Share

3. Ancaman dan Perhiasan

"Ada apa nih?"

Dara menoleh pada salah satu rekannya, Shana, yang menyenggol bahunya sambil mengerling. "Ada apa emangnya?"

“Pak Sagara dari tadi senyam-senyum ngeliatin lo. Sadar gak?” 

Yang ditanya hanya mengernyitkan dahinya meskipun ia tahu dengan jelas apa yang dimaksud oleh Shana. Ia masih tidak tahu kenapa bosnya itu menertawakan dirinya.

“Ih, Kak! Aku juga liat Pak Sagara dari tadi senyam-senyum aja ngeliatin Kak Dara. Ada apa tuh, Kak?” sambar Lily dengan semangat.

“Ada apa, Ada apa, kagak ada apa-apa!” balas Dara, subjek utama yang menjadi bahan gosip Shana dan Lily.

“Random amat lo berdua gosipin Dara sama Pak Sagara. Abis nonton sinetron apaan?” Kali ini Jibran ikut andil dalam percakapan gosip yang hanya didasari interaksi dasar seperti senyuman yang diberikan bos kepada karyawannya.

Shana memiringkan kepalanya dan terukir raut tidak percaya di wajahnya. “Lo tadi gak liat Pak Sagara berusaha buat nahan senyum pas Dara lagi presentasi?” ujar Shana.

Bena hanya bisa menggelengkan kepalanya heran melihat anggota timnya yang malah sibuk bergosip, bukannya mulai mengerjakan tugas yang baru saja mereka terima saat rapat tadi. Cara kerja anak-anak muda milenial memang membingungkan bagi Bena meskipun ia juga termasuk bagian dari generasi mereka.

“Dara! Bisa ke ruang saya sebentar?” Suara pria yang tiba-tiba muncul memanggil salah satu di antara mereka membuat semuanya terkejut. Pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sagara.

Dara langsung melambaikan tangannya, memberikan isyarat kepada rekan-rekan kerjanya untuk diam dan berhenti menyebut nama Sagara langsung di depan orangnya.

Sagara langsung pergi begitu saja setelah memanggil Dara dan meminta wanita itu untuk datang ruang kerjanya. Wanita itu pun segera mengekori Sagara dari belakang layaknya anak ayam.

“Ada apa ya, Pak?” tanya Dara setelah memasuki ruang kerja Sagara.

“Duduk.”

Dara langsung mengikuti perintah dari atasannya itu dan duduk di kursi putar yang empuk. Kualitasnya sedikit lebih baik daripada kursi yang ada di meja kerja tim editorial. Mungkin karena pria itu bos sekaligus pemilik perusahaan ini.

“Saya mau makan malam sama kakak kamu,” ucap Sagara tanpa basa-basi.

Kalimat yang dilontarkan Sagara tentu saja berhasil membuat Dara mengkerutkan Dahinya. “Hah? Gimana, Pak?” tanya Dara memastikan.

“Perlu saya ulang?” tanya Sagara. “Saya mau makan malam sama kakak kamu,” lanjut pria itu mengulang ucapannya sama persis. Sepertinya, Dara hobi sekali membuat Sagara mengucap ulang kalimatnya.

Dara terdiam sejenak. Ia bingung harus dengan kalimat apa memproses ucapan atasan sekaligus calon kakak iparnya itu. Lagi pula, bukan dirinya yang diajak untuk makan malam, apa yang harus wanita itu bicarakan.

“Silahkan aja, Pak. Bisa langsung hubungin kakak saya. Butuh nomornya?” Akhirnya, kalimat itu lah yang diputuskan oleh Dara untuk merespons ucapan Sagara.

“Gak butuh. Saya cuma butuh kamu buat tentuin tempat makan malam yang sekiranya kakak kamu suka dan temenin saya cari hadiah untuk kakak kamu,” jelas Sagara yang akhirnya memberi tahu karyawannya itu tujuan ia memanggilnya ke ruang kerja.

Dara mengerjapkan matanya beberapa kali sembari tersenyum masam. “Kenapa gak ke sekretaris Bapak aja?” tanya Dara heran.

“Kamu, kan, adiknya. Pasti lebih tahu. Pulang ngantor gak ada kegiatan, kan? Langsung temenin saya aja cari hadiah,” balas Sagara seolah-olah menghiraukan usul Dara untuk membiarkan beban mencari restoran diner dan hadiah dilimpahkan kepada sekretaris bosnya itu.

Senyum Sagara mengembang melihat wajah pasrah Dara. Wanita itu benar-benar ekspresif, sedikit berbeda dengan kakaknya, Carissa. Meskipun pria itu baru mengenal Carissa selama kurang lebih dua minggu.

“Anggap aja bayaran saya buat nutup mulut soal identitas keluarga kamu, Adhisrhee Dara Sidharta,” lanjut Sagara menggoda wanita tersebut agar panik.

Dara merasakan sekujur tubuhnya merinding ketika Sagara menyebut nama lengkapnya, terlebih ketika menyebut nama keluarganya, ‘Sidharta’.

“Iya, deh. Pulang kantor saya bantuin cari hadiah. Restoran juga nanti saya yang reservasi.”

Keadaan mal di malam hari cukup ramai jika melihat hari ini adalah selasa. Tidak biasanya untuk hari kerja mal dipenuhi oleh pengunjung. Mungkin karena hari ini adalah tanggal satu awal bulan, semua orang mendapat honor dari pekerjaannya.

Dara melihat sekeliling secara hati-hati. Ia takut bahwa ada jika kolega kantor yang melihat dirinya sedang berjalan dengan atasannya di tempat umum pada malam hari, kehidupan kerjanya tidak akan lagi mudah.

“Kamu kenapa sih nutup-nutup muka gitu? Sembunyi dari rentenir?” tanya Sagara yang bingung karena Dara bersembunyi di balik punggung lebarnya sembari sesekali menutupi wajahnya dengan jaket yang sedang ia gunakan.

Dara tanpa sengaja melirik tajam ke arah Sagara. “Kalau ketemu anak-anak kantor gimana pak? Nanti saya dikira yang aneh-aneh lagi sama bapak,” balas Dara sembari memukul ringan punggung Sagara. Hal itu juga ia lakukan tanpa sadar. Siapa dirinya selain hanya seorang bawahan dan berani memukul punggung bosnya.

Sagara sedikit terkejut dengan skinship tiba-tiba yang dilakukan oleh Dara, namun pria itu tidak terlalu mempermasalahkannya. Bahkan tertawa. “Aw! Sakir, Dar!” sahut Sagara berusaha menyentuh area punggung yang dipukul oleh Dara.

“Eh-eh, maaf, Pak! Gak sengaja astaga!”

Wajah panik Dara berhasil membuat Sagara makin kesulitan untuk menahan tawanya untuk tidak makin melebar. Pria itu gemas sendiri melihat tingkah karyawan yang mungkin akan menjadi calon adik iparnya itu jika dirinya tidak menemukan cara untuk menghindari perjodohan ini.

“Saya cuma bercanda, kok. Jadinya kita mau beli hadiah apa nih?” tanya Sagara mengganti topik pembicaraan.

“Bapak kasih ide bisnis aja pasti kakak saya suka. Dia workaholic. Atau bapak bantu aja dia menangin tender di proyek pemerintah terbaru, pasti langsung dikawinin bapak!” seru Dara dengan semangat memberikan ide hadiah untuk kakaknya.

Sagara memiringkan kepalanya sembari memasang wajah tidak percaya atas jawaban yang baru saja ia dapatkan. “Yang serius dong, Dar? Sekalian aja saya kerja di perusahaan kamu kalo begitu. Untung kamu kerja jadi EA, kreatif soalnya,” balas Sagara sedikit kesal.

“Hehehe. Bapak, kan, nanya apa yang kakak saya suka. Ya, itu. Tapi, dia suka juga perhiasan sih, Pak. Gelang, kalung, cincin, yang kayak gitu-gitu deh. Walaupun bisa beli sendiri, tapi mungkin itu hadiah yang cocok.”

“Ya, sudah. Kita pergi ke toko perhiasan aja kalo gitu.”

Dara dan Sagara pun akhirnya masuk ke salah satu toko perhiasan di lantai satu gedung mal. Toko perhiasan mewah yang hanya orang dengan pakaian branded yang masuk. Sagara tentu saja terlihat seperti orang kaya raya meskipun hanya menggunakan setelan jas abu-abu biasa. Orang yang biasa membaca majalah bisnis pasti mengenali wajahnya.

Berbeda dengan Dara yang menggunakan kemeja biasa yang dipadu padankan dengan celana kain, tidak lupa ia juga sedang menggunakan jaket parasut yang biasa melindunginya dari terik matahari dan udara dingin saat berangkat atau pulang kerja menggunakan angkutan umum.

Sagara segera melihat-melihat berbagai perhiasan yang ada di etalase. Salah satu pegawai toko di sana menyambut pria itu dan Dara yang mengintil dibelakangnya dengan senyuman manis. “Ada yang bisa saya bantu? Cari perhiasan untuk pacar kakaknya yang di belakang mungkin?”

Sagara menoleh ke belakang. Sudah terdapat Dara yang membelakan matanya ketika kata ‘pacar’ dilontarkan okeh pegawai tersesebut. Sagara langsung tersenyum menggoda dan kembali mengalihkan pandangannya kembali ke adah pegawai toko. “Iya, Mbak. Buat pacar saya.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status