"Apa kalian tidak punya pekerjaan lain selain mengobrol saat jam kerja?" tanya Nathan dengan kedua alis yang menukik tajam. Satu tangannya di masukkan ke dalam saku celana dengan atensinya yang menatap pada sosok Leona, Dea dan juga Joshua secara bergantian.
Tak mau ambil pusing, Joshua yang berada di sana pun lantas pergi usai berpamitan pada Leona."Saya duluan. Le, jangan lupa nanti siang, ya?" Pria itu tersenyum sambil mengedipkan sebelah matanya. Membuat Nathan yang melihat hal itu mendecih tak suka."Ma-maaf, pak. Tadi kami—.""Tidak ada yang menyuruhmu bicara," sergah Nathan mendengar kalimat yang hendak diucapkan Dea. "Dan kau—," menunjuk ke arah Leona, "ikut ke ruangan saya sekarang!" Titahnya.Pria itu langsung berbalik meninggalkan dua karyawannya yang masih berdiri mematung di tempat."Menyebalkan, huh!""Sabar!" Dea menghela napas sembari mengelus punggung sahabatnya lembut. "Kau berhutang cerita denganku.""Hm.""Pergilah! Atau masalahmu akan semakin berat. Kau tau 'kan semua hal yang menyangkut dengan Pak Nathan endingnya seperti apa?""Selalu buruk.""Takdir kadang memang sebercanda itu." Pungkas Dea sembari duduk di kursi dan memulai pekerjaannya.Dengan raut wajah yang bersungut kesal. Wanita cantik bernama Leona itu langsung bergegas menuju ruangan Nathan."Le?" teriak Dea saat sahabatnya sampai di ambang pintu. Membuat wanita itu menghentikan langkah. "Kau belum jawab ajakannya Pak Joshua."HuftLeona mendengus sambil memutar jengah kedua netranya. Bisa-bisanya membahas hal tidak penting seperti ini di tengah masalahnya yang kian mendera. Leona memilih abai dan berlalu pergi.Langkahnya terasa berat untuk menemui Nathan. Apalagi saat mengingat tingkahnya yang super menyebalkan itu.Tok-tok!"Masuk!" Suara Nathan dari dalam ruangan. Membuat Leona dengan malas membuka pintu dan berjalan masuk ke sana."Duduk!" Titah pria itu."Bapak panggil saya?" ucap Leona sembari duduk di kursi yang berhadapan langsung dengan suaminya itu.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Nathan. Pria itu beranjak dari kursinya dan mengambil sebuah stop map berwarna merah muda dari dalam lemari, meletakkan tepat di depan Leona."Ini apa, Pak?""Kau bisa baca, kan?"Leona membulatkan mata tak suka. 'Memangnya kau pikir mataku rusak? Aku hanya bertanya apa itu salah, huh!' Batinnya kesal sambil membuka map berwarna itu, membacanya dengan seksama."Pak?" seru Leona sambil bangkit dari kursi.Pria itu mendongak sambil bertopang dagu. Dengan senyum tak berdosanya itu dia berkata. "Apa ada yang salah?""Ini gila. Bagaimana bapak bisa membuat keputusan seperti ini?""Leona. Kesalahan yang kau buat itu terlalu fatal.""Tapi hukuman yang bapak berikan sama sekali tidak adil bagi saya.""Di sini yang jadi bos siapa?" ucap Nathan dengan menaikkan satu alisnya."Bapak.""Apa kau sedang berusaha melawan?"Si cantik Leona refleks menggeleng. "Tapi, pak. Saya—.""Gara-gara kau salah mengirimkan email kepada klien, itu membuat perusahaan kita mengalami rugi. Semua data-data yang seharusnya menjadi rahasia perusahaan harus bocor karena ulahmu. Dan kau tau dampaknya?"Leona menggeleng lemah."Pak Dirga membatalkan kontrak kerja sama dengan perusahaan kita." Tegas Nathan, membuat Leona membulatkan mata tak percaya."Apa separah itu, pak?""Menurutmu?"Desahan kecil berhasil lolos dari bibir wanita cantik itu. Dia mengakui kesalahan yang dilakukan Leona cukup fatal setelah mendengarkan penjelasan Nathan. Tetapi jika hukumannya tidak digaji selama setahun rasanya sangat tidak adil. Apalagi selama ini uang gajinya selalu diberikan kepada ibunya di kampung halaman dan membantu membiayai adiknya yang masih sekolah di bangku SMA.Dia memang selalu mendapat jatah dari Nathan sebagai nafkah yang diberikan kepada istri. Tapi kalau begini, bukankah dia juga harus meminta izin pada pria itu jika hendak mengirimkan uang ke rumah?'Ya Tuhan, kenapa seberat ini cobaannya? Dosa apa aku di masa lalu?' Batin Leona sembari mengacak rambutnya frustasi.Wanita itu menunduk, butiran kristal bening sudah berhasil lolos membasahi pipi. "Tidakkah ada opsi lain selain itu, pak?" ucap Leona sambil terisak.Dengan penuh iba, dia berharap belas kasihan Nathan untuk mengubah keputusannya.Nathan terdiam menatap wajah karyawan cantik itu. Sebenarnya dia juga tidak tega menghukum istrinya sendiri, tapi kalau tidak, bisa-bisa dia makin melunjak dan melawan. Pikir Nathan."Jadi kau memilih opsi lain?"Leona refleks mengangguk. "Saya mohon, pak. Uang hasil kerja keras saya selama di sini selalu saya kirimkan kepada ibu di kampung. Hanya di sini saya menggantungkan hidup. Jika bapak tidak menggaji saya selama setahun, bagaimana nasib ibu dan adik saya di kampung?" ucap Leona menjelaskan."Kau pikir aku peduli?" Nathan mendecih sambil kedua tangannya terlipat di depan dada."Tolong, pak!" Rintihnya. Tanpa malu, wanita itu akan terus memohon agar Nathan memberinya hukuman lain."Hm," gumam Nathan. Pria berbalut jas berwarna abu-abu itu berjalan mendekat ke arah jendela. Pandangannya mengedar menatap pemandangan Ibukota dari ketinggian sambil berpikir hukuman apa yang cocok diberikan untuk karyawan cantik itu sekaligus istri sahnya."Saya akan melakukan apapun, pak. Asalkan saya masih bisa gajian setiap bulan," ucap Leona, sukses membuat pria itu menyunggingkan senyum.Nathan lalu berbalik. Kini berjalan mendekat ke arah wanita itu dan menatapnya lekat. "Apa kau yakin dengan ucapanmu, Leona?" tanya Nathan memastikan.Leona refleks mengangguk. "Saya yakin, pak.""Kalau begitu, hukuman yang pantas untukmu adalah ...," ucapan pria itu menggantung. Membuat degup jantung Leona bertabuh kencang dari sebelumnya. Pandangannya tak pernah lepas dari menatap sosok Nathan yang begitu menyeramkan saat ini. Leona takut sungguh." ... kau harus tunduk dan patuh terhadap apapun yang kuperintahkan padamu, terutama saat menjadi istri. Kau harus menjadi istri yang berbakti dan selalu taat pada suamimu. Apalagi kau tengah hamil, aku tidak mau anak kita menjadi pembangkang hanya karena saat hamil kau selalu melawan suamimu." Tandas Nathan.Saat itu mata Leona langsung terbuka lebar saking syoknya."Apa bapak sudah gila?""Ck!""Saya bahkan menikahi bapak karena terpaksa. Dan sekarang bapak minta saya untuk selalu tunduk dan patuh dengan perintah?" Leona menggeleng keras. "Saya tidak mau.""Baiklah. Saya rasa opsi pertama lebih cocok untukmu."Ya Tuhan, Leona tidak mau jika kerja kerasnya tidak digaji selama setahun. Tetapi dia juga tidak ingin menjadi budak Nathan dengan selalu menuruti setiap keinginan gilanya itu. Keluh Leona."Pilihan ada ditanganmu, Leona.""Pak ...," lirihnya dengan netra yang berkaca-kaca. "Saya tidak memilih keduanya."BrakkSuara gebrakan itu membuat Leona berjengit saking kagetnya. "Kau pikir perusahaan ini milik nenek moyangmu sehingga kau bisa bekerja sesuka hati? Masih untung saya memberimu pilihan. Kalau kau masih tidak mau, pilihan pertama akan menjadi keputusan saya." Tandas Nathan."Tapi, pak ...."Tepat jam 09.00 malam, Nathan dan Leona pergi meninggalkan kediaman rumah baru Bu Leni. Setelah berunding cukup lama, Nathan memutuskan untuk tetap membawa istrinya kembali ke Ibukota.Meski rasa lelah kian mendera tubuh Leona, pria pemilik perusahaan Diana Beauty itu tetap mengupayakan kenyamanan sang istri. Duduk di kursi samping kemudi, Nathan sengaja menurunkan jok hingga posisinya setengah duduk.Beruntung, bantal kecil selalu menemani ke mana pun perginya mobil itu. Nathan sengaja menaruh bantal di kursi belakang untuk jaga-jaga kalau istrinya kelelahan duduk."Begini nyaman?" tanya Nathan setelah menarik ujung selimut yang ia bawa dari rumah Bu Leni.Leona mengangguk kecil sambil tersenyum."Kamu istirahat ya, sayang? Kalau ngantuk tidur. Mas akan bawa mobilnya pelan-pelan," ujar pria itu sembari mengenakan sabuk pengaman."Tapi kalau pelan malah nggak sampai-sampai, mas."Nathan menghela napas panjang. "Terus kamu maunya gimana, sayang? Mas mau kamu nyaman selama perjalanan p
Nathan panik hingga terus memaksa istrinya untuk pergi le rumah sakit. Apalagi ini kehamilan pertama untuk keluarga Leonath. Tentu tidak akan Nathan biarkan hal buruk menimpa istri dan janin dalam kandungan."Aku nggak papa, mas. Perutku cuma kram," lembut Leona berusaha menenangkan sang suami. "Yakin nggak papa?" Nathan memastikan.Wanita cantik itu mengangguk sebelum akhirnya mengembangkan senyuman. "Aku udah sempet konsultasi sama dokter kandungan, bahkan aku juga punya nomor teleponnya. Hal ini wajar terjadi karena biasanya karena kecapekkan, mas?" Leona menjelaskan dengan netra yang menatap lekat kedua bola mata suaminya."Betul, le. Leona memang sepertinya kecapekkan, belum sempat istirahat usai acara empat bulanan, eh langsung gas pulang kampung," imbuh Bu Leni yang sudah berpengalaman itu. "Saran ibu, apa tidak sebaiknya Leona istirahat dulu. Kalau kamu nggak keberatan, Leona bisa tinggal di sini sama ibu dan Alya," usul Bu Leni."Asal Mas Nathan ngizinin, aku iya aja sih, Bu
Nathan baru sempat menyusul masuk setelah obrolannya lewat telepon dengan Joshua selesai. Pria pemilik Diana Beauty itu tidak habis pikir dengan pemikiran Joshua yang terus saja berkeinginan untuk menghancurkan rumah tangganya dengan sang istri."Halo.""[Nathan. Gue pikir lo udah nggak mau angkat telepon gue lagi.]""Mau apa lagi?""[Gue cuma mau istri lo, Nath.]""Ck." Nathan mendecih. "Itu nggak akan pernah terjadi, Jo. Leona itu istriku. Kami sudah sah secara agama dan hukum.""[Tapi kalian masih bisa bercerai. Dan aku akan menikahi Leona.]""Jangan mimpi, Jo. Leona sedang mengandung anakku.""[Kamu tenang saja! Aku akan merawat anak itu seperti anak kandungku sendiri.]""Kurang ajar! Kenapa—.""[Kalau gue enggak bisa bahagia dengan Leona. Gue juga enggak akan biarkan Leona bahagia dengan siapapun termasuk lo, Nath.]" Tandas Joshua yang langsung memutuskan panggilan secara sepihak.'Keterlaluan.' Geram Nathan. Dia tidak terima dengan pernyataan Joshua. Tidak cukupkah dia yang ingi
"Siap?" "Lets, go!" Sorak Leona yang antusias akan pergi ke kampung halamannya. Wanita hamil empat bulan itu terlihat cantik meskipun hanya mengenakan dress selutut warna putih yang dibalut dengan blazer berwarna navy. Senada dengan sang suami - Nathan juga mengenakan kemeja panjang berwarna Navy berpadu dengan celana jeans hitam panjang.Tepat jam sepuluh pagi, setelah semuanya siap dengan barang-barang yang akan di bawa, mobil Nathan melaju dengan kecepatan rendah membelah jalanan Ibukota yang cukup ramai."Ibu belum ngabarin Alya kan kalau kita sedang perjalanan pulang?" tanya Leona kepada Bu Leni yang duduk di kursi belakang."Ini ibu baru mau ngabarin," jawabnya sembari mengeluarkan ponsel dari dalam tas berlogo dior itu. Ya, wanita berhijab coklat tua itu selain mendapat hadiah rumah dari sang mantu, dia juga mendapat tas branded dari Leona. Katanya Leona sudah bosan pakai tas tersebut, itu sebabnya dia memberikan tas tersebut untuk Bu Leni."Jangan dulu, bu!" Sergah Leona cepa
Jam 7 pagi"Ibu mau ngapain?" tanya Ijah yang tengah sibuk dengan aktivitasnya mencuci piring sisa semalam di wastafel."Saya mau bikin sarapan, Bi?" Bu Leni membuka kulkas, mengambil beberapa bahan masakan seperti sayuran dan daging. Alhamdulillah, semua makanan untuk acara empat bulanan Leona ludes tak bersisa.Semua orang terlihat menikmati semua makanan olahan yang disajikan dalam prasmanan malam itu. Sisanya dibagikan ke warga supaya tidak mubadzir."Ibu duduk saja! Nanti biar saya yang masak.""Nggak papa, Bi. Santai aja, nggak usak sungkan begitu.""Hehe ....""Ini Leona sama mantuku belum bangunkah?" lirihnya ketika mengupas kentang di meja. Wanita itu merasa menyesal karena mengingat kejadian semalam yang lagi-lagi tak sengaja memergoki menantu dan anaknya yang hendak beribadah.Pluk!Bu Leni menepuk jidat."Kenapa, Bu? Sakit kepala?""Nggak papa, Bi.""Ehem-ehem!" Suara seseorang berdehem yang tak asing itu membuat Bu Leni dan Ijah kompak menoleh menuju sumber suara. Mendapa
Nathan menghela napas lega. "Syukurlah semuanya berjalan dengan lancar," ucapnya saat duduk mengamati setiap rangkaian acara yang sedang berlangsung.Pria berpakaian koko putih yang dipadukan dengan kain sarung berwarna hitam itu tampak tersenyum senang melihat acara 4 bulanan istrinya berjalan dengan khidmat. Pembacaan ayat suci Al-quran pun ikut mengiringi hari bahagia mereka di rumah keluarga Nathan."Alhamdulillah," ucap syukur Bu Leni."Leone lega banget, bu. Akhirnya acara ini berjalan dengan lancar tanpa ada halangan apapun," senyum bumil itu merekah dari kedua sudut bibirnya yang dihiasi lipstik berwarna nude."Iya, nduk. Jujur tadi pagi ibu sempet panik gara-gara masalah ayam. Untung suamimu cerdas bisa menyelesaikan masalah dengan cepat.""Ya kalau nggak cerdas mana mungkin anakmu mau, bu." Leona terkekeh mengingat usaha keras sang suami yang patut diacungi jempol.Tak bisa dibayangkan bagaimana sulitnya mengendalikan persoalan ayam yang belum disembelih, belum lagi urusan m