Beranda / Romansa / Bos Arogan Itu Ayah Anakku / Bab 8. Bos ku mantan kekasihku

Share

Bab 8. Bos ku mantan kekasihku

Penulis: Bulandari f
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-21 23:20:35

Bab 8

Anya merasa merinding ketika mengetahui kalau tempat itu begitu sepi, apalagi karena suasana malam membuatnya sedikit menyeramkan. "Kenapa tiba-tiba kudukku merasa merinding?" tanya Anya sambil mengedikkan bahunya.

Sesaat kemudian, Anya mempercepat langkahnya, berlari mengejar Evan yang sudah meninggalkannya sendirian di lantai yang sunyi. “Evan, tunggu aku!” teriaknya dengan nada frustrasi, merasa tak punya pilihan selain mengikuti pria itu jika ingin segera keluar dari gedung.

Evan tidak menoleh, hanya terus berjalan menuju lift. Langkahnya tetap, menunjukkan ketenangan yang membuat Anya semakin kesal. Ketika pintu lift hampir tertutup, Anya berhasil masuk tepat waktu, meski napasnya terengah-engah.

“Kenapa kamu seperti ini, Evan? Kamu sengaja mempermainkanku, ya?” tanya Anya dengan nada penuh emosi.

Evan hanya menatapnya dingin, tetapi ada sedikit kilatan emosi di matanya. Ia menekan tombol lift tanpa berkata apa-apa, membuat suasana di dalam lift terasa begitu tegang.

Ketika lift mulai bergerak turun, Evan akhirnya berbicara. “Kenapa kamu dulu pergi tanpa kabar, Anya?”

Pertanyaan itu seperti petir di siang bolong. Anya tertegun, tidak menyangka Evan akan membahas hal itu. Ia menatap pria itu, mencoba mencari tahu apakah ia serius.

“Evan, aku…” Anya baru saja membuka mulut ketika pintu lift terbuka, mengakhiri percakapan mereka.

Pada saat yang sama, ponsel Anya berdering. Ia merogoh tasnya dan melihat nama yang tertera di layar: Nathan. Dengan cepat, Anya mengangkat panggilan itu. “Iya, halo, Nathan.”

Suara Nathan terdengar dari seberang, lembut namun penuh kekhawatiran. “Kamu di mana, Anya? Ibumu khawatir karena kamu belum pulang.”

Anya melirik ke arah Evan yang sedang berjalan keluar lift. “Aku sebentar lagi keluar. Ini sedang di jalan,” jawab Anya, berusaha terdengar santai meski tubuhnya terasa lelah luar biasa.

“Baiklah. Aku menunggumu di parkiran perusahaan. Jangan terlalu lama, ya,” kata Nathan.

Anya terkejut. “Kamu menjemputku?”

“Ya, tadi aku ke rumahmu. Ibumu bilang kamu belum pulang, jadi aku langsung ke sini.”

Mendengar itu, Anya merasa lega. “Oke, aku segera ke sana. Tunggu sebentar, ya.”

Setelah menutup telepon, Anya mempercepat langkahnya, meninggalkan Evan yang kini berdiri mematung di lobi. Namun, Evan memperhatikan semuanya. Ekspresi wajahnya berubah saat mendengar percakapan Anya dengan Nathan.

“Siapa pria itu? Apa dia kekasihnya?” pikir Evan sambil mengepalkan tangannya.

Ketika Anya keluar dari gedung, ia melihat Nathan berdiri di dekat parkiran. Pria itu tersenyum hangat, wajahnya menunjukkan kelegaan.

“Untung saja kamu di sini, Nathan,” kata Anya sambil menghampiri pria itu. “Kalau tidak, aku tidak tahu harus pulang pakai apa. Aku sudah lelah banget.”

Nathan tertawa kecil. “Aku tahu kamu pasti butuh bantuan. Makanya aku langsung ke sini. Tapi apa ini tidak terlalu lama untuk pulang kerja, Anya?" Nathan menoleh ke arah jarum jamnya, yang mana jarum jam Nathan menunjukkan pukul 12 malam lewat sepuluh menit. "Sudah tengah malam, Anya. Apa kamu gila baru pulang sekarang?"

Anya langsung memasang wajah lesu, dia teringat bagaimana Evan mengerjai nya hari ini. "Dokumen itu dokumen lama, aku tidak membutuhkannya," kata-kata itu, membuat geram Anya, apalagi karena Anya sudah meluangkan waktunya untuk mengerjakan tugas dari Evan.

"Apa terjadi sesuatu padamu, Anya?" tanya Nathan sedikit curiga.

"Sudahlah, aku malas untuk membahasnya." Anya balas tersenyum. “Terima kasih, Nathan. Kamu selalu ada di saat aku butuh.”

Sementara itu, dari kejauhan, Evan muncul dengan mobilnya. Ia berhenti di depan gedung, tepat di jalur tempat Nathan dan Anya berdiri. Dengan sengaja, Evan membunyikan klaksonnya cukup keras, menarik perhatian mereka berdua.

Anya terkejut dan menatap ke arah mobil yang familiar itu. Evan duduk di belakang kemudi, menatap mereka dengan ekspresi sulit ditebak.

“Jalanan masih luas, Evan,” ujar Anya dengan nada kesal. “Lewat samping situ kan bisa. Kenapa harus lewat sini?”

Evan tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia tetap membunyikan klaksonnya, memaksa mereka untuk menepi.

Nathan, yang merasa terganggu, menarik lengan Anya dengan lembut. “Ayo kita pindah. Dia jelas-jelas tidak sabar.”

Setelah mereka menepi, Evan akhirnya menginjak gas dan pergi tanpa sepatah kata pun. Namun, ekspresi wajahnya menunjukkan sesuatu yang berbeda: ada kemarahan yang membara di balik sikap dinginnya.

Nathan menatap mobil yang menjauh itu, lalu menoleh ke Anya. “Siapa pria itu, Anya? Apa dia teman kerjamu?”

Anya menghela napas panjang. “Bukan. Dia itu bosku. Tapi enggak penting, kok. Ayo kita pulang. Aku sudah benar-benar lelah.”

Nathan mengangguk, meskipun ia masih penasaran dengan hubungan Anya dan pria itu. Namun, ia memilih untuk tidak bertanya lebih jauh.

Di dalam mobil, Evan mengemudi dengan kecepatan tinggi. Pikirannya penuh dengan bayangan Anya dan Nathan. Ia merasa dadanya sesak, sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.

“Siapa pria itu? Apa dia kekasih Anya?” Evan bertanya pada dirinya sendiri, tetapi ia tidak mendapatkan jawaban yang memuaskan. Satu hal yang pasti: perasaan itu mulai mengganggunya.

Sementara itu, di perjalanan pulang bersama Nathan, Anya mencoba mengalihkan pikirannya dari kejadian di kantor. Namun, bayangan Evan dan sikapnya yang dingin terus menghantuinya.

“Kenapa dia menanyakan soal masa lalu?” pikir Anya. “Apa dia masih memikirkan apa yang terjadi di antara kami dulu?”

Nathan, yang duduk di sebelahnya, memperhatikan wajah Anya yang tampak lelah dan sedikit tegang. “Kamu baik-baik saja, Anya? Kamu kelihatan seperti sedang memikirkan sesuatu.”

Anya tersentak dari lamunannya. “Oh, aku baik-baik saja. Hanya lelah saja.”

Nathan tersenyum tipis. “Kalau begitu, istirahatlah begitu sampai rumah. Kamu bekerja terlalu keras.”

Anya mengangguk, tetapi hatinya tahu bahwa kelelahan fisik bukan satu-satunya masalahnya. Ada sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang melibatkan Evan, yang terus menghantui pikirannya.

"Hmmmm, tapi terima kasih Nathan. Aku tidak tahu jadinya bagaimana aku kalau kamu tidak datang menjemput ku, Nathan."

"Gak usah dibahas lagi, Anya. Lagian kamu tahu kan, kalau aku hanya ingin yang terbaik untukmu?"

Sekali lagi, Anya tersenyum. Hanya Nathan yang bisa membuatnya merasa dihargai, tidak seperti Evan yang pergi setelah meninggalkan benihnya.

Bahkan rasa sakit hati ketika nyonya Saraswati mengusirnya dari rumah dan melempar uang ke arahnya, masih selalu terngiang di benaknya. "Kalau bukan karena aku butuh uang untuk masa depan Kenzo, Evan. Mungkin, aku tidak akan mau bekerja di perusahaanmu. Jangankan bekerja di perusahaanmu. Menatap kamu saja aku tidak mau, Evan! Apa yang kamu lakukan dan apa yang mamamu lakukan padaku waktu itu. Begitu menyakitkan, Evan," kata Anya yang bermonolog sendiri di dalam hatinya.

Bersambung

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 118

    Bab 118Udara pagi yang redup membangunkan Anya dari mimpi buruk panjang. Sejak pemakaman ibunya beberapa minggu yang lalu, hari-harinya terasa berat dan hampa. Ia duduk di teras rumah kayu peninggalan keluarga, menggenggam secangkir kopi hangat tanpa rasa. Pandangannya menerawang ke halaman depan yang terlantar, seolah mencari jejak kehadiran ibunya dalam setiap helai daun yang gugur.Nathan menutup pintu pelan saat memasuki teras. Wajahnya menampakkan keprihatinan lembut, menawarkan senyuman tipis meski hatinya ikut terluka melihat sahabatnya bersedih. Dengan sabar, ia menyuguhkan secangkir teh melati wangi kepada Anya. “Masih hangat, No,” katanya lembut menggunakan nama panggilan sejak kecil. Tangannya menyentuh bahu Anya secara perlahan, memberikan kehangatan yang sulit diungkap kata-kata.Anya meneguk teh itu perlahan, menahan perasaan yang mulai teraduk dalam dadanya. Napasnya berat menandakan kesedihan yang masih membara. “Terima kasih, Than,” bisiknya pelan. Matanya sembab men

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 117

    Bab 117Langit mendung menggantung berat di atas pemakaman sederhana itu. Aroma tanah basah bercampur dengan asap sisa kebakaran rumah Anya masih tertinggal di udara, menambah sesak di dada wanita itu.Anya berdiri diam di depan nisan yang baru saja dipasang. Tangannya gemetar saat meletakkan bunga di atas pusara sang ibu. Di sampingnya, Kenzo memeluk kakinya, diam dan bingung, seolah ikut merasakan kesedihan yang tak sepenuhnya ia mengerti.Air mata Anya jatuh satu per satu tanpa suara. Ia menggigit bibir, berusaha menahan isak, namun luka di hatinya terlalu dalam untuk disembunyikan."Mama... maaf kalau aku belum bisa bahagiakan Mama. Aku janji... aku akan jaga Kenzo. Aku akan kuat," bisiknya lirih di depan nisan.Di kejauhan, dari dalam sebuah mobil hitam yang terparkir agak tersembunyi di balik deretan pohon cemara, seorang pria menatap adegan itu dengan mata berkaca-kaca.Evan.Ia duduk di kursi belakang mobil, mengenakan pakaian serba hitam. Di tangannya, sebuah map kerja masih

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 116. Ganguan dari istri sah mantan

    Bab 116Hati Anya masih bergemuruh tak karuan saat ia dan Kenzo akhirnya tiba di lokasi bekas rumah mereka. Yang tersisa kini hanya puing-puing hangus, dinding-dinding roboh, dan aroma pahit bekas kebakaran yang masih tercium jelas. Kenzo menggenggam tangan Anya erat-erat, matanya besar menatap sisa kehancuran itu.“Mama... rumah kita kok hancur begini?” bisik Kenzo lirih.Anya berlutut, memeluk anaknya erat-erat. "Ini hanya rumah, sayang... Kita masih punya satu sama lain."Namun dalam hatinya, Anya ingin menangis. Rumah itu menyimpan terlalu banyak kenangan — tentang dirinya, tentang perjuangannya, tentang hidup yang ia bangun sendiri. Dan kini semuanya lenyap.Anya berdiri perlahan. Ia menggendong Kenzo, membawanya ke sisi lain halaman rumah yang agak lebih aman. Di sana, di bawah pohon yang hangus sebagian, Anya meletakkan bunga dan air mineral untuk mendiang mamanya. Ia menunduk, berdoa dalam hati, sementara Kenzo berdiri di sampingnya, ikut memejamkan mata kecilnya.Tak la

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 115. Nenek sihir

    Bab 115Pagi itu, suasana di rumah Nathan masih terasa panas setelah keributan dengan mama Nathan. Anya memilih diam, menahan semua rasa sakit dan kehinaan yang terus dilemparkan padanya. Ia tahu, tidak ada gunanya berdebat dengan wanita yang dari awal tak pernah menerimanya dan Kenzo.Nathan sudah bersiap-siap untuk berangkat kerja. Ia mengenakan kemeja putih dan celana panjang hitam, wajahnya masih terlihat lelah dan kusut setelah pertengkaran tadi. Namun begitu menatap Anya yang duduk memeluk Kenzo di sofa ruang tamu, Nathan menghampirinya.“Sayang…” Nathan memanggil lembut.Anya menoleh, memaksakan senyum tipis. "Iya?"Nathan jongkok di hadapan Anya, meraih tangannya. “Aku harus pergi kerja sekarang. Aku tinggal kamu dengan Kenzo di sini, apa tidak apa, sayang? Dan tolong... jangan tanggapi apapun yang Mama katakan. Aku nggak mau kamu makin terluka.”Anya mengangguk pelan. "Aku ngerti, Nathan..."Namun sebelum Nathan benar-benar berdiri, Anya mengeratkan genggaman tangannya. "Na

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 114

    Bab 114 Malam mulai larut. Di kamar yang cukup luas namun terasa asing, Anya duduk di sisi ranjang dengan tubuh kaku. Kenzo sudah tertidur di kamar sebelah setelah Nathan menidurkannya dengan penuh kasih sayang. Nathan kembali ke kamar dan menutup pintu perlahan. Lampu kamar redup. Anya tahu, malam ini mereka resmi menjadi suami istri — setidaknya di mata hukum dan masyarakat. Tapi hatinya belum bisa sepenuhnya menerima kenyataan itu. Nathan duduk di sebelah Anya, lalu memegang tangan istrinya yang dingin. “Kamu kelihatan tegang, Anya.” Anya menoleh pelan dan tersenyum tipis. “Maaf, aku cuma... belum terbiasa.” Nathan mengangguk mengerti. “Aku ngerti kok. Kamu nggak perlu memaksakan diri.” Anya menghela napas. “Aku tahu kamu suamiku sekarang, dan aku juga tahu aku harus jadi istri yang baik. Tapi... untuk yang satu itu, aku belum siap, Nathan. Bukan karena aku nggak percaya kamu, tapi... hatiku belum sepenuhnya pulih.” Nathan memandang wajah Anya dengan tenang. Ia mengusap

  • Bos Arogan Itu Ayah Anakku   Bab 113

    Bab 113Evan pulang sebagai sosok yang kalah perang, sampai ia lesu dan tidak begitu bersemangat. sampai Chintya yang sedang bermain dengan ponselnya berdiri dan menghampiri Evan yang sedang membuka jas kerjanya. "Kamu kenapa, Evan? Apa terjadi sesuatu lagi pada mama?"Mata Evan langsung tidak suka dengan ucapan Chintya, yang seperti ingin terjadi sesuatu pada Saraswati, mamanya Evan. "Lah, kamu kok natap aku kayak gitu, Evan? Aku kan hanya sedang bertanya. Apa terjadi sesuatu lagi dengan mamamu, Evan?" Chintya mengulangi ucapannya, membuat Evan menepis badan Chintya dari hadapannya. Evan seperti malas melakukan perdebatan dengan Chintya, karena itu hanya akan menambah masalahnya saja. Alhasil Evan memutuskan untuk mengacuhkan Chintya. Sekalipun Evan tidak suka dengan ucapan Chintya. "Evan, Evan. Kamu kenapa sih?"Chintya mengejar Evan sampai ke dalam kamar. "Van, kamu kenapa?"Dengan bola mata melotot Evan berkata, "Bukan urusanmu!"Chintya jadi kesal, sebab Evan tidak menghargai

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status