“Jadi, putri kedua keluarga Sidartha yang gak pernah diungkap ke media itu kamu, Dara?”
Bagaikan petir yang bersambar tepat di atas kepalanya, wanita yang dipanggil dengan nama Dara itu hanya bisa terdiam tertegun. Tidak lupa juga dengan matanya yang membelalak seperti habis melihat setan di siang bolong.Dara berusaha untuk terlihat tenang walaupun ia hampir kesulitan bernafas karena tanpa aba-aba, pria yang merupakan bosnya ini datang ke rumah membawa orang tuanya.“Iya, Pak…,” jawab Dara lemah.Hanya dalam sekejap, hidupnya sebagai putri rahasia keluarga sidharta atau keluarga konglomerat ternama selama 27 tahun sirna begitu saja karena identitasnya baru saja terkuak oleh bosnya sendiri, Sagara.“Anak-anak! Ayo ke meja makan! Makanannya udah siap!” Teriakan Mama Dara dari ruang makan membuat Dara dan Sagara yang sedang berada di balkon langsung beranjak pergi ke ruang makan untuk berkumpul bersama.Dara menghela nafasnya pasrah. Entah bagaimana bisa ia bertemu dengan bosnya di sini. Wanita itu tidak dapat memakan makanannya dengan tenang. Ia terus melirik ke arah Sagara yang sedang berbincang dengan kedua orang tuanya.“Itu beneran bos lu?” tanya Gavin, saudara kembar Dara yang sedang duduk di samping Dara.Dara mengangguk perlahan. “Canggung banget sumpah. Mampus aja gue! Alamat gak bisa kerja lagi di sana,” bisik Dara dengan nada panik.“Ternyata Dara kerja di tempat kamu toh!” ucap Papa Dara kepada Sagara dengan suara lantang. Seolah sengaja agar anak perempuan keduanya itu mendengar ucapannya dengan jelas.Dara mendengus kesal. Ia tahu bahwa Papanya yang mati-matian menghentikannya untuk bekerja di bidang penerbitan itu sedang menyinggungnya.“Iya, Pak. Saya juga gak tahu kalau Dara ternyata bagian dari keluarga Sidartha,” jawab Sagara dengan ramah.Papa dan Mama Dara serta kedua orang Sagara hanya tertawa untuk formalitas.“Saya tadinya gak mau dia kerja di tempat lain. Pengennya supaya dia nerusin perusahaan Papanya, tapi karena dia kerja di perusahaan kamu, ya sudah, saya biarkan saja,” jelas Papa Dara yang lagi-lagi hanya ucapan manis karena Dara tahu bahwa Papanya itu tidak akan dengan mudah melepaskan putrinya menjadi pegawai di perusahaan lain untuk selamanya.“Oh, iya, gak usah panggil saya ‘Pak’ atau ‘Bapak’, sebentar lagi kita akan jadi keluarga, gak usah terlalu formal,” lanjut Papa Dara yang berhasil membuat seluruh orang yang berada di meja makan tersebut mengalihkan perhatiannya ke pria paruh baya tersebut.Sagara yang kebingungan dengan ucapan Papa Dara pun hanya terkekeh. “Maksudnya, Pak?”Kini bergantian Papa Sagara yang berbicara. Pria itu menepuk bahu anak laki-laki semata wayangnya. “Sebenarnya, kedatangan kita ke rumah Pak Sidharta ini untuk ngenalin kamu sama salah satu putri mereka. Papa sama Pak Sidharta sudah berteman lama dan partner bisnis yang baik, gak ada salahnya dong kalau kita bisa jadi keluarga?” ucap Papa Sagara, sang pemilik Darwis Group.Dara dan Gavin saling berpandangan. Keduanya kebingungan dengan adegan perjodohan antara keluarga konglomerat yang biasanya hanya bisa mereka lihat di dalam drama korea.Gavin menyenggol bahu Dara dengan cukup kencang sehingga hampir membuat gadis itu terjatuh. “Lo mau dijodohin?” tanya Gavin dengan suara cukup kencang. Saudara kembarnya itu memang tidak bisa mengontrol dirinya jika sedang terkejut.Dara tentu saja membalas pertanyaan tersebut dengan gelengan kepala yang kuat. Wanita itu sekilas melihat raut wajah Sagara yang sama bingungnya dengan dirinya.“Bukan kamu! Gak usah ge-er!” ucap Papa Dara yang mematahkan semua imajinasi-imajinasi Dara mengenai menikahi bosnya dan menjalankan hubungan rahasia antar pegawai dan bos.Wanita itu tanpa sadar menghela napasnya lega. Ia belum mau melepas usia lajangnya sebelum dirinya bisa menjadi editor in chief di sebuah perusahaan penerbit dengan penjualan nomor satu yang saat ini sedang menjadi tempat bekerja nya, Darwis Publishing.Sagara masih tidak bisa mengeluarkan ekspresi lega. Pria itu bahkan lebih panik dari sebelumnya setelah tahu bahwa bukan kolega kerjanya, Dara, yang menjadi pemeran utama dalam perjodohan serba tiba-tiba ini.Hanya tersisa satu anak perempuan di keluarga Sidharta, yakni Carissa, anak sulung perempuan dari keluarga Sidharta. Carissa yang sepertinya sudah menebak bahwa perjodohan ini adalah untuknya hanya bisa mendesah pasrah.“Kamu dan Carissa kan sudah menginjak usia 30-an, sudah seharusnya punya pasangan. Betul, kan, Pa?” tanya Mama Sagara dengan nada lembut.“Ma…Kenapa dadakan gini sih?” tanya Sagara tidak terima.Michael Darwis, Papa Sagara, hanya bisa tersenyum kecil melihat putra semata wayangnya yang terkejut. Itu adalah reaksi yang wajar. Siapa pula yang mau dinikahkan secara tiba-tiba dengan orang asing.“Gak dadakan kok. Kami juga gak minta kalian untuk menikah sekarang. Kalian bisa kenalan dulu,” ucap Papa Sagara.Dara menikmati drama perjodohan keluarga yang sedang tampil tepat di depan matanya dengan saksama. Selain identitasnya terbongkar, ia juga sebentar lagi akan menjadi adik ipar dari bosnya sendiri. Dara tidak yakin bahwa ia bisa bekerja dengan tenang mengingat bahwa ada calon kakak iparnya yang akan selalu mengawasi dirinya saat bekerja.…Acara makan malam yang penuh dengan kejutan itu pun ahirnya selesai. Orang tua Sagara dan orang tua Carissa,Dara, serta Gavin sedang berbincang dengan semangat mengenai pernikahan kedua anak sulung mereka. Dara sendiri hanya duduk melamun menatap air di kolam renang.Saudara kembarnya harus pergi terlebih dahulu karena suatu urusan. Dara dan Kakaknya, Carissa, memiliki hubungan yang cukup renggang karena Dara tidak mau menjadi pewaris di perusahaan keluarga mereka. Jadi, wanita itu tidak memiliki teman mengobrol saat ini. Ia sebenarnya mempunyai satu adik laki-laki, Rasta, tetapi hubungan mereka juga sedang tidak baik-baik saja. Ditambah bahwa adiknya sedang kuliah di luar kota membuat mereka semakin jauh.Entah yang keberapa kalinya hari ini, Dara menghela napasnya dengan pasrah. Ia sedang berpikir bagaimana caranya meminta Sagara untuk tidak membeberkan identitas rahasianya sebagai putri dari keluarga Sidharta yang sudah ia tutup seumur hidupnya.“Lega banget kayaknya kamu tadi. Memang gak mau banget dijodohin sama saya?”Suara pria berat yang tiba tiba muncul dari belakang punggung Dara membuat wanita itu hampir melompat dari tempat duduknya. Pemilik suara itu tentunya adalah Sagara. Pria itu langsung duduk di sebelah Dara yang membuatnya secara otomatis menggeserkan posisi duduknya agar sedikit menjauh.“Hehe, bukan gitu, Pak, maksud saya. Saya belum mau nikah,” jawab Dara berusaha meminimalisir kerusakan hubungan antara atasan dan bawahan karena reaksinya tadi di meja makan.Sagara mendengus sembari tersenyum kecil mendengar jawaban Dara. Wanita itu cukup terkejut karena ia jarang melihat bosnya itu tersenyum. Sagara bukan tipikal bos yang menyeramkan atau selalu memasang wajah masam, tetapi bukan berarti pria itu murah senyum.“Kamu pikir, saya sudah mau nikah?” balas Sagara yang membuat Dara terdiam.Sagara menatap Dara yang sedang menunduk karena kebingungan bagaimana cara merespons ucapannya. Pria itu kembali tersenyum. “Tapi kalo emang harus nikah, saya sih mending sama kamu.”Dara menengok dengan cepat ke arah Sagara. Tidak lupa dengan mata membelalak khas sitkom komedi ketika sedang terkejut. “Gimana pak?” tanya Dara memastikan bahwa wanita itu tidak salah dengar.“Saya mending dijodohin sama kamu,” jelas Sagara mengucapkan ulang kalimat yang sebelumnya telah ia lontarkan.Sebenarnya, Dara tahu bahwa ia tidak salah dengar. Ia hanya berharap bahwa Sagara menarik ucapannya dan tidak membuat situasi yang sudah canggung, semakin canggung.“Kenapa, Pak?” Sungguh pertanyaan bodoh yang bisa dikeluarkan dari mulut Dara. Wanita itu ingin menceburkan dirinya sendiri ke dalam kolam renang jika bisa.“Saya lebih kenal sama kamu daripada Kakak kamu,” jawab Sagara yang tidak disangka-sangka sangat cepat.Dara memiringkan kepalanya. Tanda bahwa gadis itu bingung. “Bapak kenal saya?”“Kamu sudah kerja di perusahaa saya sebagai editor akuisisi selama dua tahun. Masa gak kenal?”Dara mengangguk paham. Lebih tepatnya, mengangguk untuk sekadar formalitas. Yang Sagara ketahui
"Ada apa nih?"Dara menoleh pada salah satu rekannya, Shana, yang menyenggol bahunya sambil mengerling. "Ada apa emangnya?"“Pak Sagara dari tadi senyam-senyum ngeliatin lo. Sadar gak?” Yang ditanya hanya mengernyitkan dahinya meskipun ia tahu dengan jelas apa yang dimaksud oleh Shana. Ia masih tidak tahu kenapa bosnya itu menertawakan dirinya.“Ih, Kak! Aku juga liat Pak Sagara dari tadi senyam-senyum aja ngeliatin Kak Dara. Ada apa tuh, Kak?” sambar Lily dengan semangat.“Ada apa, Ada apa, kagak ada apa-apa!” balas Dara, subjek utama yang menjadi bahan gosip Shana dan Lily.“Random amat lo berdua gosipin Dara sama Pak Sagara. Abis nonton sinetron apaan?” Kali ini Jibran ikut andil dalam percakapan gosip yang hanya didasari interaksi dasar seperti senyuman yang diberikan bos kepada karyawannya.Shana memiringkan kepalanya dan terukir raut tidak percaya di wajahnya. “Lo tadi gak liat Pak Sagara berusaha buat nahan senyum pas Dara lagi presentasi?” ujar Shana.Bena hanya bisa menggele
“Pak!” seru Dara yang terkejut karena status melajangnya tiba-tiba berubah hanya dengan satu kalimat yang diucapkan oleh Sagara.Sagara meletakan jari telunjuknya di bibir tebal miliknya itu. Menandakan bahwa ia meminta agar Dara ikut dalam sandiwara buatannya yang mendadak itu. Tentu saja, Dara hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan bosnya itu. Dara mulai memilih beberapa perhiasan yang sekiranya akan disukai oleh kakak perempuannya itu. Dara sebenarnya tidak terlalu suka perhiasan. Selain mengundang copet jika menggunakan perhiasan mahal di transportasi umum, ia juga tidak punya uang berlebih untuk barang mewah seperti itu. Kartu kreditnya telah lama dibekukan oleh orang tuanya sejak wanita itu memilih untuk tidak bekerja di perusahaan keluarga milik Papanya.“Yang ini, ini, sama yang dipajang di etalase atas itu ya, Kak,” ucap Dara sembari menunjuk dua kalung dan satu gelang yang ada di etalase kaca.Dara melihat tiga perhiasan itu secara saksama. Ia bahkan memegangnya untuk mera
“Woy! Woy! Kalem dulu, jangan langsung emosi,” sahut Dara panik karena takut kakaknya itu salah paham.Carissa tertawa melihat raut wajah panik Dara yang terlalu ketara. Tentu saja, sebagai kakak, kurang rasanya jika tidak menggoda adiknya. “Lo kalo mau sama Sagara kenapa gak bilang pas makan malem kemaren? Jangan rebut pas udah dijodohin gue dong!” sahut Carissa dengan nada emosi sembari berusaha menahan tawanya.Dara mengernyitkan dahinya. Carissa bukan tipikal orang yang meledak-ledak. Jika marah, wanita itu hanya akan diam atau mengucapkan kalimat menyakitkan dengan sikap yang tenang. Sudah jelas, kakaknya itu sedang bercanda kepadanya.“Apaan sih,” ucap Dara sembari memutarkan bola matanya dengan malas. “Gue tau lo gak peduli-peduli amat, tapi yang jelas gue gak ada apa-apa ya sama calon ipar gue. Awas lo nyebar rumor yang enggak-enggak,” lanjut Dara memperingatkan.Keduanya hidup terlalu lama sebagai kakak dan adik sehingga dapat mengetahui gelagat masing-masing. Carissa pun akh
“Hahaha! Ngaco lo!”Carissa tertawa terbahak-bahak mendegar dugaan tak terduga yang dikeluarkan dari mulut Sagara. Wanita itu celingak-celinguk memperhatikan lingkungan sekitarnya. Takut jika suara tawanya mengganggu pengunjung lain.“Gak lah! Suka sama lo aja enggak, gimana mau cemburu? Geer,” celetuk Carissa lagi.Sagara mengerutkan dahinya kebingungan dengan wanita di depannya yang tiba-tiba tertawa histeris dan menyindirnya langsung di depan wajahnya. “Gue cuma nanya doang. Lagian, lo nanya-nanya soal adik lo mulu. Sampe khawatir soal gosip segala. Salah gue ngira lo cemburu sama adik lo?” tanya Sagara dengan nada sewot.Carissa menggelengkan kepalanya dan masih tertawa walaupun kali ini wanita itu mengontrol volume tawanya. “Gak salah. Gue yang salah,” balas Carissa. “Gue cuma penasaran aja,” lanjut Carissa menggantungkan kalimatnya.“Penasaran karena?”“Karena kayaknya lo lebih tertarik sama adik gue dibandingkan gue.”Sagara terdiam. Pria itu tidak mengelak sama sekali. Bahkan
"Mampus udah jam 7! Ngopi dulu deh." Dara beranjak dari kursinya tanpa mematikan komputernya. Ia hanya memastikan bahwa ponsel dan dompetnya sudah terbawa di dalam kantong jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan dirinya harus lembur sendirian malam ini di kantor. Dara bergegas turun ke kafe yang berada di lantai bawah untuk memesan minuman penyemangat sebelum kafe tutup. Dara memilih dua gelas amerikano dingin, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi sebagai teman di malam yang melelahkan ini. "Iced americano dua, no sugar, ya, Kak. Totalnya jadi 60 ribu rupiah," ucap kasir yang juga berperan sebagai barista di kafe kecil tersebut. "Bayarnya pake e-wallet bisa, kan, Mba?" tanya Dara yang dibalas dengan anggukan oleh sang kasir. Dara segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi e-wallet yang ia miliki. Entah karena tadi berlarian takut kafe ini akan tutup, tangan wanita itu berkeringat sehingga sulit untuk menekan layar ponselnya. "Ah elah ini tangan pake basah sega
Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan. "Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris. "Pulang gih." Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor
"Gimana? Suka gak?" tanya Sagara sesaat melihat Dara melahap burger yang ia berikan. Dara mengangguk karena mulutnya yang penuh dengan burger itu tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya. Takut karyawannya itu tersedak, Sagara dengan cepat membuka botol minuman dan menyerahkannya kepada Dara. Wanita itu berhenti sejenak sebelum mengambil botol minuman yang ada di tangan Sagara dengan ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan apa normal jika atasan sepeduli ini dengan karyawan biasa. "Makasih, Pak," ucap Dara. "Pelan-pelan aja makannya, jangan kayak dikejer setan," pinta Sagara sembari menyerahkan sebuah tisu. "Lap mulut kamu, berantakan tuh," lanjut Sagara. Yang hanya bisa dilakukan Dara adalah menganggukan kepalanya dan menuruti perintah Sagara. Meskipun memiliki kepribadian yang acuh tak acuh dan sudah mendeklarasikan kepada semua orang bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun dengan bosnya ini, wanita itu juga mudah luluh jika diperhatikan sedetil