"Ada apa nih?"
Dara menoleh pada salah satu rekannya, Shana, yang menyenggol bahunya sambil mengerling. "Ada apa emangnya?"
“Pak Sagara dari tadi senyam-senyum ngeliatin lo. Sadar gak?”
Yang ditanya hanya mengernyitkan dahinya meskipun ia tahu dengan jelas apa yang dimaksud oleh Shana. Ia masih tidak tahu kenapa bosnya itu menertawakan dirinya.“Ih, Kak! Aku juga liat Pak Sagara dari tadi senyam-senyum aja ngeliatin Kak Dara. Ada apa tuh, Kak?” sambar Lily dengan semangat.“Ada apa, Ada apa, kagak ada apa-apa!” balas Dara, subjek utama yang menjadi bahan gosip Shana dan Lily.“Random amat lo berdua gosipin Dara sama Pak Sagara. Abis nonton sinetron apaan?” Kali ini Jibran ikut andil dalam percakapan gosip yang hanya didasari interaksi dasar seperti senyuman yang diberikan bos kepada karyawannya.Shana memiringkan kepalanya dan terukir raut tidak percaya di wajahnya. “Lo tadi gak liat Pak Sagara berusaha buat nahan senyum pas Dara lagi presentasi?” ujar Shana.Bena hanya bisa menggelengkan kepalanya heran melihat anggota timnya yang malah sibuk bergosip, bukannya mulai mengerjakan tugas yang baru saja mereka terima saat rapat tadi. Cara kerja anak-anak muda milenial memang membingungkan bagi Bena meskipun ia juga termasuk bagian dari generasi mereka.“Dara! Bisa ke ruang saya sebentar?” Suara pria yang tiba-tiba muncul memanggil salah satu di antara mereka membuat semuanya terkejut. Pria itu tidak lain dan tidak bukan adalah Sagara.Dara langsung melambaikan tangannya, memberikan isyarat kepada rekan-rekan kerjanya untuk diam dan berhenti menyebut nama Sagara langsung di depan orangnya.Sagara langsung pergi begitu saja setelah memanggil Dara dan meminta wanita itu untuk datang ruang kerjanya. Wanita itu pun segera mengekori Sagara dari belakang layaknya anak ayam.“Ada apa ya, Pak?” tanya Dara setelah memasuki ruang kerja Sagara.“Duduk.”Dara langsung mengikuti perintah dari atasannya itu dan duduk di kursi putar yang empuk. Kualitasnya sedikit lebih baik daripada kursi yang ada di meja kerja tim editorial. Mungkin karena pria itu bos sekaligus pemilik perusahaan ini.“Saya mau makan malam sama kakak kamu,” ucap Sagara tanpa basa-basi.Kalimat yang dilontarkan Sagara tentu saja berhasil membuat Dara mengkerutkan Dahinya. “Hah? Gimana, Pak?” tanya Dara memastikan.“Perlu saya ulang?” tanya Sagara. “Saya mau makan malam sama kakak kamu,” lanjut pria itu mengulang ucapannya sama persis. Sepertinya, Dara hobi sekali membuat Sagara mengucap ulang kalimatnya.Dara terdiam sejenak. Ia bingung harus dengan kalimat apa memproses ucapan atasan sekaligus calon kakak iparnya itu. Lagi pula, bukan dirinya yang diajak untuk makan malam, apa yang harus wanita itu bicarakan.“Silahkan aja, Pak. Bisa langsung hubungin kakak saya. Butuh nomornya?” Akhirnya, kalimat itu lah yang diputuskan oleh Dara untuk merespons ucapan Sagara.“Gak butuh. Saya cuma butuh kamu buat tentuin tempat makan malam yang sekiranya kakak kamu suka dan temenin saya cari hadiah untuk kakak kamu,” jelas Sagara yang akhirnya memberi tahu karyawannya itu tujuan ia memanggilnya ke ruang kerja.Dara mengerjapkan matanya beberapa kali sembari tersenyum masam. “Kenapa gak ke sekretaris Bapak aja?” tanya Dara heran.“Kamu, kan, adiknya. Pasti lebih tahu. Pulang ngantor gak ada kegiatan, kan? Langsung temenin saya aja cari hadiah,” balas Sagara seolah-olah menghiraukan usul Dara untuk membiarkan beban mencari restoran diner dan hadiah dilimpahkan kepada sekretaris bosnya itu.Senyum Sagara mengembang melihat wajah pasrah Dara. Wanita itu benar-benar ekspresif, sedikit berbeda dengan kakaknya, Carissa. Meskipun pria itu baru mengenal Carissa selama kurang lebih dua minggu.“Anggap aja bayaran saya buat nutup mulut soal identitas keluarga kamu, Adhisrhee Dara Sidharta,” lanjut Sagara menggoda wanita tersebut agar panik.Dara merasakan sekujur tubuhnya merinding ketika Sagara menyebut nama lengkapnya, terlebih ketika menyebut nama keluarganya, ‘Sidharta’.“Iya, deh. Pulang kantor saya bantuin cari hadiah. Restoran juga nanti saya yang reservasi.”…Keadaan mal di malam hari cukup ramai jika melihat hari ini adalah selasa. Tidak biasanya untuk hari kerja mal dipenuhi oleh pengunjung. Mungkin karena hari ini adalah tanggal satu awal bulan, semua orang mendapat honor dari pekerjaannya.Dara melihat sekeliling secara hati-hati. Ia takut bahwa ada jika kolega kantor yang melihat dirinya sedang berjalan dengan atasannya di tempat umum pada malam hari, kehidupan kerjanya tidak akan lagi mudah.“Kamu kenapa sih nutup-nutup muka gitu? Sembunyi dari rentenir?” tanya Sagara yang bingung karena Dara bersembunyi di balik punggung lebarnya sembari sesekali menutupi wajahnya dengan jaket yang sedang ia gunakan.Dara tanpa sengaja melirik tajam ke arah Sagara. “Kalau ketemu anak-anak kantor gimana pak? Nanti saya dikira yang aneh-aneh lagi sama bapak,” balas Dara sembari memukul ringan punggung Sagara. Hal itu juga ia lakukan tanpa sadar. Siapa dirinya selain hanya seorang bawahan dan berani memukul punggung bosnya.Sagara sedikit terkejut dengan skinship tiba-tiba yang dilakukan oleh Dara, namun pria itu tidak terlalu mempermasalahkannya. Bahkan tertawa. “Aw! Sakir, Dar!” sahut Sagara berusaha menyentuh area punggung yang dipukul oleh Dara.“Eh-eh, maaf, Pak! Gak sengaja astaga!”Wajah panik Dara berhasil membuat Sagara makin kesulitan untuk menahan tawanya untuk tidak makin melebar. Pria itu gemas sendiri melihat tingkah karyawan yang mungkin akan menjadi calon adik iparnya itu jika dirinya tidak menemukan cara untuk menghindari perjodohan ini.“Saya cuma bercanda, kok. Jadinya kita mau beli hadiah apa nih?” tanya Sagara mengganti topik pembicaraan.“Bapak kasih ide bisnis aja pasti kakak saya suka. Dia workaholic. Atau bapak bantu aja dia menangin tender di proyek pemerintah terbaru, pasti langsung dikawinin bapak!” seru Dara dengan semangat memberikan ide hadiah untuk kakaknya.Sagara memiringkan kepalanya sembari memasang wajah tidak percaya atas jawaban yang baru saja ia dapatkan. “Yang serius dong, Dar? Sekalian aja saya kerja di perusahaan kamu kalo begitu. Untung kamu kerja jadi EA, kreatif soalnya,” balas Sagara sedikit kesal.“Hehehe. Bapak, kan, nanya apa yang kakak saya suka. Ya, itu. Tapi, dia suka juga perhiasan sih, Pak. Gelang, kalung, cincin, yang kayak gitu-gitu deh. Walaupun bisa beli sendiri, tapi mungkin itu hadiah yang cocok.”“Ya, sudah. Kita pergi ke toko perhiasan aja kalo gitu.”Dara dan Sagara pun akhirnya masuk ke salah satu toko perhiasan di lantai satu gedung mal. Toko perhiasan mewah yang hanya orang dengan pakaian branded yang masuk. Sagara tentu saja terlihat seperti orang kaya raya meskipun hanya menggunakan setelan jas abu-abu biasa. Orang yang biasa membaca majalah bisnis pasti mengenali wajahnya.Berbeda dengan Dara yang menggunakan kemeja biasa yang dipadu padankan dengan celana kain, tidak lupa ia juga sedang menggunakan jaket parasut yang biasa melindunginya dari terik matahari dan udara dingin saat berangkat atau pulang kerja menggunakan angkutan umum.Sagara segera melihat-melihat berbagai perhiasan yang ada di etalase. Salah satu pegawai toko di sana menyambut pria itu dan Dara yang mengintil dibelakangnya dengan senyuman manis. “Ada yang bisa saya bantu? Cari perhiasan untuk pacar kakaknya yang di belakang mungkin?”Sagara menoleh ke belakang. Sudah terdapat Dara yang membelakan matanya ketika kata ‘pacar’ dilontarkan okeh pegawai tersesebut. Sagara langsung tersenyum menggoda dan kembali mengalihkan pandangannya kembali ke adah pegawai toko. “Iya, Mbak. Buat pacar saya.”“Pak!” seru Dara yang terkejut karena status melajangnya tiba-tiba berubah hanya dengan satu kalimat yang diucapkan oleh Sagara.Sagara meletakan jari telunjuknya di bibir tebal miliknya itu. Menandakan bahwa ia meminta agar Dara ikut dalam sandiwara buatannya yang mendadak itu. Tentu saja, Dara hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan bosnya itu. Dara mulai memilih beberapa perhiasan yang sekiranya akan disukai oleh kakak perempuannya itu. Dara sebenarnya tidak terlalu suka perhiasan. Selain mengundang copet jika menggunakan perhiasan mahal di transportasi umum, ia juga tidak punya uang berlebih untuk barang mewah seperti itu. Kartu kreditnya telah lama dibekukan oleh orang tuanya sejak wanita itu memilih untuk tidak bekerja di perusahaan keluarga milik Papanya.“Yang ini, ini, sama yang dipajang di etalase atas itu ya, Kak,” ucap Dara sembari menunjuk dua kalung dan satu gelang yang ada di etalase kaca.Dara melihat tiga perhiasan itu secara saksama. Ia bahkan memegangnya untuk mera
“Woy! Woy! Kalem dulu, jangan langsung emosi,” sahut Dara panik karena takut kakaknya itu salah paham.Carissa tertawa melihat raut wajah panik Dara yang terlalu ketara. Tentu saja, sebagai kakak, kurang rasanya jika tidak menggoda adiknya. “Lo kalo mau sama Sagara kenapa gak bilang pas makan malem kemaren? Jangan rebut pas udah dijodohin gue dong!” sahut Carissa dengan nada emosi sembari berusaha menahan tawanya.Dara mengernyitkan dahinya. Carissa bukan tipikal orang yang meledak-ledak. Jika marah, wanita itu hanya akan diam atau mengucapkan kalimat menyakitkan dengan sikap yang tenang. Sudah jelas, kakaknya itu sedang bercanda kepadanya.“Apaan sih,” ucap Dara sembari memutarkan bola matanya dengan malas. “Gue tau lo gak peduli-peduli amat, tapi yang jelas gue gak ada apa-apa ya sama calon ipar gue. Awas lo nyebar rumor yang enggak-enggak,” lanjut Dara memperingatkan.Keduanya hidup terlalu lama sebagai kakak dan adik sehingga dapat mengetahui gelagat masing-masing. Carissa pun akh
“Hahaha! Ngaco lo!”Carissa tertawa terbahak-bahak mendegar dugaan tak terduga yang dikeluarkan dari mulut Sagara. Wanita itu celingak-celinguk memperhatikan lingkungan sekitarnya. Takut jika suara tawanya mengganggu pengunjung lain.“Gak lah! Suka sama lo aja enggak, gimana mau cemburu? Geer,” celetuk Carissa lagi.Sagara mengerutkan dahinya kebingungan dengan wanita di depannya yang tiba-tiba tertawa histeris dan menyindirnya langsung di depan wajahnya. “Gue cuma nanya doang. Lagian, lo nanya-nanya soal adik lo mulu. Sampe khawatir soal gosip segala. Salah gue ngira lo cemburu sama adik lo?” tanya Sagara dengan nada sewot.Carissa menggelengkan kepalanya dan masih tertawa walaupun kali ini wanita itu mengontrol volume tawanya. “Gak salah. Gue yang salah,” balas Carissa. “Gue cuma penasaran aja,” lanjut Carissa menggantungkan kalimatnya.“Penasaran karena?”“Karena kayaknya lo lebih tertarik sama adik gue dibandingkan gue.”Sagara terdiam. Pria itu tidak mengelak sama sekali. Bahkan
"Mampus udah jam 7! Ngopi dulu deh." Dara beranjak dari kursinya tanpa mematikan komputernya. Ia hanya memastikan bahwa ponsel dan dompetnya sudah terbawa di dalam kantong jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan dirinya harus lembur sendirian malam ini di kantor. Dara bergegas turun ke kafe yang berada di lantai bawah untuk memesan minuman penyemangat sebelum kafe tutup. Dara memilih dua gelas amerikano dingin, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi sebagai teman di malam yang melelahkan ini. "Iced americano dua, no sugar, ya, Kak. Totalnya jadi 60 ribu rupiah," ucap kasir yang juga berperan sebagai barista di kafe kecil tersebut. "Bayarnya pake e-wallet bisa, kan, Mba?" tanya Dara yang dibalas dengan anggukan oleh sang kasir. Dara segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi e-wallet yang ia miliki. Entah karena tadi berlarian takut kafe ini akan tutup, tangan wanita itu berkeringat sehingga sulit untuk menekan layar ponselnya. "Ah elah ini tangan pake basah sega
Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan. "Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris. "Pulang gih." Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor
"Gimana? Suka gak?" tanya Sagara sesaat melihat Dara melahap burger yang ia berikan. Dara mengangguk karena mulutnya yang penuh dengan burger itu tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya. Takut karyawannya itu tersedak, Sagara dengan cepat membuka botol minuman dan menyerahkannya kepada Dara. Wanita itu berhenti sejenak sebelum mengambil botol minuman yang ada di tangan Sagara dengan ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan apa normal jika atasan sepeduli ini dengan karyawan biasa. "Makasih, Pak," ucap Dara. "Pelan-pelan aja makannya, jangan kayak dikejer setan," pinta Sagara sembari menyerahkan sebuah tisu. "Lap mulut kamu, berantakan tuh," lanjut Sagara. Yang hanya bisa dilakukan Dara adalah menganggukan kepalanya dan menuruti perintah Sagara. Meskipun memiliki kepribadian yang acuh tak acuh dan sudah mendeklarasikan kepada semua orang bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun dengan bosnya ini, wanita itu juga mudah luluh jika diperhatikan sedetil
Dara makin terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sagara. Perasaan lega menyebar ke seluruh dadanya. Jika Sagara tetap bertekad untuk menjalankan perjodohan dengan Carissa, maka tidak ada kesempatan bagi kakak perempuannya itu untuk membuat dirinya menggantikan posisi sang kakak. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran Dara. Jika memang tidak saling suka, kenapa harus memaksakan diri untuk menikah?“Kalo gak tertarik, kenapa milih tetap buat nikah sama kakak saya, Pak?” Dara memutuskan untuk membiarkan rasa penasarannya menang dan mempertanyakan hal yang sedari tadi berputar di kepalanya.Sagara tertawa kecil. “Kamu padahal berasal dari keluarga yang sama kayak saya, tapi kok gak paham beginian? Apa karena semua beban ditanggung sama kakak kamu?” tanya Sagara.Dara otomatis memiringkan kepalanya kebingungan. “Maksudnya, Pak?” “Alasan kedua keluarga kita tetap jadi keluarga ‘konglomerat’ yang selalu ada di m
“Saya turun disini aja, Pak!” sahut Dara sembari menunjuk ke arah sebuah bangunan di tepi jalan yang memiliki lampu papan dengan warna mencolok.Karena terkejut dengan permintaan mendadak, Sagara pun memberhentikan mobilnya di tempat yang diminta Dara. Sagara memicingkan matanya untuk memastikan tempat yang ada di depannya. Pria itu menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumahnya, bukan ke sebuah kafe bar.Sesaat setelah mobil berhenti di depan kafe bar, Dara tak lupa mengucapkan terima kasih dan hendak keluar dari mobil. Namun, tangannya ditarik kembali oleh Sagara dan pria itu mengunci mobilnya dari dalam.“Hah? Ada apa, Pak?” tanya Dara terkejut karena tangannya ditarik oleh bosnya.“Kok ke kafe bar? Udah malem, bukannya pulang,” ucap Sagara bingung.“Ada urusan, Pak.”“Urusan apa? Kenapa di kafe bar?”“Ada lah, Pak, pokoknya. Saya turun ya, makasih Pak udah dianterin.” Dara merasa ia sudah tidak bisa lagi membuat alasan dan lebih baik menghindari pertanyaan dengan