“Ha,ha, ha.” Tawa Sinta terdengar sumbang di telinga Isti..
“Nggak ada yang namanya iri dalam kamus Sinta. Yang ada tuh orang-orang iri dengan kecantikanku,” ucapnya jemawa.
Kali ini gantian Isti yang tertawa dengan sinis. “Percaya diri itu memang penting, tapi kalau terlalu tinggi bisa sakit waktu terjatuh.”
“Ngomong-ngomong, kamu baru dekat dengan Hadi? Jangan mau sama orang kere macam dia? Aku aja nggak mau, makanya kutinggalin.” Sinta memperhatikan kuku, kemudian menjentikkannya seolah ada kotoran.
"Pak Hadi atau kalau nggak Mas Hadi. Nggak sopan banget manggil yang lebih tua dengan nama saja," protes Isti disela-sela ucapan Sinta.
“Halah, biasa aja. Lagian orangnya nggak ada di sini. Btw, Orang kedua lumayan c
Bride for The Matchmaker bisa di baca di GoodNovel juga. Silakan lihat akun Lori.
“Serius? Masa sih kamu benar-benar serius?” Alih-alih menjawab, Isti malah balik bertanya. Kevin hanya mengangguk sebagai jawaban. Pandangan matanya penuh harap saat menatap Isti. Isti menelan ludah dengan susah payah. Sejujurnya dia tidak menyangka akan mendengar pernyataan dari bibir Kevin, secepat ini. Selama ini dia sudah merasa cocok dengan Kevin, tapi hanya sebatas teman. “Kamu nggak harus jawab sekarang. Maaf, sudah bikin bingung.” Tangan Kevin bergerak untuk mengusap rambut lurus Isti. Cewek itu menunduk, bersiap-siap merasakan perut yang melilit atau jantung yang berdetak lebih cepat, tapi itu tidak terjadi. Reaksi seperti ini hanya muncul kalau dia dekat-dekat dengan Hadi. “Lho, ada dokter Kevin? Sudah dari tad
Suara nada dering mengejutkan mereka berdua. Keduanya pun berpandangan sebelum akhirnya Esy melambaikan gawai itu."Biar aku yang jawab."“Selamat malam, dok. Dengan Esy Gizi, ada yang bisa dibantu?”ucap Esy dengan nada resmi alami, seperti kalau sedang berdinas.Susah payah Isti menahan tawa, hingga harus menutup mulut menggunakan tangan. Namun, cewek itu tetap membuka lebar telinga agar bisa menyimak percakapan itu.“Selamat malam juga, Mbak Esy. Listiana nya ada? Saya mau bicara sebentar.”“Isti masih tidur, dok. Susah banget dibangunin. Dia kalau tidur sepeti kebo. Keluar dari rumah sakit pasti bakalan tambah ndut. Tiap hari kerjanya hanya makan tidur saja. Dokter mau saya bantu banguni
“Tidak ada yang perlu dikasih ucapan selamat,” sambar Isti dengan cepat, karena takut membuat Hadi salah paham.“Kalau kamu masih belum siap menikah, kita bisa tunangan dulu,” balas Kevin dengan penuh semangat, karena salah paham dengan ucapan Isti.“Saya permisi dulu,” pamit Hadi dengan wajah yang mengeras.“Bos!” seru Isti, tapi dia tidak berani berbicara lebih.Namun, Hadi tidak menoleh walau pun mendengar panggilan itu dengan jelas. Dia tidak mau mendengar detail tentang hubungan kedua orang itu. Ini hanya akan membuatnya kembali mengalami sakit hati.Mata Kevin tertuju pada Hadi, hingga cowok itu keluar dari ruang rawat inap. Perlahan-lahan pandangannya beralih pada Isti ya
Ketika Isti membuka pintu, hawa dingin menyergap membuat bulu kuduk berdiri. Dia bergegas duduk di kursi plastik warna merah yang tersedia di tengah-tengah ruangan."Aman ya? Kok pada santai-santai?" sapa Isti, saat mengedarkan pandangan ke sekeliling laboratorium.Terlihat Vela sedang mematut wajah dan merapikan rambut. Sedangkan Hadi-Sang Bos sedang serius membaca buku laporan. Dia tidak memperhatikan anak buah yang mulai duduk diam di sekelilingnya."Bos, sudah ngantuk nih. Ayo cepat!" pinta Feny sambil menutup mulut. Sudah tiga kali menguap, tapi Bos masih belum juga memimpin ritual pergantian dinas.Anak-anak laboratorium, memang terbiasa memanggil atasan langsung mereka dengan panggilan Bos. Tanpa memanggil namanya secara langsung.
"Pas banget," gumam Isti saat membuka pintu kos dan menemukan pemandangan yang bikin hati Isti jadi adem.Namun, ada yang bilang kalau hal terlarang itu terasa manis dan menyenangkan. Isti tentu saja setuju dengan pernyataan itu karena saat ini sedang menikmati manisnya hal terlarang dalam wujud cowok cakep bernama Hadi.Seperti biasanya, dia berjalan lambat-lambat di sebelah kiri, sedangkan Hadi selalu berjalan di sebelah kanan. Tawa Isti tidak bisa ditahan, ketika melihat Hadi yang sibuk menyingkirkan daun kering, yang menempel di rambutnya. Cowok itu bahkan terlihat menggerutu, saat daun yang menempel semakin banyak. Salahkan saja angin nakal yang meniup dedaunan itu.Isti sendiri juga repot dengan rambutnya yang berantakan, gara-gara angin usil. Beginilah keadaan kalau menjelang musim tembakau. Musim panas
"Gawat nih, gawat!" keluh Isti, saat melihat salah satu perawat bermotor melewatinya, dengan kecepatan di atas rata-rata.Pagi ini Isti berangkat lebih siang, dikira masih pagi ternyata sudah jam enam lebih lima puluh. Ini semua gara-gara jam dinding sialan, yang tidak menunjukkan waktu dengan semestinya.Cewek itu pun berlari-lari menuju tempat absen. Rasanya seperti sedang lomba marathon saja, karena ada beberapa karyawan lain yang berusaha menyalip.Beruntung, walau waktu menunjukkan pukul 06.57, tidak ada masalah ketika scan jari. Biasanya susah absen, gara-gara jari keriput kedinginan.Dengan sisa tenaga, Isti mendorong pintu belakang, sambil berusaha bernapas dengan normal. Terlihat teman-teman sudah berkumpul di sekeliling meja kotak.
"Aku pulang," sapa Isti sesampainya di kos. Rasanya lega, setelah menyelesaikan tugas jaga yang menguras emosi."Mandi dulu aja, aku mau masak dulu," balas Esy yang sedang di dapur.Kesempatan yang diberikan Esy benar-benar dipakai Isti untuk menyegarkan diri, dengan mandi air hangat. Setelah selesai, cewek itu pun menuju dapur dan bergabung bersama Esy. Walaupun makan siangnya hanya sop dan tempe goreng, tapi sudah sangat disyukuri oleh Isti, yang sudah sangat kelaparan."Kamu nggak pulang, Is? Libur dua hari, kan?""Besok pagi-pagi saja. Hari ini aku capek gila. Rasanya ingin melambaikan tangan ke kamera saja. Nggak kuat," keluh Isti yang menjeda makannya, hanya demi mengembuskan napas panjang.Cewek itu lalu memutar
"Mas Hadi mana?" Sesok cewek ber-nurse cap biru laut tiba-tiba sudah berdiri di samping Isti."Baru dinas luar. Eh, tapi kamu masuk dari mana?" Isti serta merta menoleh ke sumber suara. Dia yakin tadi sudah mengunci pintu ruang istirahat, kenapa orang satu itu bisa masuk? Mana nada bertanya Sinta nyebelin banget.Sebuah kunci dipamerkan di depan muka Isti, tanpa lupa memasang wajah sok penting. Rasanya pengen gigit cewek satu itu, sayangnya itu pacar Bos. Meskipun benci, tapi Isti nggak mau cari masalah dengan atasannya."Sini kembalikan," pinta Isti yang menengadahkan tangan, menanti kesadaran Sinta."Kenapa kamu yang sewot kalau aku pegang kunci Mas Hadi. Dia yang ngasih, dia juga yang boleh minta." Dasar cewek keras kepala, bikin Isti makin emosi saja.