Share

2. Editor Buku Sederhana

Dara menengok dengan cepat ke arah Sagara. Tidak lupa dengan mata membelalak khas sitkom komedi ketika sedang terkejut. “Gimana pak?” tanya Dara memastikan bahwa wanita itu tidak salah dengar.

“Saya mending dijodohin sama kamu,” jelas Sagara mengucapkan ulang kalimat yang sebelumnya telah ia lontarkan.

Sebenarnya, Dara tahu bahwa ia tidak salah dengar. Ia hanya berharap bahwa Sagara menarik ucapannya dan tidak membuat situasi yang sudah canggung, semakin canggung.

“Kenapa, Pak?” Sungguh pertanyaan bodoh yang bisa dikeluarkan dari mulut Dara. Wanita itu ingin menceburkan dirinya sendiri ke dalam kolam renang jika bisa.

“Saya lebih kenal sama kamu daripada Kakak kamu,” jawab Sagara yang tidak disangka-sangka sangat cepat.

Dara memiringkan kepalanya. Tanda bahwa gadis itu bingung. “Bapak kenal saya?”

“Kamu sudah kerja di perusahaa saya sebagai editor akuisisi selama dua tahun. Masa gak kenal?”

Dara mengangguk paham. Lebih tepatnya, mengangguk untuk sekadar formalitas. Yang Sagara ketahui hanya dia sebagai karyawan di perusahaannya, gadis itu mengekspektasikan hal lain selain itu. Lagi pula, untuk orang yang baru tahu bahwa dirinya adalah putri keluarga Sidharta yang identitasnya sengaja di rahasiakan, Dara tidak seharusnya berharap banyak.

“Kenalan dulu aja sama Kakak Saya, Pak. Dia baik, cantik, pinter, paket lengkap deh pokoknya,” ucap Dara mengalihkan pembicaraan sekaligus mempromosikan Kakaknya.

Sagara menganggukkan kepalanya seolah-olah mendengarkan saran Dara. Pria itu memang hanya bisa pasrah soal hal ini. Lagi pula, sejak awal hidupnya sudah direncanakan oleh kedua orang tuanya. Ia juga yakin bahwa perjodohan ini adalah sebagian kecil dari rencana besar Papanya.

Di sisi lain, Dara sedang berdebat dengan dirinya sendiri mengenai bagaimana cara meminta Bosnya itu merahasiakan identitasnya. Ia hanya karyawan biasa yang menjabat sebagai editor akuisisi di perusahaan Darwis Publishing. Wanita itu juga tidak mau kolega-kolega kantornya mengetahui tentang hal ini. Ia paling benci menjadi pusat perhatian hanya karena keluarga kaya rayanya.

“Pak…,” panggil Dara yang membuat Sagara menoleh. “Bapak kayaknya udah tahu kalau saya ngerahasiain keluarga saja, jadi, tolong jangan disebarin ke mana-mana, ya, Pak,” lanjut Dara memohon sembari memasang wajah memelas.

Sagara mendengus. “Apa saya keliatan kayak orang yang suka ngegosip dan nyebarin informasi orang lain di mata kamu?” balas Sagara yang membuat Dara terdiam tertegun. Wanita itu salah bicara lagi rupanya.

Dengan segera, Dara pun menggeleng. “Gak kok, Pak. Saya cuma mau memastikan aja, hehe.”

Keduanya pun terdiam karena percakapan berhenti begitu saja. Dara memandangi langit malam penuh bintang dari refleksi kolam. Di dalam refleksi kolam itu juga terdapat wajah Sagara yang sedang dengan tenang menatap langit.

Wajah tampan dengan kacamata frame besi ala generasi Z membuat aura Sagara semakin memancar. Bahkan lebih terang dibandingkan cahaya bulan dan bintang yang gemerlapan malam ini. Mungkin jika dirinya yang dijodohkan dengan bosnya itu, bukan Kakaknya, ia seharusnya tidak terlalu mempermasalahkan hal tersebut.

“Kenapa ngerahasiain identitas kamu? Lagi eksperimen sosial soal gimana cara orang memperlakukan orang biasa sama orang kaya?” tanya Sagara memecah keheningan.

Dara terdiam sejenak. Yang diucapkan oleh Sagara tidak sepenuhnya salah. Ia benci diperlakukan berbeda dan mendapat perhatian berlebih. Wanita itu tahu betul bagaimana kakak, saudara kembar, dan adiknya diperlakukan di tempat umum. Mereka harus selalu menjaga sikap karena media suka menyoroti hal-hal apa saya yang dilakukan oleh keluarga konglomerat.

“Saya lebih nyaman kayak gini aja, Pak. Mungkin jadi anak orang kaya itu gak cocok buat saya,” balas Dara polos.

Sagara pun tertawa mendengar balasan Dara yang entah mengapa terdengar konyol baginya. Dara lagi-lagi terkejut melihat Sagara yang tertawa lepas. Bos karismatik yang satu itu menunjukkan wajah barunya begitu saja di hadapan dirinya.

“Ada-ada aja kamu,” ucap Sagara masih dengan tawanya.

Dara ikut tersenyum karena dirinya sendiri baru menyadari betapa tidak masuk akalnya kalimat yang baru saja ia ucapkan. Sepertinya, rahasianya diketahui oleh orang yang tidak ia sangka ternyata tidak seburuk yang ia kira.

“Ini Pak Sagara ngapain pake ikutan meeting segala sih?”

Beberapa temannya berbisik-bisik kecil perihal kehadiran Sagara pada meeting divisi editorial. Pria itu bahkan tak pernah absen hadir di meeting mingguan, yang mana sebetulnya kehadirannya pun tak begitu diharapkan.

Sementara Dara, wanita itu hanya bisa menggelengkan kepalanya. Jujur, Dara gugup. Ini pertama kalinya ia kembali bertemu Sagara setelah pertemuan canggung mereka sebagai calon kakak dan adik ipar di rumahnya dua minggu yang lalu. Dara berharap Sagara akan menepati janjinya untuk tidak mengungkapkan identitasnya di sini. Setidaknya, berpura-pura bahwa pertemuan mereka dua minggu lalu tidak pernah terjadi.

“Oke, sejauh ini masalahnya di kontrak sama penulis doang, kan? Minta tim legal aja yang urus. Dateng ke penulisnya juga kalau perlu,” ucap Sagara kepada kepala divisi. “Selanjutnya, Dara?” tanya Sagara yang sedari tadi hanya memandangi layar proyektor, kini beralih menatap Dara.

Dara tersenyum membalas pandangan Sagara dan mengerti bahwa ia harus berdiri ke depan ruang meeting untuk memulai presentasi pekerjaannya.

“Bulan ini seperti yang sudah diekspektasikan sebelumnya ….”

Wanita itu lanjut menjelaskan pekerjaan yang sudah ia kerjakan dengan mengenalkan lima judul naskah paling potensial untuk diterbitkan menurut dirinya. Dara kadang tidak menyadari bahwa ia terkadang terlihat terlalu bersemangat ketika sedang bekerja. Sagara berusaha sekuat tenaganya untuk memperhatikan power point yang disajikan oleh Dara dan tidak terdistraksi dengan wajah wanita yang tersenyum lebar saat menjelaskan alur cerita naskah yang ia pilih itu. Namun, usaha yang dilakukan pria itu sepertinya gagal.

“Ehm.” Sagara berdeham berusaha menahan tawanya.

Dara yang sedang asyik menjelaskan presentasinya itu pun langsung terdiam. Dua kemungkinan sudah terpikirkan wanita itu ketika mendengar deheman sang CEO. Antara presentasinya yang buruk, naskah yang ia pilih tidak ada yang bagus, atau Sagara hanya ingin menertawakan dirinya.

Dara yang kebingungan memutuskan untuk bertanya agar ia tahu bahwa salah satu skenario di otaknya merupakan jawaban atas alasan Sagara tertawa. “Ada apa ya, Pak?”

Sagara yang sadar bahwa usaha untuk menahan tawa itu gagal, langsung mengubah wajahnya kembali ke posisi datar. “Enggak. Gak ada apa-apa. Saya batuk aja tadi. Silahkan lanjutkan.”

Dara tidak sebodoh itu untuk percaya bahwa Sagara sedang terbatuk. Namun, apa boleh buat. Dara hanya bisa melanjutkan presentasinya dengan perasaan kebingungan.

“Pilihan kamu bagus-bagus. Naskah kali ini jauh lebih baik dari bulan lalu. Kita rilis semuanya aja gimana?” Sagara melemparkan pujian kepada Dara sekaligus pertanyaan kepada kepala divisi, orang yang sebenarnya memiliki kuasa dalam menentukan naskah yang akan diakuisisi.

Bena mengangguk tanda bahwa ia setuju. Dara tersenyum bangga karena anggukan dari kepala ketua divisi, juga pujian dari sang CEO perusahaan yang setuju dengan pilihannya. Senyuman lebar dan hentakan kecil yang dilakukan Dara ketika ia bersemangat kembali membuat Sagara tanpa sadar tersenyum.

Bukan hanya Sagara yang jadi murah tersenyum, tetapi pandangan pria itu pun sedari tadi tak lepas dari Dara. Padahal, ketika karyawan lain presentasi … mata pria itu sibuk melihat dokumen, atau gawainya. Hanya Dara yang tidak pernah lepas dari pandangannya.

“Ada apa nih?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status