enjoy reading ...
Bukan film romantis, melainkan film horor yang kami tonton. Mbak Sasha juga memberi batasan, jika di tengah-tengah menonton film nanti Shakira menangis mencari dirinya, maka mau tidak mau acara 'kencan' yang kurencanakan bersamanya akan berakhir di tengah jalan. Bagaimanapun Shakira lebih utama dan aku harus mengalah untuk keponakan kesayanganku itu. "Tapi aku berharap dia nggak nangis apa lagi nyariin kamu, Mbak," ucapku sambil merangkul pundaknya. "Dasar manja! Dulu kamu tuh manja banget sama Mas Kian, tapi kenapa sekarang jadi manja ke aku?" Aku mempersilahkan Mbak Sasha duduk lebih dulu ketika seat kami telah ketemu. Lalu aku duduk disebelahnya dan langsung menyandarkan kepalaku di pundaknya. "Ya pengen manja sama kamu, Mbak. Kamu lebih pengertian dan lembut meski aku nakal. Kalau Mas Kian sekarang berubah intolerir. Aturannya saklek banget." Aku tidak mempedulikan tatapan pengunjung lain karena melihat aku begitu manja dengan kakak iparku ini. Masa bodoh! Aku tidak kenal
Risty sialan! Kenapa dia harus muncul ketika aku sedang berkencan dengan Mbak Sasha. "Aneh ya teman kamu itu. Mikirnya kita pacaran," Mbak Sasha terkekeh, "Malah ngatain aku janda beranak satu pula." Aku membalas ucapannya dengan senyum kaku. Fiuuh ... syukurlah jika Mbak Sasha tidak berpikir macam-macam dengan ucapan Risty. "Mungkin karena kita hampir seumuran kali ya?" "Bisa aja, Mbak. Kan kita cuma beda lima tahun." "Oh ya, Do. Kapan-kapan aku mau loh kenalan sama pacarmu." Pacar? Untuk yang satu itu aku tidak jamin karena sebenarnya aku tidak memiliki kekasih, karena cintaku sebenarnya hanya untuk Mbak Sasha, kakak iparku. Sepulang dari jalan-jalan, aku meminta Mbak Sasha mengobati luka yang ada di wajahku. Hitung-hitung mencari perhatian darinya sebelum Mas Kian pulang. Sekaligus meminta tolong pada Mbak Sasha agar membujuk Mas Kian untuk tidak bersikap intimidatif padaku. Waktu seakan seakan berjalan dengan cepat, ketika deru mobilnya terdengar memasuki garasi ruma
Apa? Richard menantang Risty agar menciumku di sini? Di kafe ini? Dihadapan banyak pengunjung yang sedang menikmati waktu siangnya? Apa Richard gila? Risty melangkah santai menghampiri Richard yang berdiri di dekat meja makan. Lalu kedua tangannya terulur lembut merapikan kerah kemeja Richard yang tidak kusut. Mengusapnya ke kanan dan ke kiri lalu memberi tepukan halus di pundak dan pipinya. "Richard sayang, please lo terima kenyataan kalau mantan kekasih lo yang cantik dan tajir ini udah nggak minat ngelanjutin hubungan ini. Jadi, jangan pakai drama yang nggak mutu kayak gini." "Tapi aku butuh pembuktian, Ris!" "Butuh bukti nggak perlu dengan cara yang seakan-akan ngerendahin gue dihadapan banyak orang, Rich," ucapnya santai sambil bersedekap. "Kalau lo mau, gue bisa tunjukin di apartemen gue. Lo mau lihat gue sama Rado ciuman berapa lama? Dan apa lo yakin, setelah lihat kita berciuman nggak bakal panas hati?" Risty kemudian terkekeh lalu menyibak rambut panjangnya yang inda
“Risty, kembalikan!” aku berusaha meraih botol berisi obat penenangku yang telah Kak Rafa resepkan. Sungguh aku membenci moment seperti ini dimana orang lain mengetahui kekurangan asliku yang sebenarnya. Aku tidak suka mereka menganggapku depresi, stress, atau bahkan gila. Tidak! Aku tidak gila! Aku hanya trauma dengan kejadian lima belas tahun silam. Saat Papa menghajar Mama berulang kali dihadapanku demi wanita lain. “Ini obat anti depresan. Rado, gue punya apotek. Meski gue bukan anak farmasi, tapi gue selalu baca daftar obat yang masuk ke dalam apotek-apotek milik gue. Dan gue tahu obat ini meski nggak detail.” “Gue nggak harus bilang ke lo, Ris! Sekarang, balikin!” tegasku. “No! Sebelum lo bilang obat ini buat apa!” “Buat apa sih lo ngurusi kehidupan gue!” “Karena ini obat keras, Rado! Lo nggak boleh mengkonsumsi obat ini tanpa ijin dokter. Bahkan lo bisa dipenjara kalau menggunakan obat ini tanpa resep! Ngerti nggak?!” Jika aku bilang bahwa obat itu diresepkan oleh Dokte
Rekaman CCTV yang kucari tetap tidak ketemu. Dan aku masih memikirkannya hingga sepanjang malam, bahkan setelah makan malam bersama Mbak Sasha dan Mas Kian. Tidak ada tatapan intimidatif dari Mas Kian, itu artinya dia belum tahu isi rekaman CCTV rumah jika istrinya pernah kucumbu dalam keadaan tidak sadarkan diri. Juga, dia percaya dengan cerita karanganku jika aku babak belur seperti ini karena membela kekasihku. Kekasih tipuanku yang sebenarnya selama ini tidak pernah ada. Biarlah, toh aku tidak mau mereka mengerti perasaanku yang sebenarnya pada Mbak Sasha. Dan pagi ini, ketika aku sudah siap dengan penampilanku yang akan berangkat ke kampus, aku kembali mengecek ponsel untuk kesekian kali. Barangkali Risty menghubungi, namun ternyata tidak. Aku menghela nafas pelan karena satu masalahku bertambah karena dia mengira aku mengonsumsi obat anti depresan untuk kepentingan yang tidak benar. Padahal, obat itu diresepkan untukku atas saran Dokter Rafael, psikiater yang beberapa tahu
"Iya, Mbak. Dia kekasihku," selaku cepat sambil merangkul pundak Risty di depan Mbak Sasha. Aku tidak mau Risty membuka rahasiaku di depan Mbak Sasha jika aku sebenarnya adalah bodyguardnya. Jika itu sampai terjadi, maka habislah aku. Risty menatapku dengan sorot keheranan tapi aku membalasnya dengan senyum kikuk. Ayolah Risty, bantu aku memainkan manipulasi ini di hadapan Mbak Sasha! "Jadi karena cewek ini kamu sampai berdarah-darah? Duh ... yang cinta mati. Sampai belanja aja dianter. Kamu manis banget ternyata, Do," puji Mbak Sasha. Cinta Mati? Manis? Andai Mbak Sasha tahu jika cinta mati dan sikap manis ini hanya untuknya. Andai dia mau berpisah dari Mas Kian lalu lari ke dalam pelukanku. "Hai, aku kakak iparnya Rado. Kenalin, Sasha," Mbak Sasha mengulurkan tangannya pada Risty. Beruntung Risty tanggap dengan drama yang kubuat lalu dia membalas uluran tangan Mbak Sasha, "Risty." "Nama yang cantik. Sejak kapan kalian berkencan?" Risty kembali menatapku lalu aku melepas r
Nama Risty terus muncul di layar ponselku. Entah mengapa nona muda itu menghubungiku. Bukankah seluruh belanjaannya sudah kuantarkan ke unitnya? Atau ... dia diminta Kak Alfonso untuk menghubungiku agar kembali naik ke unitnya? Argh! Sial! Apa Risty mengatakan hubungan kerja sama kami kepada Kak Alfonso? Bukankah aku tadi sudah memberinya kode agar menyembunyikan hal ini darinya? Apa dia tidak mengerti?! "Sial!" kesalku lalu menendang dinding besi lift apartemen. Jika Kak Alfonso sampai tahu aku bekerja untuk Risty, lalu dia mengatakan semuanya pada Mas Kian, maka habislah aku. Mas Kian tidak akan melepaskanku begitu saja sampai dia mendapat jawaban penuh dariku. Andai saja! Andai saja aku bisa menemukan rekaman CCTV rumah yang menunjukkan kenakalanku karena begitu berani meniduri Mbak Sasha, istri Mas Kian, mungkin gangguan kelekatan dan kecemasanku tidak akan kambuh seperti ini. Dan aku tidak akan repot-repot mencari uang dengan menjadi bodyguard Risty demi mengobati kambuhnya
Jemariku bergerak lincah di atas laptop yang berada di atas meja belajar di dalam kamarku. Memilah-milah mana rekaman yang menunjukkan adegan saat aku tengah menggendong Mbak Sasha lalu membawanya menuju kamar. "Ini dia," ucapku diiringi senyum kelegaan. Video berdurasi tiga puluh detik itu menunjukkan betapa luwesnya aku menggendong kakak iparku itu menuju kamar saat dia tidak sadarkan diri. Bahkan aku nekat mencium bibirnya saat masih berada dalam gendonganku. Tapi sayangnya, video tiga puluh detik itu tidak bisa dipotong. Pilihannya ada dua, mentransfer atau menghapus keseluruhan video. Tidak mau pusing-pusing, aku menghapus seluruh rekaman itu kemudian merebahkan diri di atas ranjang dengan handuk yang hanya melilit di pinggangku. "Akhirnya, selesai juga," ucapku sambil menatap langit-langit kamarku. "Mas Kian nggak boleh tahu. Nggak boleh." *** Keesokan harinya, aku kembali keluar kamar setelah Mas Kian sudah berangkat bekerja. Dengan senyum yang lebih lepas, aku men