Suara tamparan dan teriakan wanita itu menimbulkan kegaduhan di sekitar lobi lantai 1, seorang pria bergegas menghampiri wanita itu dan bertanya, “Nay, apa yang terjadi?”
“Orang ini, dia ingin bersikap kurang ajar padaku!” seru wanita itu sambil menunjuk ke arah Reagan.
“Nona, sejak tadi aku hanya diam dan bertanya ruangan rektor padamu. Kamu bukannya memberitahuku tapi malah menuduhku yang tidak-tidak.” Reagan menaikkan kedua alisnya.
Seorang wanita pun maju selangkah dan bertanya pada Reagan, “Tuan, kamu mahasiswa baru? Kebetulan Nayla juga mahasiswa baru di sini, jadi dia masih belum tahu ruang rektor.”
Wanita itu berkata sambil tersenyum, dia hanya memakai riasan tipis. Dia cantik secara alami, senyumnya membuat orang merasa betah.
“Aku akan mengantarmu ke sana,” tambah wanita itu lagi.
Namun, detik berikutnya, Reagan berkata, “Tidak usah, aku akan menghubunginya untuk datang menjemputku.”
“Apa menjemputmu?” Wanita itu terkejut ketika mendengar Reagan menyuruh rektor kampus ternama untuk datang menjemput mahasiswa baru.
“Sepertinya dia akan bersedia menjemputku, bukankah aku ini ….” Reagan tidak melanjutkan ucapannya, karena apapun yang dia katakan saat ini, orang-orang di dekatnya tidak akan pernah percaya.
“Kalian lihat kan, orang ini memang sinting! Dia datang untuk membuat masalah, hanya orang gila yang menyuruh rektor untuk datang menjemputnya.”
“Sayang, tolong bantu aku panggil satpam dan usir dia keluar!” ujar wanita bernama Nayla itu dengan marah. Dia masih belum lupa akan sikap pria itu padanya tadi.
“Ekhm ... jadi begini, kami tidak tahu kamu pindahan dari kampus mana. Seorang mahasiswa baru yang sudah mendaftar sebelumnya, tidak perlu menemui rektor kampus, jadi kamu bisa langsung mengikuti mata kuliah di hari tersebut.”
Gadis cantik yang terlihat ramah tadi pun menjelaskan.
“Oh begitu, tapi beliau sendiri yang menyuruhku untuk menemuinya dulu. Kalau begitu aku akan menghubunginya saja.” Reagan lantas mengambil ponsel keluaran lama dari saku celananya.
Nayla memandang Reagan dari atas hingga bawah, pria ini memang cukup tampan, kulitnya putih, lengan ototnya berisi, namun sayang sekali, pakaian yang dikenakannya sangat kotor, ditambah dengan badannya yang bau keringat.
Nayla kembali memandang Reagan dengan pandangan menjijikkan.
“Hallo?” Pria di ujung sana menerima panggilan Reagan.
“Hallo, Rektor Alex. Saya sudah berada di lobi universitas, tapi saya tidak tahu di mana ruang rektorat, apakah Anda bisa datang menjemput saya?” Reagan berbicara sambil menatap orang-orang yang memandang curiga kepadanya.
“Oh, Prince Reagan Maverick, aku akan datang menemuimu.” Sang rektor berkata dengan penuh semangat, mahasiswa-mahasiswi berbakat adalah orang-orang yang patut dihormati, karena mereka bisa saja mengharumkan nama universitas kedepannya.
“Baik, aku akan menunggumu di sini,” ucap Reagan kembali.
Setelah menutup ponselnya, dia kemudian berkata pada orang-orang yang sedang mengerumuninya.
“Teman-teman, kalian pergilah, sepertinya urusan kita sudah berakhir sampai di sini. Rektor Alex akan datang menemuiku, jadi aku akan menunggunya di sini.” Reagan menyandarkan tubuhnya di tembok.
Beberapa gadis kampus mulai berbisik, pasalnya, tubuh Reagan yang tinggi besar dengan otot lengan yang meliuk-liuk terlihat sangat gagah ketika dia berdiri dengan satu kaki diangkat ke tembok. Bahkan tidak ada yang percaya dia adalah pria cabul.
Oh, jika benar dia adalah pria tak bermoral, maka para gadis-gadis ini merasa ingin dirayu oleh Reagan yang perkasa ini.
“Omong kosong! Rektor Alex mana ada waktu untuk meladeni orang gila dan kampungan ini, kalau kamu pergi sekarang, mungkin sedikit menghilangkan rasa malumu. Kalau tidak, maka seluruh wajahmu akan malu seumur hidup!”
“Hem, aku lupa, bajingan sepertimu mana punya malu!” Nayla terus berbicara dengan memprovokasi.
“Nayla, kamu jangan terlalu kejam. Lagian pria ini juga tidak ada menyentuhmu, hanya memandangmu saja, bukankah itu masih dibilang wajar?” Gadis cantik yang tadi membela Reagan pun kembali berkata.
“Iya benar, Nayla.”
“Benar.”
Yang lain pun ikut berbicara.
Reagan merasa senang, karena akhirnya ada juga yang membelanya. Sepertinya dia harus mencari waktu untuk berterima kasih pada gadis cantik ini.
“Kamu orang sinting, tunggu saja aku akan melihat bagaimana kamu menarik omong kosongmu itu!” Nayla menatap Reagan dengan tatapan membunuh, bahkan jika itu sebuah pisau, maka Reagan sudah ditusuk beratus kali olehnya.
“Nay, sudahlah, mata kuliah pertama akan segera dimulai, ayo kita pergi saja!” Gadis cantik itu menarik temannya untuk pergi.
“Delia, kamu tidak mungkin percaya bahwa rektor akan menjemput pria ini, kan?” Nayla menggoyang tubuh gadis cantik bernama Delia itu.
“Nay, percaya tidak percaya itu juga bukan urusan kita. Urusan kita di sini untuk belajar, jadi kita tinggalkan pria ini.”
“Baiklah, aku akan tunggu di sini sampai rektor Alex benar-benar datang. Jika dia benar datang, maka aku akan bersujud sebanyak 10 kali pada pria ini.”
Nayla adalah gadis yang terkenal kaya dan perfeksionis di kampusnya, jangankan untuk bersujud, bahkan untuk sekedar meminta maaf saja dia tidak akan pernah sudi melakukannya.
Sungguh, Nayla seperti sudah membenci Reagan hingga ke ubun-ubun.
“Nona, ini terlalu berlebihan, bukan? Kamu tidak perlu bersujud.” Reagan menaikkan sudut bibirnya, “Eemm ... bagaimana kalau kamu cium aku sekali saja?”
Gadis bernama Nayla itu di mata Reagan tidak terlalu cantik jika dibandingkan dengan Delia dan Claire wanita yang ditemuinya di stasiun. Namun, sejak tadi Reagan selalu memperhatikan bibir Nayla yang pink merekah dan seksi tanpa polesan lipstick yang berlebihan. Jadi, dia juga ingin merasakan bibir itu menyesap lembut pada bibirnya.
“Baik, aku akan bertaruh denganmu!” Tanpa berpikir panjang, Nayla langsung setuju. Namun, detik berikutnya sang kekasih yang sejak tadi berdiri disampingnya langsung marah.
“Nayla, apa kamu sudah gila? Kamu bahkan berani ingin mencium pria lain di depanku?”
“Omong kosong! Kamu juga percaya bahwa rektor Alex akan menemuinya? Kamu pikir siapa dia? Apa kamu percaya aku akan kalah?” Nayla berbicara dengan nada keras.
“Tapi bagaimana jika rektor memang datang?” Pria itu bicara kembali.
“Maka, jangankan untuk menciumnya, bahkan aku akan menidurinya 7 hari 7 malam!” Ucapan Nayla semakin menggila.
Kekasihnya semakin marah, dia membuang tangan Nayla ke udara dan pergi meninggalkan gadis yang menurutnya sudah tidak waras itu. Tapi Nayla tidak peduli, dia hanya ingin menyelamatkan harga dirinya di depan Reagan.
“Jika rektor tidak datang menemuimu, mulai hari ini, kamu harus menjadi kacungku! Bagaimana?”
Reagan mengangguk setuju, maka kesepakatan ini pun disetujui oleh kedua belah pihak dan disaksikan oleh beberapa mahasiswa, termasuk Delia.
Namun, ada perasaan tidak rela dalam diri Delia jika Reagan harus tidur dengan Nayla.
Detik berikutnya, eskalator mulai berjalan turun. Beberapa orang mulai membuka mulut dan matanya lebar-lebar karena rektor Alex turun menggunakan eskalator.
“Ini tidak mungkin rektor turun untuk menemui pria ini, kan?”
Langkah besar Reagan cepat menyusuri lobi gedung apartemen yang dia tinggali dengan Claire. Di belakangnya, Erik mengikutinya dengan raut wajah yang tidak kalah khawatir. Menaiki lift terasa lebih lama disaat hal tak terduga mengisi kepala Reagan bersama rasa khawatir yang tidak berujung.“Kenapa lift ini bergerak lambat sekali, brengsek!” maki Reagan. Dia hampir saja meninju dinding lift yang tebal jika tidak ditahan oleh Erik.“Tenangkan dirimu, Reagan. Claire tidak butuh kamu yang penuh emosi,” kata Erik. Reagan tidak menjawab, hanya menatap layar lift yang bergerak menunjukkan perubahan angka setiap beberapa detik.Saat sampai di lantai hunian pribadinya, Reagan lantas masuk ke dalam penthouse, berkeliling setiap sudut mencari ke
“D-dia bukannya … Black Code?” Sekali lagi Erik bertanya di tengah kebingungannya. Pria bertopeng yang baru muncul terkekeh. “Sepertinya kamu tidak memberinya informasi yang cukup tentang kita,” katanya. Reagan tersenyum miring, kedua tangannya dimasukkan ke dalam saku celana sambil memandangi Erik. “Aku sengaja tidak memberitahu dia. Hitung-hitung sebagai kejutan mental.” “Kalian mengejekku, ya?” Erik menyahut, dia merasa menjadi orang paling bodoh saat ini. “Bagaimana mungkin hanya aku yang tidak mengetahui ini?” “Kamu tahu kode etik pekerjaan?” balas Reagan. “Terkadang, ada beberapa hal krusial di dalam pekerjaan yang tidak bisa disiarkan secara terbuka bahkan pada internal. Hal yang aku dan Black Code lakukan adalah salah satunya.” Meski dia marah, Erik tidak bisa menyimpan kemarahannya terlalu lama. Dia cukup sadar diri, dalam dunia peretas, dia pun masih pemula. “Baiklah, aku mencoba untuk mengerti. Sekarang, apa yang bisa aku lakukan?” Reagan menganggukkan kepalanya pe
Di dalam sebuah ruangan serba gelap, sepasang mata mengedar pandang. Terasa asing dan menyesakkan meski baru sepuluh menit duduk di sana. Suara derit pintu terbuka mengalihkan perhatian sosok pria yang mengenakan hoodie dan topeng hitam itu. Matanya menyorot kehadiran seorang paruh baya dengan segenap wibawa yang mengelilingi dirinya. “Apa kau Black Code?” tanya pria itu. Pria bertopeng itu mengangguk tanpa bersuara, setelahnya, si paruh baya terkekeh pelan. “Ternyata aku mengandalkan dua orang peretas kelas kakap dengan spesialisasi yang sama. Apa aku salah jika menganggap kalian bersaing?” “Aku tidak punya banyak waktu untuk bicara, katakan saja apa maumu?” tandas Black Code. “Apakah semua peretas memang bersikap seolah-olah mereka sepenting itu?” Theodore, si paruh baya itu, terkekeh mengejek. “Baiklah, kenalkan, aku Theodore. Kamu bisa memanggilku Tuan Theo seperti yang dilakukan mantan peretasku sebelumnya.” Ucapan Theodore sedikit mengusik ego Black Code. Pria di balik top
Mata Erik merah menyala, bahkan Reagan bisa melihat kobaran api di sana saat mendekatinya dan sang satpam yang terlalu naif ini. “T-Tuan Erik?” Napas menderu cepat, dan kedua tangan terkepal erat siap meninju wajah sang satpam. “Apa yang kamu lakukan?! Lepaskan tanganmu darinya!” perintah Erik tegas. Tangan sang satpam bergetar ketika dia lepas pegangannya di lingkar kaus Reagan. “M-Maaf, Tuan. Apa yang membuat Anda marah begini? Aku hanya melakukan prosedur keamanan yang sudah ditetapkan perusahaan,” kata satpam berusaha membela diri dan memberikan penjelasan.Tetapi Erik tidak menggubris. Dia memandangnya sinis sekilas kemudian beralih pada Reagan sambil membungkukkan tubuhnya sembilan puluh derajat. “Maafkan kelalaian staf kami, Tuan Maverick!” ucap Erik. Sedetik kemudian, wajah tercengang terlukis di sebelah pria itu. Bola mata satpam hampir mencuat keluar, jika tidak segera menutup mulutnya yang terbuka lebar. “T-Tuan Maverick?!” Erik menegakkan kembali tubuhnya, “Dasar bo
Entah bagaimana kini Reagan bisa terkungkung di dalam kurungan kedua tangan wanita itu. Kilatan penuh gairah di matanya menunjukkan ada hasrat besar tersembunyi, dan hanya bisa dilampiaskan oleh Reagan. “Aku tertarik denganmu, kamu menarik,” kata wanita itu, berbisik lirih. Saat deru napasnya menerpa wajah dan leher Reagan, sensasi aneh muncul hingga membuat pundak Reagan bergidik. “Tunggu, Nona,” sahut Reagan berusaha santai, kemudian berdehem pelan. “Aku tidak punya waktu untuk bicara saat ini. Bisakah kita bicara lain kali?”“Lain kali?” Wanita itu mendengus. “Susah payah aku mengurungmu sekarang, kamu minta lain kali?” Sungguh, Reagan tidak ingin memicu keributan, tetapi wanita ini cukup menyebalkan sekaligus menggoda. Bibirnya terus mengoceh, bibir ranum itu terlihat menggoda untuk dipagut. Matanya, mengerling indah, seperti sinar bintang di malam hari, gemilang. Postur tubuh wanita ini cukup tinggi. Di saat mereka berhadapan seperti ini, tingginya mencapai hidung Reagan. “
Reagan memasuki sebuah kafe hits tak jauh dari kampus. Setelah menyelesaikan beberapa kelas hari ini, ia memiliki janji temu dengan sosok yang selalu memandangnya sebelah mata. Sejak kemarin, suasana hati Reagan sangat baik. Dia berharap pertemuan kali ini juga akan semakin mencerahkan moodnya. Apalagi dia akan berhubungan dengan sang mertua. Dia menemukan Tuan Delanney duduk di salah satu kursi yang ada di sudut ruangan sambil menyesap kopi hitam panasnya. Kerutan di dahi menunjukkan kalau pria itu terlihat sedikit tak nyaman dengan tempat pilihan Reagan. “Terima kasih sudah menungguku, Paman,” ucap Reagan. Dia duduk di salah satu kursi di depan Tuan Delanney. Pria itu tidak menjawab, hanya mengangguk pelan tak minat. “Bagaimana harimu hari ini, Paman?” “Tidak perlu berbasa-basi. Aku menuruti permintaanmu datang ke sini saja sudah untung. Kau tahu pria dewasa sepertiku tidak menyukai tempat-tempat bergaya anak muda seperti ini. Aku merasa salah tempat.” Tuan Delanney, dengan ker