Lima tahun kemudian….
"Mama, lihat! Aku lari cepat banget!" seru seorang bocah laki-laki berusia empat tahun sambil terus berlari.
Anya duduk di bangku taman, memperhatikan anaknya sambil sesekali tersenyum. Dia sering membawa Kenzo ke taman ini untuk bermain, setidaknya di tengah semua kesulitan hidup, anak itu tetap bisa merasakan kebahagiaan kecil.
"Jangan terlalu jauh, Nak!" Anya memperingatkan, tapi anak itu sudah melesat.
Tanpa disadari, Kenzo berlari ke arah sebuah mobil mewah yang terparkir di tepi taman. Ia menabrak kaki seorang pria tinggi yang sedang berdiri di sana, sibuk dengan ponselnya. Pria itu menoleh dengan ekspresi terkejut, kemudian berjongkok untuk melihat Kenzo.
"Hei, hati-hati, Nak," ucap pria itu.
Melihat Kenzo bertemu seseorang, Anya segera bangkit dan berlari mendekat.
"Maaf, Pak, anak saya tidak sengaja—" kata Anya terhenti di tengah kalimatnya.
Pria itu berdiri dan menoleh ke arahnya. Saat mata mereka bertemu, dunia Anya seperti berhenti sejenak.
Itu Evan.
Wajah yang dulu sangat ia kenal, kini berdiri di hadapannya setelah lima tahun berlalu.
Evan juga tertegun sejenak, tapi ekspresinya segera berubah dingin. Ia menatap Anya dari kepala hingga kaki, kemudian pandangannya turun ke arah Kenzo yang berdiri memegangi tangan Anya.
Anya tidak mengatakan apa-apa. Dengan gerakan cepat, ia menarik tangan Kenzo, mencoba pergi tanpa menjelaskan apa pun. Tapi langkahnya terhenti ketika Evan memanggilnya.
"Kamu akan pergi begitu saja?" tanya suara itu, terdengar dingin dan sarat akan emosi.
Anya menoleh sebentar, wajah itu menunjukkan amarah yang ia sembunyikan selama bertahun-tahun. Namun, sebelum Evan bisa berkata lebih jauh, suara seorang wanita memanggil dari dekat mobil.
"Ayo, Sayang. Kita harus berangkat," ucap wanita itu dengan manja, berdiri di sisi pintu mobil.
Anya hanya menatap mereka dengan pandangan kosong sebelum membalikkan tubuhnya dan berjalan pergi bersama Kenzo.
Namun, selangkah Anya berjalan, tiba-tiba dering ponselnya Anya bergetar dan si penelpon merupakan nomor yang tidak dikenal.
Anya mencoba menenangkan diri meski hatinya bergejolak. Ia mengangkat panggilan itu dengan suara serak.
“Halo? Iya, dengan saya sendiri. Baik, Pak, terima kasih. Saya akan segera ke sana.”
Ekspresi masamnya tiba-tiba berubah, setelah Anya mendapat panggilan dari perusahaan tempat Anya pernah menjatuhkan lamaran. Katanya, Anya diminta untuk segera ke perusahaan melakukan wawancara pekerjaan.
“Akhirnya … akhirnya aku dapat panggilan kerja juga!”
Saat itu juga, Anya memutuskan untuk bergegas pulang ke kontrakan kecil yang ia tinggali bersama ibunya. Sesampainya di rumah, ia langsung menemui ibunya, Sarah, yang sedang menyiapkan makan siang.
"Bu, aku dipanggil wawancara hari ini," kata Anya, mencoba terdengar biasa saja meski pikirannya masih kacau setelah bertemu Evan.
Sarah menoleh, senyumnya mengembang. "Syukurlah, Nak. Semoga kamu diterima. Ibu sudah capek hidup susah seperti ini."
Anya tersenyum kecil. "Aku juga, Bu. Aku akan bekerja keras demi Ibu dan Kenzo. Kita harus keluar dari situasi ini."
Namun, saat ia duduk untuk bersiap, kenangan pahit kembali menghantam pikirannya.
Lima tahun lalu, ia berdiri di depan rumah keluarga Evan, memohon pertanggungjawaban atas kehamilannya. Tapi yang ia dapatkan hanya hinaan dan cacian dari ibu Evan, yang mengusirnya tanpa belas kasih.
‘Evan pernah berjanji akan menikahiku. Tapi ternyata semuanya bohong,’ pikir Anya, matanya mulai berkaca-kaca.
Sarah mendekati Anya dan memegang bahunya. "Kamu anak yang kuat, Anya. Jangan biarkan masa lalu menghancurkanmu. Fokus pada masa depan."
Anya mengangguk, menghapus air matanya, dan bersiap pergi ke tempat wawancara.
____
Di perusahaan besar itu, Anya masuk ke ruang wawancara dengan percaya diri. Namun, semua itu runtuh ketika matanya bertemu dengan seseorang yang duduk di tengah ruangan, memimpin wawancara.
Evan.
Pria itu lagi!
"Kenapa dia ada di sini?" gumam Anya dalam hati, rasa gugup langsung menyerangnya.
Evan menatapnya dingin, seperti yang ia lakukan di taman. "Apa kamu akan tetap berdiri di sana?" tanyanya dengan nada sinis.
Anya memaksa dirinya untuk melangkah maju dan duduk di kursi yang disediakan. "Maaf, Pak, saya..."
"Kita langsung saja," potong Evan, tanpa memberinya kesempatan bicara. Ia membuka dokumen lamaran kerja Anya dan membaca sekilas. "Apa kamu yakin ingin bekerja di perusahaan ini?" tanyanya tanpa basa-basi.
Anya segera mengumpulkan kesadaran dan mengangguk yakin. Sebesar apapun kemelut di hatinya saat ini, itu harus kesampingkan. Anya sangat butuh pekerjaan ini.
"Saya akan bekerja keras, Pak," ujar Anya yakin, atau lebih tepatnya meyakinkan diri.
Evan tersenyum sinis. Ia menatap Anya tajam. "Perusahaan ini bukan tempat main-main. Saya tidak butuh orang yang bisa datang dan pergi sesuka hati."
Kata-kata itu menusuk hati Anya dengan telak, tapi ia menahan diri untuk tidak melawan. Senyum kariernya masih terpasang dengan sempurna. "Saya paham, Pak. Saya di sini untuk bekerja dengan sungguh-sungguh."
Evan diam tidak merespon. Matanya masih belum beralih dari Anya, seolah ingin berbicara lewat tatapan.
Namun, keteguhan di hati Anya tak terelakkan. Dan Evan bisa melihatnya.
Pria itu lantas mengalihkan pandang, sibuk membolak-balik resume milik Anya.
“Pernah bekerja di perusahaan Tirta Dharma. Hmm … tidak begitu buruk,” gumamnya dengan nada yang cukup keras, seolah memastikan Anya bisa mendengarnya.
Anya duduk dengan gugup meski hatinya terusik. Evan sudah tahu bahwa dirinya memiliki pengalaman di bidang ini.
“Apa dia sengaja?” tanya Anya di dalam hati, gelisah menunggu keputusan Evan.
Sedangkan pria itu seolah menikmati semua ini. Tatapan matanya yang intens dan menilai, membuat Anya merasa frustrasi dalam diam.
Evan tidak mengatakan apapun. Namun, bibirnya yang menipis dan tatapannya yang memicing seolah menyimpan amarah yang tidak bisa ia kendalikan.
Anya menelan ludah. Bukankah seharusnya Anya yang marah atas semua yang terjadi lima tahun lalu?
Mengapa justru pria ini yang menunjukkan kebencian?
“Apa yang menjadi jaminan bahwa kamu tidak akan lari dari tanggung jawab?”
Bab 118Udara pagi yang redup membangunkan Anya dari mimpi buruk panjang. Sejak pemakaman ibunya beberapa minggu yang lalu, hari-harinya terasa berat dan hampa. Ia duduk di teras rumah kayu peninggalan keluarga, menggenggam secangkir kopi hangat tanpa rasa. Pandangannya menerawang ke halaman depan yang terlantar, seolah mencari jejak kehadiran ibunya dalam setiap helai daun yang gugur.Nathan menutup pintu pelan saat memasuki teras. Wajahnya menampakkan keprihatinan lembut, menawarkan senyuman tipis meski hatinya ikut terluka melihat sahabatnya bersedih. Dengan sabar, ia menyuguhkan secangkir teh melati wangi kepada Anya. “Masih hangat, No,” katanya lembut menggunakan nama panggilan sejak kecil. Tangannya menyentuh bahu Anya secara perlahan, memberikan kehangatan yang sulit diungkap kata-kata.Anya meneguk teh itu perlahan, menahan perasaan yang mulai teraduk dalam dadanya. Napasnya berat menandakan kesedihan yang masih membara. “Terima kasih, Than,” bisiknya pelan. Matanya sembab men
Bab 117Langit mendung menggantung berat di atas pemakaman sederhana itu. Aroma tanah basah bercampur dengan asap sisa kebakaran rumah Anya masih tertinggal di udara, menambah sesak di dada wanita itu.Anya berdiri diam di depan nisan yang baru saja dipasang. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas pusara sang ibu. Di sampingnya, Kenzo memeluk kakinya, diam dan bingung, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti.Air mata Anya jatuh satu per satu tanpa suara. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk disembunyikan."Mama... maaf kalau aku belum bisa bahagiakan Mama. Aku janji... aku akan jaga Kenzo. Aku akan kuat," bisiknya lirih di depan nisan.Di kejauhan, dari dalam sebuah mobil hitam yang terparkir agak tersembunyi di balik deretan pohon cemara, seorang pria menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca.Evan.Ia duduk di kursi belakang mobil, mengenakan pakaian serba hitam. Di tangannya, sebuah map kerja masih
Bab 116Hati Anya masih bergemuruh tak karuan saat ia dan Kenzo akhirnya tiba di lokasi bekas rumah mereka. Yang tersisa kini hanya puing-puing hangus, dinding-dinding roboh, dan aroma pahit bekas kebakaran yang masih tercium jelas. Kenzo menggenggam tangan Anya erat-erat, matanya besar menatap sisa kehancuran itu.“Mama... rumah kita kok hancur begini?” bisik Kenzo lirih.Anya berlutut, memeluk anaknya erat-erat. "Ini hanya rumah, sayang... Kita masih punya satu sama lain."Namun dalam hatinya, Anya ingin menangis. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan — tentang dirinya, tentang perjuangannya, tentang hidup yang ia bangun sendiri. Dan kini semuanya lenyap.Anya berdiri perlahan. Ia menggendong Kenzo, membawanya ke sisi lain halaman rumah yang agak lebih aman. Di sana, di bawah pohon yang hangus sebagian, Anya meletakkan bunga dan air mineral untuk mendiang mamanya. Ia menunduk, berdoa dalam hati, sementara Kenzo berdiri di sampingnya, ikut memejamkan mata kecilnya.Tak la
Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na
Bab 114 Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.” Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.” Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.” Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.” Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap
Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai
Bab 112Pagi itu, matahari seakan enggan bersinar. Langit mendung, seolah ikut merasakan beban di hati Evan. Dengan langkah berat, ia turun dari mobil yang diparkir di depan sebuah gedung megah — tempat pernikahan Anya dan Nathan digelar. Suasana di luar tampak meriah, karangan bunga berjejer, para tamu berdatangan dengan wajah bahagia. Tapi semua itu seperti kabut abu-abu bagi Evan.Roy yang berdiri di sampingnya melirik cemas. “Lo yakin mau masuk, Van?”Evan mengangguk pelan. “Gue harus lihat sendiri… harus pastiin kalau ini bukan kemauan dia.”Mereka melangkah masuk ke dalam gedung. Iringan musik pelaminan terdengar sendu di telinga Evan, seperti menertawakan luka di hatinya. Pandangannya menyapu ruangan, mencari sosok yang selama ini memenuhi pikirannya.Dan di sanalah Anya.Berdiri di pelaminan, mengenakan kebaya putih yang indah… tapi wajahnya pucat, tatapannya kosong. Senyum yang seharusnya merekah di hari bahagia itu justru dipaksakan. Di sampingnya, Nathan tampak begitu perca
Bab 111 Angin malam yang berembus dari celah jendela rumah sakit membawa aroma antiseptik yang menyengat. Lampu-lampu redup di koridor membuat suasana semakin mencekam. Evan berdiri di depan ruangan ICU, menatap kosong ke arah ibunya yang terbaring lemah di balik kaca bening. Tubuh Saraswati dikelilingi alat medis, suara detak monitor jantung terdengar stabil, tapi wajah wanita itu tampak pucat, jauh dari sosok kuat dan angkuh yang selama ini ia kenal. Evan menghela napas berat. Setiap embusan napasnya terasa seperti beban, seolah ada batu besar yang menindih dadanya. Pikirannya kusut. Anya. Mamanya. Chintya. Reza. Nama-nama itu berputar dalam kepalanya bagai badai, memporak-porandakan ketenangannya yang tinggal serpihan. Roy duduk di kursi tunggu, memperhatikan Evan yang seperti kehilangan arah. "Van," panggilnya pelan, "kamu harus kuat, bro. Kita belum selesai di sini." Evan menoleh, mata merahnya menyiratkan kemarahan yang ditahan. "Gue gak habis pikir, Roy. Kenapa hidup gue kay
Bab 110"Saat-saat seperti ini kamu masih memikirkan wanita itu, Evan?'Saraswati yang mengalami stroke ringan menatap kasar ke Evan, dengan ucapannya yang juga terbata-bata dan tidak sejelas kemarin. "Ma, apa salah Anya? Kenapa kamu begitu membencinya, Ma."Saraswati ingin mengatakan kalau Anya tidak sepadan dengan keluarga mereka, tapi entah kenapa rasa sakit yang ia rasa semakin parah. Sampai ia merintih kesakitan, dan melihat hal itu Evan segera berlari untuk memanggil dokter. "Ma, Mama kenapa, Ma?" tanya Evan yang merasa kuatir, dilanjutkan dengan Evan yang berteriak memanggil sang dokter. "Dokter, tolong mama ku, Dok!"Seorang dokter berlari, disusul dengan kedatangan Roy yang tadi permisi keluar. "Ada apa ini, Evan? Apa yang terjadi pada Tante?""Aku dan mama tadi sempat selisih paham, Roy. Dan sekarang Mama kejang-kejang. Aku takut mama kenapa-kenapa, Roy.""Kenapa kamu lakukan itu, Evan? Kamu tahu kalau mamamu dalam keadaan kritis. Kamu malah membebani nya dengan pikiran E