum ku jawab sama sekali. Aku terlalu gugup, dan juga takut hingga lidah ku kelu hanya untuk menjawab pertanyaan Ibu.

"Sebenarnya siapa pria yang datang bersama mu, Lu?"

Pertanyaan Ibu pada ku terdengar sederhana, namun aku bingung harus menjelaskan dari mana. Aku tau betul bagaimana Ibu dan Bapak mengharapkan agar anak-anaknya sukses dalam pendidikan, dan juga karir.

Lantas, saat aku yang dulu begitu tegas memilih untuk berkuliah, kini pulang bersama lelaki yang datang untuk meminta ku pada kedua orang tua ku. Penjelasan apa yang harus aku katakan pada Ibu?

"Lulu..."

Sekali lagi, Ibu memanggil ku. Aku tersentak kaget, ternyata aku melamun. Hati ku yang awalnya tenang karena Pak Bagas, kini gemetar goyah tanpa pondasi. Aku takut, sungguh aku takut akan banyak hal.

"Ya, Bu?"

"Di panggil Bapak."

Aku terpaku sejenak, ku lirik Bapak yang kini diam menatap Pak Bagas. Sementara Pak Bagas menunduk di atas kursi usang milik kami. Tak ada rasa malu, ketika Pak Bagas melihat keadaan rumah orang tua ku yang sederhana serta jamuan seadanya.

Ibu menarik lengan ku pelan, mengisyaratkan agar aku segera menemui Bapak dan Pak Bagas di ruang tamu. Di temani Ibu, aku melangkah pelan mendekati Bapak, duduk di kursi panjang bersama Ibu.

"Bapak ingin mendengar dari kamu sendiri, Nak. Siapa pria yang kamu bawa ke rumah?"

Pertanyaan Bapak membuat ku tak berani mengangkat pandangan, ku tautkan kedua tanganku gugup. Bahkan untuk sekedar mengambil napas saja rasanya sulit. Ibu menguatkan ku, tangan lembutnya penuh perhatian menggenggam seakan memberi kekuatan.

"Jawab Leuca." Suara Bapak tegas.

Bahkan Bapak memanggil dengan nama Leuca, bukan Lulu. Aku semakin takut, hingga tak terasa air mataku jatuh.

"Kenapa Lulu menangis? Jawab saja, pertanyaan Bapak sesuai isi hati Lulu." Bisik Ibu di sebelahku.

"Pak Bagas, Dosen Lulu di kampus, Pak." Jawab ku lirih.

"Dosen? Jadi kamu kuliah atau menjalin hubungan dengan Dosen mu sendiri Lu?"

Aku menatap kaget perkataan Bapak, "Bapak, bukan begitu, Lulu sama sekali tidak menjalin hubungan dengan Pak Bagas."

Kini, Bapak memberikan tatapan tajam pada ku, "Susah payah Bapak dan Ibu menguliahkan kamu, agar masa depan kamu cerah dan membanggakan Bapak dan Ibu. Tapi ini? Kamu malah menjalin hubungan dengan Dosen kamu sendiri. Ini bukan lah sikap Lulu yang Bapak kenal. Kamu ingat Lu? Dulu kamu yang kekeh meminta kuliah, dan setelah Bapak Ibu usahakan agar kamu bisa kuliah, kamu pulang dengan membawa seorang lelaki."

Dapat ku lihat tatapan kecewa Bapak padaku. Bening air mata terus saja menetes tanpa henti. Betapa sakitnya melihat Bapak yang menatap ku dengan tatapan dingin.

"Bapak, bukan begitu. Lulu,--"

"Maaf menyela." Kini Pak Bagas bersuara, memotong kalimat ku.

"Profesi saya memang sebagai Dosen, tapi itu hanya berlaku di kampus. Disini, saya hanya seorang pria yang menyukai Leuca. Perlu saya tegaskan, Leuca tidak menjalin hubungan dengan lelaki manapun. Bahkan, Leuca sangat menjaga jarak dengan semua pria di kampusnya termasuk saya." Ucap Pak Bagas membuat ku menatap Pak Bagas.

Aku tidak menduga, Pak Bagas begitu memperhatikan ku. Benar, aku memang menjaga jarak dengan semua teman pria di kelas. Karena Bapak dan Ibu yang meminta agar aku fokus kuliah, mencapai cita-cita dan membanggakan Bapak Ibu di desa.

"Meski begitu, saya tetap menyukai Leuca. Bagaimana bisa saya bertahan dengan perasaan suka saya pada putri Bapak dan Ibu?"

"Saya tidak ingin menambah dosa dengan menyukai wanita terlalu lama. Dan tidak ada salahnya, saya mengutarakan niat saya pada Bapak dan Ibu. Bahwa saya, ingin menjadikan Leuca sebagai istri saya, sekaligus ibu sambung bagi putri saya."

"Jadi status kamu adalah duda?" Bapak bertanya dengan nada datar.

"Cerai mati atau cerai hidup?" Cecar Bapak.

"Cerai hidup." Jawab Pak Bagas lugas.

"Dengan pengalaman gagal dalam mempertahankan pernikahan sebelumnya, bagaimana bisa kamu berani melamar anak saya?!"

"Bapak..."

"Bapak, sudah Pak..."

Aku mencoba menenangkan Bapak, namun gagal. Bahkan Bapak meminta ku untuk masuk ke kamar. Bujukan Ibu pun sama sekali tidak meredakan amarah Bapak. Justru Bapak memberikan tatapan tajam pada Pak Bagas.

"Bawa Lulu masuk, Bu."

"Bu, Lulu masih pengen disini." Aku memohon pada Ibu. Menolak ajakan Ibu masuk ke dalam kamarku sesuai perintah Bapak.

"Bu, biarkan Lulu disini sebentar saja."

"Lu, nurut sama ucapan Bapak." Ibu kembali membujukku.

Aku menatap Pak Bagas, pria itu menganggukkan kepala dengan senyuman di bibirnya. Aku menggeleng, tidak ingin meninggalkan Pak Bagas yang bersitegang dengan Bapak.

"Saya baik-baik saja, Lu." Kata Pak Bagas berusaha menenangkan ku.

"Kita masuk dulu, Lu. Nanti kita bicara sama Bapak, ya."

Akhirnya aku memilih mengalah, pasrah ketika Ibu membawa ku masuk ke dalam kamar. Ku lihat Pak Bagas sebelum benar-benar tak bisa melihat sosoknya lagi. Karena aku yakin, hubungan kami tidak akan berhasil. Bapak tidak akan merestui Pak Bagas begitu mudah, apalagi dengan catatan kegagalan rumah tangga Pak Bagas sebelumnya.

***

Sudah satu Minggu berlalu, namun aku sama sekali tidak melihat Pak Bagas di lingkungan kampus. Aku sudah mencari Pak Bagas di ruangannya, namun nihil. Kata petugas jaga di ruang dosen, ada sesuatu mendesak hingga Pak Bagas meminta cuti untuk waktu yang belum di tentukan. Pantas saja, mata kuliah Pak Bagas kosong dan hanya meninggalkan setumpuk tugas bagi mahasiswanya.

"Kata ketua kelas, Pak Bagas sulit di hubungi. Apa semua ini ada hubungannya dengan kejadian di rumah?"

"Sebenarnya apa yang dikatakan Bapak pada Pak Bagas? Apa Bapak tidak menyukai Pak Bagas karena status dudanya?"

Hati ku selalu bertanya, apa Pak Bagas marah? Tentu saja. Pria mana yang tidak marah dengan sambutan yang tak ramah bahkan Bapak sempat menyinggung status duda Pak Bagas.

Semalaman aku berpikir mengenai tawaran Pak Bagas.

"Apa sebaiknya aku membatalkan lamaran Pak Bagas? Lagi pula, aku bisa bekerja siang malam untuk kebutuhan ku sendiri."

Mengangguk di iringi keraguan, aku berusaha menguatkan hati.

"Nanti, setelah aku mendapat kabar dari Pak Bagas. Aku akan segera menemuinya untuk membicarakan hal ini, sekaligus meminta maaf."

Lamunan ku buyar saat denting ponsel mengagetkanku, segera aku membuka ponsel lama ku yang setia menemani.

"Wahyu?" Aku mengerutkan kening heran. Tak biasanya Wahyu mengirimi ku pesan.

Baru saja aku akan membuka pesan dari Wahyu, ponsel ku berdering. Kini, Wahyu menelepon ku. Penuh rasa penasaran, aku mengangkat panggilan dari Wahyu.

"Halo, assalamualaikum Wahyu. Ada apa?"

"Halo Mbak, w*'alaikummussalam! Mbak! Mbak Lulu mau nikah?"

"Hah?"

"Calon Mbak Lulu ada di rumah sama Bapak Ibuk, Mbak!"

"Apa?"

"Mbak! Cepetan pulang!"

Mendengar nada panik Wahyu, aku pun ikut panik. Dengan segera aku mematikan panggilan kami yang masih menyambung. Bergegas aku segera mencari kendaraan umum agar aku tiba di rumah. Aku sudah tidak fokus lagi untuk mengikuti mata kuliah selanjutnya, yang aku pikirkan saat ini hanyalah sosok "calon suami" yang di katakan Wahyu.

***

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bocilnya Mas Duda   part 21 | Suami Ku

    Suasana kemarin masih terasa di pagi ini. Dingin dan kaku tanpa ocehan Lily. Sepertinya Lily masih marah padaku. Aku pun tidak ingin memaksa Lily berbaikan denganku, aku biarkan Lily untuk sendiri terlebih dahulu. Semalam, Pak Bagas sudah menemui Lily di kamarnya. Kata Pak Bagas, Lily masih butuh waktu. Kemungkinan ada pergolakan di hatinya yang tidak bisa di ungkapkan atau justru Lily belum menemukan kenyamanan sehingga memilih diam tidak bercerita pada Papanya. Aku memaklumi, setidaknya Pak Bagas sudah mencoba mendamaikan ku dengan Lily. Setelah ini, biar aku yang berusaha berbaikan dengan Lily. Ku ukir senyum manis, meski Lily hanya diam. Sebisa mungkin, aku tidak ingin membuat Lily merasakan perasaan tak nyaman jika bersamaku. Aku sudah lama mengenal Lily, baru kali ini Lily marah padaku. "Lily mau makan pakai apa?" Tanyaku dengan nada perlahan. "Nasi goreng sama telor aja." Jawab Lily tanpa senyuman. Aku melirik Pak Bagas, dari tempat duduknya Pak Bagas memberikan seny

  • Bocilnya Mas Duda   part 20 | Ibu Tiri

    "Kak Yuka, Lily mau tanya deh." Aku menoleh sesaat setelah Lily berkata demikian. Kami sedang berada di belakang rumah, lebih tepatnya kami tengah berkebun. Menanam beberapa bunga yang kemarin kita beli di pasar. Banyak sekali jenis bunga yang dibeli, katanya sebagai inspirasi Lily saat menggambar bunga. "Lily mau tanya apa?" Aku meletakkan sekop kecil, menghampiri Lily yang duduk di atas rumput. "Ibu tiri itu jahat ya?" Aku tersentak kaget. "Lily tau soal itu dari mana, Sayang?" Selama ini, Lily tidak pernah membicarakan soal ibu tiri. Aku pun tidak tau, apakah Lily mengetahui makna ibu tiri. Selama yang aku tau selama tinggal disini setelah menikah dengan Pak Bagas, Lily tidak pernah menanyakan hal tersebut. "Kata teman-teman Lily di sekolah." Kali ini Lily bermain dengan bunga melati. "Kemarin, teman Lily ada yang bawa buku cerita Cinderella. Kata teman Lily, ibu tiri itu jahat banget sama Cinderella. Suka suruh-suruh Cinderella. Jahatin Cinderella pokoknya, pa

  • Bocilnya Mas Duda   19 | Perkara Iklan Dewasa

    Seperti sebelum-sebelumnya, aku hanya bisa memandangi kepergian mobil Honda Brio milik Mama mertua dari halaman rumah. Mama mertua masih belum bisa menerima kehadiranku sebagai menantunya. Tidak apa, aku akan berusaha perlahan-lahan mendekati hati Mama mertua. Hingga malam menjelang setelah kepergian Lily dan Mama, Pak Bagas belum ada kabar. Bahkan pesanku sejak siang belum juga dibalasnya. Rasa khawatirku kian mengganggu. Satu langkah kaki ku akan memasuki rumah, cahaya lampu sorot dari mobil menyapa. Aku berbalik, tersenyum sumringah melihat mobil suamiku yang telah aku tunggu kedatangannya sejak tadi. Rasa khawatirku berubah kelegaan yang luar biasa. "Pak Bagas." Aku langsung berlari menghampiri pintu kemudi. Pak Bagas keluar dengan setelan yang sedikit berantakan, "Maaf, saya tidak sempat mengabari mu." Aku mencium tangannya, dibalas kecupan manis di keningku. Baru-baru ini, mencium kening adalah kebiasaan Pak Bagas sebelum pria itu bekerja. Bahkan, sekedar mengerjak

  • Bocilnya Mas Duda   Part 18 | Menantu yang Tidak Dianggap

    Hari ini terasa berbeda dari hari sebelumnya. Aku yang mulai terbiasa berangkat bersama Pak Bagas kini harus menyesuaikan kembali. Tepat awal minggu ini, Pak Bagas mulai mengajar di kampus baru. Sementara aku berusaha menyelesaikan semester akhir yang tersisa dua semester lagi. "Nanti kalau masih ada matkul, biar saya saja yang jemput Lily." Kata Pak Bagas. Aku mengangguk, "Iya Pak, nanti Lulu kabarin." "Hari ini mata kuliah Bu Sesa kan? Bahasa inggris." Ujar Pak Bagas lagi. "Iya, tapi katanya anak-anak di grub kelas, Bu Sesa ada acara seminar diluar kota. Mungkin nanti dikasih tugas aja sih. Kalo memang free, biar aku aja yang jemput Lily." "Kamu fokus sama kuliah kamu dulu, urusan Lily itu gampang." "Ini kan hari pertama bapak ngajar di sana, jadi enggak etis kalo bapak sering-sering keluar." Kataku seraya membalas usapan tangannya. Pak Bagas yang masih sibuk menyetir terdiam sejenak, sebelum akhirnya berkata, "Ya sudah, saya serahkan Lily ke kamu. Saya akan beru

  • Bocilnya Mas Duda   Part 17 | Keterbukaan

    Dinginnya angin malam membuat suasana kian mencekam. Sudah beberapa menit berlalu, hening masih menyelimuti dua insan yang duduk saling berpelukan. Usapan lembut di kepalanya membuat nyaman, berbeda dengan raut wajahnya yang gelisah tak karuan. "Pak..." "Hm...""Lulu menunggu penjelasan Pak Bagas." Katanya dengan nada pelan. Tangan lelaki itu berhenti bergerak, kecupan manis mendarat di kening istrinya. "Saya menyayangi kamu, Lulu." "Pak, ada apa? Jangan bikin Lulu semakin khawatir. Ungkapan rasa sayang dari Pak Bagas bikin Lulu gelisah."Kini, Lulu membenarkan posisi duduknya. Ia duduk tegak menyamping, menghadap suaminya. Entah mengapa, kantung mata menghias tipis di bawah matanya. Tatapan yang biasanya tajam kini berubah sayu. Napas panjang terdengar dari Pak Bagas, pria dewasa itu merangkai kata agar istrinya tidak terluka. Pak Bagas tidak ingin, Lulu menyalahkan dirinya sendiri. "Semua temen-temen Lulu bilang, Pak Bagas mau di keluarin dari

  • Bocilnya Mas Duda   Part 16 | Awal Masalah

    "Denger-denger Pak Bagas mau di keluarin dari kampus!" Langkahku terhenti mendengar bisikan dari beberapa mahasiswa di kantin kampus. Mengernyit heran, Pak Bagas siapa yang mereka maksud? Bukan Pak Bagas suamiku kan?"Hah? Yang bener lo?""Iya! Gue tadi ke ruang prodi, dan disana Kaprodi marah-marah sama Pak Bagas. Suaranya kenceng woi, gue kaget. Niat hati mau ngumpulin tugas, akhirnya gak jadi. Intinya, Pak Bagas ketahuan ada hubungan sama mahasiswanya sendiri. Makanya Kaprodi marah besar." Aku terhenyak mendengar perkataannya, benarkah apa yang mereka katakan?"Pak Bagas dosen fakultas kita kan?" "Bener banget! Tapi jangan bilang siapa-siapa dulu, soalnya ini kabar yang hot! Masih panas! Ngebul-ngebul!""Bentar lagi juga anak-anak lain tau soal Pak Bagas." "Lagian, akhir-akhir ini Pak Bagas jarang masuk kelas! Udah sebulan matkul Pak Bagas di kasih tugas terus, baru kali ini Pak Bagas absen, iya gak Dir?" "Eh, bener juga sih ya! Kok gue baru kepikiran." Balasnya seraya tertawa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status