Home / Romansa / Bos Aneh Dan Nyebelin / Pemberi Harapan Palsu

Share

Pemberi Harapan Palsu

Author: IztaLorie
last update Last Updated: 2021-09-07 20:18:49

"Mas Hadi mana?" Sesok cewek ber-nurse cap biru laut tiba-tiba sudah berdiri di samping Isti.

"Baru dinas luar. Eh, tapi kamu masuk dari mana?" Isti serta merta menoleh ke sumber suara. Dia yakin tadi sudah mengunci pintu ruang istirahat, kenapa orang satu itu bisa masuk? Mana nada bertanya Sinta nyebelin banget.

Sebuah kunci dipamerkan di depan muka Isti, tanpa lupa memasang wajah sok penting. Rasanya pengen gigit cewek satu itu, sayangnya itu pacar Bos. Meskipun benci, tapi Isti nggak mau cari masalah dengan atasannya.

"Sini kembalikan," pinta Isti yang menengadahkan tangan, menanti kesadaran Sinta.

"Kenapa kamu yang sewot kalau aku pegang kunci Mas Hadi. Dia yang ngasih, dia juga yang boleh minta." Dasar cewek keras kepala, bikin Isti makin emosi saja.

"Kembalikan saja! Itu kunci khusus untuk orang laboratorium. Meskipun kamu pacarnya Bos, tapi tidak semestinya membawa kunci itu." Suara tegas Elang, membuat Sinta mencembik, kemudian menyerahkan kunci itu pada Elang.

"Nih, katanya diminta? Kok nggak mau nerima?" 

"Kasihkan ke Isti saja!" perintah Elang yang melirik tangan cewek yang masih menegadahkan tangan.

"Nih! Awas aja. Aku aduin kalian ke Mas Hadi! Biar ditegur."

Isti mengikuti Sinta yang menuju ke ruang istirahat, kemudian keluar, dan meninggalkan pintu yang terbuka lebar. Akhirnya Isti lah yang menutup, kemudian sekalian menguncinya. 

Keesokan harinya, sesampainya di laboratorium, Isti menghempaskan diri di sofa dekat singgasana bos. Hadi yang sudah datang terlebih dahulu, hanya melirik sepintas. 

"Oleh-olehnya mana, Mbak?" 

Isti menoleh cepat ke arah Hadi. "Ga ada oleh-oleh, kan nggak jadi pulang. Kalau kemarin libur sih pasti pulang. Sayangnya ada yang tiba-tiba pergi. Bos sendiri mana oleh-oleh? Habis pulang kan?" 

Hadi menyerigai. "Tadinya mau bawa oleh-oleh, tapi ketinggalan di rumah." 

Isti mencebik. "Nggak usah cerita aja mending, Bos."

Cewek itu beranjak dari sofa panjang yang nyaman, kemudian menuju depan pintu. Lebih baik jauh-jauh dari si Bos, daripada emosi sepanjang hari. 

Namun, sepertinya mustahil karena jarak mereka hanya lima langkah. Hanya tinggal balik badan pasti sudah bisa melihat Bos. 

Isti melihat ke arah luar ruangan. "Kok belum ada pasien sih? Sepi amat. Nggak seperti biasanya." 

"Mbak! Jangan bilang kata mistis itu dong! Ntar pasiennya tiba-tiba datang, kapok!" tegur Bintang. "Nanti Mbak Isti juga yang repot, dikeroyok pasien laboratorium."

"Nggak bakal ngaruh, dokter spesialisnya cuti," ujar Hadi ketika keluar dari ruangan kerja. 

"Cuti? Tau gitu juga ikutan cuti aja," keluh Isti. Cewek itu sudah menyandarkan tubuh ke daun pintu yang sewarna semen.

"Mau cuti? Besok yang dinas banyak." 

Tawaran Hadi membuat cewek itu bersemangat kembali. Dia langsung mencari map jadwal dan memperhatikan. "Mau banget Bos. Besok aku cuti ya." 

Hadi mendekat lalu ikut mempelajari jadwal. "Tapi kalau habis libur, masuk sebentar terus libur lagi, sepertinya nggak enak dilihat di jadwal. Nggak usah cuti saja lah, Mbak." 

"Cuti juga nggak apa-apa kan, Bos?" rayu Isti yang mulai cemas, dengan gelagat Hadi.

"Nggak usah. Aku saja yang cuti." Hadi mengeluarkan jadwal, merogoh saku jas untuk mengeluarkan bolpoin. Nah, kan! Firasat Isti terbukti benar.

"Ya, udah nggak jadi cuti, tapi P1-nya jangan aku. Pilih yang lain ya, sekali-kali gantian gitu." Isti menyatukan kedua telapak tangan, untuk memohon kemurahan hati cowok itu.

"Bintang atau Lily gitu." Isti menunjuk ke arah Bintang, yang melenggang menuju alat kimia sambil membawa sampel. 

"Oh, no. Mbak Isti saja lah, Bos. Kan biasanya juga Mbak Isti," tolak Bintang dengan sekuat tenaga.

"Nah, beres. Besok yang jadi P1 mbak Isti." Hadi kembali mengantongi bolpoin warna langit. 

"Bos! Kok gitu sih? Bos ini memang jagonya PHP. Bikin nyesek tahu nggak? Udah dilambungkan dengan harapan, habis itu dihempaskan dengan keras," keluh Isti yang langsung bersedekap. 

"PHP? Apaan tuh?" Dahi Hadi berkerut, saat mendengar kata yang baru untuknya.

"PHP itu Pemberi harapan palsu," jawab Lely, sambil menahan tawa melihat drama antara Isti dan Hadi. Mereka berdua memang selalu tampak seperti tikus dan kucing.

"Oooo," jawab Hadi sambil masuk ruang kantor. 

Isti melirik sebal, padahal yang dilirik masih datar saja wajahnya. Tidak merasa bersalah sama sekali.

"Selamat pagi, Laborat, Hadi." Hadi menerima telepon pada dering pertama berbunyi. Selalu saja mengucapkan selamat pagi, walaupun hari sudah mulai siang. 

"..." 

"Oke, bisa. Pasti bisa. Mbak, Mbak, rumahnya mana?" 

"..." 

"Nama bapaknya siapa? Besok malam minggu boleh main ke sana?" 

Isti kembali melirik si Bos. Demi apa coba? Basa-basi kok nggak banget seperti itu. 

"Bos, jangan suka PHP-in anak orang. Ntar kalau dia sudah berharap, kan kasihan. Inget, ada pacar galak yang menunggumu di kos!" tegur Isti judes.

"Siapa yang PHP, aku kan cuma nanya saja. Lagian, siapa bilang Sinta galak? Dia itu cewek yang super sabar dan super perhatian. Makanya pacaran, biar ada yang perhatiin." Hadi sama sekali tidak memandang wajah Isti melainkan tetap memandang layar komputer. 

"Teleponnya bunyi, Mbak! Angkat dulu sana," usir Hadi yang mulai gusar karena olok-olok cewek itu.

Tanpa banyak kata, Isti menuju meja besar yang ada di tengah ruangan laboratorium untuk mengambil telepon yang satunya. Mereka punya tiga telepon portable dengan nomor ekstensi yang berbeda. 

"Laborat, Isti, selamat siang." 

Ketika Isti masih menjawab telepon, tiba-tiba pintu Laboratorium terbuka, muncullah empat cewek dan satu cowok. Hadi juga sudah keluar dari ruangannya, untuk menemui tamu itu. 

"Selamat siang, Pak Hadi. Perkenalkan ini adalah calon karyawan. Teman-teman, ini adalah Pak Hadi, kepala ruang laboratorium." Jeni, cewek dengan berambut lurus itu memperkenalkan mereka. 

Dari sudut mata, Isti melihat ketiga cewek itu berbinar-binar, setelah melihat Hadi. Meskipun awalnya cowok itu terlihat biasa saja, tapi kalau dia tersenyum, para cewek pasti langsung tersipu. Seolah Hadi hanya tersenyum untuknya.

"Yang ini Mbak Isti." Jeni pun memperkenalkan mereka pada Isti, setelah melihat cewek itu mengakhiri panggilan.  Tangan Isti terulur, untuk menjabat tangan mereka satu demi satu. 

"Kevin, dokter umum." Cowok itu memandang lekat-lekat Isti. Bahkan terlihat enggan melepaskan genggaman tangan mereka.

Rasa tidak suka memasuki pikiran Hadi. Hingga cowok itu memutuskan untuk menghampiri mereka. "Ehm, hm, Mbak Jeni. Bukannya kalian harus keliling lagi?"

"Sampai ketemu nanti ya, Isti." Kevin menyempatkan berhenti sejenak sebelum keluar. 

Hadi berdiri diantara mereka, untuk menghalangi pandangan Kevin. Setelah cowok itu tak lagi kelihatan, Hadi balik badan. "Jangan PHP-in anak orang. Kalau dia jadi berharap, kan kasihan."

"Lah, kenapa Bos sewot? Bukannya tadi nyuruh aku nyari pacar? Ini sudah ada calon potensial lho!" teriak Isti pada Hadi yang ngeluyur pergi, kembali ke ruangannya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bos Aneh Dan Nyebelin    Penolakan

    “Tidak ada yang perlu dikasih ucapan selamat,” sambar Isti dengan cepat, karena takut membuat Hadi salah paham.“Kalau kamu masih belum siap menikah, kita bisa tunangan dulu,” balas Kevin dengan penuh semangat, karena salah paham dengan ucapan Isti.“Saya permisi dulu,” pamit Hadi dengan wajah yang mengeras.“Bos!” seru Isti, tapi dia tidak berani berbicara lebih.Namun, Hadi tidak menoleh walau pun mendengar panggilan itu dengan jelas. Dia tidak mau mendengar detail tentang hubungan kedua orang itu. Ini hanya akan membuatnya kembali mengalami sakit hati.Mata Kevin tertuju pada Hadi, hingga cowok itu keluar dari ruang rawat inap. Perlahan-lahan pandangannya beralih pada Isti ya

  • Bos Aneh Dan Nyebelin    Lamaran Kevin

    Suara nada dering mengejutkan mereka berdua. Keduanya pun berpandangan sebelum akhirnya Esy melambaikan gawai itu."Biar aku yang jawab."“Selamat malam, dok. Dengan Esy Gizi, ada yang bisa dibantu?”ucap Esy dengan nada resmi alami, seperti kalau sedang berdinas.Susah payah Isti menahan tawa, hingga harus menutup mulut menggunakan tangan. Namun, cewek itu tetap membuka lebar telinga agar bisa menyimak percakapan itu.“Selamat malam juga, Mbak Esy. Listiana nya ada? Saya mau bicara sebentar.”“Isti masih tidur, dok. Susah banget dibangunin. Dia kalau tidur sepeti kebo. Keluar dari rumah sakit pasti bakalan tambah ndut. Tiap hari kerjanya hanya makan tidur saja. Dokter mau saya bantu banguni

  • Bos Aneh Dan Nyebelin    Pendekatan yang Berbeda

    “Serius? Masa sih kamu benar-benar serius?” Alih-alih menjawab, Isti malah balik bertanya. Kevin hanya mengangguk sebagai jawaban. Pandangan matanya penuh harap saat menatap Isti. Isti menelan ludah dengan susah payah. Sejujurnya dia tidak menyangka akan mendengar pernyataan dari bibir Kevin, secepat ini. Selama ini dia sudah merasa cocok dengan Kevin, tapi hanya sebatas teman. “Kamu nggak harus jawab sekarang. Maaf, sudah bikin bingung.” Tangan Kevin bergerak untuk mengusap rambut lurus Isti. Cewek itu menunduk, bersiap-siap merasakan perut yang melilit atau jantung yang berdetak lebih cepat, tapi itu tidak terjadi. Reaksi seperti ini hanya muncul kalau dia dekat-dekat dengan Hadi. “Lho, ada dokter Kevin? Sudah dari tad

  • Bos Aneh Dan Nyebelin    Perhatian yang Berlebihan

    “Ha,ha, ha.” Tawa Sinta terdengar sumbang di telinga Isti.. “Nggak ada yang namanya iri dalam kamus Sinta. Yang ada tuh orang-orang iri dengan kecantikanku,” ucapnya jemawa. Kali ini gantian Isti yang tertawa dengan sinis. “Percaya diri itu memang penting, tapi kalau terlalu tinggi bisa sakit waktu terjatuh.” “Ngomong-ngomong, kamu baru dekat dengan Hadi? Jangan mau sama orang kere macam dia? Aku aja nggak mau, makanya kutinggalin.” Sinta memperhatikan kuku, kemudian menjentikkannya seolah ada kotoran. "Pak Hadi atau kalau nggak Mas Hadi. Nggak sopan banget manggil yang lebih tua dengan nama saja," protes Isti disela-sela ucapan Sinta. “Halah, biasa aja. Lagian orangnya nggak ada di sini. Btw, Orang kedua lumayan c

  • Bos Aneh Dan Nyebelin    Suasana yang Tidak Nyaman

    “Iya, iya yang sudah punya pacar.” Reno membuat tanda kutip di udara.“Memang udah punya. Itu kenyataannya. Jangan dikira aku luluh gara-gara roti bakar terus milih kamu. Aku cuma sayang aja buang-buang makanan.” Dagu Esy terangkat untuk menegaskan ucapannya.Reno mengangguk-angguk dengan mencibir. “Cakep sih pacarnya, tapi lebih cakep aku dari dia.”“Mas, kalau kamu datang ke sini cuma buat Esy, mending pulang aja deh. Aku mau istirahat, nggak mau lihat adegan bermesraan di sini,” usir Isti yang menaikkan selimut sampai menutupi leher.“Kalau gitu kita pulang saja. Kita lanjutkan bermesraannya di kosmu,” ajak Reno yang menarik tangan Esy.“Pulang sendiri saja.

  • Bos Aneh Dan Nyebelin    Makin Penasaran

    “Nggak usah mengalihkan perhatian. Pertanyaan tadi cukup jelas. Kenapa kamu mendorong Pino menjauh saat aku diinfus?” desak Isti dengan menelengkan kepala, agar dapat mengintimidasi Hadi.“Nggak ada alasan khusus. Aku hanya melihat kamu dehidrasi jadi mau menolong mereka saja. Bukannya kamu juga tidak mau ditusuk berkali-kali? Mungkin dalam prosesnya, aku tidak sengaja mendorong Pino. Tapi, kamu pasti lebih paham alasannya,” jawab Hadi dengan tenang.Isti mengangguk-angguk, dia sangat paham dengan tindakan Hadi. Dalam kondisi pasien normal saja, Pino belum terlalu ahli untuk menginfus, apalagi dengan kondisi pasien dehidrasi berat. Anak baru itu memang masih perlu banyak pelatihan.Diam-diam Hadi bernapas lega karena Isti menerima alasannya mentah-mentah, tanpa meneruskan rasa curiganya. Dia

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status