“E… iya. Aku dengar, Viv.”Gelagat aneh tiba-tiba terlihat dari raut muka Haikal, apakah ia mengetahui jawaban dari semua yang aku tanyakan?“Kamu kenapa mendadak aneh seperti ini? Apa ada yang kamu rahasiakan dariku?”“A-aneh gimana? Aku biasa saja, Viv,” ucapnya setengah terbata, benar-benar mencurigakan.“Eh, Alisa mulai aktif kuliah kapan?” tanya Haikal Kembali.Pembahasan tentang reynan kini beralih kepada kuliah Alisa, hingga aku tak bisa mengesampingkan pembahasan yang lebih penting dari semuanya. Ya, bagiku, masa depan alisa lebih penting dari pada rasa egoisku.“Kak, kenapa pulang cepat? Katanya lagi otw bikinin ponakan Lesta, ekspress ya?” Lesta menyapa dengan nada candanya, tak lupa dengan binar mata indah yang biasa ia tampakkan.“Dek, kakak lagi pulang lo, capek. Kenapa di candain kayak gini?”“Owh, ternyata bikin ponakan capek juga ya?” lagi-lagi Wanita cantik berambut panjang bak sailormoon itu menggoda kakaknya, bahkan terlihat jelas wajah lelaki yang ada di sebelahku
“Bukan, aku hanya mau melakukan ini, rambutmu berantakan.”Lelaki itu mengambil sebuah karet gelang bekas yang tadinya digunakan untuk menali tempe, lalu merapikan rambutku dengan benda tersebut.“Aku bisa sendiri,” ucapku yang mencoba meraih karet gelang itu dari tangannya.Berada sedekat ini dengan haikal kini mendadak canggung, ada rasa yang tak nyaman. Bahkan mampu kurasakan nafas hangatnya yang menyentuh tengkuk leherku.“Viv, lanjutkan masakmu saja. Tolong jangan tolak bantuanku ini.”Mendapati permintaan seperti ini, akhirnya aku menyerah, membiarkan rambut panjang yang biasa dibelai oleh reynan kini juga tersentuh oleh haikal.‘Viv, sadarlah, kamu sekarang sudah menjadi istri dari haikal. Cukup kamu Bahagia melihat rey masih ada di dunia ini, tapi jangan lagi berharap untuk Kembali bersamanya,” batinku yang mulai protes.Tak menunggu lama, makanan yang biasa aku makan dengan rey kini berada di depanku, bahkan bentuk irisan tempe maupun cincangan bawang ini, aku buat semirip bu
Refeleks tubuhku merengkuh lelaki di sebelahku, dengan senyum yang mengembang indah. Hingga beberapa detik kemudian, aku menyadari apa yang kulakukan, diam dengan pandangan yang saling terpaut.“Eh, maaf,” ucapku sambil melepas pelukan, Kembali duduk di kursi tempatku semula.“Tak apa, Viv. Jujur aku Bahagia merasakannya,” ucap lelaki itu sambil tersenyum tipis.Aku memberikan sendok yang tadinya kugunakan untuk menyuapi haikal, lalu Kembali mengambil sendok sendiri untukku.“Makan Bersama ya … aku juga lapar.” Aku mencoba tersenyum, meskipun ini amatlah berat.Kutatap benda yang ada di depan kami, piring putih berbahan keramik dengan orek tempe di atasnya, makanan yang sama dengan apa yang biasa dibuatkan Rey untukku, makanan penuh cinta yang aku kenal setalah bertahun-tahun lamanya, menggunakan bahan sederhana, tapi mampu menciptakan rasa istimewa.Kenangan Bersama rey Kembali bergelayut begitu saja, dengan berjuang aku mencoba menepis memori itu, tapi justru wajah tampan dnegan sne
Lesta menoleh, dan tampaknya bingung mendapati aku dan Haikal yang berada tak jauh darinya. Beberapa langkah dari punggungnya. “Kenapa, Kak? Itu memang benar kan? Selama ini kakak sudah gak peduli sama Lesta. Hidup kak Vivian lebih berarti daripada kedihupanku.”Aku tak pernah melihat api amarah seperti yang ditampakkan Lesta saat ini. Bahkan bisa dibilang inilah awal, pertama kalinya aku melihat emosi adik ipar ku. Ia yang biasanya ceria dan lembut. Kini mendadak bringas. Wajah penuh amarah dengan tangan yang mengepal, tapi dijauh itu aku yakin sebenarnya kakak beradik itu saling menyayangi. Aku merasa tidak enak sendiri menjadi bagian diantara mereka. “Lesta, jaga ucapanmu. Atau kamu akan ....”Lelaki itu menggantungkan kalimat, dengan tangan kanan yang diangkatnya meninggi, siap untuk mendaratkan sebuah tamparan yang keras.“Kenapa? Kakak gak terima? Itu fakta kan? Bahkan kak Haikal sudah mau main tangan hanya karena Lesta bicara seperti ini?” Wanita cantik itu tersenyum miris.
“Viv, aku mencintaimu. Aku terlalu mencintaimu. Aku bahkan tak reja jika ada yang mengusikmu seperti tadi, menyalahkanmu.” Haikal terus memelukku, seperti anak kecil yang sedang melakukan pembelaan kepada ibunya. Air mata lelaki yang biasanya pantang luruh, kini mendadak membanjiri tanganku yang terus dikecupnya. “Haikal, hentikan tangismu. Kamu laki-laki kan? Dan laki-laki pantang menangis.”“Aku tak tahu kenapa aku secengeng ini jika di depanmu, Viv. Aku tak tahu.”“Sudah, berhentilah menangis. Cepat datangi Lesta, minta maaf lah kepada ia. Kamu seorang kakak dan kamu harus menjadi panutan. Jika salah, kamu harus gentel untuk mengakuinya.”Lelaki itu terdiam, lalu menampakkan senyum tipis. “ Terima kasih, Viv. Aku memang tak salah menempatkan htiku kepada wanita spertimu.”Lelaki itu pamit ke kamar Lesta, sedangkan aku kembali masuk ke dalam kamarku. Di sana, aku menjatuhkan diri ke atas kasur, dengan pandangan yang terus menatap langit-langit kamar. Bayangan Rey terus mampir dal
“Viv, mau kemana kamu?” tanya Haikal yang mendapati diriku hendak keluar kamar dengan tergesa. “E... Itu ..., ada-,”“Turunlah, aku akan menyusul,” jawab Haikal yang sepeti sudah tahu apa yang akan aku ucap. Mataku berbinar, mendapati lelaki yang begitu kurindu akan hadir di depan pelupuk mataku. Meskipun aku tak tahu harus berbuat apa jika di depannya, tapi setidaknya melihat keadaannya yang sedang baik-baik saja membawa sebuah kebahagiaan tersendiri. “Dimana Haikal, Viv?” tanya Rey yang kini tengah duduk di kursi tamu, menatap tajam ke arahku. seorang pelayan maju menghampiriku. “Maaf, Bu. Ada pak Reynan mau bertemu ibu dan bapak.”“Panggilkan Haikal di kamar.”Aku terus berjalan menuruni anak tangga, mendekat ke arah Reynan yang sedang duduk di kursi meneguk kopi panas yang tersaji. “Rey, kopi tak bagus untuk lambungmu,” ucapku lirih menatap cangkir yang di pegangnya. Laki-laki itu tersenyum. “Apa? Maksudmu ini?” ia melihatkan isi cangkir putih di depannya, kopi hitam dengan
Kutatap lekat undangan pernikahan itu, dimana ada nama Rey dan seorang perempuan tertulis di sana, bahkan tampak juga foto Rey bersama seorang wanita di dalamnya. Bermanik mata biru dengan rambut panjang dan gaun mewah. Hatiku yang tadinya teriris, kini kembali menganga. Ditambah lagi taburan garam dan jeruk nipis yang membuat sayatan itu semakin menyakitkan. ‘’Viv, kamu harus bahagia. Bukankah kamu juga sudah menikah? Rey juga pantas untuk mengejar kebahagiaannya,” ucapku menatap cermin besar di depanku, kembali mencoba berkompromi kepada keadaan yang semakin menjauhiku dari yang namanya kebahagiaan. Ponselku bergetar, dan tertulis nama Haikal di dalamnya. Aku masih enggan untuk menjawab bend tersebut, lebih memilih membiarkannya begitu saja, menata hati yang semakin tak jelas rasanya. Aku seperti kembali dikurung rasa sepi, dimana secercah cahaya terasa enggan menghampiri. “Viv, Haikal kurang baik apa? Dia yang selama ini ada untukmu, ia juga begitu mencintaimu, apa kamu akan ter
“Reynan,” ucapku lirih memandang wajah laki-laki berada di hadapku. Kedua mata kami saling berpadu, dengan bibir yang saling terkunci. Menyelam kepada pikiran masing-masing. Syarat otakku mengirimkan sinyal kepada seluruh tubuh, hingga badan terasa kaku, tanpa tercipta gerak sama sekali, hanya alunan jantung yang kini berirama tak menentu. Hembusan nafas yang segar, bersamaan aroma wangi yangi yang begitu kurindukan, kembali memutarkan memori indah dimana aku terus menghabiskan waktu bersamanya. “Maaf, Nona Haikal. Apa anda baik saja?” tanya Rey yang kini melepas pelukannya, setelah memastikan aku berdiri sempurna. Untuk sesaat aku begitu menikmati pelukan itu, hingga kembali ke dalam alam nyata, dimana ada jarak antara aku dan lelaki di depanku. Aku mengangguk. “Lain kali hati-hati,” ucapnya yang tampak dingin. “Rey, kamu baik?” tanyaku sambil menatap tubuh yang seperti membeku. “Seperti yang kamu lihat, aku baik.”Aku memindai ke seluruh tubuhnya, tak ada yang berubah, Rey te