Share

4. Siapa Dijodohkan dengan Siapa

“Pak!” seru Dara yang terkejut karena status melajangnya tiba-tiba berubah hanya dengan satu kalimat yang diucapkan oleh Sagara.

Sagara meletakan jari telunjuknya di bibir tebal miliknya itu. Menandakan bahwa ia meminta agar Dara ikut dalam sandiwara buatannya yang mendadak itu. Tentu saja, Dara hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan bosnya itu.

Dara mulai memilih beberapa perhiasan yang sekiranya akan disukai oleh kakak perempuannya itu. Dara sebenarnya tidak terlalu suka perhiasan. Selain mengundang copet jika menggunakan perhiasan mahal di transportasi umum, ia juga tidak punya uang berlebih untuk barang mewah seperti itu. Kartu kreditnya telah lama dibekukan oleh orang tuanya sejak wanita itu memilih untuk tidak bekerja di perusahaan keluarga milik Papanya.

“Yang ini, ini, sama yang dipajang di etalase atas itu ya, Kak,” ucap Dara sembari menunjuk dua kalung dan satu gelang yang ada di etalase kaca.

Dara melihat tiga perhiasan itu secara saksama. Ia bahkan memegangnya untuk merasakan berat dari tiga perhiasan yang ia pilih tersebut. Carissa merupakan orang yang banyak bergerak, entah menemui klien atau sekadar menghabiskan kegiatan pribadinya bermain golf dan lain-lain. Maka dari itu, perhiasan yang tidak terlalu berat tetapi masih memiliki desain yang cantik merupakan penentu bagi Dara untuk memilih perhiasan emas yang akan diberikan oleh Sagara untuk kakaknya itu.

“Itu yang kamu pilih?” tanya Sagara.

Dara menganggukan kepalanya. “Desainnya bagus dan paling terbaru. Kayaknya kakak juga gak punya desain kalung dan gelang ini. Oh iya, ringan juga. Kak Carissa gak suka yang berat-berat,” jelas Dara.

Sagara ikut menganggukan kepalanya. Tanda bahwa pria itu paham. “Ya udah, coba aja dulu di kamu,” pinta Sagara yang berhasil membuat Dara secara otomatis memiringkan kepalanya.

“Hah? Gimana, Pak?”

Sagara tidak menghiraukan pertanyaan penuh kebingungan dari karyawannya itu dan langsung mengambil salah satu kalung yang dipilih oleh Dara. Pria itu menghadap ke arah Dara dan mendekat secara cepat lalu memakaikan kalung tersebut di leher Dara.

Jarak antara mereka terlalu dekat. Orang lain yang melihat mereka dari jauh mungkin akan mengira keduanya sedang berpelukan. Saking dekatnya jarak antata Dara dan Sagara, wanita itu bahkan bisa merasakan napas pria itu. Dara memilih untuk menurunkan pandangannya dan berharap bahwa bosnya itu dengan cepat memakaikan kalung tersebut ke lehernya.

“So sweet banget pacarnya, Kak,” ucap salah satu pegawai sembari tersenyum lebar. Bahkan, pegawai toko saja gemas dengan keduanya.

Dara hanya bisa mengeluarkan senyum terpaksanya. Ia benar-benar berharap bahwa tidak ada satu pun kolega kantornya berada di gedung mal ini. Bisa-bisa, akan ada rumor bahwa ia akan menikahi bosnya jika mereka melihat adegan ini.

Sagara akhirnya selesai memakaikan kalung di leher Dara. Pria itu perlahan berjalan mundur dan memperhatikan kalung yang terpasang dengan manis di leher karyawannya tersebut.

“Cantik,” ujar Sagara.

Dara lagi-lagi menahan nafasnya. Ia tidak taju bahwa pujian itu diberikan kepada kalung yang ia pakai atau kepada dirinya. Yang jelas, wanita itu tidak bisa bohong jika hatinya berdegup dengan cukup kencang.

Sagara lagi-lagi harus menahan tawanya. Wajah Dara yang sangat jelas menggambarkan bahwa wanita itu sedang mengatur nafasnya membuat Sagara ingin tertawa.

“Kalungnya, bukan kamu,” lanjut Sagara agar Dara tidak semakin panik dengan ucapannya yang memang bisa menimbulkan kesalahpahaman.

“Iya, tau, Pak,” balas Dara dengan nada ketus. Entah mengapa, ada sedikit rasa sakit hati ketika Sagara menjelaskan ucapannya itu.

Sagara akhirnya melepaskan tawa yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Dara hanya memutarkan bola matanya dengan malas. Ia sudah tidak peduli dengan reaksi atasannya itu.

“Kamu mau juga, gak? Ambil aja satu. Atau ini buat kamu, kakak kamu cari yang lain,” tawar Sagara.

Dara menggelengkan kepalanya dengan kuat. Tanda bahwa ia menolak. “Gak usah, Pak. Karyawan gak boleh dapet perlakuan spesial di luar kantor,” balas Dara mengingatkan.

Sagara pun mengangguk setuju. Setelah selesai memilih perhiasan dan memutuskan untuk membeli satu kalung yang sudah di uji coba di leher Dara.

“Kamu saya anter aja ya?” tanya Sagara pada Dara selepas mereka keluar dari toko perhiasan.

“Anter ke mana, Pak?”

“Ke rumah kamu lah, masa ke rumah saya?”

Dara lagi-lagi dibuat terkejut dengan ucapan Sagara. Pria yang ia kira karismatik dan berbicara seadanya ini ternyata cukup sering membuat jantungnya hampir copot karena ucapannya.

“Gak usah, Pak. Saya bisa sendiri, kok,” tolak Dara dengan sopan.

Sagara menolak tolakan tersebut. “Gak. Anak perempuan malem-malem naik angkutan umum itu bahaya. Sekarang udah jam sembilan malam. Saya anter aja ya.”

Dara tidak bisa lagi menolak. Sebenarnya, ajakan pulang itu dari awal bukan merupakan sebuah tawaran, melainkan perintah.

Sagara yang sudah pernah ke rumah Dara sebelumnya pun langsung menancapkan gasnya tanpa harus bertanya kepada Dara di mana alamat rumahnya. Membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit dari mal ke rumahnya menggunakan mobil. Setelah sampai, Dara berpamitan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Sagara.

Dara memasuki rumah mewahnya dan langsung merebahkan dirinya di kursi yang ada di ruang tamu. Wanita yang tidak terlalu suka berkeliling di mal itu benar-benar merasa energinya tersedot hingga habis.

“Dianter siapa tuh?” tanya Carissa tiba-tiba muncul kepada adiknya yang terlihat kelelahan.

“Orang,” balas Dara singkat.

Carissa tertawa mendengus mendengar jawaban tidak niat dari adiknya lalu menyeringai, “Lo jalan sama calon suami gue, kan?”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status