Aku meneguk air mineral dari rey, menyisakan separuh botol dan mengembalikan kepadanya.“Kenapa gak dihabiskan?” “Untukmu.”Lelaki itu tersenyum tipis. “Kenapa? kamu benar-benar takut aku menaruh racun untukmu? Dan kamu memintaku meminumnya untuk memastikan?”Dengan cepat rey membuka botol kemasan, dan meneguknya sampai habis. Untuk sesaat aku memang memikirkan hal yang sama, kami meminum racun berdua seperti kisah Romeo dan Juliet, tapi mungkinkah rey melakukan itu kepadaku? Sedangkan aku tahu saat ini dihatinya sudah ada Wanita lain.Kami duduk bersama di bibir pantai dengan kaki yang diluruskan, untuk sesaat ombak datang menyapa, membasahi kaki kami, dan membawa pasir pantai menyentuh kulit, hingga air itu Kembali berlalu ke laut, dan beberapa saat kemudian melakukan hal yang sama. Angin sepoi menyapa, dimana tiap rengkuhan rasa dingin itu, membawa beberapa helai rambutku terbang hingga kuncir kuda yang dibuat reynan tampak menari, mengekspose leher jenjangku.Aku menatap air laut
Rey melepas ciumannya, lalu membersihkan bibirku yang basah. Entah kenapa aku hanya diam diperlakukan seperti ini, aku hanya diam sekan terus menikmati tanpa perlawanan sedikitpun. Meskipun logikaku berusaha menolak, namun hatiku terus menjawab jika aku juga menginginkannya.“Gantilah bajumu di mobil, bajumu basah semua. Tadi kamu beli baju bukan?”Tanpa jawaban, aku hanya berlalu meninggalkannya, melakukan perintah itu begitu saja. Di dalam mobil aku mengambil baju yang tadinya kubeli di mall, dengan perlahan melepas pakaian yang kukenakan, dan menggantinya dengan yang baru, sedangkan mata ini terus focus kepada lelaki yang dari tak beranjak dari duduknya. Masih bertahan dengan angin sepoi yang menyapa di bibir pantai.“Rey, kamu juga ganti baju,” ucapku sambil memberikan kaos berkerah yang sejujurnya akan kuberikan kepada haikal. Lelaki itu berdiri dan tersenyum. “Terima kasih.”Aku menutup mata Ketika rey tiba-tiba melepas kaos yang dikenakannya begitu saja, hingga sebuah senyuman
Dering ponsel terdengar, sedangkan aku tahu benda milikku telah kehabisan daya, hingga lelaki di sebelahku tampak meraih tas miliknya di jok belakang, mengambil benda yang menampakkan foto agasthi di dalamnya.“Kenapa gak diangkat, Rey?” tanyaku ktika lelaki itu membiarkan panggilan itu begitu saja.“Aku tak ingin merusak momenku denganmu, Viv.”Lelaki itu Kembali menekan pedal ges, hingga kendaraan roda empat ini mulai Kembali berjalan dengan perlahan.“Rey, diangkat saja!” perintaku, Ketika kudengar Kembali dering yang tadinya berhenti kini Kembali terdengar Kembali.Lelaki itu mengambil ponselnya, lalu menekan tombol off begitu saja, tanpa memastikan siapa yang memanggilnya.Kendaraan roda empat ini terus melaju, menyusuri jalan yang mulai gelap, dengan bulan dan bintang yang menjadi penerang kami, hingga beberapa kilo meter selanjutnya barulah tampak lampu jalan dengan nyala yang tak begitu terang. Lokasi pantai yang sedikit menjauh dari keramaian itu, seperti menjadikan tempat in
Lelaki berpakaian jas kerjanya itu tengah terpaku menatapku, bersamaan tangan yang menggenggam penuh amarah. Aku menunduk, tak berani membalas tatapan mata elangnya. Diposisi ini aku memang salah, meskipun aku tak menyesal telah menghabiskan waktu bersama reynan.“Dari mana saja, Viv? Sampai selarut malam ini?’ tanya Haikal yang tampaknya menahan amarah.“Ma-maaf.”“Aku tidak meminta ucapan maafmu, aku hanya ingin tahu kamu dari mana?”“Aku dari mall.”“Apa pesananku sudah kamu belikan?”Haikal terus mencecarku dengan pertanyaan, meskipun mungkin ia sudah tahu apa yang terjadi. Aku menghabiskan waktuku bersama Reynan. Aku menengok kedua tanganku yang kosong, aku bahkan baru menyadari semua barang belanjaan ku tertinggal di mobil Reynan. “Ma-maaf. A-aku ....”“Sudahlah. Ayo kita masuk! Kamu bisa sakit jika terlalu lama kena angin malam.” Lelaki itu mendekat ke arahku, dan memeluk tubuhku, menuntunku untuk masuk ke rumah dengan tangan yang masih melingkar di bahuku. “Aku khawatir sek
“Sudahlah, tak perlu dijawab. Aku sudah tahu jawabannya,” ucap Haikal sambil tersenyum. Sungguh miris aku menatapnya. “Haikal, apa kamu menyesal menikah denganku?” tanyaku ketika kunyahan di mulutku telah habis tertelan. “A’ lagi,” ucapnya sambil mendekatkan tangan yang berisi makanan itu ke bibirku. Lelaki itu menggeleng. “Aku tak pernah menyesal menikahimu, Viv. Bahkan penyesalan terdalam ku adalah melepasmu pergi saat itu.”“Aku tidak bisa jadi istri yang baik untukmu.”“Bukan tidak bisa, tapi belum. Semua tergantung waktu.”Aku tersenyum. “Apa kamu menyesal menikahiku?” tanya Haikal. Aku terdiam, bingung antara menjawab jujur atau harus berdusta untuk tak kembali menyakiti hati lelaki di depanku. “Tak usah dijawab. Ayo makan lagi,” ucapnya, kembali menyuapiku makanan. “Malam ini aku ada urusan sebentar, kamu gak papakan jika aku tinggal sendiri?”Aku mengangguk. “Baguslah, kamu memang istri yang sempurna dimataku, Viv.”Entah itu kalimat sindiran, atau memang itu penilaia
Aku tak menjawab, lebih memilih mematikan panggilan itu. “Kak, kenapa kakak gak bicara?” “Sepertinya salah sambung , Les,” dustaku. **Aku duduk di kursi goyang, menatap bintang yang bertaburan di langit. Tempat dimana Haikal biasa menghabiskan waktunya. Lelaki yang dulunya galak, main tangan, kini benar-benar berubah menjadi lembut dan penyayang. Lelaki yang dulunya membuat ku ketakutan tatkala mendengar namanya, kini membawa ketenangan tatkala bersamanya. Sungguh, aku tak kuasa dengan hatiku. Pikiranku terus mencoba untuk menerima Haikal sepenuh hati dan membuang jauh pikiran tentang Rey. Tapi hati terus bergejolak. Kubuka ponsel milik Haikal, meskipun sebenarnya ini salah. Aku membuka privasi orang lain tanpa ijinnya. “Vivian” wajah cantik dengan bertuliskan namaku itu menjadi walpaper ponselnya. Hingga mampu menerbitkan senyum kecil dari bibirku. Kubuka galeri foto di benda itu, tak banyak, hanya foto lama Haikal dan keluarganya, juga beberapa foto pernikahan kami, baik ya
“Vivi, kamu dikamar?”Pertaanyaan bersamaan suara yang masuk membuatku mengurungkan niat, meletakkan benda yang kupegang meskipun aku tahu ada banyak rahasia di dalamnya. Aku tak ingin gegebah dengan langsung menanyakannya kepada haikal, ia pasti tak akan mengaku. Aku akan mencari tahu sendiri dengan caraku.“Vivian.”“Iya. Aku di sini.”Lelaki itu menyusulku di atas balkon, dan tersenyum tipis ke arahku. “Kamu disini, Viv. Segera masuk gih! Angin malam tak bagus untukmu.”Aku tersenyum, lalu bangkit dari dudukku, melewati ia yang tengah berdiri di ambang pintu, penghubung antara balkon dan kamar. Kulihat barang belanjaan yang menggunung di atas ranjang.“Barang belanjaanmu ketinggalan bukan, Viv?” tanya haikal yang kini mengedarkan pandangan ke arah yang sama denganku.“Iya, terima kasih.”“Kamu tidak terkejut?”“Tidak.”Aku duduk di bibir ranjang, membuka banyak tas belanjaan yang datang, saat itu aku sperti Wanita konsumtif yang khilaf, membelikan semua barang yang semestinya tak
Aku bergegas mempercepat langkahku ke depan benda persegi panjang itu. “Ini bukan apa-apa, hanya bandrol harga baju yang kubeli,” dustaku. Aku mengambil benda itu, meremasnya dan membuang ke sampah.Sedangkan haikal sudah tampak memposisikan dirinya di Kasur, tidur terlentang dengan memeluk guling bermotif bunga itu. Aku tersenyum tipis, lalu mengekori ia yang tengah mengistirahatkan tubuhnya. “Haikal, tadi -.”Belum sempat aku melanjutkan kalimat, terdengar dengkuran halus dari lelaki itu. aku menoleh ke samping, mendapati kedua matanya yang telah terpejam. Mungkin hari ini begitu melelahkan untuknya, hingga ia bisa istirahat secepat ini.“Maafkan aku ya, Haikal. Untuk hari ke depannya, aku akan terus berusaha menjadi istri yang baik.”Aku membelakangi tubuh lelaki yang tengah tertidur itu, hingga bayangan reynan Kembali menyapaku. Lelaki itu tersenyum tatkala melepas ciuman dari bibirku, senyum yang indah, senyum yang begitu kurindukan.“selamat malam, Rey,” ucapku sambil mencoba