공유

Bab 7. Privasi

작가: Bulandari f
last update 최신 업데이트: 2024-12-20 23:42:03

Bab 7

Anya duduk di meja kerjanya dengan wajah masam. Tumpukan berkas yang baru saja diletakkan Evan terasa seperti gunung yang mustahil didaki. Ia memandang dokumen-dokumen itu dengan perasaan campur aduk: marah, kesal, dan putus asa.

"Dia benar-benar gila!" gerutunya pelan sambil menatap tumpukan itu. "Tidak berperikemanusiaan. Bagaimana bisa dia menyuruhku menyelesaikan semuanya dalam satu hari? Apa dia pikir aku robot?"

Tangannya mulai membuka dokumen satu per satu, meskipun pikirannya penuh dengan sumpah serapah untuk pria yang kini berada di ruangannya. Anya tidak bisa berhenti memikirkan bagaimana Evan selalu menemukan cara untuk membuatnya menderita.

Sementara itu, di ruangan lain, Evan duduk dengan nyaman di kursinya. Matanya tertuju pada layar komputer di depannya, yang memperlihatkan aktivitas Anya melalui kamera pengawas. Ia melihat bagaimana wanita itu berkutat dengan berkas-berkasnya, bibirnya bergerak seolah-olah sedang mengumpat.

Evan tersenyum kecil. "Dasar keras kepala," gumamnya.

Roy, asisten pribadinya, masuk ke ruangan membawa sebuah tablet. “Evan, ini laporan yang tadi Anda minta. Tapi, serius, apa kita tidak pulang sekarang? Sudah larut malam.”

Evan menatap Roy sekilas, lalu kembali ke layar komputer. “Aku belum selesai bekerja.”

Roy mendesah pelan. “Dan karyawan baru itu? Apa kamu benar-benar membiarkan dia mengerjakan semua berkas itu sendirian? Bukankah itu terlalu berlebihan? Lagipula, dia karyawan baru. Mungkin keluarganya sedang menunggunya di rumah.”

Evan memutar kursinya menghadap Roy. Wajahnya tetap dingin. “Biarkan saja. Aku ingin melihat sejauh mana dia bisa bertahan.”

Roy mengerutkan dahi, tetapi ia tidak berani membantah lebih jauh. Ia tahu betul bagaimana keras kepala bosnya itu.

"Dia harus diberikan pelajaran, siapa suruh pernah mempermainkan ku," ucap Evan yang tidak sadar, membuat Roy membulatkan matanya dan berkata, "Apa Evan? Apa sebelumnya kamu dan Anya pernah ada hubungan, Evan?"

"Kamu terlalu banyak ingin tahu urusanku, Roy. Diam lah, aku sedang tidak ingin diganggu!"

Roy akhirnya diam dan tetap menunggu Evan mengawasi Anya dari layar monitor laptopnya.

Di tempatnya, Anya terus bekerja meskipun rasa lelah mulai menghantamnya. Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, tetapi tumpukan berkas di depannya masih terlihat seperti tidak berkurang. Satu per satu rekan kerjanya mulai pulang.

"Anya, apa kamu belum mau pulang?" tanya seorang rekan kerja yang melintas.

Anya mendongak dengan senyum lelah. “Aku harus menyelesaikan ini semua sebelum pulang.”

Rekan kerjanya mengerutkan dahi. “Tapi sudah malam, loh. Semua orang sudah pulang. Kamu yakin tidak apa-apa?”

“Aku tidak punya pilihan,” jawab Anya, mencoba terdengar ringan meskipun hatinya terasa berat.

Setelah rekan kerjanya pergi, Anya menghela napas panjang. Matanya kembali tertuju pada dokumen-dokumen itu. “Dasar Evan. Kalau ini caranya menunjukkan kuasa, dia benar-benar brengsek.”

Kembali ke Evan yang masih fokus memperhatikan Anya. "Apa kamu pikir aku akan kasihan ke kamu, Anya? Enggak Anya, aku tidak akan berhenti sampai kamu menyerah dan memohon ampun padaku," kata Evan di dalam hatinya.

Namun, Roy, yang masih berada di ruangan itu, tidak bisa menahan diri untuk bersuara lagi. “Evan, ini tidak benar. Dia sudah bekerja sejak pagi. Kalau Anda terus begini, dia bisa sakit.”

Evan melirik Roy dengan ekspresi datar. “Kamu tidak mengerti, Roy. Ini bukan hanya tentang pekerjaan. Aku ingin tahu seberapa jauh dia bisa melawan.”

“Melawan apa? Anda ingin dia melawan Anda secara langsung?” Roy tampak bingung.

Evan tidak menjawab. Ia hanya kembali menatap layar komputer, memperhatikan bagaimana Anya terus bekerja meskipun terlihat frustrasi.

Di meja kerjanya, Anya menutup sebuah dokumen dengan keras. “Ini benar-benar tidak masuk akal!” gumamnya dengan nada marah. Ia melirik jam di dinding, yang kini menunjukkan pukul sepuluh malam. Perutnya keroncongan, tetapi ia tidak punya waktu untuk makan.

“Kalau aku selesai, aku akan memastikan pria itu tahu betapa aku membencinya,” bisiknya dengan penuh tekad.

Evan, yang mendengar gumaman Anya melalui mikrofon kecil di kamera, tersenyum tipis. “Benci? Bagus. Benci saja aku. Tapi aku ingin lihat sampai di mana kamu bisa bertahan,” gumamnya pelan.

Anya terus bekerja hingga jarum jam menunjukkan pukul sebelas malam. Kini, ia benar-benar sendirian di kantor. Semua lampu ruangan lain sudah dimatikan, hanya area mejanya yang masih terang.

Tiba-tiba, suara langkah kaki membuatnya tersentak. Ia menoleh dan mendapati Roy berdiri di depannya dengan ekspresi prihatin.

“Anya, kamu tidak pulang?” tanya Roy dengan nada lembut.

Anya tersenyum pahit. “Tidak bisa, Pak Roy. Bapak Evan bilang semua ini harus selesai hari ini juga.”

Roy menghela napas panjang. “Kalau begitu, biar saya bantu sedikit. Kamu tidak mungkin mengerjakan semuanya sendirian.”

Anya menatap Roy dengan mata berkaca-kaca. “Terima kasih, Pak Roy. Tapi saya tidak ingin Anda ikut dimarahi hanya karena membantu saya.”

Roy menggeleng pelan. “Aku sudah tahu bagaimana Evan. Dia memang suka menguji orang. Tapi kamu juga harus menjaga kesehatanmu, Anya.”

Meskipun merasa terharu, Anya tetap menolak bantuan Roy. “Terima kasih, Pak Roy. Tapi saya bisa mengatasinya. Saya tidak mau dianggap lemah.”

Roy tersenyum tipis, lalu meninggalkan Anya sendirian. Dalam perjalanan keluar, ia kembali ke ruangan Evan. “Dia masih bekerja,” lapornya.

Evan hanya mengangguk tanpa mengalihkan pandangan dari layar. Roy menggelengkan kepala, lalu berkata, “Kalau begitu, saya pulang dulu. Jangan terlalu lama di sini, Evan.”

Setelah Roy pergi, Evan memutuskan untuk mematikan layar komputernya. Ia berdiri, mengambil jasnya, dan berjalan menuju meja Anya.

Ketika Anya melihat Evan mendekat, ia menghentikan pekerjaannya dan menatapnya tajam. “Apa yang Anda inginkan sekarang?” tanyanya dengan nada dingin.

Evan menatapnya sebentar sebelum berkata, “Sudah hampir tengah malam. Kenapa kamu masih di sini?”

Anya melotot. “Karena Anda yang menyuruh saya menyelesaikan semua ini, Pak.”

Evan tersenyum miring. "Dasar bodoh, bahkan setelah kamu berhasil menyelesaikan semuanya. Itu tidak berarti untukku. karena semua berkas itu tidak berguna."

"Maksudnya?" Anya yang penasaran segera menatap ke bagian tanggal pembuatan dokumen. "Tahun 2000, apa kamu sengaja mengerjai ku, Evan?" tanyanya Anya sedikit gusar.

"Bersikap sopan lah padaku, kalau tidak ingin ini menjadi hari terakhir mu!"

Anya yang kesal sampai mengepalkan tangannya, tidak terbayangkan dibenak nya seberapa banyak waktunya habis untuk hal yang tidak berguna lagi.

"Ini memang benar-benar kelewatan, Evan!" bola mata Anya melotot menatap gusar ke Evan, namun Evan acuh dan memilih meninggalkan Anya sendiri.

"Kamu kurang ajar, Evan. Ini gak lucu!" teriak Anya pada Evan yang sudah berjalan mendahului Anya. Namun, Evan sempat menoleh ke belakang dan berkata, "Jam sekarang biasanya banyak yang berkeliaran, Anya!"

Anya mendadak menoleh sekitar, tempat itu sudah begitu sepi dan hanya ada dirinya seorang. "Evan, tunggu aku!"

bersambung

이 책을 계속 무료로 읽어보세요.
QR 코드를 스캔하여 앱을 다운로드하세요

최신 챕터

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 118

    Bab 118Udara pagi yang redup membangunkan Anya dari mimpi buruk panjang. Sejak pemakaman ibunya beberapa minggu yang lalu, hari-harinya terasa berat dan hampa. Ia duduk di teras rumah kayu peninggalan keluarga, menggenggam secangkir kopi hangat tanpa rasa. Pandangannya menerawang ke halaman depan yang terlantar, seolah mencari jejak kehadiran ibunya dalam setiap helai daun yang gugur.Nathan menutup pintu pelan saat memasuki teras. Wajahnya menampakkan keprihatinan lembut, menawarkan senyuman tipis meski hatinya ikut terluka melihat sahabatnya bersedih. Dengan sabar, ia menyuguhkan secangkir teh melati wangi kepada Anya. “Masih hangat, No,” katanya lembut menggunakan nama panggilan sejak kecil. Tangannya menyentuh bahu Anya secara perlahan, memberikan kehangatan yang sulit diungkap kata-kata.Anya meneguk teh itu perlahan, menahan perasaan yang mulai teraduk dalam dadanya. Napasnya berat menandakan kesedihan yang masih membara. “Terima kasih, Than,” bisiknya pelan. Matanya sembab men

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 117

    Bab 117Langit mendung menggantung berat di atas pemakaman sederhana itu. Aroma tanah basah bercampur dengan asap sisa kebakaran rumah Anya masih tertinggal di udara, menambah sesak di dada wanita itu.Anya berdiri diam di depan nisan yang baru saja dipasang. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas pusara sang ibu. Di sampingnya, Kenzo memeluk kakinya, diam dan bingung, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti.Air mata Anya jatuh satu per satu tanpa suara. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk disembunyikan."Mama... maaf kalau aku belum bisa bahagiakan Mama. Aku janji... aku akan jaga Kenzo. Aku akan kuat," bisiknya lirih di depan nisan.Di kejauhan, dari dalam sebuah mobil hitam yang terparkir agak tersembunyi di balik deretan pohon cemara, seorang pria menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca.Evan.Ia duduk di kursi belakang mobil, mengenakan pakaian serba hitam. Di tangannya, sebuah map kerja masih

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 116. Ganguan dari istri sah mantan

    Bab 116Hati Anya masih bergemuruh tak karuan saat ia dan Kenzo akhirnya tiba di lokasi bekas rumah mereka. Yang tersisa kini hanya puing-puing hangus, dinding-dinding roboh, dan aroma pahit bekas kebakaran yang masih tercium jelas. Kenzo menggenggam tangan Anya erat-erat, matanya besar menatap sisa kehancuran itu.“Mama... rumah kita kok hancur begini?” bisik Kenzo lirih.Anya berlutut, memeluk anaknya erat-erat. "Ini hanya rumah, sayang... Kita masih punya satu sama lain."Namun dalam hatinya, Anya ingin menangis. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan — tentang dirinya, tentang perjuangannya, tentang hidup yang ia bangun sendiri. Dan kini semuanya lenyap.Anya berdiri perlahan. Ia menggendong Kenzo, membawanya ke sisi lain halaman rumah yang agak lebih aman. Di sana, di bawah pohon yang hangus sebagian, Anya meletakkan bunga dan air mineral untuk mendiang mamanya. Ia menunduk, berdoa dalam hati, sementara Kenzo berdiri di sampingnya, ikut memejamkan mata kecilnya.Tak la

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 115. Nenek sihir

    Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 114

    Bab 114 Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.” Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.” Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.” Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.” Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 113

    Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai

더보기
좋은 소설을 무료로 찾아 읽어보세요
GoodNovel 앱에서 수많은 인기 소설을 무료로 즐기세요! 마음에 드는 책을 다운로드하고, 언제 어디서나 편하게 읽을 수 있습니다
앱에서 책을 무료로 읽어보세요
앱에서 읽으려면 QR 코드를 스캔하세요.
DMCA.com Protection Status