enjoy reading ...
Mendengar desahan wanita yang kucintai sedang bergelung penuh hasrat bersama suaminya, membuat emosiku memuncak hingga ubun-ubun. "Harusnya kamu itu jadi milikku, Mbak!" desisku. Di sore yang temaram ini, Mbak Sasha sedang bercinta dengan Mas Kian, suaminya. Dan tanpa mereka sadari, ada aku yang amat terluka karena hanya bisa mencintai Mbak Sasha tanpa bisa memilikinya. Kedua tanganku terkepal lalu meletakkan perlengkapan P3K begitu saja di depan pintu kamarku. Lalu aku melangkah cepat ke dapur untuk mengambil dua gelas kaca kemudian kembali menuju kamar. "Aku nggak akan biarin kalian bercinta lalu aku merana lihat kalian bahagia!" Dengan tenaga penuh, aku melempar kedua gelas kaca itu hingga membentur pojok dinding. Pyar! Pyar! "Mereka pasti berhenti," gumamku yakin. Karena tidak mungkin mereka tetap melanjutkan percintaan ketika mendengar suara pecahan kaca yang teramat jelas. Aku kembali mengambil kotak P3K lalu masuk ke dalam kamar. "Suara apa itu, Do?" Risty bertanya
“Astaga! Hantu!” Risty terkejut begitu menghidupkan lampu dapur karena ada aku yang sedang duduk di kursi dapur. “Gue Rado. Bukan hantu.” Risty mengusap dadanya dengan nafas naik turun, “Lagian lo ngapain sih disini kagak mau hidupin lampu?” Kemudian ia berjalan menuju kulkas lalu mengambil satu minuman kaleng dingin. Membukanya lalu ikut duduk di sebelahku. Aku melirik pakaian tidurnya yang … astaga … membuatku sakit mata. Kaos lengan pendek warna merah yang menampilkan perban di lengan kirinya. Dipadu dengan celana pendek sepaha. “Lo lagi merenung?” Tanganku bergerak mengambil minumanku kemudian meneguknya hingga habis. Lalu memutar kursi Risty agar menghadapku sepenuhnya. Meletakkan kedua tanganku di sisi kanan kiri kursi agar Risty tidak lari. “Denger, Ris! Gue kesel sama kelakuan lo yang sok melengketkan Mas Kian sama Mbak Sasha! Manas-manasin gue sama kemesraan mereka! Apa mau lo, heh?!” “Inget! Tugas gue cuma sebatas jadi bodyguard lo! Nggak lebih! Jadi jangan masuk ke
Apotek Risty yang berada di Fatmawati telah dipasang garis polisi siang itu juga setelah ia berembuk dengan ketiga teman borjuisnya yang ikut membangun apotek itu. Setelah dinyatakan tutup sementara dan menunggu hasil investigasi dari polisi, Risty memilih meninggalkan ketiga teman dan karyawannya yang sedang dimintai keterangan di kantor polisi. "Lapor polisi itu nggak guna. Karena gue tahu siapa lawan gue," ucap Risty dengan ekspresi sedih ketika duduk di bangku penumpang. Aku sedang fokus mengemudi menuju lokasi perumahan yang Risty tunjukkan melalui peta yang ada di ponselnya. "Siapa?" tanyaku. Dia diam lalu membuang pandangan keluar jendela mobil hingga kami tiba di lokasi yang Risty tuju. Di depan sebuah rumah bertingkat dengan bangunan megah dan pagar tinggi. Mirip dengan rumah Mas Kian yang kutinggali. Rumah siapa kah ini? "Gue udah di depan," ucap Risty dari sambungan telfon. Begitu si pemilik rumah keluar, Risty juga bergegas keluar dari mobil lalu menghampiri lel
"Lepasin gue!" Ziany memberontak lalu Risty memberi kode agar aku memasukkannya ke dalam mobil Richard. Namun Richard melayangkan protes karena satu mobil dengan Ziany dan kedua preman itu. Sedang Risty menaiki mobilnya denganku. "Sayang, kok kamu nggak sama aku?" "Rich, gue pusing. Sementara turutin apa mau gue atau kita bener-bener nggak bisa balikan!" Lalu Richard menatapku garang. "Jangan sentuh cewek gue!" Richard tidak bisa berkutik dan melajukan mobilnya dengan hati kesal. Tanpa dia ketahui bahwa hubunganku dengan Risty tidak lebih dari sekedar majikan dan bodyguardnya. "Kenapa lo nggak semobil sama Richard? Biar dia nggak salah paham sama gue," ucapku sambil mengemudikan mobil Risty. Tujuan kami sekarang kembali ke apotek Risty yang ada di Fatmawati. Risty menoleh ke arahku dengan tangan bersedekap dan paha kaki kanan diletakkan di atas paha kaki kirinya. Lalu tangannya mengambil topi hitam dari kepalaku lalu sedikit mengacak rambutku dengan jemarinya. "Apaan sih
Mengatakan Risty sedang mandi besar pada Richard? Aku masih punya otak untuk tidak menuruti keinginan gila majikanku ini. Lalu tanpa jawaban atau salam, aku memutus panggilan dari Richard dan menaruh ponsel Risty di bangku ukir yang kami duduki. "Jawab aja sendiri!" dengusku kemudian berdiri menuju pembatas besi yang ada di rooftop rumah. Aku hampir terpesona dengan paha mulusnya dan sebaiknya ... menjauh. Huuuft... "Kan gue minta tolong ceritanya." Kini Risty ikut berdiri di sebelahku namun kami berjarak. "Lo kayak cewek nggak ada harga diri nempel-nempel ke gue." "Kenapa emangnya? Lo terangsang?" Aku menatapnya dengan alis berkerut. "Bukannya kemarin lo bilang meski gue telanjang sekalipun lo nggak bakal nafsu? Kenapa sekarang ngatain gue nggak ada harga diri gara-gara bersandar di pundak lo?" Lebih baik membuang muka karena sejujurnya tidak ada kucing yang tidak suka dengan ikan tuna. Hanya saja, aku masih waras untuk tidak memakan ikan tuna yang bukan milikku. "Dasar mun
"Astaga, Risty! Kenapa telfon sama pesan gue dari tadi nggak lo balas?" geramku begitu ia mengangkat panggilanku. "Sorry, Rado! Gue ... lagi nongkrong sama Kaika." "Lo dimana sekarang? Urusan gue udah kelar." Sebagai bodyguardnya, aku wajib memastikan apakah majikanku ini baik-baik saja. Serta bagaimana dia kembali pulang karena tadi kami berangkat menggunakan motorku. Kecuali Risty memilih pulang menggunakan taksi atau diantar sahabatnya. "Nongkrong, Rado." "Gue jemput, kita pulang sekarang." "Dih, ini masih jam tiga siang, Rado. Pulang nanti aja." "Cewek nggak baik keluyuran." "Tumben lo khawatir sama keadaan gue? Jadi ge-er." Risty dan sepaket kekonyolannya kadang membuatku tidak habis pikir. Bagaimana bisa dia begitu percaya diri. "Gue menjalankan tugas sebagai bodyguard lo. Lagian lo habis bertengkar sama Ziany, siapa tahu lo dimata-matai sama suruhannya. Ngerti lo sendirian, bisa-bisa besok lo tinggal nama doang." "Jelek doa lo, Rado!" "Share lokasi lo dimana. Gue j
Tanganku mencengkeram tangan kanan Risty lalu menariknya keluar dari kamarku dengan hati bersungut marah. "Aduh, Rado. Sakit!" Lalu tanganku bergerak membuka handle pintu kamarnya dan menyentaknya masuk. Mataku menatap tajam dirinya yang berdiri sambil mengusap pergelangan tangan kanan. "Jangan ikut campur masalah pribadi gue, Ris!" Lalu aku menutup pintu kamarnya keras dan menuju ke kamarku sendiri. Mengunci pintu lalu mengambil obat antidepresan di dalam tas dan meneguknya satu butir. Kemudian aku membaringkan tubuh di atas ranjang sambil menaruh tangan di atas mata dan bersiap merasakan efek obat yang bisa membuatku rileks hingga terlelap. *** Ini hari sabtu. Tidak ada perkuliahan dan aku bebas tidur hingga menjelang siang. Namun sepertinya itu hanya angan semata ketika ketukan di pintu kamarku menginterupsi. Risty pelakunya. "Ngapain?" tanyaku dengan wajah bantal dan membuka setengah pintu. "Anterin gue keliling apotek-apotek. Waktunya ngecek bisnis." "Sekarang?" "Pantes
"Minuman lo nggak sehat dan nggak bener,” ucapku dengan menatap lurus ke dalam manik matanya. Sedang tangannya yang berada di kaki gelas, masih berada dalam genggamanku. "Hei, Rado. Ini cuma delapan persen alkoholnya. Nggak bakal bikin gue mabuk." "Nggak usah aneh-aneh! Kalau lo sakit, gue juga yang ribet!" Aku segera menyingkirkan tangan Risty lalu mengambil gelas banquet crystal berisi sampanye itu. “Rado! Mau lo bawa kemana minuman gue?!” Tanpa mengindahkan pertanyaannya, aku segera membawa gelas itu menuju dapur bar and restaurant dan mengembalikan pada koki yang bertugas. "Are you kidding me, Rado?" tanya Risty begitu aku kembali lalu membawa sesuatu sebagai gantinya. “Ini lebih sehat. Nggak usah protes.” Aku meletakkan jus jeruk dihadapannya lalu menyantap makan malam dengan lahap. Karena perutku sudah sangat lapar karena menemani Risty berkeliling menyambangi bisnis apoteknya. “Tumben lo perhatian sama gue? Lo nggak lagi ada udang di balik penggorengan, kan?!” “Ma-k