Aku menggeleng. “Vivian, bisa tidak untuk kita berdua saling terbuka? Sebentar lagi kita akan nikah bukan? Dan ku tak mau kita saling menyimpan rahasia masing-masing. Aku adalah kamu dan kamu adalah aku, kita akan sehati, dan saling membagi rasa.”Aku tersenyum menatap lelaki yang tengah menatapku itu. “Ayah akan datang besok pagi, melakukan kunjungan perusahaan. Selain itu aku juga mau mengenalkan kamu dengan beliau. Kamu siap kan?”Aku terdiam, menundukkan pandanganku, tak percaya diri dengan status sosialku. “Hey, kamu kenapa, Viv?” tanyanya sambil kembali mendongakkan wajahku ke atas, menatapnya. “Aku orang miskin, Rey. Kita beda kasta. Aku tak yakin orang tua angkatmu akan menerima kehadiranku.”Lelaki itu menggeleng, dengan senyum manis. “Sejak kapan nyalimu ciut sepeti ini, Viv? Dimana vivianku yang dulu? Yang congkak dan yang selalu merasa diatas?”Dicubitnya hidungku dengan gemas. “Kamu tahu ha? Pilihan terburuk jika disuruh memilih antara keluarga atau kamu. Maka aku ak
“Haikal lagi, Haikal lagi,” protes lelaki di depanku.“Apakah kalau kita sudah menikah, kamu juga masih membagi waktu dengannya, Viv? Tidak bisakah waktumu hanya untukku saja.”Aku terkekeh, mendengar ungkapan cemburu Reynan, beberapa hari ini ia memang sensitif sekali, seperti Wanita yang sedang kedatangan bulannya.“Rey, kamu kan tahu sendiri. Ini sebatas rasa kemanusiaan, dan penghubung silaturahim. Kasihan Lesta, dia akan ….”“Iya, iya, jaga hati adeknya Haikal mulu. Lalu jaga hatiku kapan?”Aku menampakkan panggilan di ponselku. “Lalu, panggilan ini diangkat tidak?”“Kalau aku minta untuk membiarkannya, apa kamu akan melakukan?”“Baiklah.” Kukembalikan benda itu ke saku baju ku, masih dengan dering yang terus terdengar.“Ya sudah diangkat saja, barang kali Haikal memang lagi membutuhkanmu,” ucapnya pasrah. Sepeti itulah Reynan, dia adalah lelaki yang selalu tidak tegaan, dan selalu mengalah, sifat sederhana di balik arogan yang biasa ia perlihatkan.Baru saja aku Kembali meraih l
“Kak Viv,” ucap Alisa yang kini meletakkan tangan kanannya ke belakang. Terlihat tetesan darah segar yang masih terlihat jelas di lantai kamar ini. “Apa yang kamu sembunyikan dariku, Sa?”Wajah panik terlihat dari kedua gadis berambut panjang itu, binar mata indah yang selalu mereka tampakkan kini berubah menjadi mata yang basah, menahan air mata di pelupuk mata mereka. Bahkan mata Lesta terlihat memerah, seperti menahan tangis yang cukup lama. Sesaat kemudian mereka saling menunduk. Kedua gadis itu saling terdiam, tak ada sepatah kata yang keluar sedikitpun dari bibir mereka. “Alisa, kakak tanya sama kamu. Apa yang kamu sembunyikan?” tanyaku yang sedikit meninggi. Terdengar suara langkah yang mendekat, hingga pandangan kami menuju ke sumber suara. 2 lelaki yang pernah ada di hidupku itu mengekoriku dan masuk ke dalam kamar. Sedetik kemudian aku kembali memfokuskan diri kepada adik tersayangku. “Itu apa?” Tanyaku sambil menunjuk kotak p3k yang berada di tengah-tengah Alisa dan Le
Aku terdiam, hanya mampu memeluk tubuh kecil itu. Sedangkan dari tatapan Lesta maupun Haikal, aku menemukan rasa sakit yang amat sangat. Drama pembunuhan usai, Leo dikebumikan di halaman belakang tak jauh dari kandangnya. Lesta tampak terdiam sambil mengelus rambut tebal milik kucing besar itu, tangisnya terus pecah bersamaan Leo yang ditimbun oleh tanah. “Maafkan, Kakak ya, Dek!” terdengar bisikan dari lelaki yang berada di sebelahnya. Meskipun ucapan itu setengah berbisik tapi aku jelas mendengarnya. “Gak papa, Kak. Mungkin takdir Leo memang sampai hari ini.” Lesta tampak mengusap air mata yang terus berjatuhan membasahi pipi. “Semoga ayah gak akan marah sama Lesta,” ucapnya lirih. “Gak akan, Dek. Ayah sangat menyayangimu.” Kedua kakak adik itu saling berpelukan, mendatangkan rasa haru dalam diriku. Ditengah sikap kasar Haikal yang dulunya terus bersemayam, ternyata ia begitu menyayangi keluarganya. **Kami ijin pulang, disaat malam sudah benar-gelap, Cahaya terang bulan dan
“Reynan,” ucapku lirih masih tak percaya dengan apa yang aku dengar“Benar, pengendara pemilik identitas Reynan Pratama sedang mengalami kecelakaan. Saat ini beliau sedang dilarikan ke rumah sakit Praha medika.”“Terima kasih, Pak.”Aku masuk ke dalam kamar Alisa, hendak ijin melihat kondisi Rey. Mata yang kini terlelap, membuatku tak tega jika harus membangunkannya. Hanya meninggalkan secarik kertas memo yang kuletakkan di meja kamarnya.Berbekal motor matic Alisa, aku menyusuri gelapnya malam jalanan ini. Sudah tak lagi peduli dengan apa itu penjahat, pencopet, atau justru makhluk halus, fokusku kini hanya lebih cepat sampai ke rumah sakit. Terus kutarik gas motor itu lebih dalam, berharap laju kendaraan yang dipercepat akan segera mengantarku ke tempat rey terawat. Air mataku tak kuasa aku tahan. Sepanjang perjalanan , benda cair itu terus luruh membasahi pipiku. Aku terus merutuki diri, karena tak menahan Rey untuk bermalam di rumah. Andai saat itu aku memaksa kekasihku untuk tin
Indra jongkok, mensejajarkan tubuhnya terhadapku. Ia mengarahkan pandangan kepada kelompok pengiring jenazah rey, sambil menunjuk satu lelaki berambut putih, penuh dengan uban. “Itu, ayahnya REynan. Tepatnya ayah angkat. Ia baru saja mendarat ke indo 10 menit yang lalu, mendapati kenyataan yang memilukan hati."Aku hanya memandang, tak mampu berucap. Lidahku terasa kilu, pita suaraku mendadak rusak, bahkan tenggorokan ini pun terasa kering merontang.“Wanita itu, ibu angkatnya reynan, dia sangat menyanyangi rey, bahkan menganggap kekasihmu itu seperti anaknya sendiri.”Aku menatap Wanita paruh baya yang di tunjuk indra, matanya pun tak kalah basah dari mataku, bahkan isak tangis terdengar sampai sini.“Aku ingin bertemu, Rey, Ndra. Aku ingin bertemu meskipun terakhir kalinya.”Sampai detik ini, aku masih tak percaya dengan semua yang kulihat maupun kudengar. Aku ingin melihat keadaan rey sendiri untuk memastikan.“Kamu sanggup? Tubuh Rey terpisah menjadi beberapa bagian, darahnya men
Seminggu ini, semua berjalan begitu berat. Aku sepeti tak memiliki semangat untuk hidup. Senyum yang biasa menyapaku di jam kerja, Rayuan konyol yang dilontakan rey kepadaku, semua terus berputar dalam memori otakku. Aku bahkan memilih resign dari tempat kerja, karena tak kuat jika harus terus menangis, mengingat bos arogan itu. “Kak, makan dulu yuk!" seru Alisa sambil memberikanku sepiring nasi dengan lauk oseng teri. Menu yang dulunya menjadi makanan favoritku.“Taruh situ saja, Sa. Kakak belum lapar,” ucapku sambil menunjuk meja dekat Kasur.“Gak lapar bagaimana? Kak Vivian itu sudah 2 hari gak makan, lihatlah tubuhmu, Kak! Apa kakak pikir jika kak reynan melihat kak viv seperti ini, ia kan Bahagia di atas sana? Ia akan menangis, dan terus diliputi rasa bersalah."Aku terdiam, menatap jendela kamar, yang menjadi penghubung rumah dan dunia luar, hampir seminggu lamanya, aku menghabiskan waktu disini untuk menyendiri, dan menata hati. sayang, sekuat apapun aku menyusun keping-kepin
“It’s okay. Tak masalah,” ucapnya yang kini mengarahkan pandangan ke arahku. Tak sengaja pandangan kami bertemu, hingga menghadirkan rasa yang memilukan hati. Dulu, jika reynan memergokiku bertemu dengan Haikal, kekasihku itu akan cemburu buta, dan uring-uringan tak jelas seharian.Aku terus memandang lelaki di sebelahku, bahkan sama sekali tak berkedip, berharap rey akan hadir, dan Kembali cemburu kepadaku, hingga tak terasa air mata ini luruh, bersamaan dengan isak tangis di dalamnya.Aku benar-benar tak menyangka hidup bos aroganku itu sesingkat ini.Haikal memajukan meja yang menjadi sekat diantara kami, lalu menggeser kursi yang ditempatinya mendekat kearahku.“Viv, bersandaralah, jika kamu butuh sandaran,” ucap lelaki itu sambil menepuk pundaknya.“Aku tak yakin jika berada di posisimu akan sekuat kamu, menangislah!” ucap Haikal sambil menuntun kepalaku untuk bersender di bahunya. Aku menurut, hingga tangisku Kembali pecah. Menumpahkan segala rasa yang terus sesak di hatiku, men