“Kalau begitu ambil buktinya!” Nayla berpikir jika Delia tidak mungkin akan mengkhianatinya.
“Bukti apa lagi yang kamu punya, hah?” Nayla kembali menantang.
“Aku dari awal sudah menebak bahwa kamu akan mengelak dan menjadikanku kambing hitam. Jadi ….” Reagan mengeluarkan benda usang yang luarnya sudah berkarat. Ternyata itu adalah alat perekam berbentuk bolpoin.
Sungguh, tampilannya saja sudah menjijikkan. Namun, tak ada yang tahu bahwa benda itu mampu merekam percakapan dalam radius 500 meter. Reagan biasanya menggunakan alat itu untuk merekam percakapan lawan dari klien-kliennya.
Reagan kemudian menyambungkan alat perekam itu pada ponselnya, dan apa yang terjadi? Suara Nayla jelas terdengar di sana, tidak hanya suara Nayla, bahkan suara Delia yang berusaha mencegah Nayla pun terdengar nyaring.
Setelah rekaman suara selesai berputar, Reagan lantas maju selangkah dan kini dia berdiri tepat di depan wanita itu.
“Nona manis, sudah waktunya kamu mengakuinya, kan?” Reagan berkata sambil tersenyum.
“Sungguh, sampai matipun aku tidak akan pernah mengakuinya! Mau aku menciummu? Kamu mimpi saja hingga esok pagi!” Nayla mendengus dan memberikan Reagan tatapan dingin.
“Nona manis, tidak tahukah kamu bahwa bukti ini bahkan bisa aku sebarkan di kampus dan booommm! Semua orang akan mendengarnya.”
“Bagaimana jika kamu dianggap telah menganiaya mahasiswa baru sepertiku? Dan jika hal ini sampai tercium keluar, maka reputasi kampus ternama ini akan buruk. Lalu, apakah mungkin kamu masih bisa bersekolah di sini lagi?”
Reagan melihat pihak lain tidak mau berkompromi, jadi dia mencoba melayangkan ancaman.
“Shiiittt! Beraninya kamu mengancamku, kamu pikir kamu siapa?” Nayla mengerutkan kening sembari membulatkan matanya marah.
“Nona, bukankah aku di sini hanya menagih janji dan meminta keadilan? Kenapa sekarang seolah aku adalah korban? Awalnya aku tidak pernah mempermasalahkan ucapanmu, tapi kamu yang terus memprovokasi bahkan kalimat terakhir kamu rela tidur denganku,” ucap Reagan dengan santai.
“Kamu ….” Nayla sangat marah, dia tidak pernah berpikir bahwa pria ini akan sangat sulit untuk diatasi. Dan sekarang dia menoleh ke arah Delia dengan pandangan memohon.
Nayla pada dasarnya adalah sahabat yang baik, namun kadang dia tidak bisa mengontrol ucapannya pada orang lain sehingga orang lain banyak yang merasa tersinggung.
Melihat sahabatnya yang seperti itu, mana mungkin Delia akan diam saja.
Delia berjalan menghampiri Reagan, sambil menyentuh lengan pria itu dan berkata, “Kawan, bagaimana kalau kita akhiri saja perseteruan ini? Nayla memang orangnya tidak bisa mengontrol ucapan, aku meminta maaf padamu, bagaimana?”
“Atau, mari kita makan malam bersama?” Delia kembali mengajukan permohonan.
“Oh, hai kawan. Apakah kamu benar-benar meminta maaf untuknya?” Reagan menyunggingkan senyum penuh makna.
Delia mengangguk.
“Baiklah, aku bersedia makan malam denganmu.”
“Tapi, hanya kita berdua.” Reagan melanjutkan kembali ucapannya.
“Apa?” Delia jelas merasa ragu untuk makan berdua dengan Reagan, bagaimanapun mereka baru kenal seharian ini, rasanya aneh jika harus makan malam berdua.
“Delia, kamu setujui saja syaratnya. Saat ini hanya kamu yang bisa membantuku.” Nayla berbisik di telinga Delia.
Delia hanya bisa menarik napasnya dalam, apa yang harus dia lakukan sekarang? Dia tidak mungkin membiarkan temannya mencium pria yang tidak dikenal. Lagian hanya makan malam, sepertinya bukan hal yang sulit kan?
Setelah memikirkannya sejenak, Delia akhirnya setuju.
“Bagaimana kalau kita langsung pergi saja?” ucap Reagan dengan senyuman yang sangat menjijikkan di mata Nayla.
Delia hanya bisa mengangguk dan mengikuti pria itu.
“Sampai jumpa besok, Nona Nayla!” Reagan menunjukkan deretan giginya yang putih dan berjalan keluar dari pintu kaca bersama dengan Delia.
Nayla menggertakkan giginya dan berkata, “Dasar bajingan! Jangan sampai aku melihatmu lagi besok!”
Delia mengemudikan mobilnya dengan stabil, sejak keluar dari kampus, tidak ada pembicaraan diantara mereka.
Meskipun begitu, Reagan cukup merasa senang karena malam ini bisa makan bersama dengan wanita khas Eropa yang manis dan cantik seperti Delia.
Delia diam-diam memperhatikan Reagan dari atas hingga bawah, ke mana dia harus membawa pria dengan pakaian kotor ini, tidak mungkin ke restoran mewah kan?
Tapi sepintas melihat, pria di sampingnya ini cukup tampan dan membuat pikiran Delia berkecamuk.
Setelah hampir 30 menit melaju, mobil milik Delia akhirnya tiba di The Halal Guys, jajanan kaki lima yang terkenal dengan ayam, gyros, dan falafel.
Delia turun dari mobil terlebih dahulu, dia membawa tas sekolahnya dan berjalan menghampiri stand makanan. Reagan dengan tenang mengikutinya dari belakang, betapa bangganya dia bisa berjalan dengan seorang wanita cantik.
Pesanan Delia saat dia datang sendiri dan bersama Reagan sekarang tidaklah sama, biasanya dia hanya memesan 1 mangkuk spageti, namun sekarang dia memesan satu panci mie kuah dengan banyak sayur dan dua teko susu hangat.
Delia melihat makan malam di depannya, matanya bersinar.
Setelah pelayan yang membawakan makanannya pergi, Delia langsung mengambil piring dan sendok lalu makan dengan lahap.
“Aku belum pernah makan malam dengan mie rebus, apakah ini enak?” tanya Reagan.
Reagan bisa melihat saat ini Delia makan dengan sangat lahap, bahkan aura kecantikan yang sejak tadi Reagan kagumi mendadak hilang seketika.
Melihat sepanci mie yang hampir dihabiskan oleh Delia, perut Reagan terasa mual. Dia pun berlari untuk mencari kamar kecil.
Dan di saat yang sama, ponsel Delia berdering. Nayla tidak sabar untuk menanyakan keadaan temannya itu.
Delia mengangkat panggilannya sambil mengangguk tanda setuju. Kemudian dia menyapu seluruh area food streat. Pandangannya langsung jatuh pada beberapa bumbu dapur yang sudah dihaluskan.
Dia pun mengikuti saran Nayla dan berbisik di dalam hati, “Reagan, maafkan aku kali ini.”
Delia menghampiri sang pemilik food streat, mendekatkan bibirnya pada telinga pria paruh baya di depannya. Sang pria pun mengangguk.
Delia membawa 1 nampan bumbu dapur ke mejanya, lalu menuangkan satu persatu pada susu milik Reagan.
Bisa dikatakan susu itu rasanya sudah menjadi kacau.
Delia membersihkan kekacauan yang dia lakukan sebelum Reagan datang. Tidak lupa dia menambahkan obat yang katanya dimasukkan Nayla dalam tasnya sebelum mereka pergi.
Delia tidak tahu obat apa itu, Nayla hanya mengatakan bahwa itu obat tidur, mungkin dia bisa menggunakannya untuk bermain- main sebentar pada Reagan.
Pada saat ini, nampak bayangan Reagan yang sudah mendekat, melihat pria yang sudah duduk di kursi, Delia langsung berpura-pura tenang.
Reagan mencium aroma yang menyengat dari susunya, dahinya sedikit mengernyit, lalu dengan cepat mengubah ekspresi wajahnya seperti semula, kemudian menenggak susunya dengan santai.
“Apa kamu tidak makan lagi?” tanya Reagan tanpa ekspresi sama sekali, seolah susu yang dia minum tadi adalah susu murni yang paling enak sedunia.
Delia sejak tadi terus menatap ekspresi wajah Reagan, namun dia tidak menemukan sesuatu yang aneh dari mimik wajah pria itu.
“Kenapa dia tidak bereaksi sama sekali? Ada apa ini?”
Rumput hijau bersinar diterpa cahaya matahari yang mulai naik. Sepasang langkah kecil melandas bergantian di jalan setapak yang dipagari hamparan rumput itu di kedua sisinya. Seorang anak kecil berusia lima tahun tergopoh menghampiri ayahnya di ujung taman belakang. Tubuhnya ditutupi celemek hijau lumut gambar karakter pahlawan Avengers kesukaannya. Suara nyaring bocah itu saat memanggil nama Reagan, mengundang perhatian banyak orang di sana. Bocah tampan itu bernama Kaivan Arsenio Maverick, tersenyum lebar dengan kedua tangan direntangkan sebelum memeluk ayahnya.“Daddy! Aku mau masak!” kelakarnya. Dia jatuh ke dalam pelukan Reagan dalam sekali tangkapan. Tergelak memamerkan giginya yang putih saat tertawa. Claire, berdiri di balik pemanggang barbeque merengut. “Apakah kau tidak merindukan mommy mu, Kai?” katanya cemburu pada suami sendiri. Kaivan mengerutkan dahinya, untuk menjawab pertanyaan itu terlihat sulit baginya. “Aku merindukan Mommy, sedikit.” Semua orang di pesta barb
Tujuh bulan kemudian.. Dekorasi ruang ballroom hotel yang dipijak Reagan dan Claire saat ini, tidak henti-hentinya membuat Claire berseru kagum. Di tengah langkah kakinya yang mulai sulit bergerak bebas karena perut buncitnya, mata Claire berbinar terang. Sebelah tangan dikaitkan ke bisep Reagan yang dibalut setelan jas warna biru tua, senada dengan midi dress yang Claire pakai. Kedatangan mereka membuat seluruh mata tertuju padanya. Tak terkecuali sepasang pengantin yang berdiri di pelaminan. “Pestanya mewah sekali, ya.” Claire berseru. Setiap gerak-geriknya menjadi bahan pantauan Reagan yang sesekali meringis ngilu. Meski tengah berbadan dua dan dalam hitungan hari Claire akan melahirkan, wanita cantik itu masih bisa bergerak aktif. “Delia dan suaminya memiliki selera yang bagus, bukan?” “Benar, mereka juga tampak serasi di sana.” Claire menunjuk pasangan pengantin itu dengan tatapan matanya. “Kalau begitu, ayo kita beri ucapan selamat pada mereka.” Saat ini Reagan membimbi
Sejujurnya Reagan hampir tenggelam semakin dalam karena rasa penasarannya saat ini. Di balik meja bar unit penthouse mewah itu, pandangannya tidak pernah lepas dari dua sosok yang sedang berpacu dengan hening.“Adegan konyol macam apa ini? Kenapa mereka hanya saling menatap?”Ya, Reagan terheran-heran dengan kekompakan Claire dan Elenio yang saat ini sedang duduk berhadapan. Mereka kompak memilih sunyi sebagai penengah di saat kepala satu sama lain tak bisa saling memahami.“Ayolah, setidaknya tunjukkan sedikit perdebatan,” ucap Reagan gemas. Dia mencekik penyangga gelas wine di tangannya karena jika mencekik leher Elenio, dia akan dijerat hukum karena menganiaya anak emas pemilik Jordan Consisto.
Reagan sangat menyukai bagaimana reaksi yang ditunjukkan oleh semua orang di sana, kecuali Erik. Tuan Delanney dengan wajah piasnya, Nyonya Delanney yang kehilangan kata-kata bersama tubuhnya yang menegang, serta Claire, sang istri, matanya melotot, mulutnya terbuka lebar tetapi sebelah tangannya dengan cepat menutupi keterkejutan itu. “Kamu jangan bercanda, Reagan!” ucap Claire, menepuk bisep kekar suaminya cukup kencang. Otaknya berusaha mencerna situasi, tetapi rasanya sangat buntu. Semua hal yang ada di perusahaan ini seakan dengan jelas menunjukkan bahwa Reagan memang bagian darinya. “Untuk apa aku bercanda? Aku mengajak kalian ke mari tak lain untuk memenuhi janjiku,” jawab Reagan. Dia mengangkat dagunya sedikit sambil menatap Erik. Sigap Erik memahami gestur itu. Dia lantas memberikan sebuah map tebal pada Reagan. Saat dokumen itu diserahkan, semua mata tertuju pada Reagan. Ruangan itu mendadak hening. Bunyi robekan map yang dibuka memenuhi telinga. Reagan mengeluarkan setu
“Lepaskan aku, brengsek! Ini bukan tempatku!” “Berhenti memberontak, Tuan. Jika kamu memang tidak bersalah, kamu bisa menjelaskannya di pengadilan nanti.”Theodore mengedar pandang ke seluruh penjuru kantor kepolisian pusat. Semenjak diringkus dari mansion mewahnya Theodore terus melakukan pemberontakan. Dia tak segan memaki para polisi dengan kata-kata kasar. Di saat yang bersamaan, dia digiring masuk ke dalam ruang pemeriksaan. Ketika memasuki ruangan itu, raut wajahnya menegang. Seorang wanita, duduk di kursi dengan kepala tertunduk dalam. Wajahnya hampir tidak bisa dikenali tapi, mata Theodore cukup jeli untuk mengetahui siapa sosok itu. “Pricilla? Mengapa kau ada di sini?” tanya Theodore. Wanita itu mengangkat kepalanya, lalu menatap Theodore dengan sorot mata tajam. Theodore melihat kedua tangan wanita itu dikurung borgol. “Puas kau, Theodore?” ucap Pricilla sinis. Tatapannya penuh kebencian pada Theodore. Mungkin jika tangan mulus itu bebas, wajah Theodore tak akan selama
Reagan duduk diantara dua orang wanita dengan ekspresi kontras satu sama lain. Aura tegang menyelimuti mereka. Reagan duduk dengan kedua tangan terlipat di dada berdehem pelan. Tetapi belum sempat Reagan bersuara, Claire berucap lebih dulu. “Untuk apa kamu membawa dia kemari, Reagan?” tanyanya dengan nada sedikit sinis. Pandangannya tidak berubah, tajam, dan sarat makna. Reagan menelan ludah. Membawa Nayla ke hadapan Claire adalah keputusan yang berat. Di depan mereka Nayla menunduk dalam, tidak berani membalas tatapan Claire. Tanpa Claire melakukan apapun, atau mengatakan apapun, aura intimidasi yang keluar dari dirinya menguar begitu pekat. Nayla hampir kehabisan napas dibuatnya. “Dia akan menjelaskan semuanya padamu, Claire.” Claire kembali memaku tatapannya pada Nayla, sedang Reagan menuntut wanita itu untuk bicara. “Katakan semuanya. Akui apa yang sudah kamu lakukan padaku.” Tidak hanya tiga orang itu di dalam penthouse. Ada Erik yang memantau pembicaraan dari meja bar di