Share

Boneka CEO Mesum
Boneka CEO Mesum
Penulis: Erlin Park

Pertemuan Pertama

"Ekhem."

Suara bas terdengar menyapa telinga, membuat wanita yang ada di sana dengan pakaian seksi dan terlihat tak nyaman, bergidik ngeri meski ekspresi itu sebisa mungkin ia sembunyikan.

Tangannya meremas tali tas yang tersampir di pundak. Menatap ujung heels yang saat itu ia gunakan, benar-benar tak berani mengadukan pandang dengan pria yang ada di hadapannya.

"Kemarilah," perintah si pria.

Wanita yang sedari tadi terlihat enggan berada di sana, berjalan ragu pada pria yang duduk di sofa. Melangkah dengan hati yang cemas dan takut, tetapi tak bisa berbuat apa-apa selain mengikuti rencana yang ia buat sendiri.

Sepuluh menit yang lalu, kaki yang gemetar terus saja dirasakan Tata saat ia berdiri di salah satu pintu kamar yang ada dalam hotel berbintang di bilangan Jakarta. Meski sangat enggan berada di sana ia benar-benar tak punya pilihan lain untuk saat ini, atau lebih tepatnya hanya cara ini yang bisa ia ambil.

Renata Windari wanita yang kerap kali memanggil Tata, duduk di sofa berbeda dari pria yang baru menenggak anggur dalam gelas krisral. Matanya masih belum berani menatap dengan tegas pria yang menjadi pembeli pertama dan ia sangat berharap jika ini pelanggan terakhirnya karena Tata benar-benar tak mau melakukan berulang kali hal gila itu lagi.

"Siapa namamu?"

Tata menegakkan pinggang saat suara bas itu terdengar kembali. Duduk formal seperti sedang diwawancarai perusahaan besar. Berdeham sebentar dan menumpu tangan di atas paha, lebih tepatnya untuk menahan baju dress mini yang terangkat saat mulai ia duduk di sofa.

"Windi. Nama saya Windi, Pak," ucapnya cepat meski kegugupan hampir menelannya tanpa sisa.

Senyum miring itu tersungging dari bibir pria yang bangun dan menghampiri Tata. Ia berjalan mendekati wanita yang terlihat menunduk tak mau menatapnya.

"Saya Aufan Zaccth, kamu boleh panggil saya Mas Auf." Aufan, pria itu menjulurkan tangannya pada Tata yang refleks mendongak dengan raut wajah takut dan ragu. Beberapa detik barulah jabatan itu disambut, ia bisa merasakan tangan dingin milik wanita yang menamai dirinya dengan sebutan Windi.

Aufan mulai duduk di sebelah Tata yang sedikit menggeser posisinya. Hal itu justru membuat Aufan heran dan merasa lucu, entah karena ekspresi Tata yang seperti anak sekolah baru kenal seks atau karena ia merasa ada sesuatu yang menarik dari dalam diri wanita itu. Entahlah.

"Jadi, kamu temen Mizi?" tanya Aufan santai. Saat ini ia sedang memakai setelan jas mahal dengan beberapa barang bermerek yang menempel di tubuhnya seperti: jam tangan dan sepatu yang setara dengan harga satu buah mobil sport. Namun, hal itu bisa ia sombongkan hanya pada orang-orang yang mengerti fashion karena Tata bahkan tidak mengerti hal-hal berbau limited edition dan barang branded.

"Iya," jawab Tata setelah membuang napasnya pelan.

"Hei, jangan takut." Dengan gerakan cepat Aufan menarik pinggang yang bisa ia pastikan begitu ramping. "Kamu takut sama aku?" sambungnya dengan suara rendah.

"Maaf, Mas." Tata kembali menunduk saat mengucapkannya.

Bukan merasa kesal dengan sikap Tata yang terlihat enggan disentuh, Aufan malah gemas sendiri dengan hal itu. Ia bahkan sempat berpikir apa yang kurang darinya? Lalu pikiran sombongnya menjawab dengan tegas, tidak ada yang kurang karena ia merasa hampir sempurna menjadi manusia.

Terlahir dari keluarga kaya raya yang harmonis, memiliki mata bulat dengan lensa yang gelap, hidung mancung, memiliki bulu alis tebal yang hampir bertaut, bibir seksi dengan rahang tegas ditambah lekung pipi di sebelah kiri yang akan muncul saat ia menampilkan senyum tipis. Ah, jangan lupa karir yang sangat bagus. Lalu baru yang kurang?

Wanita? Aufan tak pernah merasa kekurangan wanita selama ini.

"Duduk di sini, Win," perintah Aufan sambil menepuk sebelah pahanya dan hal itu membuat Tata sedikit terkejut. "Cepet, duduk dipangkuan saya," tandas Aufan, kali ini benar-benar terdengar seperti perintah yang tak boleh ditolak.

Tata hanya mengangguk patuh dan perlahan menempatkan bokongnya pada paha kekar pria itu. Mati-matian ia menahan gejolak ingin lari dari tempat itu bahkan berulang kali gemetar saat merasakan napas panas yang menerpa kulit lehernya.

"Jangan takut, kita hanya melakukan seks bukan mau berperang. Kamu sudah pernah melakukannya, kan?"

Tata mengangguk cepat meski hati terasa sakit saat bibir pria itu terus mengecupi bahunya. Suara itu seperti bisikkan ghaib yang membuat sekujur tubuhnya merinding dan mengundang air mata yang sebisa mungkin ia tahan agar tidak mengambil alih perasaannya.

Tangannya bergemetar dengan tubuh yang sedikit menegang saat Aufan dengan santai melingkarkan tangan pada pinggang yang terbungkus kain ketat, menelusuri lekukan tubuh molek yang terjiplak lewat bahan hitam itu.

"Saya enggak suka BDSM, kamu tenang aja." Aufan menggantungnya dan tangan yang sedari tadi menggerayangi tubuh wanita dipangkuannya, kini berpindah pada tangan Tata yang bertumpu di atas paha. "Tapi, kamu harus tahu kalau saya tipe pria yang punya batas kesabaran tipis, kamu mengerti maksud saya, kan?"

Tata tak buru-buru menjawab hanya kembali memejamkan mata, menahan air yang tidak ingin keluar dari tempatnya. Merasa ada sesuatu yang menggumpal di tenggorokkan saat mendengar ucapan pria yang membeli tubuhnya. Ia takut, tetapi untuk lari dan pergi ia benar-benar tidak bisa karena ada alasan kuat mengapa ia berada di sana saat ini.

"Mas?" Suara Tata hampir tak terdengar karena begitu takut hanya untuk mengeluarkan sebuah kata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status