"Si Bos cuti, ya?" Isti melirik jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 07.00. Tak biasanya Hadi terlambat. Kan, yang langganan datang mepet itu Isti.
"Katanya sih gitu. Nih, jadwalnya sudah diganti, sebelum beliau pulang kemarin." Lely terkikik melihat wajah Isti yang berubah cemberut, saat dia menyodorkan jadwal.
Kemarin, Hadi memang sempat mampir sebentar, saat pulang dari dinas luar. Namun, cowok itu sama sekali tidak bilang kalau mau cuti lagi. Bisa-bisa, Isti tidak melihat jadwal seharian, hingga tidak menyadari perbuatan Hadi yang mengganti posisinya.
Lagi-lagi Isti dengan pasrah melakukan ritual ganti shift. Nggak sekali dua kali kena jebakan batman ala si Bos, jadi sudah biasa banget.
"Kalian udah sarapan?" Isti heran melihat Bintang dan Lely, yang terlihat lincah saat mulai bekerja. Biasanya mereka terlihat lemas, saat hendak memulai pekerjaan.
"Sudah dong," jawab mereka dengan kompak.
Pasti mereka sudah beli sarapan sebelum berangkat. Jadinya, Isti harus cari makan sendirian.
"Mau beli kluban di depan, Mbak?" Bintang bertanya, karena Isti tak juga beranjak keluar dari ruangan.
Isti menggeleng dengan mantap. "Mau makan di kantin saja lah, sekali-kali ganti suasana."
"Wah, beneran menghayati peran sebagai P1 nih. Biasanya juga Bos yang makan di kantin," goda Lely yang senyum-senyum. Puas banget teman-temannya melihat Isti kembali di posisi P1. Dengan sewot Isti menoleh, kemudian menyentuhkan jari telunjuk pada bibir yang membuat Lely menutup mulut.
Kantin rumah sakit terletak di bagian belakang. Jaraknya lumayan jauh kalau dari laboratorium, mengingat ruang kerja Isti berada di barisan paling depan. Bisa dibilang ini seperti olahraga jalan santai.
Ia sengaja ke kantin lebih awal, karena pagi-pagi pasien masih sedikit. Jadi, kedua temannya tidak akan repot bila ditinggal sarapan.
Meski pun jarang datang ke kantin, tapi dia sering memesan makanan untuk diantar ke pantry. Ini yang membuatnya akrab dengan orang kantin.
"Mau sarapan apa, Mbak Isti?" sapa perempuan yang sedang menata sayur ke dalam mangkuk.
"Aku ambil sendiri saja, Mbak. Tolong nasinya," pinta Isti yang menyodorkan piring kosong.
Setelah menerima piring, Isti dengan lincah menyendok nasi, sayur sop, dan juga tempe mendoan untuk menu sarapan. Cewek itu berjalan keluar, untuk mencari tempat makan.
"Ups, maaf," ujar Kevin, yang dengan sengaja menyenggol lengan Isti. Cowok itu merasa lebih bersemangat, ketika melihat mata Isti yang semakin membesar, karena menahan amarah.
Namun, Isti hanya mengangguk, lalu kembali mencari tempat duduk. Ini bukannya hal yang sulit, mengingat dia satu-satunya yang berada di sana.
Kantin ini berbatasan dengan sawah, pagar tembok yang setinggi pinggang, memungkinkan orang untuk melihat pemandangan dari padi yang menguning. Kadang kala mereka bisa melihat barisan pohon tembakau.
Isti menarik kursi yang ada di pinggir kanan. Ini karena dia ingin menikmati pemandangan sungai yang mengalir jernih.
"Hai," sapa Kevin, yang langsung duduk di kursi depan Isti. Cowok itu merasa tidak perlu meminta izin terlebih dahulu.
"Dokter Kevin ya? Dok, masih banyak tempat duduk lho. Kenapa malah duduk di situ." Isti menunjukkan tempat duduk sekeliling mereka yang masih kosong.
"Apa kamu selalu seperti ini kalau berhadapan dengan cowok? Judes? Jadi gemas." Tangan Kevin terulur untuk mencubit pipi Isti.
Namun, cewek itu sudah terlebih dahulu menepis tangan Kevin dengan keras. Harusnya Isti tersinggung dengan perlakuan itu, tapi kenapa jantungnya malah berdesir lembut?
"Dok, jangan macam-macam dengan saya. Ini namanya pelecehan, jangan berharap saya akan tinggal diam!" ancam Isti dengan suara pelan, tapi tegas.
Tanpa diduga, Kevin tergelak, ini suasana yang dirindukan. Bertengkar dengan cewek galak, yang selama ini selalu ada di pikirannya.
"Listi, Listi. Kenapa aku sangat suka kalau kamu galak gini ya?"
"Listi? Kamu, kamu Epin?" Pandangan penuh tanya tergambar begitu jelas di wajah Isti. Satu-satunya orang yang memanggil dengan nama itu hanya Epin, sahabat masa kecilnya.
"Seratus buat kamu. Aku memang Epin. Gimana kabarmu? Sudah hampir dua puluh tahun kita nggak ketemu," ucap Kevin, yang mencairkan kebekuan di antara mereka.
"Itu gara-gara siapa coba? Pindah nggak bilang-bilang," protes Isti, dengan bibir yang mengerucut.
Sebenarnya Isti dan Kevin dulu bertetangga, mereka sudah bersama-sama sejak bayi. Persahabatan mereka menjadi renggang, karena Kevin yang saat itu berumur tujuh tahun harus ikut pergi keluar kota bersama orang tuanya.
"Maaf, aku tidak sempat memberi tahu. Waktu itu, kamu sedang menginap di rumah nenekmu."
Suara dering telepon mengganggu pembicaraan mereka. Isti merogoh saku baju untuk mengeluarkan benda pipih berwarna hitam. Kemudian menggeser gambar telepon untuk menjawab panggilan.
"Halo, Bos," sapa Isti dengan sopan. Di harus jaga image di depan Kevin.
"Kamu di mana? Kok sunyi?"
"Kantin, sarapan," jawab Isti tak kalah singkat.
"Makan sama siapa?" Pertanyaan ini membuat kening Isti berkerut. Bosnya memang tipikal orang aneh dengan basa-basi garing, tapi ini benar-benar aneh. Kenapa tiba-tiba nanya makan dengan siapa? Padahal, biasanya juga nggak peduli dia makan sama siapa.
"Bos, ngapain telepon? Kalau cuma ngecek, lebih baik nanti chat saja. Aku baru mau makan nih!" Isti menutup panggilan itu dengan sepihak.
Dia bahkan lupa kalau Kevin ada di depannya. Ah, tapi masa bodoh, lagian tadi si Kevin juga sudah disemprotnya. Pasti cowok itu nggak lagi heran dengan kelakuannya.
Di tempatnya berdiri sekarang ini, Hadi memandang lurus ke arah cowok cewek yang asik bercanda dari pada makan. Entah kenapa hatinya terbakar api cemburu. Padahal seharusnya dia tidak lagi memikirkan tentang Isti, karena sudah bersama dengan Sinta. Namun, tarikan tak kasat mata itu masih ada. Dorongan untuk memiliki cewek, yang tertawa renyah itu tetap terasa.
Cowok yang memakai seragam batik hijau, berderap mendekati kantin dengan langkah lebar-lebar. Dia kemudian mengambil makan, tanpa berbasa-basi terlebih dahulu dengan pelayan kantin. Hadi meletakkan piring dengan kasar, hingga membuat Isti terlonjak.
"Lho, katanya cuti?" Paras Isti yang kebingungan, tak juga membuat suasana hati Hadi membaik.
"Mbak Vela minta cuti karena ada keperluan mendadak."
Jawaban singkat dan datar seperti biasanya, membuat kerut di dahi Isti memudar. Cewek itu pun melanjutkan makan dengan kecepatan yang meningkat tajam.
Kevin juga melanjutkan makan, tapi beberapa kali pandangannya tertuju pada cowok, yang duduk tepat di samping Isti. Dia merasakan hawa aneh, seperti persaingan yang dimunculkan dengan sangat jelas.
Isti menggeser kursi kayu ke belakang sebelum berdiri. Kevin dan Hadi juga tergesa-gesa berdiri agar dapat mengejar Isti, yang sudah terlebih dahulu meninggalkan kantin.
Namun, di tengah jalan Kevin dan Hadi berhenti, mereka bertatapan untuk saling menilai. Saat Isti menoleh, dia mendapati keduanya berhadap-hadapan tanpa bicara.
"Kalian mau sampai kapan seperti itu?"
Suara Isti yang meninggi, memutus adu pandang di antara keduanya. Setengah berlari, Kevin mengejar Isti, agar dapat mengambil posisi di sebelah kiri Isti. Sedangkan Hadi, sudah berada di sebelah kanan. Keduanya mengapit Isti, yang melenggang santai. Hingga akhirnya mereka berpisah di koridor belakang apotek, karena Kevin harus berbelok ke kiri menuju IGD.
Isti dan Hadi melanjutkan perjalanan tanpa kata-kata, hingga mereka masuk ke dalam ruang laboratorium.
Isti hendak bertanya tentang Vela ketika dering telepon terdengar. Hadi memandang lekat-lekat, saat cewek itu mengangkat panggilan.
"Panggilan dari mana? Biar aku yang ke sana," pinta Hadi, yang malah membuat cewek itu menulikan telinga, balik badan, lalu mengambil box perlengkapan, setelah menutup panggilan.
Namun, Hadi menyambar box yang sudah dipegang Isti. "Katakan saja harus ke mana?"
"Berhubung Bos nggak jadi cuti, berarti posisiku menggantikan Vela," ujar Isti, sambil berusaha mengambil box, yang disembunyikan di balik punggung oleh Hadi.
Cewek itu merasa seperti anak kecil, yang berebut mainan. Ini karena Hadi tidak membiarkannya menyentuh box.
"Ruang apa?" tanya Hadi dengan tegas. "Aku yang menggantikan Vela. Kamu tetap di P1."
"IGD," jawab Isti dengan terpaksa. Dia benar-benar tidak menyukai perkataan Hadi tentang P1, lebih lagi karena ada P1 yang sesungguhnya. Dia merasa tidak berhak ada di posisi itu.
Setelah Hadi berangkat ke IGD, Isti menyempatkan bertanya tentang alasan Vela cuti mendadak melalui chat. Siapa tahu sahabatnya itu sedang kurang enak badan. Dia bisa menjenguk setelah pulang kerja.
Jawaban chat Vela membuat Isti tertegun. Ternyata Vela tidak ada alasan khusus untuk cuti. Itu karena Hadi yang memaksanya untuk cuti.
Isti menoleh, menatap pintu belakang yang tidak ditutup dengan rapat, setelah dilewati oleh Hadi.
Hari ini si Bos semakin aneh. Isti sungguh tidak paham dengan maksud Hadi menyuruh Vela cuti. Kenapa malah dia yang masuk menggantikan cewek itu?
“Tidak ada yang perlu dikasih ucapan selamat,” sambar Isti dengan cepat, karena takut membuat Hadi salah paham.“Kalau kamu masih belum siap menikah, kita bisa tunangan dulu,” balas Kevin dengan penuh semangat, karena salah paham dengan ucapan Isti.“Saya permisi dulu,” pamit Hadi dengan wajah yang mengeras.“Bos!” seru Isti, tapi dia tidak berani berbicara lebih.Namun, Hadi tidak menoleh walau pun mendengar panggilan itu dengan jelas. Dia tidak mau mendengar detail tentang hubungan kedua orang itu. Ini hanya akan membuatnya kembali mengalami sakit hati.Mata Kevin tertuju pada Hadi, hingga cowok itu keluar dari ruang rawat inap. Perlahan-lahan pandangannya beralih pada Isti ya
Suara nada dering mengejutkan mereka berdua. Keduanya pun berpandangan sebelum akhirnya Esy melambaikan gawai itu."Biar aku yang jawab."“Selamat malam, dok. Dengan Esy Gizi, ada yang bisa dibantu?”ucap Esy dengan nada resmi alami, seperti kalau sedang berdinas.Susah payah Isti menahan tawa, hingga harus menutup mulut menggunakan tangan. Namun, cewek itu tetap membuka lebar telinga agar bisa menyimak percakapan itu.“Selamat malam juga, Mbak Esy. Listiana nya ada? Saya mau bicara sebentar.”“Isti masih tidur, dok. Susah banget dibangunin. Dia kalau tidur sepeti kebo. Keluar dari rumah sakit pasti bakalan tambah ndut. Tiap hari kerjanya hanya makan tidur saja. Dokter mau saya bantu banguni
“Serius? Masa sih kamu benar-benar serius?” Alih-alih menjawab, Isti malah balik bertanya. Kevin hanya mengangguk sebagai jawaban. Pandangan matanya penuh harap saat menatap Isti. Isti menelan ludah dengan susah payah. Sejujurnya dia tidak menyangka akan mendengar pernyataan dari bibir Kevin, secepat ini. Selama ini dia sudah merasa cocok dengan Kevin, tapi hanya sebatas teman. “Kamu nggak harus jawab sekarang. Maaf, sudah bikin bingung.” Tangan Kevin bergerak untuk mengusap rambut lurus Isti. Cewek itu menunduk, bersiap-siap merasakan perut yang melilit atau jantung yang berdetak lebih cepat, tapi itu tidak terjadi. Reaksi seperti ini hanya muncul kalau dia dekat-dekat dengan Hadi. “Lho, ada dokter Kevin? Sudah dari tad
“Ha,ha, ha.” Tawa Sinta terdengar sumbang di telinga Isti.. “Nggak ada yang namanya iri dalam kamus Sinta. Yang ada tuh orang-orang iri dengan kecantikanku,” ucapnya jemawa. Kali ini gantian Isti yang tertawa dengan sinis. “Percaya diri itu memang penting, tapi kalau terlalu tinggi bisa sakit waktu terjatuh.” “Ngomong-ngomong, kamu baru dekat dengan Hadi? Jangan mau sama orang kere macam dia? Aku aja nggak mau, makanya kutinggalin.” Sinta memperhatikan kuku, kemudian menjentikkannya seolah ada kotoran. "Pak Hadi atau kalau nggak Mas Hadi. Nggak sopan banget manggil yang lebih tua dengan nama saja," protes Isti disela-sela ucapan Sinta. “Halah, biasa aja. Lagian orangnya nggak ada di sini. Btw, Orang kedua lumayan c
“Iya, iya yang sudah punya pacar.” Reno membuat tanda kutip di udara.“Memang udah punya. Itu kenyataannya. Jangan dikira aku luluh gara-gara roti bakar terus milih kamu. Aku cuma sayang aja buang-buang makanan.” Dagu Esy terangkat untuk menegaskan ucapannya.Reno mengangguk-angguk dengan mencibir. “Cakep sih pacarnya, tapi lebih cakep aku dari dia.”“Mas, kalau kamu datang ke sini cuma buat Esy, mending pulang aja deh. Aku mau istirahat, nggak mau lihat adegan bermesraan di sini,” usir Isti yang menaikkan selimut sampai menutupi leher.“Kalau gitu kita pulang saja. Kita lanjutkan bermesraannya di kosmu,” ajak Reno yang menarik tangan Esy.“Pulang sendiri saja.
“Nggak usah mengalihkan perhatian. Pertanyaan tadi cukup jelas. Kenapa kamu mendorong Pino menjauh saat aku diinfus?” desak Isti dengan menelengkan kepala, agar dapat mengintimidasi Hadi.“Nggak ada alasan khusus. Aku hanya melihat kamu dehidrasi jadi mau menolong mereka saja. Bukannya kamu juga tidak mau ditusuk berkali-kali? Mungkin dalam prosesnya, aku tidak sengaja mendorong Pino. Tapi, kamu pasti lebih paham alasannya,” jawab Hadi dengan tenang.Isti mengangguk-angguk, dia sangat paham dengan tindakan Hadi. Dalam kondisi pasien normal saja, Pino belum terlalu ahli untuk menginfus, apalagi dengan kondisi pasien dehidrasi berat. Anak baru itu memang masih perlu banyak pelatihan.Diam-diam Hadi bernapas lega karena Isti menerima alasannya mentah-mentah, tanpa meneruskan rasa curiganya. Dia
“Kenapa sih ribut-ribut? Nggak tahu ada orang baru sakit apa?” protes Isti yang masih mencoba membuka mata.Namun, akhirnya hanya bisa memincing karena kepalanya terasa berat, bagai dihantam dengan palu Thor. Ingin rasanya Isti melihat kekacauan yang terjadi, tapi apa daya, tubuhnya kembali terhempas ke ranjang saat hendak bangun.“Is!” seru Kevin yang melepaskan Hadi dengan tidak rela.Pandangan Kevin yang tadinya penuh amarah kini melembut. Bagaimana mungkin, dia tega melihat kondisi Isti yang bibirnya semerah strawberry. Kevin berjenggit saat punggung tangan terasa panas ketika bersentuhan dengan dahi cewek pucat itu.“Is, kita ke rumah sakit sekarang ya,” ucap Kevin dengan lembut.Tanga
"Hoam."Isti menguap lebar-lebar ketika sudah sampai di ruang laboratorium. Meski pun sudah mendapatkan doping roti bakar semalam, Isti tak merasakan doping itu dalam waktu yang lama.Pagi ini dia sudah meletakkan kepala di posisi yang sama seperti kemarin. Bos juga tidak tampak peduli dengan keadaannya sekarang.Cewek itu menegakkan tubuh dengan terpaksa, ketika mendapatkan sikutan di lengan. Dia tidak berani memprotes perbuatan itu karena Elang yang melakukannya.Cowok berwajah serius yang sedingin es, itu merupakan salah satu kelemahan Isti. Jelas-jelas hal bodoh kalau mau melawan si jenius Elang. Tatapannya saja sudah bikin nyali ciut.Semasa kuliah, cowok ini selalu bisa memimpin dalam segal
"Geser, Mbak." Namun, Isti tak mau melakukan permintaan salah satu juniornya. Cewek itu malah melipat tangan di atas meja, lalu menempelkan kepala di tengah-tengahnya. Kelopak matanya terasa berat seperti ditarik oleh sekawanan monyet. Ketika dia sudah siap berpetualang di alam mimpi, tiba-tiba Isti merasakan ditarik ke alam nyata oleh tepukan pada bahu. Sayangnya, cewek itu tetap tidak mau membuka mata. Tepukan itu berubah menjadi guncangan kuat. "Is, bangun!" "Kenapa sih, Mas Ran? Gangguin saja! " ucap Isti yang memicing. "Operan jaga dulu," ujarnya sambil berjalan memutari meja untuk duduk di seberang. Isti memutar kepala untuk mencari kebera