"Mas," panggil Tata sedikit ragu.
Aufan berhenti dari kegiatan menciumi bahu dan lengan putih beraroma bunga itu. Ia memfokuskan diri menatap wanita di atas pangkuannya, menunggu Tata yang mungkin ingin kembali berucap.
Dengan gerakan ragu, Tata memberanikan diri menatap lensa mata yang seperti langit malam tanpa bulan dan bintang, begitu gelap hingga siapa pun akan terhanyut dalam pendar ketakutan yang menghipnotis.
"Kenapa, Sayang?"
Suara Aufan begitu seksi untuk didengar seolah ada mantra sihir di dalamnya, mungkin akan membuat wanita mana pun diam dan mengiyakan apa saja perintahnya termasuk Tata yang terus menolak logika saat mata itu menatapnya lebih dalam.
"Aku bakal terima bayaran tunai, kan, Mas?"
Tentu saja Aufan mengernyit heran, kemudian senyum miringnya tercetak jelas. Kecurigaannya saat melihat wanita itu mulai masuk akal. Ia melipat tangan ke dada dengan ibu jari dan telunjuk yang mengusap pelan dagunya.
"Tentu aja, berapa bayaran biasa kamu?"
Napas Tata tertahan saat mendapati pertanyaan itu, perasaan takut yang semakin menjadi mulai mengganggu. Ia kembali berdeham sebentar sebelum menjawab dengan satu kalimat yang bahkan membuatnya ingin menampar diri sendiri.
"Dua puluh lima juta, Mas," balas Tata hampir terdengar seperti berbisik.
Aufan semakin tersenyum miring mendengar hal itu. Kemudian ia merogoh ponsel dalam saku jasnya sembari ditatap diam oleh wanita berperawakan mungil di atas pangkuannya.
"Berapa nomor rekening kamu?" tanya Aufan santai.
Pertanyaan itu membuat Tata bergerak kebingungan, ia mengambil ponsel dalam tas kecil yang dibawa dan mencari aplikasi m-banking untuk melihat nomor yang dimintai pria itu. Setelah ketemu Tata langsung menunjukkan sepuluh digit angka rekeningnya.
Tanpa menyentuh ponsel digenggaman Tata, Aufan dengan cepat mengetikkan nominal sejumlah uang dan mengirimnya ke nomor rekening yang ditunjukkan.
"Sudah, uangnya sudah masuk ke rekening kamu." Aufan berujar dengan wajah yang masih menatap layar menyala dalam genggamannya.
Hal itu membuat Tata melebarkan mata karena terkejut saat melihat dengan mudah pria itu mengirim uang tanpa pikir panjang, uang yang jumlahnya bahkan lebih besar dari yang dipinta dan ia benar-benar baru sadar kalau pria yang masih memangkunya ini bukanlah orang biasa.
Dari awal Tata sudah menebak-nebak kalau pria berjas itu memang pastilah orang mapan yang memiliki pekerjaan kantoran. Namun, apa orang-orang berjouis memang semudah itu membuang uang dengan nominal besar hanya untuk menikmati seorang pelacur?
Ah, Tata bahkan sudah menganggap dirinya sebagai pelacur sekarang.
"Lima puluh juta dengan syarat puasin saya di atas ranjang itu." Aufan menunjuk dengan dagu ke arah ranjang yang berada di clasik room pesanannya, setelah itu memasukkan kembali ponsel ke dalam saku jas.
Perintah itu seperti auman serigala yang terdengar saat tengah malam, membuat sekujur tubuh Tata terasa merinding dan menggigil ketakutan. Namun, semua perasaan itu ia abaikan dan pada akhirnya hanya ada anggukkan patuh yang terlihat ragu.
Perlahan Tata mulai bangun dari pangkuan Aufan, lalu berdiri--memberi jarak beberapa langkah--di hadapan pria yang menyandarkan punggung pada sofa dengan mata yang terus menatapnya lekat. Tangan Aufan bergerak mengendurkan sedikit dasi yang mencekik kerah kemejanya.
"Kamu ingat, kan, Win. Saya orang yang enggak sabaran," tutur Aufan sebelum wanita di depannya mengangguk tipis.
Hal pertama yang dilakukan Tata adalah melepas sling bag yang sedari tadi menggantung di tubuhnya. Kemudian ia membuka tali spageti dari gaun berbahan satin yang saat itu digunakkan, hingga bahu yang sudah terdapat beberapa tanda merah karya Aufan semakin terlihat menggoda.
Saat tali sebelahnya sudah terlepas, kini tangan yang tak henti bergemetar memegang tali lainnya dengan mata yang kembali memejam karena rasa takut semakin menjadi-jadi. Tata terus mencoba menelan semua keraguan dan sesal yang pasti akan datang setelah ini. Mengabaikan jerit hati yang berteriak munafik dan mengingat seseorang yang sedang membutuhkan uang.
"Maafin bunda, Ra. Maaf," jerit batin Tata.
Sementara Tata sedang berperang dengan sanubarinya, Aufan lagi-lagi mengernyit heran. Pelacur yang ia tiduri tak pernah bersikap ragu seperti itu. Wajah tampan dengan senyum yang selalu menggoda akan membuat wanita mana pun berfokus padanya tanpa mencoba mencari alasan lain untuk melengos. Namun, wanita di hadapannya sejak datang bahkan sudah didekap sandiwara yang belum Aufan ketahui apa motifnya.
Dagu yang dipaksa sedikit terangkat dengan pinggang tegak membuat Tata terlihat bukan seperti seorang pelacur melainkan pegawai hotel yang sedang bernegosiasi karena pelayanan kamarnya tak memuaskan pelanggan, kecuali melihat dari pakaiannya.
Aufan menyeringai tipis. "Saya suka baju kamu."
Aufan tahu kalau wanita itu bukanlah teman Mizi, seorang germo yang selalu menawarkan pelacur padanya. Mizi tidak akan memberi wanita amatiran dan juga setiap pelacur yang ia pesan tidak akan meminta uang karena pembayaran sudah dilakukan sebelum hari pertemuan.
Dua puluh lima juta, itu mungkin angka kecil bagi Aufan, tetapi ia tidak akan sudi membayar wanita murahan semahal itu hanya untuk satu malam. Namun, Aufan membiarkan 50 jutanya melayang karena ingin terus bermain dengan wanita yang pada akhirnya menitihkan air mata entah karena apa.
Senyum miring Aufan kembali hadir dengan tangan yang ia lipat di bawah dada, tidak mau repot-repot bertanya apa pun saat melihat Tata dengan cepat menghapus air mata yang jatuh ke pipi dengan punggung tangannya.
"Kamu bisa lanjutin atau mau saya bantu buka--"
Srak!
Ucapan Aufan terpotong saat kain tipis yang membungkus tubuh indah itu jatuh ke lantai.
Seminggu berlalu dengan rutinitas baru bagi Tata yang saat ini berlari buru-buru setelah mengantarkan Zira ke rumah Mela.Tangannya merogoh dompet dalam tas dan melihat sisa uang yang bahkan ia rasa tak akan cukup jika memesan ojek online. Terpaksa, wanita dengan setelan formal itu berdiri di atas trotaor, menatap ujung jalan sebelah kiri, berharap semoga Tuhan memberi kemudahan untuknya dengan menghadirkan angkutan umum yang biasanya muncul di jam-jam saat ini.Sayangnya, lima belas menit berlalu ia masih berdiri dengan wajah yang harap-harap cemas. Keterlambatannya berawal dari Zira yang entah kenapa merengek memintanya untuk tak bekerja, jika sedang sakit mungkin Tata akan menyetujui permintaan gadis kecilnya. Hanya saja saat ditanya, Zira beralasan ingin ditemani makan siang oleh dirinya. Memang sudah satu minggu sejak ia bekerja di perusahaan raksasa itu, kegiatan makan siang bersama sudah tak bisa ia jalani.Sedangkan Tata yang berusaha selalu bertanggung jawab atas apa yang seda
Kembali menarik nafas dengan sedikit rasa tak nyaman karena pakaian yang semalam diberikan Mala untuknya, Tata menyapa dengan senyum pada pria paruh baya yang berjaga di pos masuk sedang dirinya terus berjalan ragu memasuki bangunan raksasa itu.Zaccth Company Group, perusahaan yang berdiri dari tahun 1960 adalah perusahaan besar yang berada di Jakarta. Bergerak di bidang properti, Adimara Nufandra Zaccth berhasil membawa nama perusahaannya terkenal ke mancanegara kini pria yang usianya sudah memasuki angka 65 itu tengah menikmati masa pensiunnya bersama sang istri dan memilih membeli hunian di pantai kuta, Bali.Memiliki dua anak yang terpaut usia 5 tahun, Adimara mewariskan semua aset perusahaannya untuk anak pertamanya, Aufan Nufandra Zaccth, atau lebih dikenal Aufan Zaccth. Sedang putri semata wayangnya tak kalah fantastis dalam menerima warisan, yaitu sebidang tanah yang hampir memiliki harga jual 200 Miliar.
Sumi, wanita belasteran Inggris dan Indonesia itu memang begitu lengket dengan Tata. Kebetulan saat hari terakhir Tata bekerja wanita itu sedang mengambil jatah liburnya."Maaf-maaf, gue belum pamit sama yang lain juga. Baru sama bos doang," jawab Tata sambil berjalan bersama Sumi dan Mala dengan Zira yang sudah diambil alih oleh wanita tinggi itu."Kok, dadakan banget sih. Perasaan lo nggak ada ngomong mau pindah kerja, deh?"Mereka duduk di meja pelanggan dekat dengan kasir dan Tata sedikit meringis atas pertanyaan itu. Jangankan rencana bahkan berpikir untuk pindah kerja pun tidak pernah. Pikir Tata."Iya, dadakan banget panggilan interviewnya," balas Tata. "Zira mau pesen apa, Sayang?" Kini matanya menatap bocah yang sedang anteng duduk dipangkuan sahabatnya."Apa aja, Nda," sahut si bocah."Kalian pesen aja, Mala pesen makan juga boleh gue y
Jadi Nda kerjanya jauh? Nggak bisa makan siang sama Zira lagi?"Bocah dalam pangkuan Tata terus saja berceloteh gemas saat sang ibu pulang. Sekarang mereka sedang berada di rumah Mala karena Azira terpaksa harus dititipkan di sana.Saat Tata bekerja di kafe, sebenarnya gadis kecil itu terbiasa sendiri. Jika sekolah pun Zira selalu pulang ke rumah dan setelah itu menunggu sang ibu untuk makan siang bersama atau terkadang menyusul sang ibu bekerja karena memang jarak antara kafe dan rumah hanya butuh lima menit jika berjalan kaki. Namun kali ini Tata tak bisa memantau anaknya dan memilih orang tua angkat Mala yang ia repotkan meski kedua orang tua itu selalu antusias jika Azira datang."Iya, nggak apa-apa
Iya Bos, tadi sebelum ke kafe gue sempet lewatin rumahnya. Tapi masih sepi jadi gue langsung otw ke kafe dan ternyata nggak ada orangnya," jelas Joni sambil menenggak minumannya. "Jadi sekarang dia kerja di perusahaan lu. Terus anaknya sama siapa? Soalnya kalau di kafe setiap jam makan siang dia pulang buat makan bareng sama anaknya," lanjutnya.Aufan semakin mengernyit saat Joni kembali berucap, "anaknya kemarin balik ke rumah sakit buat buka perban kayaknya. Tapi gue nggak selidikin keadaannya.""Oke, Jon, gue tutup dulu teleponnya," balas Aufan dan mematikan ponselnya lalu langsung menghubungi Giel.***Setelah selesai memberitahu Mala kalau ia mulai bekerja hari ini dan tak bisa makan siang bersama Zhira, Tata keluar dari pantri dan menghampiri Giel yang mengisyaratkannya untuk datang."Win, kamu pulang aja. Besok mulai kerjanya, hari ini cuma perkenalan," terang
Hai, saya Renata Windari. Kalian bisa panggil Tata atau Windi," ujar Tata sedikit malu saat para pria di sana begitu terang-terangan menatapnya dengan lekat."Gue Kaino, panggil aja Mas Ino," timbrung Ino sambil tersenyum manis ke arah Tata yang hanya mengangguk ragu."Dah, kerja kerja! Matanya dijaga, jangan sampe gue kasih kacamata kuda!" balas Giel ketus sambil membawa Tata untuk duduk di tim Devano."Suseh yeh, betina. Dideketin ngamuk, lirik yang lain ngamuk juga," sindir Ino yang dihadiahi lemparan pulpen dari gadis yang baru saja ia sindir. Untung saja Ino sudah terbiasa menghadapi serangan dadakan itu hingga tak ada rasa kejut selain kekehan geli.