“Pak!” seru Dara yang terkejut karena status melajangnya tiba-tiba berubah hanya dengan satu kalimat yang diucapkan oleh Sagara.
Sagara meletakan jari telunjuknya di bibir tebal miliknya itu. Menandakan bahwa ia meminta agar Dara ikut dalam sandiwara buatannya yang mendadak itu. Tentu saja, Dara hanya bisa pasrah dan mengikuti kemauan bosnya itu.Dara mulai memilih beberapa perhiasan yang sekiranya akan disukai oleh kakak perempuannya itu. Dara sebenarnya tidak terlalu suka perhiasan. Selain mengundang copet jika menggunakan perhiasan mahal di transportasi umum, ia juga tidak punya uang berlebih untuk barang mewah seperti itu. Kartu kreditnya telah lama dibekukan oleh orang tuanya sejak wanita itu memilih untuk tidak bekerja di perusahaan keluarga milik Papanya.“Yang ini, ini, sama yang dipajang di etalase atas itu ya, Kak,” ucap Dara sembari menunjuk dua kalung dan satu gelang yang ada di etalase kaca.Dara melihat tiga perhiasan itu secara saksama. Ia bahkan memegangnya untuk merasakan berat dari tiga perhiasan yang ia pilih tersebut. Carissa merupakan orang yang banyak bergerak, entah menemui klien atau sekadar menghabiskan kegiatan pribadinya bermain golf dan lain-lain. Maka dari itu, perhiasan yang tidak terlalu berat tetapi masih memiliki desain yang cantik merupakan penentu bagi Dara untuk memilih perhiasan emas yang akan diberikan oleh Sagara untuk kakaknya itu.“Itu yang kamu pilih?” tanya Sagara.Dara menganggukan kepalanya. “Desainnya bagus dan paling terbaru. Kayaknya kakak juga gak punya desain kalung dan gelang ini. Oh iya, ringan juga. Kak Carissa gak suka yang berat-berat,” jelas Dara.Sagara ikut menganggukan kepalanya. Tanda bahwa pria itu paham. “Ya udah, coba aja dulu di kamu,” pinta Sagara yang berhasil membuat Dara secara otomatis memiringkan kepalanya.“Hah? Gimana, Pak?”Sagara tidak menghiraukan pertanyaan penuh kebingungan dari karyawannya itu dan langsung mengambil salah satu kalung yang dipilih oleh Dara. Pria itu menghadap ke arah Dara dan mendekat secara cepat lalu memakaikan kalung tersebut di leher Dara.Jarak antara mereka terlalu dekat. Orang lain yang melihat mereka dari jauh mungkin akan mengira keduanya sedang berpelukan. Saking dekatnya jarak antata Dara dan Sagara, wanita itu bahkan bisa merasakan napas pria itu. Dara memilih untuk menurunkan pandangannya dan berharap bahwa bosnya itu dengan cepat memakaikan kalung tersebut ke lehernya.“So sweet banget pacarnya, Kak,” ucap salah satu pegawai sembari tersenyum lebar. Bahkan, pegawai toko saja gemas dengan keduanya.Dara hanya bisa mengeluarkan senyum terpaksanya. Ia benar-benar berharap bahwa tidak ada satu pun kolega kantornya berada di gedung mal ini. Bisa-bisa, akan ada rumor bahwa ia akan menikahi bosnya jika mereka melihat adegan ini.Sagara akhirnya selesai memakaikan kalung di leher Dara. Pria itu perlahan berjalan mundur dan memperhatikan kalung yang terpasang dengan manis di leher karyawannya tersebut.“Cantik,” ujar Sagara.Dara lagi-lagi menahan nafasnya. Ia tidak taju bahwa pujian itu diberikan kepada kalung yang ia pakai atau kepada dirinya. Yang jelas, wanita itu tidak bisa bohong jika hatinya berdegup dengan cukup kencang.Sagara lagi-lagi harus menahan tawanya. Wajah Dara yang sangat jelas menggambarkan bahwa wanita itu sedang mengatur nafasnya membuat Sagara ingin tertawa.“Kalungnya, bukan kamu,” lanjut Sagara agar Dara tidak semakin panik dengan ucapannya yang memang bisa menimbulkan kesalahpahaman.“Iya, tau, Pak,” balas Dara dengan nada ketus. Entah mengapa, ada sedikit rasa sakit hati ketika Sagara menjelaskan ucapannya itu.Sagara akhirnya melepaskan tawa yang sudah tidak bisa dibendung lagi. Dara hanya memutarkan bola matanya dengan malas. Ia sudah tidak peduli dengan reaksi atasannya itu.“Kamu mau juga, gak? Ambil aja satu. Atau ini buat kamu, kakak kamu cari yang lain,” tawar Sagara.Dara menggelengkan kepalanya dengan kuat. Tanda bahwa ia menolak. “Gak usah, Pak. Karyawan gak boleh dapet perlakuan spesial di luar kantor,” balas Dara mengingatkan.Sagara pun mengangguk setuju. Setelah selesai memilih perhiasan dan memutuskan untuk membeli satu kalung yang sudah di uji coba di leher Dara.“Kamu saya anter aja ya?” tanya Sagara pada Dara selepas mereka keluar dari toko perhiasan.“Anter ke mana, Pak?”“Ke rumah kamu lah, masa ke rumah saya?”Dara lagi-lagi dibuat terkejut dengan ucapan Sagara. Pria yang ia kira karismatik dan berbicara seadanya ini ternyata cukup sering membuat jantungnya hampir copot karena ucapannya.“Gak usah, Pak. Saya bisa sendiri, kok,” tolak Dara dengan sopan.Sagara menolak tolakan tersebut. “Gak. Anak perempuan malem-malem naik angkutan umum itu bahaya. Sekarang udah jam sembilan malam. Saya anter aja ya.”Dara tidak bisa lagi menolak. Sebenarnya, ajakan pulang itu dari awal bukan merupakan sebuah tawaran, melainkan perintah.Sagara yang sudah pernah ke rumah Dara sebelumnya pun langsung menancapkan gasnya tanpa harus bertanya kepada Dara di mana alamat rumahnya. Membutuhkan waktu kurang lebih tiga puluh menit dari mal ke rumahnya menggunakan mobil. Setelah sampai, Dara berpamitan dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Sagara.Dara memasuki rumah mewahnya dan langsung merebahkan dirinya di kursi yang ada di ruang tamu. Wanita yang tidak terlalu suka berkeliling di mal itu benar-benar merasa energinya tersedot hingga habis.“Dianter siapa tuh?” tanya Carissa tiba-tiba muncul kepada adiknya yang terlihat kelelahan.“Orang,” balas Dara singkat.Carissa tertawa mendengus mendengar jawaban tidak niat dari adiknya lalu menyeringai, “Lo jalan sama calon suami gue, kan?”“Woy! Woy! Kalem dulu, jangan langsung emosi,” sahut Dara panik karena takut kakaknya itu salah paham.Carissa tertawa melihat raut wajah panik Dara yang terlalu ketara. Tentu saja, sebagai kakak, kurang rasanya jika tidak menggoda adiknya. “Lo kalo mau sama Sagara kenapa gak bilang pas makan malem kemaren? Jangan rebut pas udah dijodohin gue dong!” sahut Carissa dengan nada emosi sembari berusaha menahan tawanya.Dara mengernyitkan dahinya. Carissa bukan tipikal orang yang meledak-ledak. Jika marah, wanita itu hanya akan diam atau mengucapkan kalimat menyakitkan dengan sikap yang tenang. Sudah jelas, kakaknya itu sedang bercanda kepadanya.“Apaan sih,” ucap Dara sembari memutarkan bola matanya dengan malas. “Gue tau lo gak peduli-peduli amat, tapi yang jelas gue gak ada apa-apa ya sama calon ipar gue. Awas lo nyebar rumor yang enggak-enggak,” lanjut Dara memperingatkan.Keduanya hidup terlalu lama sebagai kakak dan adik sehingga dapat mengetahui gelagat masing-masing. Carissa pun akh
“Hahaha! Ngaco lo!”Carissa tertawa terbahak-bahak mendegar dugaan tak terduga yang dikeluarkan dari mulut Sagara. Wanita itu celingak-celinguk memperhatikan lingkungan sekitarnya. Takut jika suara tawanya mengganggu pengunjung lain.“Gak lah! Suka sama lo aja enggak, gimana mau cemburu? Geer,” celetuk Carissa lagi.Sagara mengerutkan dahinya kebingungan dengan wanita di depannya yang tiba-tiba tertawa histeris dan menyindirnya langsung di depan wajahnya. “Gue cuma nanya doang. Lagian, lo nanya-nanya soal adik lo mulu. Sampe khawatir soal gosip segala. Salah gue ngira lo cemburu sama adik lo?” tanya Sagara dengan nada sewot.Carissa menggelengkan kepalanya dan masih tertawa walaupun kali ini wanita itu mengontrol volume tawanya. “Gak salah. Gue yang salah,” balas Carissa. “Gue cuma penasaran aja,” lanjut Carissa menggantungkan kalimatnya.“Penasaran karena?”“Karena kayaknya lo lebih tertarik sama adik gue dibandingkan gue.”Sagara terdiam. Pria itu tidak mengelak sama sekali. Bahkan
"Mampus udah jam 7! Ngopi dulu deh." Dara beranjak dari kursinya tanpa mematikan komputernya. Ia hanya memastikan bahwa ponsel dan dompetnya sudah terbawa di dalam kantong jaketnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 7 malam dan dirinya harus lembur sendirian malam ini di kantor. Dara bergegas turun ke kafe yang berada di lantai bawah untuk memesan minuman penyemangat sebelum kafe tutup. Dara memilih dua gelas amerikano dingin, satu untuk dirinya sendiri dan satu lagi sebagai teman di malam yang melelahkan ini. "Iced americano dua, no sugar, ya, Kak. Totalnya jadi 60 ribu rupiah," ucap kasir yang juga berperan sebagai barista di kafe kecil tersebut. "Bayarnya pake e-wallet bisa, kan, Mba?" tanya Dara yang dibalas dengan anggukan oleh sang kasir. Dara segera meraih ponselnya untuk membuka aplikasi e-wallet yang ia miliki. Entah karena tadi berlarian takut kafe ini akan tutup, tangan wanita itu berkeringat sehingga sulit untuk menekan layar ponselnya. "Ah elah ini tangan pake basah sega
Dara duduk sendirian di mejanya, matanya yang lelah terpaku pada penerangan kantor yang redup. Waktu telah menujukkan pukul 8 malam, namun beban kerjanya tidak kunjung berkurang. Darwis Publishing yang sedang menyelenggarakan lomba menulis novel membuat kiriman naskah semakin membludak. Dara sebagai editor akuisisi harus mengkurasi satu per satu cerita yang masuk ke dalam email perusahaan. "Ya Tuhan... banyak banget! Gak kuat gue! Nyerah!" Dara mendorong dirinya dan kursi yang sedang ia duduki menjauh dari layar komputer penuh cahaya radiasi yang sudah berhadapannya sejak pukul 8 pagi. Di saat seperti ini, wanita itu sering kali mempertanyakan mengenai pilihan hidupnya yang memilih untuk menjadi budah korporat dibandingkan duduk manis bersama kakak dan saudara kembarnya di kursi komisaris. "Pulang gih." Suara tersebut bukanlah berasal dari mulutnya. Maka dari itu, Dara menoleh dengan cepat ke arah sumber suara. Malamnya akan berubah menjadi genre horor
"Gimana? Suka gak?" tanya Sagara sesaat melihat Dara melahap burger yang ia berikan. Dara mengangguk karena mulutnya yang penuh dengan burger itu tidak bisa menjawab pertanyaan bosnya. Takut karyawannya itu tersedak, Sagara dengan cepat membuka botol minuman dan menyerahkannya kepada Dara. Wanita itu berhenti sejenak sebelum mengambil botol minuman yang ada di tangan Sagara dengan ragu. Sekali lagi, ia mempertanyakan apa normal jika atasan sepeduli ini dengan karyawan biasa. "Makasih, Pak," ucap Dara. "Pelan-pelan aja makannya, jangan kayak dikejer setan," pinta Sagara sembari menyerahkan sebuah tisu. "Lap mulut kamu, berantakan tuh," lanjut Sagara. Yang hanya bisa dilakukan Dara adalah menganggukan kepalanya dan menuruti perintah Sagara. Meskipun memiliki kepribadian yang acuh tak acuh dan sudah mendeklarasikan kepada semua orang bahwa ia tidak memiliki perasaan apa pun dengan bosnya ini, wanita itu juga mudah luluh jika diperhatikan sedetil
Dara makin terdiam mendengar kalimat yang baru saja diucapkan oleh Sagara. Perasaan lega menyebar ke seluruh dadanya. Jika Sagara tetap bertekad untuk menjalankan perjodohan dengan Carissa, maka tidak ada kesempatan bagi kakak perempuannya itu untuk membuat dirinya menggantikan posisi sang kakak. Akan tetapi, ada satu hal yang mengganjal di pikiran Dara. Jika memang tidak saling suka, kenapa harus memaksakan diri untuk menikah?“Kalo gak tertarik, kenapa milih tetap buat nikah sama kakak saya, Pak?” Dara memutuskan untuk membiarkan rasa penasarannya menang dan mempertanyakan hal yang sedari tadi berputar di kepalanya.Sagara tertawa kecil. “Kamu padahal berasal dari keluarga yang sama kayak saya, tapi kok gak paham beginian? Apa karena semua beban ditanggung sama kakak kamu?” tanya Sagara.Dara otomatis memiringkan kepalanya kebingungan. “Maksudnya, Pak?” “Alasan kedua keluarga kita tetap jadi keluarga ‘konglomerat’ yang selalu ada di m
“Saya turun disini aja, Pak!” sahut Dara sembari menunjuk ke arah sebuah bangunan di tepi jalan yang memiliki lampu papan dengan warna mencolok.Karena terkejut dengan permintaan mendadak, Sagara pun memberhentikan mobilnya di tempat yang diminta Dara. Sagara memicingkan matanya untuk memastikan tempat yang ada di depannya. Pria itu menawarkan diri untuk mengantarkan wanita itu pulang ke rumahnya, bukan ke sebuah kafe bar.Sesaat setelah mobil berhenti di depan kafe bar, Dara tak lupa mengucapkan terima kasih dan hendak keluar dari mobil. Namun, tangannya ditarik kembali oleh Sagara dan pria itu mengunci mobilnya dari dalam.“Hah? Ada apa, Pak?” tanya Dara terkejut karena tangannya ditarik oleh bosnya.“Kok ke kafe bar? Udah malem, bukannya pulang,” ucap Sagara bingung.“Ada urusan, Pak.”“Urusan apa? Kenapa di kafe bar?”“Ada lah, Pak, pokoknya. Saya turun ya, makasih Pak udah dianterin.” Dara merasa ia sudah tidak bisa lagi membuat alasan dan lebih baik menghindari pertanyaan dengan
Setelah terkejut karena kehadiran Sagara, wanita malang yang memiliki jantung lemah itu harus kembali dikejutkan dengan sosok pria yang memghampiri dan memanggilnya dengan sebutan ‘kakak’.Dara hanya bisa terkekeh seperti anak kecil yang tertangkap basah menyolong uang receh di dompet Ibunya. “Hei… udah beres, ya, nyanyinya?” tanya Dara basa-basi karena hanya itu yang terbesit di otaknya.Pria itu kemudian mengangguk. Wajahnya kebingungannya kini berubah menjadi datar. “Lo ngapain disi-“ Pria itu menghentikan kalimatnya sesaat pandangannya teralihkan dengan Sagara yang duduk di samping Dara, menatapnya dengan kebingungan. “Siapa? Cowok baru lo?” tanya pria itu mengganti topik pertanyaannya.Dara menggelengkan kepalanya sembari melambaikan tangannya dengan kuat. “Bukan! Bukan!” tegas Dara.Kini, bergantian Sagara yang bertanya kepada Dara. “Ini orang yang mau kamu temuin? Pacar?” Dara merasa kepalanya dibaluti bintang berputar karena dise