"Apa yang kau katakan?" tanya Kimberly pada sosok di dalam mimpinya.
Pesona pria itu berhasil membuat semburat merah di kedua sisi pipinya. Pria itu bernama Bryan Malik, seorang Cassanova cinta yang namanya telah terkenal di seantero Edensor.
"Tinggalkan kekasihmu dan pergilah bersamaku! Aku akan membuatmu bahagia. Percayalah!" bisiknya sambil mengecup tulang selangka Kimberly hingga membuat darah gadis itu berdesir hebat.
"Tidak! Aku sangat mencintai Nick. Jangan coba-coba memisahkan aku dengan pria yang kucintai!" sahut Kimberly padanya.
"Tidak apa pria lain yang sanggup membahagiakanmu selain aku. Percayalah! Cepat atau lambat kau akan datang mencariku! Hahahaha," tukas Bryan yang sosoknya semakin hilang dalam arus mimpi meninggalkan gadis itu seorang diri.
"Tidak!!" jerit Kimberly yang terbangun saat seseorang menepuk pipinya perlahan.
Kimberly tersadar dari mimpinya yang.. Buruk atau ah sudahlah, Kimberly tak mau mengingatnya lagi. Bukankah mimpi hanyalah bunga tidur?
"Kim?" panggil sang ayah yang telah berada di kamarnya. George membelai lembut pipi putrinya dengan penuh kasih sayang.
"Papa?" beo Kimberly saat benar-benar menyadari bahwa sosok di hadapannya adalah benar sang ayah. George Michael.
"Apa yang kau impikan, Kim? Sampai-sampai kau menjerit di dalam mimpimu?" tanya George penuh antusias. Ayah mana yang membiarkan putri kesayangannya merasa cemas dan ketakutan seperti itu.
Kimberly menggelengkan kepalanya cepat. "Aku tidak apa-apa, Papa. Hanya bunga tidur. Mungkin aku lupa berdoa hingga para Malaikat mengirimiku mimpi aneh seperti ini!" sahut Kimberly beralasan.
Ya, Malaikat mimpi mengiriminya sosok menyebalkan seperti Bryan Malik. Sepertinya ia harus mereset ulang pikirannya karena terlalu sebal pada pria itu, bisa jadi karena hal itu membuatnya ia memimpikan playboy tampan tersebut.
Astaga! Bahkan kata hatinya berani-beraninya menyebut pria itu tampan. Tapi, Kimberly akui pesona Bryan Malik memang tak dapat diragukan lagi. Tampan, kaya dan anak tunggal seorang konglomerat. Siapa yang tidak mau?
Kimberly, jawabannya. Kimberly mengabaikan pesona Bryan Malik demi seorang Nick, kekasihnya.
George membuyarkan lamunan sang putri. "Kim.."
"Iya, Papa! Maaf aku melamun," sahut Kimberly tergagap.
George menggenggam erat sepuluh jari lentik Kimberly dan menautkan dengan miliknya. "Seseorang ingin berbuat jahat pada kita!" ucapnya yang membuat pikiran Kimberly sukses teralih pada setiap rangkaian kata-katanya.
"Apa maksud Papa?" tanya Kimberly ingin tahu. Ia menatap sang ayah dengan tatapan dalam. Rasa ingin tahunya begitu membuncah. Tak sabar rasanya mendengar kelanjutan ucapan George.
George menunduk lesu dan detik berikutnya ia menampakkan ekspresi berusaha tegar di hadapan putrinya.
"Tadi Harry diam-diam mencari pihak keamanan dan mengajak Papa melihat apa yang terjadi pada mobil kita selama kita berada di dalam pesta pada Cctv di ruang keamanan.
Seseorang tampak aneh saat berjalan berulang kali melintasi mobil kita hingga diam-diam ia mengutak-atik kendaraan kita. Siapa yang tega melakukan itu?" desah George dengan wajah sendu. Matanya ikut sayu membayangkan bagaimana jika dirinya dan Kimberly berada di kendaraan tersebut.
"Jahat sekali orang itu, Pa! Tadi Papa ke ruang cctv bersama Harry atau mengajak orang lain juga?"
"Hanya Harry, Papa tidak mengajak siapa pun selain dirinya. Papa tidak mau membuat orang-orang khawatir dan ketakutan mendengar hal yang menimpa kita. Kita tidak pernah tahu seandainya ada musuh dalam selimut, bukan?"
Kimberly bergeming di tempatnya. Ia telah merubah posisi dari berbaring lalu duduk dengan melipat kedua kakinya di tepi tempat tidur ternyamannya. Ia tak habis pikir dengan tindakan orang tak bertanggung jawab itu.
"Aku yakin bangkai yang ditutupi lama-lama akan tercium juga, Pa. Suatu saat mereka akan tertangkap. Aku yakin itu, Pa!"
George mengangguk. "Tidurlah, sudah malam! Kau harus kuliah dan berangkat lebih awal. Oh iya, nanti kau bisa membawa mobil sendiri jika kau tak mau diantar sopir!"
"Iya, Pa. Aku mau tidur lagi, Papa juga lekas beristirahat. Pekerjaan Papa akan menumpuk di kantor karena Papa terlalu sibuk mengurusi resort."
George mengiyakan permintaan putrinya, ia tak menampik akan hal itu. Kerja keras demi mendirikan resort harus ia bayar dengan meninggalkan pekerjaan penting di kantor warisan sang ayah.
George mengecup kening sang putri dan meninggalkan Kimberly supaya lekas terlelap. Hari masih malam, langit gelap yang ditemani rembulan menjadi begitu temaram disertai angin yang bertiup dingin menusuk tulang. George menutup pintu perlahan dan masuk ke kamarnya.
~~~~
Keesokan paginya. Kimberly terbangun dari mimpi indahnya dan manik peraknya menangkap jelas pergerakan jam dinding yang telah menunjukkan angka lima. Ia bangun lebih awal dari biasanya.
Menggeliat malas adalah hal yang dilakukan Kimberly saat ini. Ia benar-benar mengusahakan kedua matanya terbuka dengan lebar agar bersiap untuk kuliahnya hari ini.
Melongok ponselnya yang semalam dalam mode getar kini Kimberly lakukan. Ia terkejut mendapati betapa banyak chat dan panggilan tak terjawab dari Nick, kekasihnya. Tanpa membuang waktu, Kimberly menyentuh tombol hijau pada layar ponselnya agar menghubungkannya dengan sang pujaan hati.
Panggilan tersambung. Kimberly menempelkan benda pipih pintar tersebut ke telinga kiri dan bersiap menyapa pria yang baru saja membuka mata di seberang sana.
"Hai, Nick!" sapanya riang.
Nick tersenyum di balik ponselnya. Membayangkan gadis cantik itu tertawa senang menyapanya.
"Hai, Honey! Semalam aku tak sempat mengangkat panggilanmu, ponselku ada di kamar. Ada apa?" tanyanya penuh kelembutan.
"Tidak apa-apa, aku hanya merindukanmu, Nick!"
"Aku sangat merindukanmu melebihi rasa rindumu padaku," balasnya cepat membuat pipi sang gadis memerah karenanya.
"Dasar kau Penggoda nakal!"
"Aku? Ah, aku hanya mengatakan hal yang sejujurnya. Apa salahnya jika menggoda kekasihku? Apakah saat ini kau malu karena mendengar rayuanku?"
"Tidak! Ah, aku mau mandi. Sampai ketemu di kampus. I love you, Nick!"
"Baiklah, Honey. Kau pasti sedang mengelak dan mau bersembunyi untuk menutupi pipi merahmu, kan?" godanya lagi. "Ya sudah aku tidak akan menggodamu. Mandilah! I love you too, Honey!"
Panggilan dimatikan.
Kimberly mendesah pelan.
"Nick, haruskah aku bercerita padamu tentang masalah semalam? Aku takut kau akan mencemaskanku," gumam Kimberly sambil mengedarkan pandangan ke segala arah lalu menghela napas kasar.
~~~~
"Kampus kita akan kedatangan pengusaha sukses yang menjadi motivator hari ini!" teriak Cloud, si pembawa berita kampus memasuki setiap kelas.
Berita itu masuk ke dalam indera pendengaran Kimberly. Ia menggeleng pelan lalu memilih melanjutkan kegiatannya membaca novel fiksi kesayangannya. Nick, Dave dan Mona sibuk menerka siapakah tamu agung yang akan datang itu.
Kimberly beranjak dari bangku panjang. "Aku ke toilet dulu!" pamitnya pada ketiga manusia yang amat dekat dengannya.
Nick menggenggam tangan halusnya. "Perlu kuantar?" tanyanya perhatian dengan mata menatap dalam. Ia tahu rasa sayang yang dimiliki Nick begitu besar padanya.
"Aku hanya ke toilet bukan pergi jauh, aku bisa sendiri, Nick! Sebentar, ya!" tolaknya halus dan Nick bisa mengertikannya.
"Kami menunggumu di sini sebelum ke aula pertemuan!" pekik Mona pada Kimberly.
Kimberly mengangguk mantap.
Langkahnya pasti menuju toilet yang ada di lantai tiga tak jauh dari kelasnya.
Penuh.
Tak ada yang kosong. Sementara kandung kemihnya meronta untuk segera dikosongkan.
Kimberly teringat sesuatu.
"Oh iya, toilet lantai satu yang lebih banyak. Kemungkinan tidak akan sepenuh lantai tiga dan dua. Aneh sekali! Kenapa bisa penuh semua?" gumamnya sambil berjalan menuju le tempat tujuan.
Senyumnya mengembang kala melihat toilet yang berada di lantai satu dengan lima bilik. Salah satunya kosong. Segera ia memasuki bilik tersebut dan mengosongkan air yang berjubel di dalam sana.
"Akhirnya! Lega sekali!" ujar Kimberly sambil tersenyum puas.
Cepat-cepat ia merapikan mini dress yang membalut tubuhnya dan membuka pintu bilik toilet yang ia masuki.
Baru saja membuka pintu, ia sudah dikejutkan seseorang di hadapannya.
"Ka-kau? Apa yang kau lakukan di sini?" seru Kimberly yang terperangah pada kehadiran sosok tersebut.
Pria itu membungkam mulut Kimberly dan memaksanya masuk ke dalam bilik yang tadi dipakai oleh gadis itu membuang hajat.
"Hemmp! Hemmphh!" pekik Kimberly yang mulutnya dibungkam telapak tangan besar milik pria tersebut. Ia amat ketakutan. Mereka berdua berada di dalam bilik toilet sempit nan pengap.
Senyum misteri tampak di wajah pria itu. "Diamlah atau kau akan tahu akibatnya!" ancamnya pada Kimberly membuat gadis itu seketika patuh padanya.
~~~~
Bukan Stephanie yang semakin mendekat. Kimberly yang maju dan menghambur ke dalam pelukan ibu kandung Bryan. "Aku merindukan pelukan seorang ibu sejak beberapa tahun terakhir. Aku selalu memimpikan memiliki ibu mertua yang menyayangiku. Maafkan aku, Ma, jika aku belum bisa menjadi menantu yang baik di matamu. Aku hanyalah manusia biasa yang masih terus belajar menjadi lebih baik. Apa pun yang terjadi antara Mama dan Bryan, kuharap kalian akan segera berdamai dan saling mengerti satu sama lain!" ungkap Kimberly. Mendengar ucapan menantunya, Stephanie mengeratkan pelukannya. Lalu beberapa saat kemudian pelukan itu terlepas dan mereka berdua saling bersitatap. "Terima kasih, Kimberly! Mama pergi, ya! Jaga kesehatan kalian dan titip anak Mama! Semoga Tuhan selalu melindungi kalian di mana pun berada dan menjauhkan segala keburukan dari hidup kalian. Sampai jumpa lagi, Kimberly!" pamit Stephanie dengan wajah begitu sendu dan mata yang begitu sayu
Lampu terang di ruang operasi masih menyala. Kimberly berada di depan pintu sambil menunggu dokter selesai melakukan tindakan pada Jenica. Luke dan George sudah datang dan menemani perempuan cantik tersebut. Beberapa saat kemudian, seorang pria tampan dengan balutan jas menawan berlari-lari menuju ruangan yang dimaksud. Ia mencari keberadaan sang istri dan ingin segera memeluknya. "Kimmy!" teriak Bryan yang seketika memeluk tubuh mungil istrinya dengan ekspresi cemas luar biasa. "Bagaimana keadaanmu? Papa baru saja mengabariku. Maaf aku baru bisa datang!" ungkap Bryan seraya berulang kali mengecup pucuk kepala sang istri. Kegelisahan di wajahnya tak dapat dibantah. Semua terlihat begitu kentara. Bryan sangat mencemaskan kondisi istri tercintanya. " Aku tidak apa-apa, Bryan. Untung saja ada Kak Jenica yang menyelamatkanku. Saat ini kami masih menunggu dokter keluar dari ruang operasi. Bryan, aku takut terjadi hal b
Stephanie penasaran akan suatu hal. Ia pun segera bertanya pada Deborah demi mendapatkan jawaban yang sempat mengusik pikirannya. "Apa jangan-jangan kau sudah menyukainya lebih dari yang kubayangkan?" tanya Stephanie dengan mata menyipit mencari tahu. "Lelaki seperti Bryan itu sangatlah langka dan juga menawan, Tante. Ketampanan serta kewibawaannya sanggup meruntuhkan iman hampir sebagian besar kaum hawa di Edensor kita yang tercinta ini. Termasuk aku!" ungkap Deborah dengan wajah berbinar-binar membayangkan Bryan menjadi miliknya. Stephanie tersenyum sinis. "Kau pasti akan mendapatkannya sebentar lagi! Kimberly tidak pantas mendapatkan anakku! Hanya kaulah yang pantas bersanding dengannya!" yakin Stephanie. Deborah tersenyum senang. Lengkungan bibirnya membentuk curva cantik. Ia bahagia dan bangga karena mendapatkan restu dari Stephanie. Tinggal beberapa langkah lagi Bryan pasti akan menjadi miliknya. Ya, sebenta
Kimberly tersenyum ramah di wajahnya yang penuh keteduhan. Ia terlihat tenang di usianya yang masih belia dibandingkan usia suaminya. Sikap dewasa dalam dirinya kini mulai mendominasi.Jemari lentiknya merayap lembut ke pipi Bryan, sekali lagi demi menenangkan hati dan pikiran Bryan yang tengah berkecamuk."Aku takut kehilanganmu sama seperti ketakutanku akan kehilangan Shannon dalam hidupku dulu! Aku sangat mencintaimu, Kimmy! Jangan pernah pergi meninggalkan aku!" pinta Bryan dengan begitu gelisah. Deru napasnya memburu."Aku tidak akan ke mana-mana. Aku selalu ada di sampingmu. Istrimu ini juga sangat mencintaimu, Bryan!" tegas Kimberly tulus.Lelaki itu semakin mengeratkan pelukannya. Merasa ketenangan benar-benar ia dapatkan ketika memeluk tubuh Kimberly. Bryan pun mendorong pelan tubuh yang begitu meneduhkan jiwanya, ia meletakkan kedua tangannya di atas pundak Kimberly.Tatapan mereka saling bersua. Kegelisahan
Kita tinggalkan sejenak Kimberly dan Bibi Jules di dapur. Saat ini Bryan sudah berada di kamar. Ia baru saja keluar dari kamar mandi.Selembar handuk berwarna putih menutupi tubuh bagian bawahnya dari pinggang hingga mencapai tempurung lututnya.Ia merasa malas dan kesal usai membenamkan diri di dalam bath tub selama beberapa saat, tapi ia tidak tahu apa penyebabnya.Segera, ia mengambil satu setel piyama tidur guna memberinya rasa nyaman saat sebentar lagi ia memejamkan mata barang sejenak. Kantuk mulai menyapa kedua kelopak matanya, yang tanpa sadar membuatnya berat untuk tetap terjaga."Badanku lelah sekali! Aduh!" keluh Bryan sembari memijat lengannya sendiri.Ia melangkah maju ke atas pembaringan. Perlahan, ia melepas sandal yang membalut telapak kakinya.Bryan sudah merasakan nyaman saat ia meletakkan kepalanya yang berat di atas bantal. Matanya secepat kilat terpejam.Sepuluh menit kemu
Kimberly tersenyum senang saat mendapati sepasang mata peraknya menangkap jelas sebuah kotak pizza favorit ada di kursi belakang. Wajahnya berubah begitu sumringah. Ekspresi yang bertolak belakang dengan beberapa detik lalu.Tanpa sadar ia mengguncang pelan lengan sang suami yang tengah mengemudikan mobil. Bryan yang mengetahui hal itu spontan kembali terkekeh. Ia senang jika bisa membuat Kimberly bahagia seperti ini. Saat ini ia meyakini ucapan Kimberly beberapa saat lalu…'Kebahagiaan seseorang itu berbeda-beda, bisa datang dari makanan, seseorang yang kita suka, kesehatan dan masih banyak lagi. Tapi, kalau buat aku, makanan adalah mood booster terhebat yang tidak pernah bisa kutolak. Makanan kesukaan bisa membuatku bahagia. Bahagia itu bisa didapatkan dengan cara sederhana, asal diberikan dengan penuh keikhlasan dan ketulusan.'Kata-kata itulah yang menjadi dasar Bryan memberikan makanan yang berasal dari Italia itu pada Kimberly.
Nick terkesiap. Sumpah demi apa pun ia tak pernah membayangkan bahwa dirinya akan kembali berurusan dengan suami mantan kekasihnya.Langkah kaki orang itu berhenti tepat di hadapannya. Dengan senyum yang melengkung jelas dari kedua sudut bibirnya, pria itu tampak begitu menawan. Pantaslah ia bersanding dengan Kimberly. Mereka adalah pasangan yang cocok satu sama lain. Tampak solid dan membuat iri jutaan pasang mata yang melihat keduanya bersisian.Nick mengenyahkan pikiran itu. Ini bukan saatnya memuji mereka.Tanda tanya besar berkumpul di pikirannya. Apa yang membuat pebisnis terkenal se-Edensor ini mendatanginya?"Ke-kenapa kau ada di sini?" tanya Nick terbata-bata. Pria itu gugup hanya karena disambangi Bryan.Bukannya menjawab, Bryan malah tersenyum penuh misteri.Nick mengambil napas dalam-dalam, berusaha menjernihkan suasana hatinya yang memendam banyak pertanyaan di sana.Kedua pria de
Luke tersenyum penuh arti."Semua orang punya kekurangan dan kelebihan masing-masing. Papa mendengar kau mau meminta maaf atas segala kesalahan yang pernah kau perbuat saja, Papa sudah merasa bangga. Kau sudah dewasa, Jenica. Belajar dan berpikir lebih baik ke depan. Perbaiki segala kesalahan yang dulu pernah terjadi.Papa yakin Kimberly akan memaafkanmu asal kau berjanji untuk tidak mengulang perbuatan yang sama. Kimmy adalah gadis yang baik dan sopan. Dia selalu menyayangimu. Papa pun bisa merasakannya. Hanya karena iri semata, kau bisa melakukan segala perbuatan itu. Papa yakin kau pun bisa menjadi pribadi yang lebih baik lagi. Percayalah!" yakin Luke menyemangati dan menyadarkan sang putri.Jenica mengangguk mantap."Aku akan menemui Kimmy dan meminta maaf padanya!" tegas Jenica penuh semangat."Ya! Papa akan selalu mendukungmu menjadi pribadi yang lebih baik! Semoga Kimmy memberikanmu kesempatan untuk berproses ke
"Ya, aku berjanji!" jawab Kimberly lantang tanpa meragu sedikit pun.Bryan membuka memori lama yang masih tersimpan jelas di dalam otaknya. Semua itu tak bisa menghilang begitu saja meski waktu terus berjalan.Waktu pun bergulir mengikuti ritme kisah yang terjadi di masa lalu.Kimberly menyeka cairan yang masih merembes dari pemilik iris biru di sampingnya. Cairan itu telah berhasil membasahi kedua pipi suaminya."Kau memiliki aku! Aku tak bisa berjanji akan selalu bersamamu hingga kita tua nanti. Aku hanya bisa menjalani setiap detik waktu yang berjalan bersamamu. Usia manusia tidak ada yang tahu. Benar, kan?Aku akan meminta pada Tuhan agar memberi kita usia yang panjang dan berguna bagi semua makhluk di sekitar kita. Bukan aku yang menentukan lama atau singkatnya hidup kita, semua tergantung sang Pencipta. Kita jalani saja semua proses hidup bersama-sama.Setelah aku dan kau menjadi satu dalam ikatan pe