Bryan dan Jenica berdiri di samping pilar besar yang berada di ujung resort bagian selatan.
Sementara itu, lokasi pernikahan ada di bagian utara. Semua tamu undangan masih bersabar menunggu datangnya pasangan mempelai yang akan mengikat janji suci di dalam sana.
Bryan menatap tajam ke arah Jenica. Ia meletakkan kedua tangan di pinggang dengan angkuh. Ia tak pernah sekalut ini. Bagaimana bisa pernikahan yang sudah ada di dalam pikirannya terancam batal?
"Jangan buang waktuku, katakan padaku sekarang juga!" desak Bryan pada Jenica. Iris birunya memandang ke segala arah dan sempat bersitatap dengan John, pengawalnya yang berdiri tegap di belakangnya.
Jenica merasa terintimidasi. Ia terus menundukkan kepalanya sembari merapalkan doa dalam hati. Jari jemarinya tertaut dengan erat.
"Kimberly tidak mencintaimu, Tuan!" lirih Jenica terhenti.
"Aku tahu itu!" sela Bryan yang seketika membuat Jenica mendongakkan kepa
Jenica merasa dirinya dalam posisi terjepit. Sang ayah tak berdiri di garda depan untuk mendukungnya justru menyerang dirinya. Lalu, haruskah ia mengaku? "Bawa dua orang tadi kemari!" titah Gerald yang melihat langsung perdebatan keluarga calon besannya pada salah satu pengawal pribadinya. Kedua manik mata birunya tertuju pada Jenica yang kini menundukkan wajahnya usai mendapat serangan lisan dari Bryan. Bryan turut mengarahkan pandangannya pada dua orang pelayan laki-laki dan perempuan tersebut yang memiliki target berbeda. Ia masih mencoba menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi di sini. Indera pendengarannya fokus mendengar semua obrolan serius di sekitarnya saat ini. "Sekarang katakan pada kami, siapa yang menyuruhmu menjebak calon menantuku dan juga anakku?" seru Gerald menunjukkan taring tak kasatmata yang selalu ia tutupi selama ini. Bryan tampak terkejut, ternyata sang ayah bisa bersikap seperti itu demi
"Aku yakin sekali Kimberly juga memiliki perasaan padamu! Meski ini masih berupa pendapatku, tapi entah kenapa aku memiliki feeling, suatu saat nanti kalian pasti akan saling mencintai satu sama lain," yakin Gerald menatap dalam ke arah Bryan seraya menepuk pelan bahu sang anak. Bryan terdiam. Jujur, sebuah gelanyar aneh menjalar ke seluruh tubuh. Ia pun belum bisa mengartikannya. Sungguh, rasanya aneh karena sanggup membuat seluruh aliran darahnya berdesir hebat. Senyuman gadis yang akan ia nikahi terbayang dalam pikirannya. 'Kimberly, kau ada di mana? Apakah kau tetap akan membatalkan pernikahan ini saat kau berada bersama mantan kekasihmu itu?' batin Bryan sembari terus memikirkan Kimberly. ******* Mobil melaju kencang menuju suatu tempat. Bradley mengambil sebuah keputusan berat saat memilih mendukung Nick untuk menculik Kimberly. Mau tak mau Bradley telah menjadi musuh keluarga Bryan, yang tentu saja
Meninggalkan Kimberly sejenak dengan segala perjuangannya melindungi harga diri dari hasrat meledak-ledak Nick padanya.Kini, beralih pada Bryan yang tampak begitu serius mengendarai mobil mewahnya mengejar ke mana Nick membawa calon istrinya. Usai mendengar informasi dari mata-matanya, ia segera bergegas melesat dengan kendaraan mewahnya tersebut menuju suatu tempat."Awas kau anak kecil! Beraninya kau menculik calon istriku! Pantas saja wajahmu terlihat tidak asing, ternyata kau pelayan di restoran waktu itu. Harusnya aku menghajarmu saat itu juga kalau ternyata kau berani berbuat seperti ini padaku! Brengsek!" umpat Bryan sambil memukul stang bundar di hadapannya. Ia geram bukan main.Leon yang masih merasakan efek pusing karena minuman dari pelayan tadi hanya bisa menjadi pendengar setia sang sahabat mengumpat di kursi kemudi.Ia yang tadi terbangun penuh rasa kebingungan di dalam ruangan khusus mempelai laki-laki hanya bisa menyapuk
Nick terperangah. Mengapa gadis itu lebih memilih mengakhiri hidupnya ketimbang kembali padanya? Apakah ia tak layak bersanding dengan gadis pujaannya?Terlalu naif kah dirinya mengharapkan Kimberly kembali merajut kasih bersamanya?"Kim, kenapa kau mengancamku dengan trik sederhana itu? Aku tahu kau pasti sedang bercanda, kan? Kembalilah padaku, Kimberly!" pekik Nick yang berjalan semakin mendekat."Berhenti di sana atau aku akan benar-benar lompat! Aku tidak bercanda, Nick!" teriak Kimberly dengan lantang. Ia tak main-main. Tak ada candaan dalam setiap kalimat yang keluar dari bibirnya.Nick menghentikan langkahnya."Oke, aku berhenti! Tolong jangan lakukan itu! Aku hanya ingin menanyakan sesuatu padamu," ucap Nick bernegosiasi sembari menatap dalam ke arah gadis yang berdiri tepat di samping batas pegangan jembatan tua."Tanyakan saja apa yang kau mau!""Kenapa kau rela melakukan ini, Kimbe
Bryan dengan sabar menanti jawaban yang akan keluar dari bibir Kimberly. Gadis itu tampak menggigit bibir bawahnya, berusaha menghilangkan rasa gugup yang menderanya."Jawab Kimmy! Katakan pada putraku yang menyebalkan ini bahwa kau ingin segera menikah dengannya dan sah menjadi menantu Gerald Malik!" sela Gerald santai.Kimberly tersenyum kikuk. Tak urung hal itu membuatnya segera mengangguk malas."Baiklah kalau begitu, hei kalian! Lekas dandani calon menantuku secantik mungkin!" panggil Gerald pada beberapa orang yang ditugaskan untuk melakukan touch up pada Kimberly.Tiga orang wanita matang berusia di atas tiga puluh tahunan segera menyulap penampilan calon mempelai perempuan tersebut dengan kecepatan kilat.Waktu terus berjalan. Lima jam lebih sudah acara tertunda. Pernikahan yang seharusnya berlangsung pukul 09.00 waktu setempat, kini mundur dikarenakan penculikan yang dilakukan Nick pada Kimberly.
Setelah hal konyol terjadi di altar pernikahan, Kimberly mau tak mau menyembunyikan wajah cantiknya dari hadapan para tamu.Jujur, ia sangat malu. Pikirannya sudah terbang entah ke mana. Ternyata, sang pendeta hanya meminta Bryan mengecup keningnya, tapi kembali lagi pada keinginan pasangan pengantin tersebut. Ingin mengecup kening, pipi atau pun bibir, sudah bukan urusan sang pendeta.Akhirnya, Bryan mengecup kening Kimberly dengan penuh kelembutan. Seolah menjaga kening itu agar tak terluka bak mutiara terindah nan langka yang harus dijaga sedemikian rupa.Kecupan itu hanya berlangsung beberapa detik saja. Namun, yang terjadi berikutnya adalah…"Jangan terlalu gugup untuk malam pertama kita nanti! Aku sudah tak sabar menikmatinya!" bisiknya penuh goda dengan gaya sensual di telinga sang istri."Jangan bermimpi!" jawab Kimberly dengan gerak bibir tanpa suara.Keduanya menjadi pusat perhatian. Bryan
Bryan tak menjawab pertanyaan yang diajukan sang istri padanya. Ia terus menyemburkan air dari shower ke tubuh Kimberly.Basah kuyup.Piyama berbahan satin mahal itu memperjelas tonjolan lekuk tubuh Kimberly. Sontak hal itu membuat Bryan kesusahan menelan salivanya. Berharap ia melakukan ini agar perempuan itu bisa melupakan bayang-bayang sang mantan justru membuatnya kalang kabut tak karuan.Bryan tidak bodoh. Ia sangat tahu bahwa perempuan ini belum siap melakukan hubungan yang lebih dari sebatas peluk cium."Mandilah dulu! Lekaslah tidur, aku tak akan menyentuhmu malam ini! Aku hanya akan menyerangmu saat kau siap. Aku tidak mau dianggap memperkosa istri sendiri."DeggKimberly terkejut.Pria itu bisa melakukannya?Bisa menahan hasratnya demi dirinya?Astaga! Apakah ini mimpi?Kimberly mengangguk patuh."Bersihkan tubuhmu dari bekas sentuhan man
Kimberly merasakan sakit di bagian ulu hatinya. Benarkah pria yang beberapa saat begitu bijak dan baik padanya hanya memanfaatkan dirinya? Apakah dirinya hanya sebatas taruhan layaknya sebuah barang dalam hidup seorang Bryan? Langkah kaki penuh emosi telah membawa dirinya menuju kamar, mengeluarkan segala emosi yang membuncah di dada. Kimberly meraih bantal di atas ranjang dan menangis sembari memeluknya. Ia merasa aneh, padahal ia dan Bryan hanya terikat perjodohan paksa karena permintaan George. Tapi kenapa rasanya sesakit ini? Apa hatinya telah ikut andil dalam pernikahan ini? "Bryan, kau jahat! Tidak punya hati! Manusia brengsek!" umpat Kimberly sembari terisak. Perempuan itu melihat bantal layaknya musuh. Ia begitu membenci benda empuk dalam genggamannya saat ini. Bukk Bukk "Aaaaaaarrggg! Aku membencimu!" Kimberly berulang kali memukuli bantal tersebut demi meluapkan