Share

Pemberi Harapan Palsu

"Mas Hadi mana?" Sesok cewek ber-nurse cap biru laut tiba-tiba sudah berdiri di samping Isti.

"Baru dinas luar. Eh, tapi kamu masuk dari mana?" Isti serta merta menoleh ke sumber suara. Dia yakin tadi sudah mengunci pintu ruang istirahat, kenapa orang satu itu bisa masuk? Mana nada bertanya Sinta nyebelin banget.

Sebuah kunci dipamerkan di depan muka Isti, tanpa lupa memasang wajah sok penting. Rasanya pengen gigit cewek satu itu, sayangnya itu pacar Bos. Meskipun benci, tapi Isti nggak mau cari masalah dengan atasannya.

"Sini kembalikan," pinta Isti yang menengadahkan tangan, menanti kesadaran Sinta.

"Kenapa kamu yang sewot kalau aku pegang kunci Mas Hadi. Dia yang ngasih, dia juga yang boleh minta." Dasar cewek keras kepala, bikin Isti makin emosi saja.

"Kembalikan saja! Itu kunci khusus untuk orang laboratorium. Meskipun kamu pacarnya Bos, tapi tidak semestinya membawa kunci itu." Suara tegas Elang, membuat Sinta mencembik, kemudian menyerahkan kunci itu pada Elang.

"Nih, katanya diminta? Kok nggak mau nerima?" 

"Kasihkan ke Isti saja!" perintah Elang yang melirik tangan cewek yang masih menegadahkan tangan.

"Nih! Awas aja. Aku aduin kalian ke Mas Hadi! Biar ditegur."

Isti mengikuti Sinta yang menuju ke ruang istirahat, kemudian keluar, dan meninggalkan pintu yang terbuka lebar. Akhirnya Isti lah yang menutup, kemudian sekalian menguncinya. 

Keesokan harinya, sesampainya di laboratorium, Isti menghempaskan diri di sofa dekat singgasana bos. Hadi yang sudah datang terlebih dahulu, hanya melirik sepintas. 

"Oleh-olehnya mana, Mbak?" 

Isti menoleh cepat ke arah Hadi. "Ga ada oleh-oleh, kan nggak jadi pulang. Kalau kemarin libur sih pasti pulang. Sayangnya ada yang tiba-tiba pergi. Bos sendiri mana oleh-oleh? Habis pulang kan?" 

Hadi menyerigai. "Tadinya mau bawa oleh-oleh, tapi ketinggalan di rumah." 

Isti mencebik. "Nggak usah cerita aja mending, Bos."

Cewek itu beranjak dari sofa panjang yang nyaman, kemudian menuju depan pintu. Lebih baik jauh-jauh dari si Bos, daripada emosi sepanjang hari. 

Namun, sepertinya mustahil karena jarak mereka hanya lima langkah. Hanya tinggal balik badan pasti sudah bisa melihat Bos. 

Isti melihat ke arah luar ruangan. "Kok belum ada pasien sih? Sepi amat. Nggak seperti biasanya." 

"Mbak! Jangan bilang kata mistis itu dong! Ntar pasiennya tiba-tiba datang, kapok!" tegur Bintang. "Nanti Mbak Isti juga yang repot, dikeroyok pasien laboratorium."

"Nggak bakal ngaruh, dokter spesialisnya cuti," ujar Hadi ketika keluar dari ruangan kerja. 

"Cuti? Tau gitu juga ikutan cuti aja," keluh Isti. Cewek itu sudah menyandarkan tubuh ke daun pintu yang sewarna semen.

"Mau cuti? Besok yang dinas banyak." 

Tawaran Hadi membuat cewek itu bersemangat kembali. Dia langsung mencari map jadwal dan memperhatikan. "Mau banget Bos. Besok aku cuti ya." 

Hadi mendekat lalu ikut mempelajari jadwal. "Tapi kalau habis libur, masuk sebentar terus libur lagi, sepertinya nggak enak dilihat di jadwal. Nggak usah cuti saja lah, Mbak." 

"Cuti juga nggak apa-apa kan, Bos?" rayu Isti yang mulai cemas, dengan gelagat Hadi.

"Nggak usah. Aku saja yang cuti." Hadi mengeluarkan jadwal, merogoh saku jas untuk mengeluarkan bolpoin. Nah, kan! Firasat Isti terbukti benar.

"Ya, udah nggak jadi cuti, tapi P1-nya jangan aku. Pilih yang lain ya, sekali-kali gantian gitu." Isti menyatukan kedua telapak tangan, untuk memohon kemurahan hati cowok itu.

"Bintang atau Lily gitu." Isti menunjuk ke arah Bintang, yang melenggang menuju alat kimia sambil membawa sampel. 

"Oh, no. Mbak Isti saja lah, Bos. Kan biasanya juga Mbak Isti," tolak Bintang dengan sekuat tenaga.

"Nah, beres. Besok yang jadi P1 mbak Isti." Hadi kembali mengantongi bolpoin warna langit. 

"Bos! Kok gitu sih? Bos ini memang jagonya PHP. Bikin nyesek tahu nggak? Udah dilambungkan dengan harapan, habis itu dihempaskan dengan keras," keluh Isti yang langsung bersedekap. 

"PHP? Apaan tuh?" Dahi Hadi berkerut, saat mendengar kata yang baru untuknya.

"PHP itu Pemberi harapan palsu," jawab Lely, sambil menahan tawa melihat drama antara Isti dan Hadi. Mereka berdua memang selalu tampak seperti tikus dan kucing.

"Oooo," jawab Hadi sambil masuk ruang kantor. 

Isti melirik sebal, padahal yang dilirik masih datar saja wajahnya. Tidak merasa bersalah sama sekali.

"Selamat pagi, Laborat, Hadi." Hadi menerima telepon pada dering pertama berbunyi. Selalu saja mengucapkan selamat pagi, walaupun hari sudah mulai siang. 

"..." 

"Oke, bisa. Pasti bisa. Mbak, Mbak, rumahnya mana?" 

"..." 

"Nama bapaknya siapa? Besok malam minggu boleh main ke sana?" 

Isti kembali melirik si Bos. Demi apa coba? Basa-basi kok nggak banget seperti itu. 

"Bos, jangan suka PHP-in anak orang. Ntar kalau dia sudah berharap, kan kasihan. Inget, ada pacar galak yang menunggumu di kos!" tegur Isti judes.

"Siapa yang PHP, aku kan cuma nanya saja. Lagian, siapa bilang Sinta galak? Dia itu cewek yang super sabar dan super perhatian. Makanya pacaran, biar ada yang perhatiin." Hadi sama sekali tidak memandang wajah Isti melainkan tetap memandang layar komputer. 

"Teleponnya bunyi, Mbak! Angkat dulu sana," usir Hadi yang mulai gusar karena olok-olok cewek itu.

Tanpa banyak kata, Isti menuju meja besar yang ada di tengah ruangan laboratorium untuk mengambil telepon yang satunya. Mereka punya tiga telepon portable dengan nomor ekstensi yang berbeda. 

"Laborat, Isti, selamat siang." 

Ketika Isti masih menjawab telepon, tiba-tiba pintu Laboratorium terbuka, muncullah empat cewek dan satu cowok. Hadi juga sudah keluar dari ruangannya, untuk menemui tamu itu. 

"Selamat siang, Pak Hadi. Perkenalkan ini adalah calon karyawan. Teman-teman, ini adalah Pak Hadi, kepala ruang laboratorium." Jeni, cewek dengan berambut lurus itu memperkenalkan mereka. 

Dari sudut mata, Isti melihat ketiga cewek itu berbinar-binar, setelah melihat Hadi. Meskipun awalnya cowok itu terlihat biasa saja, tapi kalau dia tersenyum, para cewek pasti langsung tersipu. Seolah Hadi hanya tersenyum untuknya.

"Yang ini Mbak Isti." Jeni pun memperkenalkan mereka pada Isti, setelah melihat cewek itu mengakhiri panggilan.  Tangan Isti terulur, untuk menjabat tangan mereka satu demi satu. 

"Kevin, dokter umum." Cowok itu memandang lekat-lekat Isti. Bahkan terlihat enggan melepaskan genggaman tangan mereka.

Rasa tidak suka memasuki pikiran Hadi. Hingga cowok itu memutuskan untuk menghampiri mereka. "Ehm, hm, Mbak Jeni. Bukannya kalian harus keliling lagi?"

"Sampai ketemu nanti ya, Isti." Kevin menyempatkan berhenti sejenak sebelum keluar. 

Hadi berdiri diantara mereka, untuk menghalangi pandangan Kevin. Setelah cowok itu tak lagi kelihatan, Hadi balik badan. "Jangan PHP-in anak orang. Kalau dia jadi berharap, kan kasihan."

"Lah, kenapa Bos sewot? Bukannya tadi nyuruh aku nyari pacar? Ini sudah ada calon potensial lho!" teriak Isti pada Hadi yang ngeluyur pergi, kembali ke ruangannya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status